LOGINAmel mengikutinya dengan langkah kaku. Suara sandal tipisnya menyeret lantai semen, membuat setiap detik terasa panjang. Rani berjalan di depannya, pinggulnya bergoyang santai seolah sudah terbiasa dengan sorot mata para lelaki di sekitar.
“Tempat apa ini?” gumam Amel sambil mempehatikan setiap detail bangunan. Mereka memasuki sebuah bangunan lain di sisi halaman—lebih besar, dengan pintu kayu berat yang terbuka lebar. Begitu melangkah masuk, Amel langsung disambut aroma menyengat: campuran asap rokok, alkohol, dan parfum murahan. Di dalam, meja-meja bulat sudah tertata rapi. Beberapa lelaki duduk sambil tertawa keras, gelas mereka berisi cairan kuning yang Amel tahu bukan sekadar teh. Musik keras dari pengeras suara membuat dadanya semakin berdebar. “Ini bar tempat lo kerja,” kata Rani, menoleh sekilas dengan senyum samar. “Malam ini lo cuma belajar. Gue gak suka orang bego, jadi dengerin baik-baik.” Amel mengangguk cepat, menunduk. Rani menunjuk ke meja di pojok. “Itu tamu tetap. Kalau mereka manggil, lo datengin cepet. Jangan bikin mereka nunggu.” Amel mengenggam erat plastik yang tadi kini kosong—pakaian lamanya terlipat di dalam. Ia berusaha menenangkan tangannya yang gemetar. Seorang lelaki bertubuh besar melambaikan tangan. Rani menoleh pada Amel. “Nah, itu panggilan pertama lo. Bawa mereka minum. Gue temenin, tapi lo yang maju.” Amel menelan ludah. Kakinya kaku, tapi ia memaksa bergerak. Saat tiba di meja, tatapan lelaki-lelaki itu langsung menelusuri dirinya dari ujung rambut hingga kaki. Salah satu dari mereka bersiul pelan, membuat kulit Amel merinding. “Mau minum apa, Pak?” suaranya lirih, nyaris tertelan musik. “Biar saya yang pilih,” ujar lelaki itu, menyeringai. “Bawa dua botol bir, Dek. Dan duduk sini sebentar.” Amel kaget, tubuhnya menegang. Ia menoleh sekilas pada Rani, mencari arahan. Perempuan itu hanya mengangkat bahu, seolah berkata: terserah lo. Dengan ragu, Amel menunduk sopan lalu melangkah cepat ke meja bar. Tangannya bergetar saat menyerahkan pesanan ke bartender. Lelaki di balik meja itu hanya melirik singkat, lalu menyodorkan dua botol dingin. Ketika kembali ke meja, tatapan tajam para tamu itu membuat langkahnya terasa bagai seribu jarum menancap di kulit. Ia meletakkan botol dengan hati-hati. Namun sebelum sempat mundur, tangan kasar salah satu lelaki meraih pergelangan tangannya. “Sebentar, Cantik,” ucapnya dengan senyum menyeringai. “Temenin kita minum dulu. Masa langsung pergi?” Amel membeku. Jantungnya berdentum keras, matanya menatap tangan yang mencengkeramnya. Ia ingin berteriak, ingin melepaskan diri, tapi suara di kepalanya mengingatkan: anakmu... anakmu.... Rani muncul, menyeringai tipis. “Santai, Bos. Dia masih baru. Pelan-pelan lah ngajarnya.” Lelaki itu tertawa keras, lalu melepaskan cengkeramannya. Amel menghela napas lega, meski dadanya masih sesak. Ia mundur perlahan, lalu bergegas ke sudut bar, menempelkan punggung ke dinding agar bisa bernapas lebih tenang. Rani menghampirinya. “Lo harus belajar cepat, Mel. Di sini gak ada ruang buat lemah. Kalau lo jatuh, gak ada yang nolongin.” Mata Amel bergetar, menahan air yang hampir tumpah. Ia menggenggam erat tangannya sendiri, mencoba menyalurkan keberanian yang tersisa. “Untuk anakku... aku sanggup,” bisiknya sekali lagi, meski hatinya penuh ketakutan. Dan malam itu, dunia baru Amel resmi dimulai—sebuah dunia di mana senyum harus dipaksakan, tatapan harus ditahan, dan harga diri harus ditukar demi selembar atap untuk anaknya. Malam sudah larut. Musik semakin keras, tawa para tamu bercampur dengan suara botol beradu. Amel masih berdiri canggung di sudut bar, mencoba beradaptasi dengan suasana yang asing dan penuh tatapan. Pintu bar tiba-tiba terbuka keras. Seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam sederhana melangkah masuk. Suara riuh mendadak mereda, seolah udara ikut menegang. Semua orang tahu siapa dia—Big Bos Alex. Tatapan tajamnya menyapu ruangan. Ia berjalan perlahan, setiap langkah berat membuat lantai berderit. Para tamu yang tadinya bersorak langsung menunduk atau berpura-pura sibuk dengan minuman. Amel spontan menegakkan tubuh, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak pernah bertemu pria itu sebelumnya, tapi aura otoritasnya membuat bulu kuduk meremang. Alex berhenti tepat di depan bar, lalu mengibaskan tangan pada bartender. “Kasih gue minuman biasa.” Suaranya dalam, berat, tak perlu teriak untuk membuat orang patuh. Ketika gelas disodorkan, matanya menangkap sosok Amel. Seketika dahinya berkerut. Ia menoleh pada Joni yang berdiri di dekat pintu, menjaga jarak. “Jon...” suara Alex merendah tapi tegas. “Ini apaan?” Joni sempat kaku, lalu menelan ludah. “Bos, ini orang baru. Saya pikir... bisa kerja di bar buat nambah tenaga.” Tatapan Alex makin tajam. Ia menaruh gelasnya ke meja dengan keras, membuat denting yang terdengar menusuk. “Kerja di bar? Pake baju begitu?!” Amel spontan menunduk, tubuhnya kaku. Ia merasa seolah seluruh ruangan menatap dirinya. Alex bangkit berdiri, melangkah mendekat ke arah Amel. Ia berhenti hanya beberapa langkah darinya, membuat napas Amel tercekat. “Siapa yang menyuruhmu berpakaian seperti ini," tanyaya singkat. Alex mengalihkan pandangannya ke Joni lagi. “Gue bilang dari awal, dia masuk sini buat kerja bersih-bersih. Cleaning service. Bukan buat dijadiin umpan buat tamu, paham lo.” Suaranya meninggi, tajam seperti cambuk. Rani yang sejak tadi berdiri di dekat meja, mencoba menyela. “Bos, saya cuma kasih instruksi biar dia bisa adaptasi—” “Diam, kamu Ran,” potong Alex dingin. “Saya nggak butuh alasan.” Suasana bar hening. Beberapa tamu bahkan pura-pura sibuk dengan gelas mereka, tak berani ikut campur. Alex menoleh lagi pada Amel. Tatapannya tak sekeras tadi, tapi tetap menusuk. “Mulai besok, kamu kerja sesuai tempat. Bersihkan ruangan, jaga kebersihan. tidak ada yang lain. Paham?” Amel menggenggam ujung roknya, lalu mengangguk cepat. “Baik Bos...” suaranya nyaris tak terdengar. Alex kembali menatap Joni. “Gue gak mau lihat lo main-main kayak gini lagi. Gue yang tanggung jawab sama tempat ini. Kalau sampai ada masalah gara-gara lo salah nempat’in orang... lo tau akibatnya.” Joni mengangguk cepat, wajahnya pucat. “Iya, Bos. Gue ngerti.” Tanpa banyak bicara lagi, Alex mengambil gelasnya dan kembali duduk, menikmati minumannya dengan tenang. Tapi ketegangan yang ia tinggalkan masih menggantung di udara. Amel perlahan menarik napas lega. Meski masih ketakutan, ada sedikit kelegaan di hatinya—setidaknya malam ini ia tidak dipaksa lebih jauh. Namun, ia juga tahu: bekerja di tempat seperti ini, bahaya bisa datang kapan saja.Amel berhenti sejenak. Pertanyaan itu menusuk di hatinya. Ia ingin menjawab dengan sesuatu yang meyakinkan.Sesuatu yang bisa membuat Lily merasa nyaman berada di tempat yang ia tinggali sekarang.“Iya, sayang. Untuk sementara…” ucapnya sambil mengusap lembut rambut putrinya itu. Senyum tipis itu muncul, bukan karena yakin, tapi karena ia tidak ingin membuat Lily bertanya-tanya.Mereka tiba di depan sebuah pintu putih dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa sisinya. Amel menarik napas sebelum memutar knopnya.Kamar itu kecil—hanya ada satu ranjang single dan lemari besi tua. Sebuah jendela kecil di sudut ruangan menunjukkan langit sore yang pekat. Udara di dalamnya dingin, seolah ruangan itu lupa kalau ada yang tinggal.Lily langsung memanjat ke atas ranjang dan duduk bersila, memeluk bonekanya seperti perisai. “Bu, Lily lapar…” katanya, ragu.Amel terdiam. Perutnya sendiri sudah kosong sejak siang. Ia membuka tas kecilnya—hanya menemukan roti yang sudah agak lembek dan sebotol a
Amel menghela napas pelan, lengan kirinya sudah mulai pegal. Botol-botol kosong berdenting kecil di atas nampan setiap kali ia merapikan posisi gelas yang miring. Sisa alkohol menetes, membuatnya buru-buru mengelap meja yang lengket dengan kain lap yang sudah agak basah. “Sabar, Mel,” gumamnya pada diri sendiri. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan semua ini dan kembali ke kamarnya. Saat semua tertata rapi, ia berdiri sambil menyeimbangkan nampan yang penuh di tangannya. Ia berbalik, namun... bayangan gelap sudah berdiri di belakangnya. PRANKK! Botol dan gelas saling menghantam lantai. Pecahannya berhamburan. Amel terlonjak mundur, dadanya berdebar tak karuan. “Ma-maaf, Bos,” ucapnya terbata. Ia langsung jongkok dan berusaha meraih pecahan gelas itu dengan tangan gemetar. Alex ikut berlutut di hadapannya tanpa sepatah kata. Wajahnya dekat sekali. Terlalu dekat. Amel buru-buru meraih pecahan terbesar dan... “akh!” Ia mengerjap, darah langsung merembes dari telapak tangannya. Seb
Amel melangkah pelan meninggalkan lorong itu, seolah setiap ubin lantai yang ia injak bisa meledak kapan saja. Nafasnya masih belum teratur, dada naik-turun cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Alex benar-benar sudah pergi. Tapi rasa was-was itu tak juga hilang—bayangan pria itu seakan masih menempel di dinding, mengawasi dari balik gelap. Saat tiba di kamar kecil yang diberikan Joni, Amel mendorong pintu kayu berderit itu dengan hati-hati. Begitu pintu menutup, ia bersandar lemah, menekan dada dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri. Lampu redup di langit-langit bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Ia meraih segelas air di meja kecil, meneguknya terburu-buru, tapi rasa hausnya tak kunjung hilang. Pikiran Amel penuh oleh satu nama—Alex. Sosok itu menakutkan sekaligus… entah bagaimana, menyelamatkan. “Kenapa dia ngeliatin aku begitu?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri. Di luar kamar, langkah orang
Amel mencoba menenangkan dirinya, meski keringat dingin masih menetes di pelipis. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Di dalam hati, ada rasa syukur karena Alex menyelamatkannya dari situasi yang lebih buruk, tapi juga muncul ketakutan baru: pria itu jelas punya kuasa besar, dan setiap ucapannya adalah hukum di tempat ini. Musik kembali diputar, meski volumenya diturunkan. Namun, suasana tetap kaku. Para tamu tak lagi sebebas tadi, seolah kehadiran Alex menjadi garis batas yang tak terlihat. Dari kejauhan, Amel merasakan tatapan. Sesekali, Alex mengangkat matanya dari gelasnya dan melirik ke arahnya. Tatapan itu bukan lagi marah, tapi lebih seperti... menilai. Meneliti. Seakan ia mencoba memahami siapa sebenarnya perempuan yang baru muncul di bar miliknya. Joni mendekat ke arah Amel, wajahnya masih tegang. “Lo jangan bikin masalah, Mel,” bisiknya cepat. “Bos Alex udah kasih kesempatan. Kalau lo salah langkah, bukan cuma lo... gue juga yang kena.” Amel hanya mengangg
Amel mengikutinya dengan langkah kaku. Suara sandal tipisnya menyeret lantai semen, membuat setiap detik terasa panjang. Rani berjalan di depannya, pinggulnya bergoyang santai seolah sudah terbiasa dengan sorot mata para lelaki di sekitar. “Tempat apa ini?” gumam Amel sambil mempehatikan setiap detail bangunan. Mereka memasuki sebuah bangunan lain di sisi halaman—lebih besar, dengan pintu kayu berat yang terbuka lebar. Begitu melangkah masuk, Amel langsung disambut aroma menyengat: campuran asap rokok, alkohol, dan parfum murahan. Di dalam, meja-meja bulat sudah tertata rapi. Beberapa lelaki duduk sambil tertawa keras, gelas mereka berisi cairan kuning yang Amel tahu bukan sekadar teh. Musik keras dari pengeras suara membuat dadanya semakin berdebar. “Ini bar tempat lo kerja,” kata Rani, menoleh sekilas dengan senyum samar. “Malam ini lo cuma belajar. Gue gak suka orang bego, jadi dengerin baik-baik.” Amel mengangguk cepat, menunduk. Rani menunjuk ke meja di pojok. “Itu t
Joni mengajak Amel menuju sebuah ruangan kecil. Ia mendorong daun pintu kayu yang berderit pelan. “Ini kamar lo. Mending sekarang lo istirahat. Besok pagi lo siap-siap buat kerja,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi. Amel berdiri di ambang pintu, menatap ruangan sederhana itu. Hanya ada satu ranjang berseprai kusut, kipas angin mungil yang berdebu di sudut meja, dan pintu kamar mandi dengan cat yang mulai mengelupas. Bukan tempat yang mewah, tapi setidaknya ada atap di atas kepala. Ia mengangguk pelan, bibirnya menekan rapat seakan takut kata-kata yang keluar akan pecah bersama perasaannya. Setelah Joni menghilang di balik koridor, Amel menutup pintu dengan hati-hati, seolah takut suara keras akan mengusir ketenangan singkat yang baru saja ia dapatkan. Di dalam kamar, napasnya keluar panjang, bahunya merosot dari tegangnya perjalanan hari ini. Ia menurunkan anaknya perlahan ke atas ranjang. Si kecil berguling sedikit, masih tertidur pulas dengan napas teratur, membuat







