Share

bab 7. Pertemuan dengan Aksara

Mutia meremas alat pengaman pria itu dengan gemas di tangan kanannya. "Hm, lebih baik aku coba tanya saja untuk apa dia menyimpan benda ini. Aku cuma penasaran apa kira-kira jawaban dari mas Damar," gumam Mutia sambil keluar dari kamarnya.

Mutia mendekati Damar yang masih rajin menyapu taman tengah, mengumpulkan daun pohon mangga yang berguguran dan memotong daun-daun tanaman Kamboja favorit Larasati.

Mutia menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengamati beberapa tanaman bunga Kamboja yang ditanam secara bonsai di dalam pot.

'Kok bisa sih Bu Laras menanam bunga kuburan ini di taman tengah. Pantas saja kelakuannya seperti demit. Bunga kesukaan nya saja banyak tumbuh di kuburan,' batin Mutia.

Mutia mendekat ke arah suaminya itu. Tangannya yang memegang alat pengaman pria itu bersembunyi di balik punggung nya.

"Mas Damar."

Mutia tersenyum manis membuat Damar mengehentikan kegiatan nya menyapu. Lelaki itu membersihkan keningnya yang berkeringat.

"Ada apa, Mut?" tanya Damar seraya menegakkan tubuh menghadap ke arah datangnya sang istri.

Mutia tersenyum manis membuat senyum Damar pun merekah.

"Apa kamu sudah selesai datang bulan dan sekarang sedang menginginkan adu gabrut?" tanya Damar tersenyum nakal menggoda Mutia.

Mutia terdiam tapi senyum masih tetap terkembang di bibirnya. Langkah nya semakin mendekat ke arah Damar.

Kini jarak Mutia dengan Damar hanya berjarak sebahu. Mereka berdiri saling berdekatan dan bertatapan intens.

Melihat Mutia yang hanya diam saja memandanginya, Damar merasa ada sesuatu yang salah. "Ada apa sih? Kok kamu aneh gini?" tanya Damar.

"Aku menemukan ini di saku celana kamu. Untuk apa alat ini, Mas? Bukan kah selama kamu main sama aku, kita sudah sepakat tidak memakai alat ini?" tanya Mutia dengan dengan meraih tangan Damar dan meletakkan alat pengaman itu di telapak tangan suaminya.

Suami nya mendelik saat melihat benda dalam sachet yang masih utuh itu.

"Kamu .... dapat benda ini darimana?" tanya Damar. Suaranya tercekat.

"Dari celana kamu, Mas. Hayo kamu ngapain dengan benda ini? Bukankah kita selama ini tidak pernah memakai alat ini saat berhubungan?" tanya Mutia. Matanya menatap suaminya dengan penuh selidik.

Damar terdiam sejenak dan menatap wajah Mutia balik.

"Oh, itu Mut. Jadi gini, kita kan selama menikah sepuluh bulan, belum pernah sekalipun memakai pengaman kayak gini. Aku jadi pengen mencoba. Yah, ingin sebagai variasi saja sih. Masa gitu-gitu saja. Kan nggak seru? Kamu kan juga pengen gaya dan cara baru saat melakukan nya?" tanya Damar balik mencoba meyakinkan Mutia.

"Hm, kamu ingin gaya dan cara baru atau ingin pasangan baru, Mas? Kamu kan nggak pernah mengkomunikasikan hal ini sebelum nya dengan ku? Jadi wajar dong aku kaget saat menemukan benda ini di saku celana kamu?"

Wajah Damar memerah. Dia merasa tidak mudah mengelabui Mutia.

"Maksud omongan kamu barusan apa, Mut? Pasangan baru gimana? Kamu nuduh aku selingkuh padahal kita kan selalu bersama-sama? Aku selalu tidur sama kamu lho tiap malam. Jangan sembarangan overthingking deh, Mut. Aku nggak suka dan merasa dicurigai kayak maling, tahu nggak sih? Nggak percaya banget sama suami sendiri!"

Damar membuang pengaman itu ke tumpukan daun yang telah disapunya lalu berjalan cepat seraya menyenggol bahu Mutia dengan kasar. Mutia memejamkan mata. Membiarkan saja suaminya berjalan menjauhinya.

"Hm, dia marah karena tidak mau ketahuan selingkuh? Baiklah Tuan Damar, mari kita bermain-main dahulu dengan cinta. Aku tidak akan menangis lagi karena cinta. Karena cinta hanya permainan perasaan saja," sahut Mutia lalu berjalan kembali ke dalam rumah.

Mutia segera memasukkan seluruh baju kotor ke dalam mesin cuci. Seraya menunggu cuciannya selesai, Mutia segera menyapu dan membereskan rumah. Dia tidak menemukan Damar dimanapun. Tapi Mutia tidak peduli. Perempuan itu melirik ke arah jam yang menempel di dinding ruang tengah. Sudah jam 8 rupanya.

Mutia segera menjemur cuciannya di atap rumah. Dan dia menjumpai Damar yang merokok dengan santai di sana seraya mengotak-atik ponselnya.

Melihat Damar yang membuang muka saat dia datang, sebenarnya hati Mutia terasa sakit. Tapi dikuat-kuatkanya hatinya melihat suaminya yang masih asyik bercumbu dengan rokok dan ponsel dari pada menyapanya apalagi membantu nya.

Mutia sudah selesai menjemur saat dia akan turun ke lantai satu, dia menoleh sekilas kearah sang suami.

'Aku pernah membaca sebuah buku yang mengatakan jika kamu bermain-main drama dengan perasaan seseorang, maka bersiap-siaplah untuk memainkan sebuah peran yang dinamakan karma. Tunggu saja, Mas.'

Mutia lalu turun ke lantai bawah dan bersiap-siap untuk menemui Aksara di kafe Gardenia.

Mutia keluar dari kamarnya dan menoleh ke seluruh penjuru lantai satu. Tidak terlihat penampakan suami nya dimanapun.

"Ah, sudahlah. Tidak usah bilang kalau mau keluar. Percuma. Mas Damar juga sedang asyik dengan ponselnya," gumam Mutia. Padahal dia sudah menyiapkan alasan dia pergi keluar rumah. Tapi ternyata alasan itu tidak diperlukan karena Damar sedang mendiamkan nya.

Maka Mutia pun yang sekarang mengenakan kaus lengan pendek warna merah hati dan celana panjang warna putih pun segera keluar dari rumah Larasati.

Diperiksanya ponselnya. Memastikan riwayat panggilan dan seluruh chat dengan Aksara sudah dihapusnya semalam. Dan untung saja semalam sebelum tidur, dia juga sudah mengingatkan Aksara agar tidak menghubungi nya dahulu, sebelum Mutia yang memulai chat dengan Aksara.

Mutia pun memesan gocar untuk menuju ke kafe Gardenia. Tak lupa dia menelepon Aksara saat sudah berada di dalam mobil.

"Halo Pak Aksara, saya sedang menuju ke kafe Gardenia sekarang. Saya harap bapak juga datang tepat waktu."

"Baiklah. Saya sudah reservasi meja dengan nomor 23."

**

Mutia melangkah kan kaki memasuki kafe Gardenia. Ditatapnya seluruh ruangan dengan seksama. Dicarinya meja nomor 23 sesuai tempat reservasi yang dijanjikan oleh Aksara.

Mutia tersenyum saat melihat sesosok laki-laki yang sedang menoleh ke arah jendela kafe yang terbuka lebar. Meja nomor 23 itu ternyata dekat dengan jendela. Dan Aksara memilih tempat duduk menghadap ke arah jendela. Membelakangi pintu masuk.

"Selamat pagi, Pak Aksara," sapa Mutia sambil tersenyum.

Aksara menoleh dan membalas senyuman Mutia. Tangannya menunjuk ke arah kursi di hadapannya.

"Sudah lama menunggu saya?" tanya Mutia basa-basi.

Aksara menggeleng kan kepalanya. "Tidak lama kok. Untuk informasi yang berharga dari mbak Mutia. Jadi sekarang, silakan jawab pertanyaan dari saya semalam, karena dari pertanyaan semalam akan memunculkan berbagai pertanyaan lain. Dan juga berapa harga informasi yang mbak Mutia minta dari saya."

Mutia menatap seksama ke arah dokter di hadapannya sebelum menanggapi ucapan dokter tersebut.

"Saya akan menjawab secara langsung. Pertama pak Andi adalah seorang suami dari majikan saya yang bernama Larasati."

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status