Share

SUAMIKU LUPA JALAN PULANG
SUAMIKU LUPA JALAN PULANG
Author: Anna Janitra

Bab 1 AKU TERLALU LEMAH

"Suami kamu itu, Ran, kerjaannya makan, tidur, lalu main. Apa kamu nggak bosen melihatnya?" tanya Bapak yang menatapku dengan tanpa kedip sama sekali. 

Tatapan mata bapak yang seolah menguliti raga membuatku tidak sanggup melihat kilatan amarah dari Bapak dan mencoba menunduk, memandangi kaki meja yang ditumpu dengan secuil pecahan genteng. Supaya tidak goyang serta oleng.

Mas Rendi akhir-akhir ini begitu sangat tidak bersemangat menikmati hidup. Saat aku memintanya mencari pekerjaan untuk jajan anaknya yang sedang mulai suka dengan yang namanya es krim dan kawan-kawannya itu, selalu marah-marah tak jelas. Hingga akhirnya akulah yang menjadi pelampiasan terakhirnya.

Terkadang pipi ini juga yang menjadi sasaran akan kemarahannya itu, jika sudah memuncak sampai ubun-ubun. Aku hanya bisa pasrah dan menangis dengan perlakuannya akhir-akhir ini. Karena aku tak mampu membalas serta melawan. Mungkin aku terlalu lemah.

Iya, aku tidak ada keberanian serta tenaga yang bisa aku keluarkan untuk melawan suamiku, aku takut jika nanti dikatakan sebagai istri yang durhaka, pembangkang.

"Sekali-kali di kerasin supaya tahu kalau dia itu punya tanggung jawab. Punya anak dan juga istri yang harus dia cukupi kebutuhannya, jangan hanya ongkang-ongkang kaki saja begitu!" gerutu Bapak yang membuatku semakin tidak berkutik dan semakin dalam menyembunyikan wajah yang mulai tidak terurus ini.

"Kalau cuma numpang tidur, nggak masalah buat kami, lha kalau makan? Bapak kamu saja tidak bekerja, seribu rupiah pun tidak pernah kami terima untuk membantu agar dapur selalu ngebul, maaf kalau ibu mempermasalahkan, itu karena ibu sudah capek jika harus membiayai kalian semua," cerca Bu Fatimah, ibu tiriku. 

Iya, memang saat ini kami tinggal bersama dengan bapak yang mana telah bercerai dengan ibu kandungku yang entah kemana perginya setelah perpisahan itu. Ibuku pergi bersama Kakak lelakiku, Mas Bima. Sedang aku ikut bersama, Bapak yang kini telah menikah lagi dengan Bu Fatimah. Tetangga desa yang di persuntingnya sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Dari pernikahan mereka, dikaruniai satu orang putri yang kini masih sekolah menengah atas. Meski sudah mempunyai anak kandung sendiri, namun, Bu Fatimah tidak pernah membeda-bedakan antara aku dan Mita.

Aku tahu kehidupan bapak semakin hari semakin tidak beruntung, tenaganya yang mulai tidak kuat lagi membuatnya kadang bekerja dan juga tidak. 

Juga sikap Mas Rendi yang selalu uring-uringan saat aku bertanya kapan akan mencari kerja, tidak enak selalu bergantung terhadap orang tua. Bukannya solusi yang dikatakan, tetapi, perlakuan yang tidak baik selalu aku terima.

"Nanti, aku coba bicarakan kembali kepada Mas Rendi, Bu. Supaya mau membantu untuk uang belanja," jawabku sekenanya. 

"Kalau cuma bicara saja, aku juga bisa, Rani. Ah, kamu itu bisanya cuma menyusahkan saja. Sama seperti ibumu!" ucap Bu Fatimah yang membuatku membelalakkan mata. "Coba kamu mencari kerja sana atau ngapain gitu, 'kan bisa!" 

Baru pertama kali ini aku mendengar Ibu Fatimah menyentil nama ibu kandungku, entah apa maksudnya. Saat kutatap netranya, Bu Fatimah justru memalingkan muka.

"Iya, Bu." Aku menjawab dengan lirih.

"Sebenarnya ibu sama bapak tidak pernah ada masalah kalau kamu ikut tinggal dan makan di sini, tapi … kamu tahu sendiri, 'kan kalau kami ini sudah tua dan jarang sekali bekerja. Suami kamu pulang saat tengah malam lalu siangnya kalian selalu uring-uringan, kami capek jika harus mendengarkan semua itu!" ujar Ibu Fatimah dengan menyandarkan punggungnya di kursi.

"Atau … kalau kamu nggak berani berbicara kepada suamimu, biarlah bapak yang maju. Biar dia tahu kalau tanggung jawabnya yang besar itu telah ia lalaikan selama ini!" ujar Bapak dengan berdiri hendak masuk ke kamar. 

Aku yang melihatnya langsung merengkuh jemari bapak dengan pandangan memohon agar berhenti. Biarlah aku sendiri yang nanti akan berbicara dengan suamiku itu. Bagaimana kalau nanti, Mas Rendi tersinggung? Bukankah akan menimbulkan masalah baru?

Disaat seperti ini, aku justru malah merasa kangen terhadap ibu kandungku. Sudah belasan tahun aku dan ibu tidak pernah saling bertemu dan bertukar kabar. Entah dimana mereka akupun tidak tahu menahu.

Ah, Ibu, andaikan dulu aku ikut Ibu, pasti kehidupanku akan jauh lebih baik. Namun, akankah benar jika aku akan bahagia bersamanya? Entahlah. Otakku benar-benar kacau dengan semua ini. 

Disaat kami sedang membahas tentang ini, putri kecilku berlari dengan berderaian air mata.

"Kamu kenapa? Jatuh?" tanyaku dengan penuh selidik dan membalikkan tubuh kecilnya mencari jika ada luka.

"Bu, aku mau jajan seperti Lili, aku mau itu, Bu," rengek putriku dengan berlinangan air mata yang telah menganak sungai.

"Mau apa?" tanyaku dengan meraih tubuhnya ke pangkuanku.

"Itu, Bu! Itu!" 

Kulihat Lili anak tetangga sebelah rumahku membawa satu plastik kecil jajanan yang aku tidak tahu apa itu isinya. 

Netraku mengembun, hatiku teriris perih. Uang sepeserpun tidak aku pegang, bagaimana bisa aku memberikan apa yang diminta putriku saat ini? 

Aku gendong tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar, meski dia meronta dan menjerit sejadi-jadinya, aku tetap memaksakan diri untuk menjauh dari teman-temannya. 

"Kenapa lagi itu anakmu, Ran?" tanya mas Rendi dengan mata masih menutup.

"Nangis, minta jajan." 

Tangisan putri kecilku semakin kencang, membuat Mas Rendi melemparku dengan bantal dan guling yang sedari tadi dipeluknya. Aku hanya bisa menghela nafas berat, semoga semua ini segera berakhir dengan indah. 

Anganku berkelana, mencari jalan supaya bisa terlepas dari derita yang sedang mampir tanpa aku undang ini. Supaya aku bisa bahagia bersama orang tercinta, putri kecilku yang terutama.

Ku lirik sekilas Mas Rendi yang tidak bergeming dari tidurnya, entah tadi itu mimpi atau nyata. Yang aku tahu saat ini dia masih terlelap bersama sejuta mimpi yang hanya dia tahu sendiri.

Rengekan Safia membuatku semakin terluka, jiwa sucinya masih meronta dengan apa yang dipinta. Hingga tak kuasa ku peluk raga kecilnya dengan menangis tergugu.

"Ran, anak kamu berisik banget itu, bisa diam nggak sih?" bentaknya seraya menutupi kedua telinga dengan bantal yang kembali dipeluknya. "Anak sama Emak sama-sama cerewet, berisik." 

"Ehem," bapak berdehem mendengar suara Mas Rendi yang tiba-tiba meninggi. 

Entah, Mas Rendi faham akan isyarat dari bapak atau tidak, dia malah semakin berteriak memekakkan telingaku. Keras.

"Anak kamu suruh diam, Ran!" pekik Mas Rendi dengan duduk bersila di atas kasur.

Safia ketakutan melihat suara ayahnya yang menggelegar bak sebuah bom atom yang berdentum. Seketika tangisannya berhenti dengan menyisakan isakan yang masih memilukan hati bagiku, bukan Mas Rendi. 

Putri kecilku mengeratkan pelukannya dengan membenamkan wajah mungilnya ke dalam dadaku. Hatiku terasa teriris melihat dengan kepala sendiri sang putri yang ketakutan terhadap ayahnya.

Bagaimana bisa Mas Rendi yang dulu penyayang kini berubah bak monster yang ditakuti oleh putrinya sendiri? 

☀️☀️☀️

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
lagi perempuan tolol kisahnya .. perempuan tolol yg mau dipukul dan digampar suami diam aja .. gak logis masih numpang masa berani gutuu ... jangan terus perempuan objeknya thor .. bikin kisah perempuan yg tangguh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status