Mag-log inAmel baru saja melepas celemek ketika keluar dari dapur. Aroma kaldu dan roti panggang masih menempel di tangannya. Ia sempat tersenyum melihat para pelayan saling bercanda, namun senyum itu perlahan pudar saat matanya menangkap pemandangan di ruang tengah.Lily duduk diam di sofa besar, memeluk boneka kecilnya. Matanya tidak berbinar seperti biasanya. Seolah ada kabut tipis yang menutupi sinar itu.Amel mendekati Maria. “Maria, ada apa dengan Lily?” tanyanya pelan, khawatir merambat ke suaranya.Maria menunduk sopan. “Sepertinya… Nona kecil sedang merindukan ayahnya.”Jawaban itu membuat dada Amel terasa sesak. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk. Kakinya melangkah pelan mendekati Lily, seolah takut memecahkan sesuatu yang rapuh.Ia duduk di sisi anak itu, lalu jemarinya menyelip ke rambut halus Lily, mengusap perlahan.“Sayang…” bisiknya.Lily menoleh. Ada air yang belum jatuh di matanya.“Aku… rindu Ayah,” katanya dengan suara lebih kecil dari napas.Amel memaksa tersenyum.
Lily duduk di tepi kolam, kakinya menggantung tepat di atas permukaan air yang beriak pelan. Ikan-ikan berwarna keemasan berenang santai, sesekali muncul ke atas seperti menyapa. Di sampingnya, Maria duduk tenang, tangan terlipat rapi di pangkuan, matanya mengikuti setiap gerakan kecil Lily. “Anak cantik, apa yang sedang kau pikirkan? Mengapa wajahmu terlihat sedih?” tanyanya lembut, hampir seperti bisikan yang takut mengganggu ketenangan kolam. Lily menoleh. Mata bulatnya yang biasanya cerah kini tampak redup, seperti langit yang dipenuhi awan. “Aku sedih,” ucapnya pelan. “Aku tidak bisa bertemu Ayahku. Padahal aku rindu dengan ayahku.” Maria terdiam. Jemarinya mengepal kecil di atas roknya sebelum akhirnya ia bertanya, suaranya hati-hati, “Apa ayahmu sebaik Tuan Alex?” Lily menggeleng pelan. Rambut halusnya ikut bergoyang mengikuti gerakan itu. “Lantas… mengapa kau merindukannya?” Gadis kecil itu menarik napas, menatap ke permukaan air yang memantulkan langit kelabu. “Aku
Debora baru saja menutup kalimatnya ketika suara langkah tegap terdengar dari arah koridor. Langkah yang terlalu familiar... berat, mantap, dan selalu membuat orang-orang di mansion refleks menegakkan punggung. Debora langsung menoleh. Alex sudah berdiri di sana, masih dengan setelan rapi, wajahnya teduh namun dingin seperti biasa. Tatapannya sempat jatuh pada bunga-bunga lili itu… hanya beberapa detik. Tapi cukup membuat Debora sadar bahwa ia sudah bicara terlalu jauh. Wajah Debora berubah canggung. “Permisi, Nona Amel. Saya ke dapur dulu,” ucapnya cepat, menunduk hormat pada Alex sebelum bergegas pergi, nyaris tanpa menunggu jawaban. Amel masih memegang satu batang lili putih di tangannya. Sekilas, ia dan Alex saling berpandangan. Ada sesuatu di mata Alex, seperti dinding tinggi yang kembali ditegakkan. Amel mencoba tersenyum, suaranya pelan, “Alex… aku mau tanya sedikit tentang bunga...” Namun Alex memotong dengan nada tenang tapi tegas, seolah sengaja mengalihkan arah pembi
Beberapa hari setelah kejadian di mansion, semuanya tampak kembali normal, seperti kolam yang tenang setelah batu dijatuhkan. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada riak-riak kecil yang tak pernah benar-benar hilang.Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang tamu, memantul lembut di vas-vas kristal yang berjajar rapi. Amel berdiri di tengah ruangan dengan sebuket bunga segar di tangannya. Tangannya cekatan, tapi langkahnya pelan... seolah setiap gerakan harus dilakukan dengan penuh hati-hati, karena ini bukan sekadar mengganti bunga.Bunga-bunga itu harus diganti tiga hari sekali. Itu sudah menjadi kebiasaan lama di rumah ini. Alex menginginkannya begitu... tak boleh terlambat dan tak boleh sembarangan.Amel menghela napas pelan. Di setiap sudut ruang tamu, di atas meja kecil di lorong, bahkan di dekat tangga spiral yang menuju lantai atas, selalu ada rangkaian bunga lili putih. Wangi khasnya lembut, bersih, dan kontras sekali dengan bayangan kelam yang selalu mengiku
Tiga hari berlalu pertemuan dengan Tuan Ronald berjalan mulus... senyum bahagia, jabatan tangan dan janji kerja sama, namun di baliknya, pikiran Felix terus berputar pada satu hal... Alex dan wanita yang bersama anaknya. Pagi ini, langit mendung. Awan kelabu menggantung berat seolah ikut mengawasi langkahnya. Felix berdiri di depan cermin besar di ruang kerjanya. Setelan hitamnya rapi tanpa cela, dasi terikat sempurna. Namun sesuatu di balik tatapannya berbeda... lebih tegas dan berbahayq. “Mobil sudah siap, Tuan,” lapor anak buahnya dari ambang pintu. Felix mengangguk sekali. “Kita berangkat sekarang.” Perjalanan menuju mansion terasa panjang. Jalanan kota melintas di balik kaca bangunan, pepohonan, dan orang-orang yang tak tahu badai apa yang sedang bergerak diam-diam. Felix tidak berkata sepatah pun. Di kursi depan, sopir bisa melihat dari kaca spion bagaimana tatapan majikannya tetap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Tangan Felix menggenggam tongkat kayu berukir di pangku
Malam sudah berlalu ketika dua mobil hitam memasuki area gudang besar yang dijaga ketat di pinggir kota. Bukan lagi bangunan reyot tanpa arah, ini markas inti Martin. Pagar besi setinggi tiga meter mengelilinginya, kamera pengawas memantau setiap sudut, dan orang-orang bersenjata mondar-mandir seperti bayangan.Mobil berhenti, pintu terbuka. Martin turun lebih dulu. Jaket hitamnya basah oleh hujan, namun langkahnya tetap tenang. Di belakangnya, Beni ikut turun. Wajahnya gelap, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena sesuatu yang berat di dadanya.“Masuk,” ucap Martin singkat.Di dalam, markas itu tidak main-main. Ruang kendali penuh layar monitor menampilkan sudut-sudut kota, jalur pelabuhan, dan yang paling menonjol, tampilan citra satelit area mansion Alex. Semua orang berdiri memberi hormat saat Martin lewat.Ia duduk di kursi utama, memijat pelipis sebentar, lalu menatap layar besar di depannya.“Alex memang tidak pernah main-main,” gumamnya. “Dia selalu menyiapkan pengaman