Namun, saat Anita kembali lagi ke sini, benar-benar merubah sikap Mas Hilman seutuhnya. Dia bukan lagi suami yang kukenal dulu. Panggilan sayang ataupun dek tak pernah lagi keluar dari mulutnya. Dia bahkan berubah menjadi sangat kasar dan temperamen. Bekas tamparan yang masih terasa panas di pipi, tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun."Eh ... ada cucu yang kakek ganteng!" Terdengar suara bapak dari arah depan. Aku meraup wajah pelan dengan kedua tangan untuk menghapus bayangan kelam yang berkelebatan di ingatan. Aku bangkit dari bibir ranjang, menghirup napas dalam-dalam lalu keluar dari kamar dengan wajah ceria dan senyum mengembang. "Bapak sudah pulang?" tanyaku sambil mengulurkan tangan dan mencium punggung tangannya. "Iya. Baru saja datang. Kamu sudah lama?" tanya bapak balik. "Belum begitu lama, sih, Pak," jawabku sambil duduk di dekat Ilham. "Bapak ganti baju dulu kalau gitu," lanjut bapak sambil berjalan menuju kamarnya. "Ilham ikut, Kek!" Ilham mengejar langkah ka
SUAMIKU BUKAN SUAMIMUBab 14Gawai yang masih berada dalam genggaman tanganku nyaris saja terlepas andai aku tak buru-buru terduduk di lantai. Jantungku berdegup dengan begitu kencangnya. Apa maksud Anita melakukan semua itu? Tak bisakah ia menghargai aku sedikit saja sebagai wanita yang masih berstatus istri Mas Hilman? Dan kini, lelaki yang masih bergelar suamiku itu diakuinya sebagai suami sendiri di hadapan umum. Atau mungkin, sudah sejauh itukah hubungan suamiku dengan Anita? Apa mungkin mereka telah menjalin hubungan yang lebih intens daripada persahabatan? Menikah diam-diam misalnya. Tanpa bisa dicegah, sepasang mataku langsung memanas dan mengeluarkan buliran bening yang membasahi kedua pipiku. Aku terisak sendirian di dalam kamar. Dengan kedua kaki di tekuk dan wajah yang ditenggelamkan di sela-selanya. Sakit. Hatiku perih bak diiris sembilu. Dadaku sesak luar biasa diikuti hawa panas yang menjalari seluruh tubuh. Meski sudah berusaha untuk selalu kuat, tetap saja aku menang
"Bapak gimana kabarnya? Sehat? Lama banget ya, kita gak ketemu." Hanan berganti menatap bapak. Dari dulu, Hanan memang terbiasa memanggil bapakku dengan panggilan bapak."Alhamdulillah sehat. Cuma ... makin tua," timpal bapak sambil terkekeh. "Nak Hanan kapan pulang? Betah banget kayaknya merantau.""Baru beberapa hari kemarin, Pak. Ini juga karena kangen kota kelahiran, makanya pulang," jawab Hanan. "Ilham, sini, Nak!" Hanan melambaikan tangannya pada Ilham. Seketika anak laki-laki berusia empat tahun itu berjalan menghampiri Om-nya. "Kita ngobrol-ngobrolnya di depan aja!" ajak bapak pada Hanan. "Ra, bikinin kopi buat Hanan," tambah bapak menoleh ke arahku. "Bapak lupa, ya. Aku, kan, gak suka kopi," timpal Hanan sambil tersenyum kecil. "Masih gak suka kopi? Kirain bapak sekarang sudah suka. Soalnya udah gagah gini. Sampai pangling lihatnya!" Bapak menepuk-nepuk pelan punggung Hanan yang lebar. Penampilan Hanan sekarang dan dulu memang jauh berbeda. Dulu tinggi dengan tubuh sediki
Aku masih menunggu Hanan untuk buka suara, tapi dia malah mengulum senyum sambil melemparkan pandangan. Padahal aku sudah sangat penasaran dengan wanita yang berhasil mencuri hati teman baikku itu."Nanti juga kalau sudah waktunya, kamu tahu sendiri," jawab Hanan akhirnya tanpa kepastian. Sepertinya dia memang belum siap untuk memperkenalkan calonnya itu. Okelah, tak masalah. Aku juga tak ingin memaksanya. Tak elok rasanya, apalagi kami baru bertemu lagi. Mungkin saja calonnya itu rekan kerjanya atau wanita yang ia temui di perantauan."Ilham, katanya mau mancing? Solat dulu, yuk. Habis itu baru mancing." Hanan berganti menatap keponakannya itu. Aku melirik jam dinding. Ternyata memang sudah pukul tiga lebih tiga puluh menit. Sudah waktunya untuk solat asar. "Ra, aku ajak Ilham solat dulu, ya. Mesjid yang dulu masih ada, kan? Belum pindah?" Hanan sudah berdiri dari duduknya. Pun dengan Ilham yang sudah siap di sampingnya. "Masih, kok," jawabku singkat. "Ilham, kalau mau ikut sama O
Raut wajahku mendadak murung. Bahkan kini, mataku tak lagi fokus pada ikan-ikan yang coba ditangkap oleh Hanan. Melainkan menatap langit senja yang bergelayut di atas sana. Rona jingga terlihat begitu indah. Sesekali diikuti awan yang berarak. Membuatku semakin larut dalam lamunan."Ye ... dapat ikan!" Lamunanku tiba-tiba buyar mendengar suara nyaring Ilham yang riang. Gegas aku menoleh. Benar saja, seekor ikan mas berukuran besar berhasil nyangkut di kail pancing Hanan. "Bener, kan, Om bilang. Kita pasti dapat ikan yang besar," tutur Hanan pada Ilham. "Iya. Om hebat. Sama seperti kakek. Tapi gak kayak ayah. Soalnya ayah gak pernah mau tiap kali Ilham ajak mancing," timpal Ilham dengan nada sendu di akhir ucapannya. Hatiku mencelos mendengarnya. Karena memang benar, Mas Hilman tak pernah mau jika diajak untuk memancing oleh putranya itu. "Buang-buang waktu saja. Mending beli daripada susah-susah harus mancing," tutur Mas Hilman setiap kali ditanya alasannya.Padahal bukan masalah
Bab 16Dulu, saat aku duduk di bangku SMA, Fara masih duduk di bangku kelas enam SD. Saat teman-temanku termasuk Hanan main ke rumah, Fara masih anak perempuan dengan rambut dikuncir dua. Dari semua teman-temanku, Hanan lah yang bisa mendekati Fara. Karena Hanan sering membawakan sekedar coklat atau snack buat adikku itu. Berbeda dengan teman-temanku yang lain yang kadang abai dan cuek pada keberadaan Fara. Rumahku yang tak terlalu jauh letaknya dari sekolah, memang kerapkali dijadikan tempat untuk mengerjakan tugas bersama-sama atau diskusi kelompok. Dan yang paling getol berkunjung, yaitu Hanan dan Rima. Kami bertiga memang sudah akrab sejak awal masuk SMA. Entah kenapa saat itu kami bertiga langsung nyambung saat bergaul. Suara dari arah dapur terdengar riuh. Sepertinya Ilham dan Hanan sudah selesai memancing. Aku pun berjalan untuk menghampiri anakku itu. Nampak penampilan Ilham begitu kotor. Sebagian baju dan tubuhnya terkena lumpur. "Ya Allah Ilham. Kok kotor-kotoran, Sayang!
Aku berbalik dan menatap orang itu. Ryan. Dia sudah berdiri di hadapanku. "Eh, Mas Ryan. Ada apa, ya?" tanyaku sopan. "Aku mau ngembaliin ini!" Ryan mengulurkan nampan yang tadi siang dibawanya. "Lho, kok, ada isinya?" Aku menatap sekotak martabak yang berada di atas nampan itu. "Gak apa-apa. Itung-itung sebagai ucapan terima kasih," jawabnya. "Oh, iya. Makasih kalau gitu." Aku menerima nampan itu. Wangi martabak coklat langsung menguar terendus oleh hidungku. "Sama-sama," jawabnya. "Kalau gitu, aku permisi," tambahnya sambil berbalik dan berjalan kembali menuju rumahnya. Sementara aku langsung masuk ke dalam rumah. "Dari siapa, Ra?" tanya ibu saat aku meletakkan martabak itu di atas meja. "Dari tetangga baru. Sambil ngembaliin nampan," jawabku. "Kayaknya tetangga baru itu baik, ya. Ganteng lagi," sambar Fara. "Di matamu semua cowok ganteng. Hanan ganteng, Ryan ganteng, tukang bakso yang biasa lewat juga ganteng," ledekku."Ih ... gak gitu juga kali, Mbak!" protes Fara. Ak
Sebelum Mas Hilman pulang dari liburannya, aku memutuskan untuk pulang lebih awal ke rumah. Beruntung aku bertemu dengan Ryan yang sepertinya sudah bersiap untuk menjemput rezeki sebagai driver online di depan rumahnya."Mas, aku pelanggan pertama, ya," tuturku sambil menghampirinya sambil tersenyum."Wah. Beneran nih. Mau ke mana, Mbak?" tanyanya dengan mata berbinar."Jangan panggil Mbak. Panggil Zara aja," pintaku. "Siap, Mbak, eh, Zara. Mari masuk," timpalnya sambil membuka pintu mobil. "Lekas aku masuk dan duduk di kursi belakang. Sesaat kemudian, Ryan pun masuk dan duduk di balik kemudi."Ke alamat yang kemarin, ya," ujarku mengingatkan."Oke," jawabnya singkat sambil mulai melajukan mobilnya."Sudah lama jadi driver online?" tanyaku untuk memecah keheningan."Belum, Ra. Ini sampingan aja sambil nunggu panggilan kerja," jawabnya. "Kamu sendiri, kerja atau—?" Dia tak melanjutkan ucapannya."Enggak. Aku cuma ibu rumah tangga," jawabku."Kok cuma? Ibu rumah tangga itu paling cape