Aku masih menunggu Hanan untuk buka suara, tapi dia malah mengulum senyum sambil melemparkan pandangan. Padahal aku sudah sangat penasaran dengan wanita yang berhasil mencuri hati teman baikku itu."Nanti juga kalau sudah waktunya, kamu tahu sendiri," jawab Hanan akhirnya tanpa kepastian. Sepertinya dia memang belum siap untuk memperkenalkan calonnya itu. Okelah, tak masalah. Aku juga tak ingin memaksanya. Tak elok rasanya, apalagi kami baru bertemu lagi. Mungkin saja calonnya itu rekan kerjanya atau wanita yang ia temui di perantauan."Ilham, katanya mau mancing? Solat dulu, yuk. Habis itu baru mancing." Hanan berganti menatap keponakannya itu. Aku melirik jam dinding. Ternyata memang sudah pukul tiga lebih tiga puluh menit. Sudah waktunya untuk solat asar. "Ra, aku ajak Ilham solat dulu, ya. Mesjid yang dulu masih ada, kan? Belum pindah?" Hanan sudah berdiri dari duduknya. Pun dengan Ilham yang sudah siap di sampingnya. "Masih, kok," jawabku singkat. "Ilham, kalau mau ikut sama O
Raut wajahku mendadak murung. Bahkan kini, mataku tak lagi fokus pada ikan-ikan yang coba ditangkap oleh Hanan. Melainkan menatap langit senja yang bergelayut di atas sana. Rona jingga terlihat begitu indah. Sesekali diikuti awan yang berarak. Membuatku semakin larut dalam lamunan."Ye ... dapat ikan!" Lamunanku tiba-tiba buyar mendengar suara nyaring Ilham yang riang. Gegas aku menoleh. Benar saja, seekor ikan mas berukuran besar berhasil nyangkut di kail pancing Hanan. "Bener, kan, Om bilang. Kita pasti dapat ikan yang besar," tutur Hanan pada Ilham. "Iya. Om hebat. Sama seperti kakek. Tapi gak kayak ayah. Soalnya ayah gak pernah mau tiap kali Ilham ajak mancing," timpal Ilham dengan nada sendu di akhir ucapannya. Hatiku mencelos mendengarnya. Karena memang benar, Mas Hilman tak pernah mau jika diajak untuk memancing oleh putranya itu. "Buang-buang waktu saja. Mending beli daripada susah-susah harus mancing," tutur Mas Hilman setiap kali ditanya alasannya.Padahal bukan masalah
Bab 16Dulu, saat aku duduk di bangku SMA, Fara masih duduk di bangku kelas enam SD. Saat teman-temanku termasuk Hanan main ke rumah, Fara masih anak perempuan dengan rambut dikuncir dua. Dari semua teman-temanku, Hanan lah yang bisa mendekati Fara. Karena Hanan sering membawakan sekedar coklat atau snack buat adikku itu. Berbeda dengan teman-temanku yang lain yang kadang abai dan cuek pada keberadaan Fara. Rumahku yang tak terlalu jauh letaknya dari sekolah, memang kerapkali dijadikan tempat untuk mengerjakan tugas bersama-sama atau diskusi kelompok. Dan yang paling getol berkunjung, yaitu Hanan dan Rima. Kami bertiga memang sudah akrab sejak awal masuk SMA. Entah kenapa saat itu kami bertiga langsung nyambung saat bergaul. Suara dari arah dapur terdengar riuh. Sepertinya Ilham dan Hanan sudah selesai memancing. Aku pun berjalan untuk menghampiri anakku itu. Nampak penampilan Ilham begitu kotor. Sebagian baju dan tubuhnya terkena lumpur. "Ya Allah Ilham. Kok kotor-kotoran, Sayang!
Aku berbalik dan menatap orang itu. Ryan. Dia sudah berdiri di hadapanku. "Eh, Mas Ryan. Ada apa, ya?" tanyaku sopan. "Aku mau ngembaliin ini!" Ryan mengulurkan nampan yang tadi siang dibawanya. "Lho, kok, ada isinya?" Aku menatap sekotak martabak yang berada di atas nampan itu. "Gak apa-apa. Itung-itung sebagai ucapan terima kasih," jawabnya. "Oh, iya. Makasih kalau gitu." Aku menerima nampan itu. Wangi martabak coklat langsung menguar terendus oleh hidungku. "Sama-sama," jawabnya. "Kalau gitu, aku permisi," tambahnya sambil berbalik dan berjalan kembali menuju rumahnya. Sementara aku langsung masuk ke dalam rumah. "Dari siapa, Ra?" tanya ibu saat aku meletakkan martabak itu di atas meja. "Dari tetangga baru. Sambil ngembaliin nampan," jawabku. "Kayaknya tetangga baru itu baik, ya. Ganteng lagi," sambar Fara. "Di matamu semua cowok ganteng. Hanan ganteng, Ryan ganteng, tukang bakso yang biasa lewat juga ganteng," ledekku."Ih ... gak gitu juga kali, Mbak!" protes Fara. Ak
Sebelum Mas Hilman pulang dari liburannya, aku memutuskan untuk pulang lebih awal ke rumah. Beruntung aku bertemu dengan Ryan yang sepertinya sudah bersiap untuk menjemput rezeki sebagai driver online di depan rumahnya."Mas, aku pelanggan pertama, ya," tuturku sambil menghampirinya sambil tersenyum."Wah. Beneran nih. Mau ke mana, Mbak?" tanyanya dengan mata berbinar."Jangan panggil Mbak. Panggil Zara aja," pintaku. "Siap, Mbak, eh, Zara. Mari masuk," timpalnya sambil membuka pintu mobil. "Lekas aku masuk dan duduk di kursi belakang. Sesaat kemudian, Ryan pun masuk dan duduk di balik kemudi."Ke alamat yang kemarin, ya," ujarku mengingatkan."Oke," jawabnya singkat sambil mulai melajukan mobilnya."Sudah lama jadi driver online?" tanyaku untuk memecah keheningan."Belum, Ra. Ini sampingan aja sambil nunggu panggilan kerja," jawabnya. "Kamu sendiri, kerja atau—?" Dia tak melanjutkan ucapannya."Enggak. Aku cuma ibu rumah tangga," jawabku."Kok cuma? Ibu rumah tangga itu paling cape
Sepertinya Mas Hilman belum menyadari kalau kebersamaan mereka di-posting Anita ke laman media sosialnya. Mas Hilman memang termasuk orang yang jarang sering membuka medsos apalagi FB. "Sudahlah, Mas, gak perlu ditutupi lagi. Semua orang juga tahu kalau kamu dan Anita habis liburan ke pantai. Pakai dipamerin ke media sosial segala. Apa coba maksudnya?" timpalku lagi. "Siapa yang pamerin. Kamu ini ngomong apa?" Mas Hilman masih terlihat bingung. "Tanya aja sama sahabat, Mas, itu!" Aku menunjuk ke arah Anita dengan daguku. Mas Hilman langsung menoleh ke arah Anita. "Apa benar?" "Maaf, Mas. Aku cuma mau mengabadikan momen kebersamaan kita," tutur Anita pada Mas Hilman. "Ya ampun, Nit. Kenapa kamu lakukan itu? Kalau sampai atasan di tempat kerjaku tahu gimana? Padahal aku sudah beralasan sakit, makanya membatalkan kunjungan ke luar kota," timpal Mas Hilman terlihat kesal. "Ya, mana aku tahu. Orang kamu gak bilang. Aku pikir kamu libur panjang, makanya mau nemenin aku liburan," sahu
Bab 18 - POV HilmanBrakAku mendengar suara pintu ditutup dengan keras. Sepertinya Zara memang marah besar dan masuk ke dalam kamar Ilham setelah mendengar aku akan menikahi Anita. Aku mengacak rambut kasar. Frustasi sekali rasanya dengan keadaan seperti ini. Aku sudah meminta baik-baik pada Zara untuk bisa menikahi Anita. Ya, meskipun aku tahu, tidak akan ada wanita yang ingin diduakan di dunia ini. Tapi aku juga bingung harus berbuat apa. Di satu satu sisi, aku mencinta Anita sejak dulu. Cinta yang selama belasan tahun ini terpendam. Sementara aku juga menyayangi Zara, istriku. Zara adalah wanita yang baik, lembut, penyabar, dan sederhana. Meski terkadang aku bersikap kasar padanya, tapi dia tidak pernah membalasnya. Kecuali akhir-akhir ini. Sikapnya begitu berubah drastis. Menjadi pemarah dan pembangkang. Hingga tanpa sadar, aku sampai kelepasan menampar pipinya. Padahal, seumur-umur pernikahan, belum pernah aku menyakitinya secara fisik. Meskipun hatinya mungkin sering tersakit
Saat itu, aku berniat untuk mengutarakan perasaan cinta yang sudah mulai tumbuh sejak duduk di bangku SMA. Aku menghirup napas dalam-dalam, mulai mengatur debaran jantung yang tak karuan. Hingga ucapan Anita, membuatku mengurungkan niatku itu. "Tau gak cita-citaku setelah ini? Aku ingin menikah dengan laki-laki kaya raya dan hidup dengan tenang dan normal. Aku tidak mau terpuruk lagi. Pokoknya aku mau bahagia," ucapnya menggebu-gebu. Keinginan untuk mengutarakan perasaan cinta luntur detik itu juga. Karena aku tahu diri, aku bukanlah laki-laki kaya raya yang dia impikan. Aku takut tidak bisa membahagiakannya. Hingga akhirnya, aku memilih memendam cinta itu dalam-dalam. Bersembunyi di balik kata persahabatan agar tetap terjaga sampai kapanpun.Selang setahun kemudian, akhirnya Anita mendapatkan apa yang diinginkannya. Bos di tempatnya bekerja jatuh cinta padanya dan menikahinya. Hatiku hancur saat itu, tapi sekaligus bahagia karena cita-cita Anita akhirnya terwujud. Aku hanya bisa me