Home / Mafia / SUAMIKU MANTAN GENGSTER / 6 . Tidak Menyangka

Share

6 . Tidak Menyangka

Author: DOMINO
last update Last Updated: 2025-10-08 12:25:53

BRAAAKK!!

Suara meja terhempas memecah riuh bar. Cairan minuman mengalir di lantai, menyisakan bau alkohol yang tajam di udara.

“Minggir lo! Gue mau lewat!”

Pria itu berjalan sempoyongan, pundaknya menghantam kursi dan orang di sekitarnya.

Matanya merah, lidahnya bergetar dengan kata-kata kasar. Beberapa pengunjung menunduk, pura-pura sibuk dengan minumannya.

Ketika langkahnya nyaris mencapai pintu, seseorang menarik kerah bajunya dan mendorongnya keras.

PRANGG!

Botol-botol di meja pecah, serpihan kaca melompat ke udara, menari bersama kilatan lampu neon yang redup.

“Lo kalau mau mabok, mabok aja,” suara berat terdengar dari pria bertubuh tegap di ujung meja, “nggak usah rusuh.”

Nada suaranya datar, tapi matanya dingin seperti baja.

Beni—begitu orang mengenalnya—mendengus. Napas alkohol keluar dari mulutnya saat ia menatap balik dengan amarah yang mentah.

“Apa lo? Lo berani ngedorong gue? Cari penyakit lo!” Telunjuknya menuding dada pria itu, gemetar antara takut dan sombong.

Tapi sebelum kalimat berikutnya sempat keluar...

BUGHH!

Udara di dadanya lenyap. Pukulan pria tegap itu menghantam tepat di ulu hatinya. Suara berat keluar dari tenggorokannya, separuh erangan, separuh umpatan.

Tubuh Beni terbungkuk, tangan kirinya memegangi perut sementara tangan kanannya mencari pegangan di meja.

“Sialan… lo…” desisnya pelan, tapi tatapannya sudah mulai kabur.

Beberapa pengunjung menatap sebentar lalu kembali ke minumannya. Bar itu kembali bising, seolah perkelahian barusan cuma bagian dari rutinitas malam.

***

Cahaya pucat menembus celah tirai, menimpa wajah Amel yang masih terlelap. Napasnya teratur, satu tangan memeluk anaknya yang terbaring di sampingnya. Udara pagi masih dingin, embun menempel di jendela usang kamar bar itu.

TOK! TOK!

Suara ketukan keras memecah kesunyian

Amel tersentak. Matanya terbuka lebar, dadanya berdebar. Untuk sesaat, ia lupa... dimana ia berada sekarang.

Anaknya menggeliat kecil, bergumam pelan tanpa terbangun. Amel cepat-cepat menepuk lembut punggungnya, berusaha menenangkan.

“Shh... tidur lagi, Nak,” bisiknya hampir tanpa suara.

Ketukan kembali terdengar, lebih keras kali ini.

TOK! TOK! TOK!

Ia bangkit dari tempat tidur, langkahnya tergesa di lantai semen yang dingin. Tangannya meraih gagang pintu... berhenti sebentar, menarik napas dalam-dalam, menahan ragu.

Kemudian, dengan satu tarikan cepat, ia membukanya. Udara pagi yang lembap menyapa wajah Amel begitu pintu terbuka.

Di depan pintu kamar Rani sudah berdiri, rambutnya diikat tinggi, bibirnya sudah dipoles merah meski mata masih menyimpan sisa kantuk. Seragam kerjanya sedikit kusut, tapi ekspresinya tegas seperti biasa.

“Lama banget bukanya,” gerutunya sambil melirik ke dalam kamar. “Bos udah nyariin. Katanya lo disuruh bersih-bersih bar, karena sebagian pengunjung udah pulang.”

Amel mengangguk cepat, masih berusaha menyesuaikan napas. “Oh… iya, aku segera menyusul,” ucapnya pelan. Suaranya serak, nyaris tenggelam oleh langkah kaki pekerja lain di lorong.

Rani mendengus kecil. “Cepetan, ya. Lo pikir kerja di sini bisa santai?” katanya setengah berbisik sebelum berbalik pergi, tumit sepatunya beradu cepat dengan lantai semen, meninggalkan aroma parfum murahan yang samar.

Amel menatap punggung Rani sampai menghilang di tikungan. Tangannya perlahan menutup pintu, lalu menoleh ke arah anaknya yang masih terlelap di kasur tipis.

Dia mulai tersenyum tipis, lalu dia menyibakkan rambut anaknya dari dahi, lalu menutupinya dengan selimut.

“Tidur yang nyenyak, Sayang… Mama kerja dulu,” bisiknya lirih.

Ia berdiri, merapikan bajunya yang kusut, dan menatap bayangannya sekilas di kaca jendela. Mata yang sembab semalam kini tampak lebih tenang, tapi di baliknya masih tersisa sesuatu — ketakutan yang belum sempat hilang.

Tangannya menggenggam erat kain lap yang tergantung di paku dekat pintu. Dengan langkah ragu tapi pasti, ia melangkah keluar kamar menuju bar yang mulai terasa hidup kembali.

Udara di bar masih berbau alkohol sisa malam tadi. Lampu-lampu neon sudah dimatikan, menyisakan cahaya matahari yang masuk dari celah-celah jendela tinggi, menyingkap debu yang menari di udara.

Amel berjalan pelan ke dalam, membawa ember dan kain pel. Kakinya tanpa alas menapak di lantai dingin yang lengket oleh tumpahan minuman semalam.

Ia menunduk, mulai mengelap meja satu per satu. Suara kain bergesek dengan kayu jadi irama pagi yang sunyi.

Beberapa pelayan lain sibuk di ujung ruangan—menyapu, mengangkat kursi, memungut botol kosong. Rani duduk di kursi bar, menyalakan rokok, matanya sesekali melirik Amel dengan pandangan malas.

“Jangan lupa lap bagian pojok, semalam ada tumpahan bir di situ,” katanya tanpa menoleh.

Amel hanya mengangguk, suaranya tak keluar. Ia bergerak ke arah yang ditunjuk, berjongkok, lalu mulai menggosok lantai hingga lengannya pegal.

Dari balik ruangan atas yang jendelanya terbuka setengah, Alex berdiri diam. Asap rokok di tangannya melayang perlahan, berputar di udara.

Matanya mengikuti setiap gerak kecil Amel—dari cara ia menunduk, menyingsingkan lengan, hingga cara ia menghela napas panjang setiap kali lelah.

Ada sesuatu di tatapan itu. Bukan sekadar pengawasan seorang bos terhadap pekerjanya—lebih dalam, seperti rasa ingin tahu yang berusaha disembunyikan.

“Bos, mau kopi?” tanya Joni dari bawah. Alex tidak langsung menjawab. Ia menatap ujung rokoknya yang nyaris padam, lalu mengangguk pelan. “Hitam aja,” ujarnya singkat.

Ketika Joni berlalu, Alex menundukkan pandangan sekali lagi ke arah bawah. Amel masih bekerja. Cahaya matahari pagi memantul di rambut hitamnya yang tergerai sebagian, membingkai wajah lelah tapi lembut.

Ia berhenti sejenak, memandangi hasil kerjanya, lalu tersenyum kecil. Bukan karena puas, tapi karena lega sudah menyelesaikan pekerjaannya hari itu.

Alex menatap senyum itu lebih lama dari yang seharusnya. Lalu ia mematikan rokoknya di asbak, berbalik, dan melangkah keluar dari ruangan tanpa sepatah kata pun.

Matahari mulai merambat masuk ke bar.

Udara hangat bercampur aroma kopi hitam dan sabun pel yang belum kering.

Amel berdiri di belakang meja bar, menggulung lengan bajunya hingga siku. Jemarinya yang halus tapi kasar karena kerja keras tampak cekatan merapikan gelas-gelas bersih ke rak.

Pintu kayu berat di ujung ruangan berderit pelan. Langkah sepatu kulit itu datang lagi—pelan tapi pasti, suara yang kini mulai ia kenali.

Alex muncul, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung, memperlihatkan bekas luka samar di lengan kirinya. Tatapannya tenang, tapi cukup tajam untuk membuat udara di sekitarnya terasa padat.

Amel buru-buru menunduk.

“Pagi, Bos,” ucapnya pelan, hampir berbisik.

Alex tidak langsung menjawab. Ia menatap meja bar yang kini bersih mengilap, lalu memandang Amel yang sibuk menyeka sisa air di ujung meja.

“Kamu yang bersihin semua ini?” tanyanya datar.

Amel menegakkan tubuh, menatap sekilas sebelum kembali menunduk.

“Iya, benar Bos… saya juga dibantu yang lain.”

Alex mengangguk pelan. Beberapa detik berlalu tanpa suara, hanya bunyi kipas tua yang berdecit di langit-langit.

Kemudian, suaranya terdengar lagi—lebih pelan, tapi entah kenapa terdengar lebih hangat.

“Kalau ngerasa capek istirahat aja dulu, jangan dipaksa.”

Amel terdiam mendengar ucapan bosnya. Tatapannya naik perlahan, menatap pria itu dengan mata ragu.

Darah mengalir cepat di dadanya, ia tidak menyangka bosnya begitu peduli dengan karyawannya, awalnya dia mengira kalau Alex adalah orang yang sadis.

Alex terus memperhatikannya, sementara Amel masih diam terpaku menatapnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   78. Sangat berbahaya.

    Tiga hari berlalu pertemuan dengan Tuan Ronald berjalan mulus... senyum bahagia, jabatan tangan dan janji kerja sama, namun di baliknya, pikiran Felix terus berputar pada satu hal... Alex dan wanita yang bersama anaknya. Pagi ini, langit mendung. Awan kelabu menggantung berat seolah ikut mengawasi langkahnya. Felix berdiri di depan cermin besar di ruang kerjanya. Setelan hitamnya rapi tanpa cela, dasi terikat sempurna. Namun sesuatu di balik tatapannya berbeda... lebih tegas dan berbahayq. “Mobil sudah siap, Tuan,” lapor anak buahnya dari ambang pintu. Felix mengangguk sekali. “Kita berangkat sekarang.” Perjalanan menuju mansion terasa panjang. Jalanan kota melintas di balik kaca bangunan, pepohonan, dan orang-orang yang tak tahu badai apa yang sedang bergerak diam-diam. Felix tidak berkata sepatah pun. Di kursi depan, sopir bisa melihat dari kaca spion bagaimana tatapan majikannya tetap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Tangan Felix menggenggam tongkat kayu berukir di pangku

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   77. Rasa bersalah Beni

    Malam sudah berlalu ketika dua mobil hitam memasuki area gudang besar yang dijaga ketat di pinggir kota. Bukan lagi bangunan reyot tanpa arah, ini markas inti Martin. Pagar besi setinggi tiga meter mengelilinginya, kamera pengawas memantau setiap sudut, dan orang-orang bersenjata mondar-mandir seperti bayangan.Mobil berhenti, pintu terbuka. Martin turun lebih dulu. Jaket hitamnya basah oleh hujan, namun langkahnya tetap tenang. Di belakangnya, Beni ikut turun. Wajahnya gelap, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena sesuatu yang berat di dadanya.“Masuk,” ucap Martin singkat.Di dalam, markas itu tidak main-main. Ruang kendali penuh layar monitor menampilkan sudut-sudut kota, jalur pelabuhan, dan yang paling menonjol, tampilan citra satelit area mansion Alex. Semua orang berdiri memberi hormat saat Martin lewat.Ia duduk di kursi utama, memijat pelipis sebentar, lalu menatap layar besar di depannya.“Alex memang tidak pernah main-main,” gumamnya. “Dia selalu menyiapkan pengaman

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   76. Ada cinta dalam bahaya

    Malam terasa mencekam. Hujan menutup jalan pulang dengan tirai tipis, dan kota seolah mengecil di balik kaca mobil yang buram.Amel duduk diam di kursi penumpang, jaket hitam yang terlalu besar memeluk bahunya. Kali ini bukan hanya luka dan kejadian di bangunan tua tadi yang membebani pikirannya, tapi wajah kecil yang menunggunya. Lily, putri kecilnya.Ia menatap ponsel yang mati. Baterai habis. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. “Semoga Lily aman di mansion,” batinnya berulang-ulang.Alex melirik sekilas. “Lily aman, dia dijaga. Joni yang ngatur semua pengamanan.”Seolah mendengar namanya disebut, tak lama kemudian mobil lain berhenti di belakang mereka. Joni turun, jaketnya basah, rambutnya tertempel air hujan, tapi matanya masih awas, seperti biasa.“Bos,” katanya pendek. Lalu ia menoleh ke Amel. Suaranya melunak. “Mel, tenang aja Lily aman. Gue udah taro orang-orang terbaik di sana. Mereka selalu standby.”Bahunya sedikit turun lega. Tapi hati seorang ibu tak pernah benar-benar ten

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   75. Suara tembakan itu.

    Gelap menelan segalanya. Dor! Dor! Dor!Suara tembakan itu memantul di dinding-dinding besi, menggema, lalu mati begitu cepat seolah tak pernah ada. Hanya bau mesiu tipis yang tertinggal, bercampur lembap dan karat.“Alex!” suara Amel pecah, kali ini tak lagi ditahannya. Tak ada jawaban. Hanya derit pelan mekanisme yang kembali bergerak.Lampu darurat menyala redup... merah. Ruangan tempat Amel duduk kini terbuka sebagian, lantai berhenti bergerak, menyisakan celah menganga beberapa meter di depannya. Jarak yang cukup dekat untuk melihat, tapi terlalu jauh untuk disentuh.Di seberang celah itu, sosok muncul dari bayangan.Alex.Bahunya berdarah. Peluru menggores, tak mematikan, tapi cukup untuk melambatkannya. Tatapannya tetap tajam, terkunci pada Amel seolah dunia di sekeliling mereka tak ada.“Jangan bergerak,” katanya cepat, suaranya rendah namun tegas.Amel mengangguk kecil, air mata menggenang tanpa jatuh. Di atas mereka, suara tepuk tangan terdengar, pelan dan berirama.Martin

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   74. Alex terjebak

    Mobil itu berbelok tajam, menyusuri jalan sempit yang basah. Lampu-lampu kota tertinggal, digantikan deretan gudang tua dan bangunan kosong. Hujan kian rapat, menelan suara mesin. Amel memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi. Ia menahan gemetar, mencoba membaca arah dari setiap belokan. Kanan, kiri, lurus terlalu lama. Bukan jalan yang ia kenal. Tangannya yang terikat bergerak sedikit, cukup untuk merasakan denyut nadi sendiri. “Tenang aja,” suara dari kursi depan kembali terdengar. “Bos cuma pingin ketemu lo ko.” Amel tak menjawab. Ia tahu, setiap kata bisa jadi kesalahan. *** Di mansion, Alex berdiri di tengah ruang kontrol. Layar-layar menampilkan koridor kosong, gerbang tertutup, hujan yang jatuh tanpa saksi. Semua sistem aktif, normal, dan itu yang paling mengganggu. “Trace sinyal di radius tiga kilometer,” perintahnya. “Cari anomali. Mobil mati lampu, pola tak biasa.” Joni menekan panel. “Udah, Bos. Tapi… mereka bersih, tanpa jejak.” Alex mengepalkan tan

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   73. Kehilangan Jejak

    Alex muncul di teras. Jaketnya setengah terbuka, bahu tegap. Di sisinya, anak kecil itu Lily... berlari kecil, tertawa menabrak udara. Alex menurunkan langkah, ia menoleh ke belakang sekali. Dua kali. Lalu... pandangan itu jatuh ke Amel. Amel berdiri di ambang pintu kaca. Rambutnya tergerai, wajahnya pucat di bawah lampu hangat. Ia mengangkat tangan kecil, isyarat sederhana dan Alex mengangguk. Hanya itu. Tapi bagi lensa di kejauhan, itu cukup. *** Di markas Black Dragon, Martin memandangi layar monitor yang menampilkan feed jarak jauh. Ia tak berkedip. Beni berdiri di belakangnya, tangan di saku, rahang mengeras. “Dia sudah menemukan dunianya” gumam Martin. “Anak itu… dan Amel.” “Kalau kita sentuh salah satunya...” Beni memulai. “Alex akan murka dan marah.” Martin menyelesaikan, tenang. “Dan dia tidak akan tinggal diam.” Martin menggeser kursi, berdiri. “Aktifkan fase dua.” Di layar lain, peta kota menyala. Titik-titik bergerak pelan... bukan mendekat ke mansion, mela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status