Mutia menyingkir dari ruang tengah. Dan berjalan melewati pintu kaca menuju ke taman tengah yang ada kolam renang nya.
Suasana malam yang sepi dengan diterangi lampu taman dan sinar bulan membuat hati Mutia sedikit menjadi sentimentil. Dia masih ingat saat dia berbahagia dengan Damar sebelum memergoki suaminya selingkuh.Ponsel Mutia masih berdering saat dia melangkah menjauh dari pintu ruang tengah. Mutia memilih duduk di pinggir kolam yang berhadapan dengan pintu masuk ruang tengah. Jadi kalau Damar muncul dari ruang tengah, Mutia bisa langsung mengetahui nya."Halo." Akhirnya Mutia menerima panggilan dari Aksara."Hhhh, mbak Mutia. Ada yang ingin saya tanyakan. Hhh."Mutia mengerut kan dahinya keheranan saat mendengar suara Aksara yang terengah-engah dari seberang telepon.Pikiran Mutia langsung mengelana jauh dan perempuan itu hanya bisa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya."Maaf pak Aksa, kalau sedang bersama istrinya, jangan telepon saya sekarang. Besok saja sepertinya lebih baik.""Hhhhh, apa maksud kamu? Kok bisa istri sih? Pacar saja belum ada. Hhh.""Lha, tapi suara pak Aksa itu membuat orang berpikir bapak sedang melakukan yang iya-iya lho. Bapak sedang apa sih?" tanya Mutia akhirnya to the point.Hening sejenak. Hanya suara nafas memburu yang sedang terdengar dan berusaha untuk ditenangkan oleh sang pemiliknya. Lalu setelah hening sejenak, mendadak terdengar suara tawa yang keras."Hahaha, mbak Mutia. Saya tidak sedang melakukan apa yang mbak pikirkan. Saya sedang lari diatas treadmill saat mbak mengirimkan foto tadi.""Pak Aksa sedang berlari di treadmill?" tanya Mutia membeo ucapan Aksara."Iya. Ini!"Aksara mengirim foto dirinya yang sedang berada di atas treadmill."Jadi saya enggak sedang melakukan apa yang mbak Mutia tuduhkan.""Oh, ya Pak Aksa, maaf."Aksara tertawa. "Kalau Mbak Mutia benar-benar ingin minta maaf, mbak Mutia bisa menjawabnya beberapa pertanyaan saya.Satu, kenapa tadi mbak Mutia mengaku pernah melihat papa saya? Dua, darimana mbak Mutia mendapatkan foto pernikahan Papa saya? Tiga, siapa perempuan yang berada di foto itu?""Pertanyaan nya banyak sekali, Pak," sahut Mutia. "Saya akan menjawab nya, tapi ada syaratnya.""Oh, baiklah. Saya tahu dan saya akan bersikap profesional kok. Saya tahu semua Informasi pasti ada harga nya. Jadi mbak Mut tinggal menyebutkan berapa harga yang harus saya bayar untuk pertanyaan itu dan pertanyaan lain yang akan saya ajukan lain waktu.""Saya tidak bisa bicara di telepon sekarang. Apakah besok kita bisa bertemu? Saya akan menjelaskan semua nya beserta harga untuk informasi nya.""Wah, baiklah. Rupanya Mbak Mutia lebih cerdas dan lebih pro daripada kelihatan nya."Mutia tertawa. "Ya. Tentu saja. Meskipun saya lulusan SMA, tapi saya suka sekali membaca. Terutama karya tentang detektif dan penyelidikan karya penulis Aksara Novela."Suara di seberang menjadi hening sesaat. "Mbak Mutia ... tahu nama pena mama saya?" tanya Aksara dengan nada terkejut. "Padahal sudah tiga tahun, mama berhenti menulis.""Tentu saja saya tahu. Bagaimana saya tidak tahu wajah penulis favorit saya?""Baiklah. Kalau begitu besok kita akan bertemu di kafe Gardenia di dekat rumah sakit Sinar Kasih. Bagaimana mbak Mutia? Bisa kan?""Ya. Saya bisa. Jam berapa?""Sekitar jam 9 pagi.""Baiklah, pak Aksa. Saya akan mengusahakan untuk datang."Aksara pun mengakhiri panggilan teleponnya. Mutia menghela nafas panjang.Dia memeluk kedua lututnya di lantai kolam renang yang dingin. Kenangan nya berputar kembali beberapa bulan sebelum suaminya selingkuh.Dulu saat rumah sedang kosong karena Larasati dan Damar sedang berbulan madu, Damar dan Mutia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk meraup kebahagian berhubungan di saat rumah itu kosong.Mutia jadi teringat saat dia dan Damar melakukan nya di pinggir kolam. Dengan sumringah dan penuh canda tawa, mereka saling mencumbu dan merayu.Mutia mengigit bibirnya. Rasa sakit mendadak terasa mencubit hatinya. Perlahan tapi pasti kaca-kaca di matanya meleleh, mengalir menjadi tetesan air mata di pipi."Mas Damar, kamu kok tega sih? Padahal aku mencoba bertahan dalam segala kesulitan keuangan kita. Tapi kamu malah main gila sama Bu Laras," gumam Mutia lirih.Perempuan itu memasukkan kepalanya diantara kedua tangan yang ditangkupkan di kedua lututnya. Menangisi nasibnya perlahan.Beberapa saat berlalu sampai Mutia merasa lega. Perlahan diusapnya air mata. "Baiklah Mas, kalau kamu mengajakku bermain api, kamu akan menjumpaiku menang tanpa terbakar sedikitpun. Aku akan menangisiku sekali.Dan selanjutnya kamulah yang akan menangisi kepergianku. Kamu akan menyesal telah kehilangan aku yang hanya meminta waktu dan setiamu saja!"Mutia berdiri, mengibaskan celananya sekilas lalu berjalan masuk ke dalam ruang tengah kembali.Dia duduk di ruang tengah dan membuka akun F******k milik Aksara sekali lagi. Dilihatnya foto keluarga Aksara.Aksara yang mempunyai kembaran saudara perempuan, pasti namanya Novela. Karena Mawar Setyorini adalah nama asli dari nama pena Aksara Novela. Penulis cerita detektif anak-anak dan remaja favorit nya. Dulu saat sekolah, Mutia yang hobi membaca, pernah melihat di halaman belakang buku cetak serial detektif di perpustakaan sekolah nya.Ada foto dan nama pena penulis favorit nya di halaman paling belakang buku-buku itu. Dan foto penulis favorit nya itu tak salah lagi, dia adalah Mawar, istrinya Andi. Sayangnya, dulu dia tidak bisa menjumpai nama asli Aksara Novela. Dan sekarang, Mutia paham kalau nama pena penulisnya diambil dari nama kedua anaknya dengan pak Andi.Saat itu, Mutia tidak terpikirkan untuk mencari tahu tentang nama asli sang penulis. Dia hanya tahu dan kagum tentang buku-buku nya. Siapa yang menyangka kini Mutia akan berurusan dengan masalah pribadi sang penulis favorit nya?***Mutia mengambil celana dan bajunya serta baju Damar yang tergantung di paku belakang pintu kamarnya.Hari ini jadwal Mutia mencuci baju. Damar sedang merapikan rumput di taman depan. Mutia masih berusaha untuk menyapa Damar seolah-olah dia belum tahu apapun tentang perselingkuhan suaminya.Gerakan tangan Mutia terhenti saat dia meraba saku celana Damar. Tangannya seperti meraih sesuatu. Ditariknya tangan nya dan dia pun tercengang. Satu alat pengaman pria yang masih utuh dan bersegel dalam sachet seolah mengejeknya.Mutia hanya bisa menghela nafas berat. Dia dan Damar memang telah sepakat menunda kehamilan dengan minum pil KB yang didapat setelah periksa di puskesmas sampai tabungan nya dirasa cukup. Dan selama ini Damar tidak pernah menggunakan pengaman saat berhubungan dengan nya. Jadi Mutia langsung paham, dengan siapa Damar menggunakan alat pengaman pria itu."Wah, segitu niatnya kamu untuk selingkuh, Mas. Tunggu saja hari ini semua akan berakhir, Mas Damar!"Next?Mutia meremas alat pengaman pria itu dengan gemas di tangan kanannya. "Hm, lebih baik aku coba tanya saja untuk apa dia menyimpan benda ini. Aku cuma penasaran apa kira-kira jawaban dari mas Damar," gumam Mutia sambil keluar dari kamarnya. Mutia mendekati Damar yang masih rajin menyapu taman tengah, mengumpulkan daun pohon mangga yang berguguran dan memotong daun-daun tanaman Kamboja favorit Larasati. Mutia menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengamati beberapa tanaman bunga Kamboja yang ditanam secara bonsai di dalam pot. 'Kok bisa sih Bu Laras menanam bunga kuburan ini di taman tengah. Pantas saja kelakuannya seperti demit. Bunga kesukaan nya saja banyak tumbuh di kuburan,' batin Mutia. Mutia mendekat ke arah suaminya itu. Tangannya yang memegang alat pengaman pria itu bersembunyi di balik punggung nya. "Mas Damar."Mutia tersenyum manis membuat Damar mengehentikan kegiatan nya menyapu. Lelaki itu membersihkan keningnya yang berkeringat. "Ada apa, Mut?" tanya Damar seraya mene
*Jangan membuat perempuan yang kamu cintai menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada lelaki lain yang membantu mengusap air matanya. **Aksara menatap Mutia tak percaya. "Lalu apa jawaban dari dua pertanyaan lainnya semalam?"Mutia menghela nafas. "Satu, kenapa saya tidak jujur saat pak Aksa bertanya kemarin pagi kan?"Aksara mengangguk. "Saya memang tidak menjawab dengan jujur kemarin karena di sekitar rumah Bu Larasati banyak sekali asisten rumah tangga julid. Yang saya takutkan adalah diantara mereka ada mata-mata atau mulut yang tukang ngadu kalau saya jawab dengan jawaban yang jujur. Karena itu saya berbohong, dengan harapan pak Aksa cepat pergi dari kompleks perumahan itu untuk menghindari adanya kemungkinan mata-mata."Aksara tersenyum mendengar jawaban Mutia. "Kamu kayaknya terlalu banyak baca buku atau nonton film mafia deh, Mbak."Senyum Mutia terkembang. "Betul! Saya memang suka sekali nonton film dan tivi, termasuk novel karya Bu Mawar atau Aksara Novela," sahut
"Halo, Pak Alex. Saya terima tawaran dari bapak."Mutia dan kedua anak Mawar hanya bisa menatap Mawar yang sedang menelepon. Mereka tidak bisa ikut mendengarkan pembicaraan selengkapnya karena Mawar tidak mengaktifkan loud speaker nya. "Untuk instruksi lebih detailnya, lebih baik bapak ke rumah saya saja."Jeda sejenak. Mawar terlihat sedang serius mendengarkan suara dari seberang telepon."Iya. Kira-kira seperti itu. Baiklah. Saya tunggu segera."Mawar pun mengakhiri panggilan teleponnya. "Siapa itu, Ma?" tanya Aksara penuh rasa ingin tahu."Pak Alex."Mata kedua anaknya membeliak. "Pak Alex teman sekolah mama yang jadi detektif swasta itu?" tanya Novela. Mawar mengangguk. Sementara Mutia masih berusaha mencerna pembicaraan keluarga di hadapannya. "Wah, mbak Mutia penasaran rupanya. Baiklah. Saya akan menjelaskan secara garis besar. Jadi setelah saya mulai mencium perselingkuhan suami, saya dan anak-anak mulai melakukan penyelidikan diam-diam tanpa ingin melibatkan orang luar ter
"Mbak Mut? Siapa yang telepon? Kok wajah kamu jadi berubah muram seperti itu?" tanya Aksara saat melihat ekspresi wajah Mutia yang sukar dilukiskan. Mutia menatap ke wajah Aksara dan layar ponselnya bergantian. "Suami saya menelepon," sahut Mutia lirih. "Ya sudah, Mbak Mut terima saja panggilan telepon nya.""Tapi sepertinya saya tahu kenapa dia menelepon saya," sahut Mutia seraya menghela nafas. "Emang kenapa suami mbak Mutia telepon?" "Mungkin dia kesal karena saya belum membuat sarapan untuknya dan saya menyembunyikan rokoknya," sahut Mutia tertawa. Aksara tercengang. "Mbak Mutia ini ada-ada saja."Mutia tersenyum. "Sekali-kali laki-laki yang berkhianat dan tidak menghargainya wanita nya perlu diberi pelajaran lah, Pak. Agar mereka tahu dan sadar diri. Belum bisa menafkahi istri dengan layak bahkan istri sudah membantu cari uang kok sok-sokan selingkuh. Kan lebih baik dikarungin terus diberikan ke pegadaian?" tanya Mutia tertawa. Aksara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
"Mama, tidak apa-apa?" tanya Novela saat Mawar terhuyung setelah menutup telepon dari Alex. Mawar memegang pangkal hidungnya. Kepalanya berdenyut nyeri dan pandangan matanya mendadak kabur. Aksara dengan sigap menyangga tubuh Mawar dan memapahnya nya ke ranjang. "Nov, buatin mama teh hangat dan gorengkan nugget ayam. Nggak usah bangunin mbok Sumi, kelamaan. Aku mau ngambil tensimeter dulu dan CGM* dulu.""Oke." Novela membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar sang Mama. Sementara itu Aksara menatap sang mama yang masih memegangi kening. "Mama, tunggu di sini dulu. Aksa periksa kondisi mama, baru kita berangkat. Mama tenang ya. Tidak perlu terburu-buru. Aksa dan Nova selalu ada untuk mama."Mawar terdiam dan Aksapun melesat keluar dari kamarnya untuk menuju ruang tengah. Aksara memang menyimpan tensimeter, termometer, dan beberapa alat kesehatan serta obat pertama dasar yang dibutuhkan saat sakit di kotak P3K ruang tengah. Diambilnya tensimeter dan CGM lalu segera menuj
"Apa?!" Wajah Andi terkejut dan sontak menatap ke arah Larasati di sampingnya. Larasati mendelik dan menatap ke arah Mawar yang berdiri tegak di hadapannya. "Nggak Mas, aku hanya punya kamu. Aku hanya tidur dengan kamu, sungguh! Si tua ini berusaha mengadu domba kita. Sebaiknya kamu ceraikan saja dia, Mas. Dan kita bisa menikah!" seru Larasati menatap tajam ke arah Andi. "Bagus lah. Tidak masalah siapapun yang mengajukan cerai ke pengadilan agama. Toh, kita tetap akan berpisah. Jangan lupa kita bicarakan lagi hal ini lebih lanjut, Mas. Aku cuma butuh foto dan video kalian untuk ke pengadilan agama.""Mawar, tunggu! Kalau kamu menggugat cerai aku, aku akan menuntut mu ke pihak berwajib karena penghinaan dan pelanggaran privasi, Mawar!"Mawar tertawa. "Lalu apa mau kamu, Mas? Apa kamu mau aku tetap ada di sisi kamu sementara Larasati juga menjadi istrimu?" "Aku sudah menikahi Larasati dengan sah walaupun siri. Terimalah dia sebagai adik madumu!""Wah, kamu serakah ya? Sudah mempunya
"Maaf Pa. Keluarga kita sudah tidak utuh lagi saat papa selingkuh dan menikah lagi dengan perempuan lain. Papa anggap apa kami ini?" tanya Novela menahan rasa sesak di dada melihat laki-laki yang paling dia percaya bisa mengkhianati ibunya. "Aksa, bagaimana dengan kamu?! Kamu mau kan kita tetap bersama?""Tidak Pa. Saya yang laki-laki saja mual dengan tindakan papa. Jadi papa lebih baik pergi dari sini sebelum saya melakukan hal-hal anarkis pada Papa karena papa telah menyakiti mama."Andi tercengang. Dia memang sudah kehilangan seluruh keluarga nya. Lelaki itu terdiam. Suasana hening seketika. "Jadi kamu tetap pada keputusan kamu untuk berpisah, Mawar? Baiklah. Tapi aku minta jaminan!""Jaminan? Jaminan apa? Kenapa justru pelaku yang meminta jaminan? Dasar kamu ini, Mas," sahut Mawar dengan menghela nafas panjang. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak menyebarkan berita buruk tentang ku, tentang video, foto, atau surat pernikahan keduaku.Kamu boleh menggugatku dan mengirimkan bu
Beberapa saat sebelum nya,"Mbak Mutia, tunggu!"Mutia yang sedang berjalan menuju pintu keluar kafe dengan membawa kotak makanan sterofoam menoleh saat mendengar panggilan dari Aksara. "Ada apa, Pak?" tanya Mutia heran melihat Aksara berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Mutia. "Ada yang ingin saya bicarakan, Mbak Mut. Mendadak sekali ide saya datang. Apa mbak Mutia nggak keberatan jika harus duduk lagi dengan saya?"Mutia berpikir sejenak. "Nggak apa-apa, Pak. Kalau bapak ada ide yang lebih baik untuk keluarga bapak dan saya bisa bantu, saya akan berusaha membantunya," jawab Mutia seraya berjalan ke arah tempat duduknya kembali. Aksara pun duduk kembali di depan Mutia."Bukan hanya rencana untuk keluarga saya. Tapi juga saya pikir terbaik untuk mbak Mutia. Jadi kita bisa meraih win-win solution."Mutia mengerut kan keningnya. "Win-win apa tadi, Pak?""Oh, win-win solution. Semacam simbiosis mutualisme. Masih ingat kan dengan pelajaran biologi. Hubungan saling menguntungkan,