Home / Mafia / SUAMIKU MANTAN GENGSTER / 4. Masih Bingung

Share

4. Masih Bingung

Author: DOMINO
last update Huling Na-update: 2025-10-04 11:18:04

Amel mengikutinya dengan langkah kaku. Suara sandal tipisnya menyeret lantai semen, membuat setiap detik terasa panjang.

Rani berjalan di depannya, pinggulnya bergoyang santai seolah sudah terbiasa dengan sorot mata para lelaki di sekitar.

“Tempat apa ini?” gumam Amel sambil mempehatikan setiap detail bangunan.

Mereka memasuki sebuah bangunan lain di sisi halaman—lebih besar, dengan pintu kayu berat yang terbuka lebar.

Begitu melangkah masuk, Amel langsung disambut aroma menyengat: campuran asap rokok, alkohol, dan parfum murahan.

Di dalam, meja-meja bulat sudah tertata rapi. Beberapa lelaki duduk sambil tertawa keras, gelas mereka berisi cairan kuning yang Amel tahu bukan sekadar teh. Musik keras dari pengeras suara membuat dadanya semakin berdebar.

“Ini bar tempat lo kerja,” kata Rani, menoleh sekilas dengan senyum samar. “Malam ini lo cuma belajar. Bos nggak suka orang bodoh, jadi dengerin baik-baik.”

Amel mengangguk cepat, menunduk. Rani menunjuk ke meja di pojok. “Itu tamu tetap. Kalau mereka manggil, lo datengin cepet. Jangan bikin mereka nunggu.”

Dia meremas ujung bajunya. Dia berusaha menenangkan tangannya yang gemetar. Seorang lelaki bertubuh besar melambaikan tangan.

Rani menoleh pada Amel. “Nah, itu panggilan pertama lo. Bawa menu ini. Gue temenin, tapi lo yang maju.”

Amel menelan ludah. Kakinya kaku, tapi ia memaksa bergerak. Saat tiba di mejanya Amel memberikan menu yang dia bawa tadi, tatapan lelaki itu langsung menelusuri dirinya dari ujung rambut hingga kaki. Salah satu dari mereka bersiul pelan, membuat kulitnya merinding.

Dia menyodorkan menu yang di bawanya tadi lalu bertanya, “Mau minum apa, Tuan?” suaranya lirih, nyaris tertelan musik.

“Biar saya yang pilih,” ujar lelaki itu, menyeringai sambil melihat daftar menu. “Bawa dua botol bir dan kamu duduk disini sebentar.”

Amel kaget, tubuhnya menegang. Ia menoleh sekilas pada Rani, mencari arahan. Perempuan itu hanya tersenyum penuh kemenangan.

Dengan ragu, Amel menunduk sopan lalu melangkah cepat ke meja bar. Tangannya bergetar saat menyerahkan pesanan ke bartender.

Lelaki di balik meja bartender itu hanya melirik singkat, lalu menyodorkan dua botol dingin. Ketika dia kembali ke meja, tatapan tajam para tamu itu membuat langkahnya terasa bagai seribu jarum menancap di kulit.

Ia meletakkan botol dengan hati-hati. Namun sebelum sempat mundur, tangan kasar salah satu lelaki meraih pergelangan tangannya.

“Sebentar, cantik,” ucapnya dengan senyum menyeringai. “Temenin kita minum dulu. Masa mau langsung pergi?”

Amel membeku. Jantungnya berdentum keras, matanya menatap tangan yang mencengkeramnya. Ia ingin berteriak, ingin melepaskan diri, tapi suara di kepalanya mengingatkan pada anaknya.

Rani muncul, menyeringai tipis. “Santai, Tuan. Dia masih baru. Pelan-pelan ajalah.”

Lelaki itu tertawa keras, lalu melepaskan cengkeramannya. Amel menghela napas lega, meski dadanya masih sesak. Ia mundur perlahan, lalu bergegas ke sudut bar, menempelkan punggung ke dinding agar bisa bernapas lebih tenang.

Rani menghampirinya. “Lo harus belajar cepat, Mel. Di sini gak ada ruang buat orang lemah. Kalau lo jatuh, nggak ada yang nolongin.”

Matanya bergetar, menahan air yang hampir tumpah. Ia menggenggam erat tangannya sendiri, mencoba menyalurkan keberanian yang tersisa.

“Ini semua untuk anakku, demi anakku... aku sanggup,” bisiknya sekali lagi, meski hatinya penuh ketakutan.

Dan malam itu, dunia barunya resmi dimulai—sebuah dunia di mana senyum harus di paksakan, tatapan harus di tahan, dan harga diri harus di tukar demi selembar atap untuk anaknya.

Malam semakin sudah larut. Musik semakin keras, tawa para tamu bercampur dengan suara botol beradu.

Amel masih berdiri canggung di sudut bar, mencoba beradaptasi dengan suasana yang asing dan penuh tatapan.

Pintu bar tiba-tiba terbuka keras. Seorang pria bertubuh tegap dengan kemeja hitam dan kancing terbuka sedikit, menampakkan dadanya yang bidang, melangkah masuk. Suara riuh mendadak mereda, seolah udara ikut menegang.

Semua orang tahu siapa dia—Big Bos Alex. Tatapan tajamnya menyapu ruangan itu. Ia berjalan perlahan, setiap langkah berat membuat lantai berderit.

Para tamu yang tadinya bersorak langsung menunduk dan berpura-pura sibuk dengan minumannya.

Amel spontan menegakkan tubuhnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Aura otoritasnya membuat bulu kuduknya meremang.

Alex berhenti tepat di depan bar, lalu mengibaskan tangan pada bartender. “Kasih gue minuman biasa.” Suaranya dalam, berat, tak perlu teriak untuk membuat semua orang patuh.

Ketika gelas disodorkan, matanya menangkap sosok Amel. Seketika dahinya berkerut. Ia menoleh pada Joni yang berdiri di dekat pintu.

“Jon...” suara Alex merendah tapi tegas. “Dia ngapain disini.”

Joni sempat kaku, lalu menelan ludah. “Bos, bukannya Bos yang suruh dia langsung kerja.”

Tatapan Alex makin tajam. Ia menaruh gelasnya ke meja dengan keras, membuat denting yang terdengar menusuk.

“Kerja! Di bar? Pake baju begitu?!”

Amel spontan menunduk, tubuhnya kaku. Ia merasa seolah seluruh ruangan menatap dirinya.

Alex bangkit berdiri, melangkah mendekat ke arah Amel. Ia berhenti hanya beberapa langkah darinya, membuat napas Amel tercekat.

“Siapa yang menyuruhmu berpakaian seperti ini," tanyanya singkat.

Alex mengalihkan pandangannya ke Joni lagi. “Gue nggak nyuruh dia kerja di Bar, gue mau dia masuk kesini buat bersih-bersih. Jadi cleaning service. Bukan di jadiin umpan buat tamu, paham lo!” Suaranya meninggi, tajam seperti cambuk.

Rani yang sejak tadi berdiri di dekat meja, mencoba menyela. “Bos, saya cuma kasih instruksi biar dia bisa beradaptasi.”

“Diam kamu Ran!” potong Alex dingin. “Saya nggak butuh alasan.”

Suasana bar hening. Beberapa tamu bahkan pura-pura sibuk dengan gelas mereka, tak berani ikut campur.

Alex menoleh lagi pada Amel. Tatapannya tak sekeras tadi, tapi tetap menusuk. “Mulai besok, kamu kerja sesuai tempat. Bersihkan semua ruangan, jaga kebersihan di semua tempat... tidak ada pekerjaan yang lain. Paham!”

Amel menggenggam ujung roknya, lalu mengangguk cepat. “Baik Bos...” suaranya nyaris tak terdengar.

Alex kembali menatap Joni. “Gue nggak mau lihat lo main-main kayak gini lagi. Gue yang tanggung jawab sama tempat ini. Kalau sampai ada masalah gara-gara lo salah nempatin orang... lo tau akibatnya.”

Joni mengangguk cepat, wajahnya pucat. “Iya, Bos. Gue ngerti.”

Tanpa banyak bicara lagi, Alex mengambil gelasnya dan kembali duduk, menikmati minumannya dengan tenang. Tapi ketegangan yang ia tinggalkan masih menggantung di udara.

Amel perlahan menarik napas lega. Meski masih ketakutan, ada sedikit kelegaan di hatinya—setidaknya malam ini ia tidak di paksa lebih jauh. Namun, ia juga tahu: bekerja di tempat seperti itu, bahaya bisa datang kapan saja.

Amel mencoba menenangkan dirinya, meski keringat dingin masih menetes di pelipis. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya.

Di dalam hati, ada rasa syukur karena Alex menyelamatkannya dari situasi yang lebih buruk, tapi juga muncul ketakutan baru: pria itu jelas punya kuasa besar, dan setiap ucapannya adalah hukum di tempat ini.

Musik kembali diputar, meski volumenya diturunkan. Namun, suasana tetap kaku. Para tamu tak lagi sebebas tadi, seolah kehadiran Alex menjadi garis batas yang tak terlihat.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   82. Sesuatu yang sulit di mengerti

    Amel baru saja melepas celemek ketika keluar dari dapur. Aroma kaldu dan roti panggang masih menempel di tangannya. Ia sempat tersenyum melihat para pelayan saling bercanda, namun senyum itu perlahan pudar saat matanya menangkap pemandangan di ruang tengah.Lily duduk diam di sofa besar, memeluk boneka kecilnya. Matanya tidak berbinar seperti biasanya. Seolah ada kabut tipis yang menutupi sinar itu.Amel mendekati Maria. “Maria, ada apa dengan Lily?” tanyanya pelan, khawatir merambat ke suaranya.Maria menunduk sopan. “Sepertinya… Nona kecil sedang merindukan ayahnya.”Jawaban itu membuat dada Amel terasa sesak. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk. Kakinya melangkah pelan mendekati Lily, seolah takut memecahkan sesuatu yang rapuh.Ia duduk di sisi anak itu, lalu jemarinya menyelip ke rambut halus Lily, mengusap perlahan.“Sayang…” bisiknya.Lily menoleh. Ada air yang belum jatuh di matanya.“Aku… rindu Ayah,” katanya dengan suara lebih kecil dari napas.Amel memaksa tersenyum.

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   81. Merasa Bersalah

    Lily duduk di tepi kolam, kakinya menggantung tepat di atas permukaan air yang beriak pelan. Ikan-ikan berwarna keemasan berenang santai, sesekali muncul ke atas seperti menyapa. Di sampingnya, Maria duduk tenang, tangan terlipat rapi di pangkuan, matanya mengikuti setiap gerakan kecil Lily. “Anak cantik, apa yang sedang kau pikirkan? Mengapa wajahmu terlihat sedih?” tanyanya lembut, hampir seperti bisikan yang takut mengganggu ketenangan kolam. Lily menoleh. Mata bulatnya yang biasanya cerah kini tampak redup, seperti langit yang dipenuhi awan. “Aku sedih,” ucapnya pelan. “Aku tidak bisa bertemu Ayahku. Padahal aku rindu dengan ayahku.” Maria terdiam. Jemarinya mengepal kecil di atas roknya sebelum akhirnya ia bertanya, suaranya hati-hati, “Apa ayahmu sebaik Tuan Alex?” Lily menggeleng pelan. Rambut halusnya ikut bergoyang mengikuti gerakan itu. “Lantas… mengapa kau merindukannya?” Gadis kecil itu menarik napas, menatap ke permukaan air yang memantulkan langit kelabu. “Aku

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   80. Membuat Alex kesal

    Debora baru saja menutup kalimatnya ketika suara langkah tegap terdengar dari arah koridor. Langkah yang terlalu familiar... berat, mantap, dan selalu membuat orang-orang di mansion refleks menegakkan punggung. Debora langsung menoleh. Alex sudah berdiri di sana, masih dengan setelan rapi, wajahnya teduh namun dingin seperti biasa. Tatapannya sempat jatuh pada bunga-bunga lili itu… hanya beberapa detik. Tapi cukup membuat Debora sadar bahwa ia sudah bicara terlalu jauh. Wajah Debora berubah canggung. “Permisi, Nona Amel. Saya ke dapur dulu,” ucapnya cepat, menunduk hormat pada Alex sebelum bergegas pergi, nyaris tanpa menunggu jawaban. Amel masih memegang satu batang lili putih di tangannya. Sekilas, ia dan Alex saling berpandangan. Ada sesuatu di mata Alex, seperti dinding tinggi yang kembali ditegakkan. Amel mencoba tersenyum, suaranya pelan, “Alex… aku mau tanya sedikit tentang bunga...” Namun Alex memotong dengan nada tenang tapi tegas, seolah sengaja mengalihkan arah pembi

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   79. Dibalik dinginnya Alex

    Beberapa hari setelah kejadian di mansion, semuanya tampak kembali normal, seperti kolam yang tenang setelah batu dijatuhkan. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada riak-riak kecil yang tak pernah benar-benar hilang.Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang tamu, memantul lembut di vas-vas kristal yang berjajar rapi. Amel berdiri di tengah ruangan dengan sebuket bunga segar di tangannya. Tangannya cekatan, tapi langkahnya pelan... seolah setiap gerakan harus dilakukan dengan penuh hati-hati, karena ini bukan sekadar mengganti bunga.Bunga-bunga itu harus diganti tiga hari sekali. Itu sudah menjadi kebiasaan lama di rumah ini. Alex menginginkannya begitu... tak boleh terlambat dan tak boleh sembarangan.Amel menghela napas pelan. Di setiap sudut ruang tamu, di atas meja kecil di lorong, bahkan di dekat tangga spiral yang menuju lantai atas, selalu ada rangkaian bunga lili putih. Wangi khasnya lembut, bersih, dan kontras sekali dengan bayangan kelam yang selalu mengiku

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   78. Sangat berbahaya.

    Tiga hari berlalu pertemuan dengan Tuan Ronald berjalan mulus... senyum bahagia, jabatan tangan dan janji kerja sama, namun di baliknya, pikiran Felix terus berputar pada satu hal... Alex dan wanita yang bersama anaknya. Pagi ini, langit mendung. Awan kelabu menggantung berat seolah ikut mengawasi langkahnya. Felix berdiri di depan cermin besar di ruang kerjanya. Setelan hitamnya rapi tanpa cela, dasi terikat sempurna. Namun sesuatu di balik tatapannya berbeda... lebih tegas dan berbahayq. “Mobil sudah siap, Tuan,” lapor anak buahnya dari ambang pintu. Felix mengangguk sekali. “Kita berangkat sekarang.” Perjalanan menuju mansion terasa panjang. Jalanan kota melintas di balik kaca bangunan, pepohonan, dan orang-orang yang tak tahu badai apa yang sedang bergerak diam-diam. Felix tidak berkata sepatah pun. Di kursi depan, sopir bisa melihat dari kaca spion bagaimana tatapan majikannya tetap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Tangan Felix menggenggam tongkat kayu berukir di pangku

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   77. Rasa bersalah Beni

    Malam sudah berlalu ketika dua mobil hitam memasuki area gudang besar yang dijaga ketat di pinggir kota. Bukan lagi bangunan reyot tanpa arah, ini markas inti Martin. Pagar besi setinggi tiga meter mengelilinginya, kamera pengawas memantau setiap sudut, dan orang-orang bersenjata mondar-mandir seperti bayangan.Mobil berhenti, pintu terbuka. Martin turun lebih dulu. Jaket hitamnya basah oleh hujan, namun langkahnya tetap tenang. Di belakangnya, Beni ikut turun. Wajahnya gelap, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena sesuatu yang berat di dadanya.“Masuk,” ucap Martin singkat.Di dalam, markas itu tidak main-main. Ruang kendali penuh layar monitor menampilkan sudut-sudut kota, jalur pelabuhan, dan yang paling menonjol, tampilan citra satelit area mansion Alex. Semua orang berdiri memberi hormat saat Martin lewat.Ia duduk di kursi utama, memijat pelipis sebentar, lalu menatap layar besar di depannya.“Alex memang tidak pernah main-main,” gumamnya. “Dia selalu menyiapkan pengaman

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status