"Assalamu'alaikum, Ma." Aku berjalan mendekati Mama Intan yang sedang duduk di taman belakang sembari membaca majalah."Wa'alaikumsalam. Ada hal yang penting? Sampai kamu tidak berangkat ke kantor dan malah balik lagi ke rumah Mama," jawab Mama Intan sembari mengulas senyum."Sundari sudah mencarikan Mama sopir sementara. Pak Zul, kan, lumayan lama pulang kampungnya, Ma."Mama Intan langsung menutup majalah dan menatapku. "Sopir baru? Kenapa tidak bilang dulu sama Mama, Sundari?"Pasti Mama Intan keberatan. Aku bisa paham akan hal itu. Karena Mama Intan memang tidak sembarangan memperkerjakan seseorang. Apalagi yang harus tinggal di rumah beliau. Tapi semua ini aku lakukan agar Mama Intan dapat bersatu dengan Ardian."Pasti Mama keberatan, ya?""Memangnya kamu dapat sopir dari mana? Kamu kenal dia?" "Ke - kenal, Ma." Maafin Sundari, Ma, karena harus bohong. Mama Intan menatap begitu serius. "Mama ingin ketemu orangnya."Aku menganggukkan kepala. "Kebetulan Sundari sudah mengajak di
Sundari dan Ardian satu kamar.Sebulan sudah Ardian menjadi sopir pribadiku. Waktu yang terasa begitu cepat. Selama itu pula, aku dan Ardian masih terus jaga jarak sebagai suami istri. Meskipun kadang ada hal yang membuat kami canggung.Sejauh ini, sikap Mama Intan biasa saja. Sepertinya beliau tidak curiga dengan Gatot yang tak lain adalah Ardian. "Ma. Besok Pak Ahmad biar nganter Sundari ke luar kota, ya? Mama gantian sama Gatot!" Aku duduk berhadapan dengan Mama Intan sembari sarapan."Kenapa tidak sama Gatot saja?""Sundari kangen bercanda sama Pak Ahmad, Ma. Lagian kalau ke luar kota, Sundari sudah terbiasa sama Pak Ahmad.""Memangnya Gatot tidak bisa diajak bercanda?""Mama, kan, tahu sendiri kalau Gatot orangnya pendiam.""Kamu tetap diantar Gatot pergi ke luar kotanya!"Kenapa Mama Intan tidak ada rasa khawatir atau pun cemas aku bersama Gatot? Mama Intan, kan, tidak tahu kalau dia sebenarnya Ardian."Ya sudah, Ma. Sundari sama Gatot."---"Besok kamu antarin aku ke luar ko
Jangan lupa follow dan subscribenya ya! Terima kasih.Tok tok tokTerdengar ketukan pintu kamar."Selamat malam, Bu Sundari. Makan malam spesial untuk Bu Sundari dan Pak Gatot sudah kami siapkan," terang pegawai hotel."Makan malam? Tapi saya belum pesan apa-apa untuk makan malam.""Semua sudah disiapkan oleh pihak hotel, Bu."Aku hanya bisa mengangguk, mendengar jawaban dari pegawai hotel. Pasti Mama Intan lagi yang melakukannya.Makan malam spesial berdua dengan Ardian? Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan sedikit membayangkan hal tersebut. Wajah Ardian yang kaku dan ucapannya yang ketus terlintas dipikiran.Hemh ... sudahlah, lebih baik aku tidak memberitahu hal ini pada Ardian.Tidak berapa lama, Ardian keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan celana pendek dengan handuk yang melingkar di lehernya.Aku yang masih berdiri di dekat pintu kamar segera memalingkan wajah. Baru kali ini aku sekamar dengan suamiku sendiri. Rasa canggung begitu kurasakan.Tak ada obrolan
Mama Intan menyambut kepulangan kami dengan raut wajah begitu tenang. Sedangkan aku sedikit takut karena sudah membohongi Mama Intan soal Gatot yang sebenarnya Ardian."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku mencium punggung tangan Mama Intan dan memeluk beliau. Sedangkan Gatot masih berdiri di samping mobil dengan menatap ke arah kami."Ma ... Sundari bisa jelaskan.""Tidak perlu, Sundari! Apapun yang kamu lakukan, pasti sudah kamu pikirkan sebelumnya, kan?""Sundari hanya ingin Mama bahagia. Sundari ingin membalas kebaikan Mama selama ini.""Iya, Mama paham. Bagaimana selama di luar kota?""Kerjaan Alhamdulillah lancar, Ma.""Terus?"Pasti Mama ingin menanyakan soal aku dan Ardian selama di luar kota. "Kenapa Mama melakukan hal itu? Mama tahu, kan, bagaimana hubungan Sundari dan Ardian?"Mama Intan tersenyum tipis. "Kamu juga tahu, kan, bagaimana hubungan Mama dan Ardian? Kenapa kamu nekat melakukan hal ini? Bahkan sampai membohongi Mama. Tidak bisa secepat itu Sundari, Mama dan
Perasaanku begitu gugup. Karena malam ini pertama kalinya aku dan Ardian benar-benar menjadi suami istri seutuhnya. Kini Ardian mendekatiku. Dia memberi senyum yang begitu hangat. "Sundari. Ini adalah malam pertama kita yang tertunda begitu lama. Maafin aku."Aku mengangguk pelan dengan jantung yang berdegup kencang. "Apa kamu masih menyimpan cincin pernikahan kita, Ardian?"Ardian menggelengkan kepala. "Tidak Sundari. Cincin pernikahan itu sudah diambil Mama Mala."Aku menghembuskan napas panjang. "Aku mengerti." Kuperlihatkan senyum tipis pada Ardian.Tiba-tiba Ardian memelukku begitu erat. Aku merasa semua ini seperti mimpi. Kehangatan dari seorang suami yang dulu tak pernah menganggapku, kini kurasakan. Tidak terasa bulir air mata keluar membasahi pipi. Aku bahagi sekali. Tapi ... bagaimana kalau Ardian akan menyakitiku seperti dulu? Perasaan takut mulai bergelayut di pikiran.Aku berusaha melepas pelukan Ardian."Kenapa Sundari? Kamu menangis?""Aku takut, Ardian."Ardian merai
Dengan tangan bergetar, aku mengambil sisa nasi yang berserakan di lantai karena dibuang oleh Nyonya Mala, yang tak lain Ibu mertuaku sendiri."Kamu itu hanya seorang pembantu. Jangan mimpi bisa mendekati Ardian," sebuah ucapan yang dibarengi dengan toyoran di kepala. Berkali-kali aku mendapatkan perlakuan tidak manusiawi di rumah yang begitu mewah dengan fasilitas serba ada tersebut. Pembantu? Ya, aku seorang istri yang selalu dipanggil dengan sebutan pembantu. Bahkan untuk menyebut nama Ardian yang tak lain suamiku sendiri harus dengan sebutan Tuan Ardian."Apa sih, Ma. Pagi-pagi sudah ribut?" tanya Flo adik perempuan Ardian."Mama itu gemes sama pembantu sialan ini, Flo. Apalagi kalau dia dekat-dekat dengan kakakmu.""Suruh pergi saja kenapa, sih, Ma. Lagian Papa 'kan sudah tidak ada.""Tapi bapaknya dia masih hidup, Flo."Keluarga di rumah ini memang sangat membeciku. Karena kedatanganku menjadi istrinya Ardian hanya mempermalukan status mereka sebagai keluarga pengusaha sukses.
Sebuah mobil mewah sudah menjemputku di bandara. Setelah satu tahun aku pergi dari kehidupan Ardian dan keluarganya. Kini saatnya Sundari balik lagi untuk kalian. Dengan berubah menjadi Rubi.Akan kubuat harta kalian jatuh di tanganku agar kalian bisa merasakan menjadi orang miskin. Apa setelah itu kalian masih bisa sombong? "Nona Rubi, silahkan masuk!" ucap seorang laki-laki dengan membuka pintu mobil untukku."Panggil saya Mbak Rubi saja, Pak! Jangan Nona!" Aku tidak ingin meniru gaya keluarga Ardian yang harus menyebut mereka dengan sebutan Nyonya, Tuan, dan Nona. Terlalu sombong.Pandanganku menatap setiap pemandangan yang kulewati saat perjalanan. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera memerankan seorang Rubi dihadapan orang-orang sombong dan angkuh itu.Aku menghela napas panjang sesaat setelah turun dari mobil. Sekarang aku sudah sampai di kota ini lagi. Kulangkahkan kaki dengan gaya yang benar-benar sudah berbeda dari Sundari yang dulu. "Assalamu'alaikum," sapaku di sebuah
Malam ini aku harus tampil dengan mewah. Agar Nyonya Mala yang tak lain Ibu mertuaku terkesima melihat penampilanku.Hemh ... keluarga yang selalu menilai seseorang dari status sosialnya."Pak Ahmad, anterin saya, ya!" pintaku pada sopir pribadi."Baik, Mbak Rubi."Tadinya Ardian ingin menjemputku. Tapi aku memang menolaknya. "Mau ke mana kamu, Bi?" tanya Mama Intan yang tiba-tiba datang. "Mama Intan?" ucapku sembari melayangkan pelukan.""Mama ke sini tadinya pengen ngobrol denganmu, Bi. Tapi sepertinya kamu ingin pergi?""Ardian mengundang Rubi makan makan malam, Ma.""Makan malam? Hebat sekali kamu, Bi. Baru bertemu sekali. Ardian sudah langsung mengundangmu malam malam. ""Semua berkat Mama Intan yang sudah merubah Sundari menjadi sosok Rubi.""Ya sudah. Kamu pergi saja! Besok temui Mama di kantor, ya!" jelas Mama Intan sembari menepuk bahuku dan berlalu pergi."Kita berangkat sekarang, Mbak Rubi?" "Iya, Pak." Aku pun langsung melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil.Segera kute