"Ini mobil siapa, Gar?" Viana menatap mobil BMW X3 berwarna hitam di parkiran sekolah. Dia terkejut saat Sagara dengan mudahnya membuka kunci mobilnya."Mobil Satya! Gue pinjem dulu buat nganterin lo pulang!"Sagara masih dengan rangkulannya pada bahu Viana. Dia membawa Viana mendekati kuris penumpang. Sagara melepaskan rangkulannya pada Viana, lalu membukakan pintu untuk Viana. "Cepet masuk, Vi!" Sagara mempersilahkan Viana untuk masuk ke mobil dengan segera. Ini pertama kalinya Sagara bersikap seperti ini. Membukakan pintu mobil hanya pada Viana saja. "Hah?" Viana seperti orang linglung. Dia menatap Sagara menuntut penjelasan. Dia beneran tidak mengerti, untuk apa Sagara meminjam mobil pada Satya jika Sagara saja membawa motor pagi ini."Apanya yang 'hah'?"Sagara mernyengitkan alisnya bingung. Kenapa Viana diam saja tidak segera masuk? Dia mulai kesal dengan tatapan para murid yang kini memperhatikan Sagara dan juga Viana. Mereka benar-benar manusia dengan tingkat kekepoan pal
"Oh, Tuhan!" Viana mundur 2 langkah saat membuka loker miliknya kumpulan kertas berjatuhan seketika. Viana menutup hidungnya dengan rapat kala bau busuk memasuki indra penciumannya. Viana membungkuk memungut gumpalan kertas yang jatuh di dekat sepatunya. Dia membukanya, lalu mernyengir bingung membaca kalimat yang tertulis dengan tinta merah."Kamu mati?" Viana meremas kembali kertas tersebut seperti semula. Dia melirik sskitar yang memperhatikan Viana. "Apa sih, isi lokernya kenapa bau busuk banget?" Bisikan salah satu siswi yang berdiri di ujung dapat di dengar oleh Viana. "Nggak tau! Pergi aja, yuk!" Siswi satunya segera menarik temannya untuk pergi dari sini. Tak tahan dengan bau busuk yang berasal dari loker Viana. Kedua siswi itu saja tidak tahan, bagaimana dengan Viana?Perut gadis itu sudah bergejolak sejak tadi, rasanya mual sekali mencium bau busuk dari dalam lokernya. Sambil menahan rasa mual, Viana mengeluarkan semua gumpalan kertas dari dalam loker. "Sialan!" Via
"Buku sejarah saya ketinggalan di rumah. Makanya saya mau Mabil buku di loker, saya kaget pas pertama kali buka gumpalan kertas langsung keluar."Viana menarik napas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya lagi. "Saya nyium bau busuk dari dalem loker, pas saya keluarin semua kertas itu saya kaget pas liat ada bangkai tikus!"Viana meremas ujung rok yang dikenakannya. Dia masih dilanda rasa syok dengan apa yang dia alami pagi ini. Siapa yang tega mengirim bangkai tikus di lokernya?"Loker kamu isinya apa aja sebelumnya?" Bu Ajeng menatap muridnya yang kini masih terlihat gemetar, tapi tak separah tadi. "Saya jarang buka loker, Bu selama ini. Saya juga cuma naruh buku tulis satu aja di sana!" Viana dengan cepat menjawab pertanyaan Bu Ajeng. Semua pertanyaan berputar di kepalanya, dia memikirkan siapa pengirim bangkai tikus tersebut. Saat ini Viana memiliki banyak pembenci di sekolah, tapi dia tidak bisa asal menuduh salah satu dari mereka yang mengirimkan teror pagi ini.Bu Ajeng mern
"Di tunggu di depan ruko sebrang SMA Galaksi!" Viana membaca sederet pesan yang dikirimkan oleh nomor asing dua menit yang lalu. Saat ini waktu masih menunjukan pukul 02.10 kota Swinden, masih ada 20 menit sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Kebetulan sejak jam pelajaran ke-5 tidak ada guru yang mengajar. Para guru sedang rapat untuk Ujian nanti, jadi seluruh kelas sedang jam kosong. Bahkan mereka pada ke kantin bermain basket di lapangan begitu bebas. "Siapa?" Kanara melirik Viana sambil memakan kentang goreng yang baru dia beli dari kantin. "Bukan siapa-siapa! Biasalah nomer asing cuma minta save doang!" Viana meletakan ponselnya di kolong meja. Dia tidak begitu menanggapi pesan misterius itu. Dia tidak peduli, karena hal yang lebih penting adalah memikirkan siapa yang mengirim bangka tikus di lokernya. "Anak mana lagi?" Kanara mengunyah kentang goreng i dalam mulutnya, lalu menelannya dengan pelan. Sahabat Viana yang lainnya sibuk membuat konten di depan kelas. Entah
"Gara, kenapa lo masih di sini?"Kanara yang melihat Sagara masih berada di parkiran segera mendekat. Kanara mampir ke perpustakaan dulu untuk meminjam buku paket biologi. Sagara mengalihkan pandang dari layar ponselnya. Dia menatap Kanara dengan bingung kala melihat gadis itu datang seorang diri. "Viana di mana?" Kanara mengerutkan dahinya bingung. "Viana kan pulang bareng Ravin, dia emang nggak ngomong sama lo?" Sagara terdiam mendengar ucapan Kanara. Bukannya mereka sedang ribut? Terus kenapa tiba-tiba sekarang mereka pulang bersama? Sagara mengangguk setelahnya. "Oke, makasih!"Sagara segera memakai helm full face miliknya. Kemudian menyalakan mesin motornya untuk segera keluar dari parkiran sekolah. Kenapa Viana tidak memberitahunya jika ingin pulang bersama Ravin? Dia sudah menunggu Viana di parkiran dari 15 menit yang lalu. Waktunya terbuang sia-sia begitu saja. "Sialan!" Sagara tiba-tiba berteriak kesal. Dia juga mempercepat laju motornya, sampai getaran pada ponselnya
"Maaf, saya gue nggak sengaja!" Sagara menunduk membantu seorang perempuan yang terjatuh di depannya. Dia bisa saja bersikap tidak peduli dan melanjutkan langkahnya. Namun, melihat perempuan yang dia tabrak saat berada di koridor rumah sakit itu terlihat pucat. "Lo nggak papa, kan?"Sagara menatap perempuan yang berdiri di depannya. Wajah perempuan itu tampak tak asing di penglihatannya. Seperti pernah bertemu tapi tidak tahu di mana."Nggak papa, makasih, ya!" Perempuan itu ingin berbalik pergi, tapi Sagara menahannya. "Muka lo pucet, lo yakin bisa balik sendiri?" Sagara bisa menebak jika perempuan itu sakit dan datang ke rumah sakit seorang diri."Nggak sendiri, kok! Gue dateng sama temen!" Agatha Quinta— 18 tahun, dari penampilannya tidak terlihat seperti perempuan berusia 18 tahun. Pakaian yang dikenakan Agatha sangat terbuka dengan warna dress yang begitu menyala.Sagara mengangguk. Dia berpamitan untuk melanjutkan langkahnya menuju ruangan Alin yang berada di lantai 3. Di
"Gar! Kenapa lo tiba-tiba ngumpulin kita kaya gini?" Satya menatap seluruh markas yang hampir seluruh anggota kumpul di sini. Tidak biasanya Sagara mengumpulkan mereka seperti ini."Viana diculik!" Sagara yang kini duduk di sofa tunggal dengan gelisah sambil menunggu anggota lain yang sedang dalam perjalanan."Hah? Maksudnya gimana, njir?" Kenzo menyalakan ujung rokoknya menggunakan pematik yang dia pinjam dari Satya. Rokok adalah obat untuk meredakan stress dan kegelisahan meskipun hanya beberapa saat saja. Danish yang baru saja datang mengambil duduk di samping Satya."Sama siapa? Terus kenapa jadi semua anggota dikumpulin kaya gini?" Sagara menghembuskan napas panjang untuk mengurangi kegelisahan yang dia rasakan sejak tadi. Dia bangkit berdiri membuat anggota lainnya pun ikut berdiri. Sagara menatap mereka satu persatu dengan serius. "Mulai hari ini Viana Rajendra, dia adalah ratu di geng Verdon!" ujar Sagara telak tak terbantahkan. Seluruh anggota geng Verdon tampak terkeju
"Gue punya pertunjukan buat lo, Gar!" Zaidan melangkah mendekati Sagara yang masih duduk di atas motornya. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Lalu, membuka sebuah video dan ditunjukan pada Sagara.Sagara menerima ponsel Zaidan. Dia reflek melempar ponsel Zaidan ke tanah dengan kuat membuat ponsel itu hancur. Sagara begitu emosi saat melihat isi video di mana Viana disiksa oleh Raditya saat gadis itu mengelak hubungannya dengan Sagara.Sagara turun dari atas motornya. Lalu, menerjang Zaidan dengan pukulan. "Bajingan! Di mana ketua Lo nyekap Viana bangsat?!"Satya dan anggota geng Verdon lainnya turun dari motor. Begitupun dengan anggota yang dibawa oleh Zaidan. Detik itu juga pertarungan antara kedua geng motor terjadi."Lo nggak bakal bisa nemuin pacar lo itu!"Zaidan membalas pukulan Sagara tak kalah kencang. Dia terus memberi pukulan yang ditangkis oleh Sagara. Sesama anggota mereka saling memukul dengan jumlah yang sebanding. Sehingga pertarungan itu seimbang. Mereka me
"Lo itu emang anjing, ya?!" Agatha berjalan mendekati sosok perempuan dengan seragam khas SMA Galaksi. Tatapan Arga menunjukan kemurkaan yang tak bisa ditahan lagi. "Gimana hadiah gue? Lo seneng, kan?" Rachell yang menyadari kedatangan Agatha dari balik dinding belakang SMA Galaksi. Dia sudah menunggu wanita hamil itu sejak dua belas menit yang lalu di belakang gedung SMA Galaksi yang terdapat sebuah gang kecil. Di mana ujung gang terdapat sebuah warung makan yang biasa menjadi tempat tongkrongan geng Verdon. Agatha yang murka dengan Rachell. Mengangkat tangannya bersiap untuk menampar wajah angkuh gadis yang merupakan mantan sahabatnya itu. Namun, sebuah tangan kekar menahan pergerakan Agatha. Satya Mahendra— dia yang sejak tadi mengawasi interaksi singkat antara Agatha dan Rachell yang hanya lima menit saja. Segera mendekat saat melihat wanita itu ingin menyakiti gadisnya. "Jaga tangan lo, jalang!" desis Satya dengan nada tajam dan menusuk. Agatha membelalakkan matanya saat m
"Kemarin, gue diculik sama Agatha. Gu—""What the hell?" Teriakan Rachell dan Seyra secara bersamaan menghentikan kalimat Viana yang kini menggantung di udara. Viana kembali menatap kedua sahabatnya yang berada di hadapannya dengan ekspresi datar. Keduanya itu terlaluwbay sejak tadi, tenggorokannya tidak merasakan sakit kah? Sejak tadi berteriak terus seperti Tarzan. Rachell yang biasanya alim, kini ikutan gila seperti Seyra. Apakah karena tidak diberi kabar oleh dirinya semalam membuat keduanya seperti ini?"Brengsek! Jadi, ini alasan muka Lo luka-luka kaya gini?" Seyra segera mendekat pada Viana, dia meraba pelan wajah Viana yang dipenuhi oleh lebam. Tapi dengan cepat sahabatnya itu menepis tangannya dengan pelan. Viana mengangguk. Membuat atensi Rachell menatap wajah Viana dengan tubuh yang dia condongkan agar lebih dekat dengan Viana."Ceritain secara jelas ke kita, Vi!" Dari nada bicara Rachell terdengar menuntut. Ekspresi wajah gadis itu berubah serius dengan sorot mata ya
"Viana, kenapa nomor lo nggak bisa dihubungin, sih? Bikin orang khawatir aja, sih, Viana Rajendra!"Rachel segera menyerbu Viana dengan kalimat yang sudah dia siapkan sejak tadi. Dia menarik gadis yang berstatus sebagai sahabat dekat yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri agar duduk di sampingnya. Seyra yang tengah merapihkan buku-buku pelajaran dan peralatan sekolah lainnya di dalam tas. Segera mendekat pada sahabatnya yang sudah membuat dirinya khawatir semalaman. "Dari mana aja, sih, lo?" Seyra berdecak pelan sambil mengambil duduk di depan meja Viana dan Rachell. "Hoby banget bikin orang panik!"Viana tidak langsung menjawab. Dia terlalu bingung untuk menjelaskan apa yang terjadi padanya kepada Rachell dan juga Seyra. Kedua sahabatnya itu berhak tahu atas apa yang dia alami kemarin. Viana selalu menceritakan apa yang terjadi padanya kepada kedua sahabatnya. Terkecuali pernikahannya dengan Sagara dan juga pernikahan Arthur dengan Alisha. Viana bangkit dari duduknya. Membu
"Makasih, udah mau berbagi keluh kesah kamu ke aku, Na."Sagara menarik Viana ke dalam dekapan hangatnya dari samping. Dia mengusap punggung sang gadis dengan lembut. Dia merasa senang Viana bisa terbuka seperti ini padanya. Dia tidak pernah berpikir sedikitpun bahwa dirinya dan Viana akan berada di moment seperti ini. Viana yang selalu bersikap angkuh dan mempertahankan gengsinya yang begitu tinggi. Bisa mengeluarkan air matanya di depan dirinya, bahkan gadis itu menunjukan kerapuhannya yang selama ini disembunyikan oleh wajahnya yang datar dengan kedua mata yang selalu menatap siapapun dengan sinis. Mini tatapan Viana berubah menjadi rapuh, dengan derai air mata yang mengenang di pelupuk matanya. Gadis angkuh yang ditakuti oleh semua murid di SMA Galaksi menunjukan sisi rapuhnya pada Sagara. Gadis itu menyimpan banyak luka di balik wajahnya yang angkuh. Viana selalu menunjukan bahwa hidupnya bahagia, nyatanya jauh dari semua itu. Tanpa sadar mendengar cerita pilu Viana, hati Saga
"Jadi, Papa nikah sama Tante Alisha di belakang aku selama ini. Pantes aja Papa jarang pulang ke rumah dan lebih milih buat netap tinggal di kota Luton dengan alasan pekerjaan." Tangan Sagara terus mengusap bahu Viana yang berada dalam rangkulannya dengan lembut. Telinganya dia pasang untuk mendengarkan cerita Viana. Saat ini dirinya dan Viana masih berada di kamar gadis itu. Atas permintaan Viana sendiri yang meminta pada dirinya untuk menemani Viana di dalam kamar. Selama pernikahan mereka ini pertama kalinya untuk Sagara dan juga Viana berada di dalam satu kamar yang sama. Apalagi ini kamar utama milik Viana, gadis itu yang melarang keras dirinya untuk tidak memasuki kamarnya sembarang. Ruangan itu tidak begitu luas, tapi tertata rapi dan nyaman. Dindingnya didominasi warna putih bersih, dihiasi dengan beberapa lukisan abstrak bernuansa pastel. Sebuah tempat tidur queen size dengan sprei katun halus berwarna biru muda berada di tengah ruangan, dihiasi dua bantal empuk dan sebuah
"Gara, aku minta maaf atas ucapan Papa."Viana menatap Sagara yang duduk membelakangi jendela besar apartemen mereka. Cahay yang berasal dari lampu jalanan kota malam dari kejauhan menerobos masuk, menciptakan siluet suram dari sosok suaminya yang masih membisu. Sejak kepergian Arthur, ruangan apartemen mewah namun berkonsep minimalis itu seakan kehilangan kehangatannya. Dinding putih bersih dan pencahayaan hangat tak mampu meredam hawa dingin yang menyelimuti keduanya.Sagara masih membeku di tempatnya, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Hatinya masih terasa nyeri. Penyesalan Arthur menikahkan dirinya dengan Viana, ditambah ucapan Arthur yang membandingkan dirinya dengan Ravin. Semua itu masih terngiang di telinga Sagara. Dia memang sudah menyadari ini sejak awal. Ayah mertuanya itu sekana tidak mempercayakan Viana sepenuhnya padanya. Ya, itu wajar sih karena dia dan Viaja sebelumnya tidak saling mengenal. Terus juga Arthur seorang Ayah tidak mudah menyerahkan anak gadisnya pada
"Arthur, sekarang kita pulang aja, ya." Alisha mendekat pada sang suami. Dia mengusap bahunya yang bergetar menahan emosi dengan lembut. Berusaha untuk menenangkan pria itu, dia tidak ingin kemarahan Arthur menambah kebencian Viana padanya. Lebih baik dirinya dan Arthur pergi sekarang juga. Situasinya sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ucapan Arthur sudah benar-benar ngawur. Hal yang di luar dari permasalahannya dengan Viana dibawa-bawa. Seperti penyesalannya menikahkan Sagara dengan Viana. Seharusnya Arthur tidak berbicara seperti itu di depan Sagara secara langsung. Itu keputusan Arthur sendiri menikahkan Sagara dengan Viana. Tidak seharusnya Arthur menyesal atas keputusannya sendiri. Bahkan membandingkan Sagara dengan Ravin— kekasih Viana sebelumnya. Itu tidak baik, Sagara pasti akan sakit hati dengan perkataannya. "Viana butuh waktu. Jangan buat permasalahan ini semakin panjang." Alisha segera menarik Arthur keluar dari apartement Viana dan juga Sagara. Suaminya itu han
"Arthur, sekarang kita pulang dulu. Biarin Viana tenang!" Alisha menyadari situasi yang semakin menegangkan. Ditambah gelagat Arthur yang mulai menatap Sagara dengan pandangan berbeda dari biasanya. Dia tahu arti dari tatapan Arthur sudah jelas suaminya itu akan menyalahkan Sagara. Arthur seolah tuli. Dia tidak menggubris ucapan Alisha, dia berjalan mendekat pada Sagara yang bergeming di tempatnya. Tatapan menantunya itu penuh tanya padanya. "Udah berapa kali kamu buat putri saya terluka, Sagara?" Arthur menatap Sagara dengan tajam. Dia tahu apa yang terjadi pada Viana beberapa Minggu terakhir. Dia tahu bahwa Viana diculik oleh musuh Sagara, dan hari ini Viana kembali diculik oleh Agatha. Arthur tahu siapa Agatha, perempuan yang menjadi mantan sahabat putrinya. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Agatha melakukan hal buruk pada Viana. Dia akan mencari tahu itu nantinya. Tujuan dirinya menikahkan Viana dengan Sagara. Selain karena bisnis, dia juga ingin putrinya ada yang men
"Nggak ada orang tua yang tega nelantarin anaknya kaya gini. Bertahun-tahun aku hidup cuma sama Bi Mira, Papa nggak pernah tau apa yang terjadi sama aku. Papa nggak pernah tanya kabar aku kaya gimana di rumah, Papa nggak pernah tanya sekolah aku kaya gimana. Nggak, Pa! Nggak!" Viana bangkit dengan kedua mata berkaca-kaca. Kedua tangannya mengepal dengan sempurna. Menahan gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. "Papa, nggak pernah peduli sama aku. Papa berubah semenjak Mama nggak ada," lanjut Viana menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Isak tangis Viana mulai terdengar. Membuat ruang tamu apartemen itu semakin menegangkan. Hanya ada isak tangis yang tercdengar di ruangan dengan ukuran sedang. "Viana, tolong dengerin penjelasan Papa dulu. Dengan kamu marah-marah sambil nangis kaya gini yang ada masalah nggak selesai-selesai." Arthur mendekat pada Viana, tapi suara putrinya itu kembali terdengar. "Penjelasan apa lagi? Penjelasan kalo Papa sama Tante Alisha nikah diam-di