Share

Bab 2 MENCOBA BICARA

"Mas … apa tidak sebaiknya kita mencari pekerjaan yang bisa memperoleh pemasukan? Kebutuhan semakin banyak, belum lagi kita harus membantu uang dapur ibu juga," ucapku dengan hati-hati. 

Aku takut Mas Rendi tersinggung dan marah-marah seperti kemarin saat aku memintanya mencari pekerjaan. Dadaku berdebar tidak karuan, sungguh aku teramat ketakutan menghadapi suamiku saat ini. 

Meski nada bicaraku sedikit gugup, namun, aku tahu kalau Mas Rendi masih bisa mendengarkannya dengan jelas. Dalam hati aku berharap semoga dia tidak tersinggung atau sakit hati.

Namun, aku salah. Justru dia menatapku dengan nyalang seolah ingin memangsaku hidup-hidup.

"Kamu cerewet banget, ya, sekarang? Dulu kamu lembut dan penurut, kenapa? Karena aku nganggur?" tanyanya dengan menatapku.

"Mas … kita harus berubah, tinggal di sini tapi tidak pernah membantu uang dapur, aku nggak enak sama Ibu, Mas," keluhku dengan netra mengembun.

Ingin rasanya mengungkapkan segala keluh kesah di dalam hati, ingin rasanya aku bercerita dan mengadu. Namun, dengan siapa? Bapak? Tidak mungkin, karena kita sudah semakin jauh sejak kelahiran putri dari pernikahan keduanya. 

Ibu Fatimah? Itu malah tidak akan mungkin. Salah satu tempat yang aku harapkan adalah Mas Rendi, suamiku. Meski aku tahu itu tidak akan pernah mungkin mau mendengarkan, namun, aku harus mencoba. 

Dahulu kala, saat pertama mengenalnya, dia begitu baik, pengertian dan penyayang. Namun, setelah usai dia keluar dari pekerjaannya itu, sikapnya berubah terbalik.

"Aku juga sudah mencari pekerjaan, tapi belum dapat," ujarnya dengan melirik tajam.

"Dulu … Mas, juga lembut dan penyayang, tapi …."

"Tapi apa? Jangan suka mencari-cari kesalahan dariku, Ran. Aku juga sedang pusing, sama seperti kamu!" 

Entah aku terlalu lemah atau memang sensitif, hanya ucapan seperti itu saja air mataku sudah mengembun meski aku tahan untuk jangan keluar. 

Dadaku sesak, ingin rasanya berteriak dan mengeluarkan segala apa yang ada di kepala. Namun, lagi-lagi aku tidak ada nyali sebesar itu mengungkapkannya.

"Dulu saat aku masih kerja, semua juga aku cukupi. Kamu juga bahagia selalu menerima uang dariku, tapi, saat aku menjadi pengangguran seperti ini. Kamu selalu mencari celah untuk bisa menghinaku." 

Deg. 

Jantungku terasa berhenti, seperti tidak akan ada lagi kehidupan. Apa aku tidak salah dengar? Dia bilang aku selalu mencari celah? Ya, Tuhan, tolong sadarkan aku jika memang aku yang salah. 

"Mas … aku tidak …."

"Sudah, diam!" bentaknya yang membuatku seketika mengatupkan mulutku. "Kamu pikir aku tidak mencari kerja? Memangnya aku main-main selama ini? Coba kamu pikir dulu, Ran!"

"Cari kerja kok pulang malam, memangnya kerja apa, Mas?" tanyaku penuh dengan kehati-hatian. 

Mata tajam itu menembus relung hatiku, dalam, sangat dalam. Membuat netraku seketika meredup.

"Kamu sudah berani melawan, ya, Ran?" Mata itu masih tajam melihat ke arahku. 

"Dulu … dulu sekali saat pertama kali kita bertemu, kamu berjanji akan selalu menyayangiku hingga aku sudah tidak menarik lagi. Dulu … kamu tidak pernah sekalipun memarahiku atau membentakku dengan suara yang melengking. Namun, sekarang semua telah berubah jauh, bagaikan bulan dan matahari. Apa salahku padamu, Mas?" Dengan sekuat hati aku memberanikan diri untuk mengeluarkan segala apa yang ada di benakku. 

Apapun hasilnya nanti, aku terima dengan lapang dada. Dua tahun terakhir semenjak pemberhentiannya dari pekerjaan itu, membuat amarahnya selalu di unggulkan. 

Tidak pernah sedikitpun aku mencoba untuk melawan atau membantah apa yang diucapkan. Dia mau aku diam di rumah dan menjaga buah hati kami, akupun menurut. Dia mau aku begini dan begitu aku pun diam dan melakukannya. 

Memar di paha, lengan dan pundak sudah menjadi makanan sehari-hariku saat ini. Lagi-lagi aku masih diam tanpa membalas. Sekalinya melawan sedikit, aku sudah di caci maki sesukanya.

Plak. 

Lagi, tamparan itu mendarat cantik di pipiku yang mulai kusam. Usiaku yang belum beranjak tiga puluh tahun terasa seperti sudah hampir kepala lima. Kusam dan kering ada dimana-mana.

"Kamu bisa diam nggak sih, Ran? Mulut kamu itu sudah kelewat batas, kurang ajar!" geramnya dengan suara yang lirih namun menusuk.

"Pukullah aku sesukamu, Mas. Maki aku seenak hatimu, tapi tolong, jangan lakukan semua ini di depan putri kecil kita," pintaku dengan memejamkan mata. "Sekuat tenaga aku mempertahankan rumah tangga ini demi putri kita, Safia. Aku tidak mau dia merasakan apa yang aku rasakan, Mas. Berubahlah!" 

Mas Rendi mengendurkan cekalan tangannya yang dari tadi erat dan membekas di pergelangan tanganku. Kutatap lembut netra yang sedari tadi merah padam, kuelus lengannya supaya amarahnya mereda. 

Ya Tuhan, kekuatan dari mana ini yang bisa membuatku berani bicara di depan suamiku yang berubah menjadi temperamental? Ini bukan aku yang sesungguhnya, ini bukan aku? Gumanku si dalam hati. 

 Tok … tok … tok … 

"Ran, ada orang yang mencari suamimu, Rendi. Dia sedang menunggu di luar," ujar Ibu yang tengah membuyarkan lamunanku.

Aku menarik nafas banyak-banyak supaya udara masuk memenuhi rongga dadaku yang sedari tadi sesak. 

"Iya, Bu. Sebentar." 

Aku dan Mas Rendi berjalan menuju ruang tamu. Wajah pucat Mas Rendi terpancar saat melihat tamu yang datang. Dua orang lelaki dengan perawakan tinggi besar duduk saling berhadapan dengan Bapak. 

Mereka yang melihat kedatangan kami, seketika membuat wajah Bapak yang berubah tenang menjadi tegang dan ada kilatan kemarahan.

"Untuk apa kamu berhutang?" tanya Bapak dengan mata membunuh. 

Mas Rendi gelagapan mendengar pertanyaan dari Bapak, sedang aku terpaku dalam bisu melihat perubahan dari raut wajah suamiku. Heran. 

Selama ini dia tidak pernah memberiku nafkah, lalu kalau berhutang untuk digunakan apa? 

"Buat apa, Mas?" Suaraku hampir tercekat dalam kerongkongan. 

Mas Rendi kelimpungan mendengar pertanyaan dariku juga pandangan membunuh dari Bapak, sedang dua orang tamu yang tengah duduk masih terdiam. 

"Begini, Mas Rendi. Untuk masalah keluarga anda, kami tidak ingin ikut campur. Karena yang terpenting adalah secepatnya melunasi hutang-hutang anda pada kami, karena ini sudah lebih dari hari yang anda janjikan. Apakah akan anda melunasi hari ini?" tanya salah satu tamu dengan mimik serius. 

"Maaf, Pak. Saya belum ada uangnya. Percayalah, nanti akan saya bayar. Kalau untuk hari ini, saya belum punya uangnya. Maaf, Pak."

"Kita sudah saling bermodalkan percaya, Mas. Tapi … maaf, segeralah bayar. Kalau tidak, kami akan bertindak lebih dari ini. Besok, kami akan kesini lagi. Permisi." 

Tamu kedua pun pulang dengan tangan hampa karena Mas Rendi belum bisa membayarnya. Tubuhku langsung luruh ke lantai, tergugu dengan perbuatan suamiku yang aku tidak tahu menahu. Dia berutang tanpa aku tahu untuk apa? Aku bagaikan istri yang bodoh dan tak berharga sama sekali.

Pandangan Bapak masih setia melihat Mas Rendi tanpa kedip sama sekali. Bahkan lebih tajam.

"Untuk apa kamu berhutang banyak sama orang, Ren? Tiga juta kamu habiskan dalam semalam? Untuk apa?" Bapak membuka pertanyaan setelah kepergian tamu itu.

"Nggak ada, Pak." 

"Jawab!" bentak Bapak dengan dada naik turun menahan amarahnya. "Untuk judi?" 

Mataku membelalak mendengar kalimat terakhir Bapak. Apa? Berjudi? Jadi selama ini suamiku berjudi? Kepalaku tiba-tiba pusing bagai dihantam godam, seketika penglihatanku kabur, hitam dan ....

❤️❤️

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
emang istri bodohhh kamu ... dipukul malah diam .. tolol niih ceritanya ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status