Share

Bab 7. Izin Menikah

Bab 7.

Mata Dita melebar mendengar ledekan itu. Dia ingin maju untuk memberi pelajaran pada Ulfa, tetapi sayang karena Sano sudah lebih dulu menariknya ke luar rumah.

Mereka berdiri dengan tatapan yang sulit di artikan. Sungguh, Dita bingung dengan sikap Sano yang mendadak berubah padahal biasanya dia akan menyetujui apa pun permintaan Dita.

Betul bahwa mereka belum menyepakati tentang izin menikah pada Ulfa. Namun, Dita sudah tidak bisa menahan diri apalagi diminta menunggu lama. Dia kesal dipermalukan, tetapi seolah dilarang berkutik.

"Jangan rusak mimpi aku, Dita. Aku menyesal selingkuh di belakang Ulfa dan mulai detik ini hubungan kita berakhir. Jangan cari aku lagi karena aku tidak akan menceraikan Ulfa demi kamu, demi siapapun!"

"Mas!" pekik Dita dengan suara tertahan. Gadis itu mengusap wajah gusar, merasa dipermainkan.

"Aku serius. Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita. Nyatanya, aku lebih membutuhkan Ulfa dan juga Alea. Aku tidak bisa menepati janji untuk terus bersamamu, aku khilaf dan lupakan semuanya," lanjut Sano lagi membuat kepala Dita berdenyut sakit.

Gadis itu muak, tetapi dia berusaha untuk terlihat tenang. Dengan gerak cepat, Dita meraih tangan Sano, digenggam begitu erat. Matanya berkaca-kaca karena ada sesuatu yang harus dia sembunyikan dari Ulfa.

"Aku bisa menjadi pengganti Ulfa sekaligus ngasih kamu anak, Mas. Sebelum berangkat ke sini, kamu janji bakal milih aku daripada Ulfa. Kok, sekarang kamu berubah? Apa karena nggak ada ibu, Mas? Atau kamu takut sama Ulfa? Iya?!" cecarnya lagi.

Ulfa yang berdiri di beranda pintu tersenyum kecut melihat pemandangan di depannya. Dia sama sekali tidak merasa cemburu, hanya muak dan ingin menendang mereka satu per satu.

Menjadi pengganti Ulfa sekaligus memberinya anak? Entah kenapa pelakor zaman sekarang betul-betul tidak tahu malu. Ulfa melipat kedua tangan di depan dada, kemudian memberi tatapan dingin pada Sano.

"Kamu takut sama aku atau sama ibu, Mas?"

"Ulfa–"

"Cukup dijawab. Baik di sini atau di hadapan ibu Mahika, kamu bakal milih siapa?"

"Mas Sano nggak bakal milih kamu. Kami sudah sering tidur bersama, tidak mungkin Mas Sano masih cinta sama kamu. Coba dipikir lagi, Fa. Masih mau menerima suami yang sudah berbagi ranjang dengan wanita lain?"

Ulfa memutar badan, mengalihkan pandangannya pada Dita yang terlihat menyedihkan. Seulas senyum dia suguhkan pada wanita hina itu. Dia memindai tubuh Dita dari kaki sampai kepala. Biasa saja, tidak ada yang istimewa bahkan bagian dadanya datar, tidak menggoda.

"Aku tidak menduga, gadis muda sepertimu ternyata pecinta barang bekas. Barang bekas memang seperti sampah, kalian sekilas memang terlihat sama. Aku nggak perlu heran atau menunggu jawaban, Mas Sano biar menjadi milikmu saja."

Baru Saja Ulfa ingin masuk ke rumah ketika Sano mencekal tangannya. "Barang bekas?"

"Iya, kenapa? Ada yang salah sama ucapan aku, Mas?"

Sano membuang napas kasar. Dia memejamkan mata beberapa saat, lalu kembali berbicara. "Baiklah, karena aku salah sudah selingkuh, jadi biar saja kamu mengataiku seperti itu. Demi Allah, aku memilih kamu dan bukan Dita. Di hadapan Dita, aku bilang memilih kamu, Dek."

"Kamu dengar sendiri, 'kan? Mas Sano memilih aku dan bukan kamu. Masih pagi begini sudah datang ke rumah orang tanpa rasa malu. Pencuri saja melakukan aksinya saat malam hari, tetapi kamu benar-benar memalukan!" hina Ulfa lagi, kemudian menggandeng tangan Sano masuk rumahnya.

Tanpa sepatah kata pun, Dita meninggalkan rumah itu dengan perasaan marah yang bergejolak di dalam dada. Dia kesal dan berniat menyampaikan keluhannya pada Mahika yang selalu siap untuk membela.

Tidak peduli dia dipermalukan lagi nanti, yang pasti Sano harus jatuh dalam pelukannya dan membuat Ulfa menangis karena menjadi janda. Obsesi Dita sangat besar, dia merasa terhina dicap sebagai perebut suami orang dan tuduhan itu akan dia wujudkan dalam waktu dekat.

***

Setengah jam membiarkan Alea bermain dengan Sano sepertinya sudah cukup. Ulfa pun menggendong putrinya ke rumah tetangga karena sebentar lagi perang dunia akan di mulai. Dia tidak bisa menahan terlalu lama atau akan berimbas pada Alea.

"Mbak, Mas Sano ada di rumah, aku titip sebentar, ya?" pinta Ulfa begitu pintu rumah Kancana terbuka.

Wanita itu mengangguk paham, kemudian membawa Alea masuk ke rumahnya. Setelah itu, Ulfa gegas kembali ke rumah karena tidak ingin mengulur waktu. Biasanya setiap pukul sepuluh pagi, tukang sayur tiba dan ibu-ibu berkumpul di dekat rumah Ulfa.

Kalau mereka mendengar suara teriakan, pasti rasa ingin tahunya meronta, lalu Ulfa akan dijadikan bahan gosip selanjutnya.

Sano berdiri begitu melihat Ulfa kembali tanpa Alea. "Alea di mana?"

"Rumah Mbak Kancana, Mas. Kenapa?"

"Ya, mas kangen sama Alea. Pengen main sama dia, Dek."

Ulfa mengangguk dengan raut wajah datar. Hari ini seharusnya Sano menjelaskan perkara tadi malam di mana dia menghadiri acara ulang tahun sang adik bersama Dita, sementara alasan yang dilontarkan berbeda.

Kini, hanya ada mereka berdua. Itu artinya aman jika harus beradu mulut karena Alea tidak akan sibuk bertanya. Ulfa berusaha menahan air mata begitu mengingat suami yang selama ini dia cintai dan percaya sepenuhnya memiliki kekasih lain di luar sana.

Tidur bersama dengan Dita? Terdengar menyedihkan. Ulfa menatap jijik pada suaminya. "Mas, alasan kamu kemarin ... kamu minta aku buat tidur dan nggak usah nungguin kamu karena lembur di kantor, 'kan? Tapi kenapa malah–"

"Dek."

"Malah ada di rumah ibu, merayakan ulang tahun sama Dita pula. Apa maksudnya, Mas? Kamu menganggap aku bodoh? Mencoba mengelabuiku karena selama ini percaya aja sama kamu?" cecar Ulfa, suaranya terdengar parau menahan sesak di dada.

"Dek, jangan salah paham. Kemarin mas memang harus lembur, tetapi ibu bilang kalau mas harus datang ke sana atau Tantri bakal ngerasa sedih."

"Aku terkejut, loh, Mas. Nggak nyangka ya kalau ternyata kamu berani bermain api di belakangku padahal selama ini aku ngurus kamu dengan baik, ngurus Alea juga. Kapan aku membantah ucapan kamu, Mas?"

Mata Sano melirik ke kanan dan kiri. Dia sedikit takut melihat tatapan mematikan dari Ulfa. Istri yang selama ini ramah dan lembut dalam bertutur seolah menjelma seperti iblis yang siap membunuh Sano dalam satu pukulan telak.

Bulu kuduknya meremang, lelaki itu menduga Ulfa sedang kerasukan dan sebentar lagi dirinya akan menjadi mangsa. Sano mencoba membaca doa yang dia hafal dalam hati berharap Ulfa kembali seperti dulu.

Entah kenapa, dia tidak bisa membentak seperti tadi pagi. Lidahnya seolah kelu begitu bertemu pandang dengan Ulfa.

"Jawab, Mas!" teriak Ulfa diiringi dengan suara nyaring karena pot bunga pecah dibantingnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
lelaki mokondo enaknya burungnya di gunting aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status