"Suami kamu itu, Ran, kerjaannya makan, tidur, lalu main. Apa kamu nggak bosen melihatnya?" tanya Bapak yang menatapku dengan tanpa kedip sama sekali.
Tatapan mata bapak yang seolah menguliti raga membuatku tidak sanggup melihat kilatan amarah dari Bapak dan mencoba menunduk, memandangi kaki meja yang ditumpu dengan secuil pecahan genteng. Supaya tidak goyang serta oleng.
Mas Rendi akhir-akhir ini begitu sangat tidak bersemangat menikmati hidup. Saat aku memintanya mencari pekerjaan untuk jajan anaknya yang sedang mulai suka dengan yang namanya es krim dan kawan-kawannya itu, selalu marah-marah tak jelas. Hingga akhirnya akulah yang menjadi pelampiasan terakhirnya.
Terkadang pipi ini juga yang menjadi sasaran akan kemarahannya itu, jika sudah memuncak sampai ubun-ubun. Aku hanya bisa pasrah dan menangis dengan perlakuannya akhir-akhir ini. Karena aku tak mampu membalas serta melawan. Mungkin aku terlalu lemah.
Iya, aku tidak ada keberanian serta tenaga yang bisa aku keluarkan untuk melawan suamiku, aku takut jika nanti dikatakan sebagai istri yang durhaka, pembangkang.
"Sekali-kali di kerasin supaya tahu kalau dia itu punya tanggung jawab. Punya anak dan juga istri yang harus dia cukupi kebutuhannya, jangan hanya ongkang-ongkang kaki saja begitu!" gerutu Bapak yang membuatku semakin tidak berkutik dan semakin dalam menyembunyikan wajah yang mulai tidak terurus ini.
"Kalau cuma numpang tidur, nggak masalah buat kami, lha kalau makan? Bapak kamu saja tidak bekerja, seribu rupiah pun tidak pernah kami terima untuk membantu agar dapur selalu ngebul, maaf kalau ibu mempermasalahkan, itu karena ibu sudah capek jika harus membiayai kalian semua," cerca Bu Fatimah, ibu tiriku.
Iya, memang saat ini kami tinggal bersama dengan bapak yang mana telah bercerai dengan ibu kandungku yang entah kemana perginya setelah perpisahan itu. Ibuku pergi bersama Kakak lelakiku, Mas Bima. Sedang aku ikut bersama, Bapak yang kini telah menikah lagi dengan Bu Fatimah. Tetangga desa yang di persuntingnya sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar.
Dari pernikahan mereka, dikaruniai satu orang putri yang kini masih sekolah menengah atas. Meski sudah mempunyai anak kandung sendiri, namun, Bu Fatimah tidak pernah membeda-bedakan antara aku dan Mita.
Aku tahu kehidupan bapak semakin hari semakin tidak beruntung, tenaganya yang mulai tidak kuat lagi membuatnya kadang bekerja dan juga tidak.
Juga sikap Mas Rendi yang selalu uring-uringan saat aku bertanya kapan akan mencari kerja, tidak enak selalu bergantung terhadap orang tua. Bukannya solusi yang dikatakan, tetapi, perlakuan yang tidak baik selalu aku terima.
"Nanti, aku coba bicarakan kembali kepada Mas Rendi, Bu. Supaya mau membantu untuk uang belanja," jawabku sekenanya.
"Kalau cuma bicara saja, aku juga bisa, Rani. Ah, kamu itu bisanya cuma menyusahkan saja. Sama seperti ibumu!" ucap Bu Fatimah yang membuatku membelalakkan mata. "Coba kamu mencari kerja sana atau ngapain gitu, 'kan bisa!"
Baru pertama kali ini aku mendengar Ibu Fatimah menyentil nama ibu kandungku, entah apa maksudnya. Saat kutatap netranya, Bu Fatimah justru memalingkan muka.
"Iya, Bu." Aku menjawab dengan lirih.
"Sebenarnya ibu sama bapak tidak pernah ada masalah kalau kamu ikut tinggal dan makan di sini, tapi … kamu tahu sendiri, 'kan kalau kami ini sudah tua dan jarang sekali bekerja. Suami kamu pulang saat tengah malam lalu siangnya kalian selalu uring-uringan, kami capek jika harus mendengarkan semua itu!" ujar Ibu Fatimah dengan menyandarkan punggungnya di kursi.
"Atau … kalau kamu nggak berani berbicara kepada suamimu, biarlah bapak yang maju. Biar dia tahu kalau tanggung jawabnya yang besar itu telah ia lalaikan selama ini!" ujar Bapak dengan berdiri hendak masuk ke kamar.
Aku yang melihatnya langsung merengkuh jemari bapak dengan pandangan memohon agar berhenti. Biarlah aku sendiri yang nanti akan berbicara dengan suamiku itu. Bagaimana kalau nanti, Mas Rendi tersinggung? Bukankah akan menimbulkan masalah baru?
Disaat seperti ini, aku justru malah merasa kangen terhadap ibu kandungku. Sudah belasan tahun aku dan ibu tidak pernah saling bertemu dan bertukar kabar. Entah dimana mereka akupun tidak tahu menahu.
Ah, Ibu, andaikan dulu aku ikut Ibu, pasti kehidupanku akan jauh lebih baik. Namun, akankah benar jika aku akan bahagia bersamanya? Entahlah. Otakku benar-benar kacau dengan semua ini.
Disaat kami sedang membahas tentang ini, putri kecilku berlari dengan berderaian air mata.
"Kamu kenapa? Jatuh?" tanyaku dengan penuh selidik dan membalikkan tubuh kecilnya mencari jika ada luka.
"Bu, aku mau jajan seperti Lili, aku mau itu, Bu," rengek putriku dengan berlinangan air mata yang telah menganak sungai.
"Mau apa?" tanyaku dengan meraih tubuhnya ke pangkuanku.
"Itu, Bu! Itu!"
Kulihat Lili anak tetangga sebelah rumahku membawa satu plastik kecil jajanan yang aku tidak tahu apa itu isinya.
Netraku mengembun, hatiku teriris perih. Uang sepeserpun tidak aku pegang, bagaimana bisa aku memberikan apa yang diminta putriku saat ini?
Aku gendong tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar, meski dia meronta dan menjerit sejadi-jadinya, aku tetap memaksakan diri untuk menjauh dari teman-temannya.
"Kenapa lagi itu anakmu, Ran?" tanya mas Rendi dengan mata masih menutup.
"Nangis, minta jajan."
Tangisan putri kecilku semakin kencang, membuat Mas Rendi melemparku dengan bantal dan guling yang sedari tadi dipeluknya. Aku hanya bisa menghela nafas berat, semoga semua ini segera berakhir dengan indah.
Anganku berkelana, mencari jalan supaya bisa terlepas dari derita yang sedang mampir tanpa aku undang ini. Supaya aku bisa bahagia bersama orang tercinta, putri kecilku yang terutama.
Ku lirik sekilas Mas Rendi yang tidak bergeming dari tidurnya, entah tadi itu mimpi atau nyata. Yang aku tahu saat ini dia masih terlelap bersama sejuta mimpi yang hanya dia tahu sendiri.
Rengekan Safia membuatku semakin terluka, jiwa sucinya masih meronta dengan apa yang dipinta. Hingga tak kuasa ku peluk raga kecilnya dengan menangis tergugu.
"Ran, anak kamu berisik banget itu, bisa diam nggak sih?" bentaknya seraya menutupi kedua telinga dengan bantal yang kembali dipeluknya. "Anak sama Emak sama-sama cerewet, berisik."
"Ehem," bapak berdehem mendengar suara Mas Rendi yang tiba-tiba meninggi.
Entah, Mas Rendi faham akan isyarat dari bapak atau tidak, dia malah semakin berteriak memekakkan telingaku. Keras.
"Anak kamu suruh diam, Ran!" pekik Mas Rendi dengan duduk bersila di atas kasur.
Safia ketakutan melihat suara ayahnya yang menggelegar bak sebuah bom atom yang berdentum. Seketika tangisannya berhenti dengan menyisakan isakan yang masih memilukan hati bagiku, bukan Mas Rendi.
Putri kecilku mengeratkan pelukannya dengan membenamkan wajah mungilnya ke dalam dadaku. Hatiku terasa teriris melihat dengan kepala sendiri sang putri yang ketakutan terhadap ayahnya.
Bagaimana bisa Mas Rendi yang dulu penyayang kini berubah bak monster yang ditakuti oleh putrinya sendiri?
☀️☀️☀️
Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid
Seminggu sudah aku dan Mas Aldi memulai babak baru di rumah ini. Semua sudah lengkap, rumah disulap menjadi tempat ternyaman saat lelah raga melanda. Berbagai macam tanaman pelengkap sayuran berada di taman belakang.Sedang ditaman depan, aku berikan sedikit sentuhan dengan bunga mawar dan tanaman lainnya. Sejuk jika dipandang mata sambil menikmati teh hangat di kala pagi ataupun senja tiba.Begitulah kami menikmati indahnya hidup ini, saling bercengkrama dan bercerita tentang pekerjaan dan juga rumah. Iya, meskipun aku sudah menjadi istri, tapi toko yang ku punya tetap berjalan hingga detik ini.Tidak dilarang untuk bekerja oleh Mas Aldi, karena itulah caranya untukku supaya bisa tetap bahagia. Sebab, dirumah aku kesepian jika dia bekerja. Semuanya lancar, pekerjaan, rumah tangga juga hubungan dengan orang tuanya.Alhamdulillah, itulah yang aku inginkan sejak dulu. Selalu harmonis dan terjaga meskipun terkadang dalam berumah tangga itu ada kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Pem
Hampir tiga hari kami baru sampai di rumah lagi. Bermalam di kediaman Mas Bima semalam lalu ke rumah Mas Aldi. Disini aku memulai babak baru menjadi istri sepenuhnya.Rumah mungil minimalis yang begitu indah, Mas Aldi membelinya saat masih sendiri. Uang tabungan yang selama ini di simpan di belikan rumah sebagai tempat bermuaranya kami dalam rumah tangga. Meskipun di tinggal lama, tapi bersih karena selalu dijaga dengan baik oleh seseorang yang diminta Mas Aldi untuk membersihkannya."Ini rumah kita, rumah kamu dan aku. Rawatlah dan jaga seperti rumah sendiri. Semoga kelak kita menua disini bersama anak dan cucu." Tangan itu menggenggamku erat.Ada rasa haru dan bahagia kala memiliki istana mungil ini. Kebahagiaan seorang istri adalah mempunyai rumah, hidup bersama keluarga kecilnya. Kasarnya makan dengan garam tak mengapa jika bersama suami dan anak."Aamiin," balasku tersenyum senang.Mengucapkan salam saat pintu rumah mulai terbuka perlahan-lahan. Lantai yang putih bersih dan perle
Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses
Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y