“Percuma kamu punya suami modal tampang doang! Memangnya hidup mau kenyang hanya cuma makan cinta? Tiap hari kerjanya hanya ngendon di kamar dan jalan-jalan keliling komplek bawa kamera!” hardik Bapak sambil melempar sayuran sisa jualanku hari ini.
Aku hanya terdiam. Sudah bosan beradu debat dengan Bapak yang selalu merendahkan dan menghina Mas Yasa. Lelaki yang sudah dua tahun terakhir ini menjadi suamiku. Pekerjaan Mas Yasa memang hanya serabutan. Namun akhir-akhir ini sebetulnya kondisi ekonomi kami sudah mulai membaik. Mas Yasa sudah berhasil memonetisasi channel Yutub yang digarapnya. Dia memang sejak dulu sangat suka membuat konten-konten menarik.“Yang penting aku dan Mas Yasa tidak merepotkan Bapak dan Ibu lagi! Sejak kami menikah cuma hitungan jari aku meminta bantuan kalian ataupun saudara yang lainnya! Itupun waktu Alika sakit. Selebihnya kami berjuang dan berdiri di atas kaki sendiri!” ucapku.“Kamu itu masih saja belain si Yasa itu! Lelaki yang bertanggung jawab itu harus punya pekerjaan tetap! Beliin kamu rumah! Bukannya dua setengah tahun terus-terusan ngendon di pondok mertua indah!” Mbak Miranda yang baru datang turut menceramahiku. Dia kakak satu ayah tapi beda ibu. Rumah Mbak Miranda hanya terhalang dua rumah dari rumah Bapak dan Ibu.“Mbak, apa kamu gak bosan menghina suamiku terus? Kami tidak pernah merepotkan kalian! Bahkan tiap hari aku juga turut andil dalam urusan dapur! Kalian tidak sadar kalau setiap sore kalian juga ikut menikmati sayuran gratis sisa jualanku! Bahkan seringkali kalian mengambil sayuran dari tudung saji rumah ini!” ucapku dengan dada menahan sesak.“Tuh, Pak! Si Mela makin gak tahu diri saja! Cuma sayuran sisa saja ddiungkit-ungkit terus!” cebiknya sambil menginjak seikat kangkung yang tadi dilempar Bapak.Nyess!Hatiku terasa nyeri. Bapak melihat ke arahku dengan tatapan tidak suka juga.“Kamu itu memang selalu keras kepala, Mel! Dari dulu juga Bapak udah larang kamu nikah sama si Yasa! Orang gak ada kerjaan kayak gitu! Lihat Mbakmu sekarang! Dia sudah punya rumah sendiri dan hidup mapan! Coba kamu dulu mau dilamar sama si Sobir, sekarang kamu sudah jadi istri kepala desa!” ucapnya.Hidup di kampung seperti ini memang sangat menjadi sorotan ketika suami memang tidak punya pekerjaan. Terlebih Mas Yasa yang memang pekerja seni tidak terlihat kerja kerasnya di depan Bapak.Dia hanya sesekali dipanggil untuk menyanyi di acara nikahan. Selebihnya dia berkutat dengan laptop dan benda pipih di kamarnya. Membuat konten Youtube yang katanya suatu hari nanti bisa jadi pasif income. Benda-benda mahal itu dia sudah miliki jauh sebelum dia menikah denganku.Mas Yasa bukan orang pendidikan rendah. Namun karena pilihan profesi yang tidak nyata ini, dia selalu direndahkan. Bukan hanya dari pihak keluargaku, dari keluarganya juga. Bahkan saat kami menikah, tak ada satupun keluarga besarnya dari Surabaya yang datang ke sini.“Sekarang ke mana lagi si Yasa pengangguran itu? Masih ngendon aja di kamar? Malah relain istri keliling jualan! Memang menantu miskin gak tahu diri!” gerutu Bapak.Aku menyeka air mata. Kupunguti sayuran yang tadi dilemparkan Bapak. Sementara Mbak Miranda masuk ke dalam dan pastinya langsung membungkus masakan yang tersisa. Dia paling malas masak dan sukanya menghabiskan stock yang ada di rumah.“Mbak, sisain ayamnya! Itu sengaja kugoreng lembek buat Alika, biar gampang nanti dilembutkannya!” ucapku. Alika putriku yang usianya sudah satu setengah tahun lebih.“Alaah! Pelit banget kamu, Mel! Sudah miskin terus pelit nanti seret lho rejekinya!” Dia tidak menggubris. Lalu pergi setelah misinya berhasil. Mengeruk isi dari tudung saji.Aku hanya mengelus dada. Lalu berjalan ke kamar kami yang ada di belakang. Kubuka pintunya tampak Alika tengah duduk di punggung Mas Yasa yang sedang fokus sama laptopnya. Dia sedang mainkan rambut ayahnya.“Mas, udah makan?” tanyaku.“Belum, Mel! Ini tanggung konten aku sebentar lagi selesai! Ini sudah banyak subscriber dan jam tayangnya sudah lumayan! Semoga mimpiku bisa segera jadi nyata! Aku bisa menjadi seperti Atta halilintar yang kaya raya hanya dengan hasil ngonten, Dek!” ujarnya.“Iya, Mas! Aku doakan! Pengen cepetan punya rumah sendiri dan pindah dari sini!” ucapku sambil terduduk di samping Mas Yasa.“Sabar, ya, Dek! Bulan ini kan penghasilanku sudah lumayan. Hanya memang butuh untuk fokus dan konsisten saja! Kamu juga gak perlu jualan sayur lagi, Dek! Uang kita bisa cukup hanya untuk menyambung hidup!” ucapnya sambil tersenyum dan menoleh ke arahku.“Gak apa, Mas! Aku bosan juga di rumah! Lagian para pelanggan aku sudah banyak dan untungnya lumayan, jadi uang hasil dari yutub kamu nanti bisa ditabung!” ucapku.“Iya, semoga segera terlaksana, Dek! Ini rumah impian untuk kita nanti!” ujarnya sambil menunjukkan sebuah gambar yang terpampang pada wallpaper laptopnya.Brakk!“Duh aduh aduh! Pasangan tukang ngimpi emang! Ngarepin bisa beli rumah besar tapi gak mau kerja!” tanpa kukira Mbak Miranda sudah berdiri lagi di ambang pintu kamar kami. Tidak sopan memang.“Mbak, jangan hinakan mimpi kami! Lagian kamu ngapain balik ke sini lagi? Bukannya isi tudung saji sudah bersih?” pekikku.“Aku lupa, belum masak nasi! Jadi mau ambil sekalian! Masa kamu saja yang nikmati nasi dari hasil kerja keras Bapak! Enak banget numpang teruuuus!” ucapnya sambil mencebik. Lalu berjalan meninggalkanku dan Mas Yasa yang saling bertukar pandang.“Sabar, ya, Dek! Maafkan pekerjaan Mas yang tidak keren seperti suaminya Mbak Miranda yang kantoran! Padahal kan pendapatan Mas sekarang saja sudah mulai lebih besar dari pada gaji UMR yang ada! Makanya kamu udah gak usah jualan sayur lagi! Mending di sini bantuin Mas bikin konten biar lebih menarik lagi,” ujarnya.“Gak apa, Mas! Biar nanti ketika kita sukses bisa memberikan kejutan yang indah untuk mereka! Biar mereka menganga melihat tukang ngendon dan tukang sayur tapi isi rekeningnya lebih besar dari pada suaminya Mbak Miranda yang pekerja kantoran!” ucapku sambil mencoba tersenyum.“Sabar, ya, Dek! Maafkan pekerjaan Mas yang tidak keren seperti suaminya Mbak Miranda yang kantoran! Padahal kan pendapatan Mas sekarang saja sudah mulai lebih besar dari pada gaji UMR yang ada! Makanya kamu udah gak usah jualan sayur lagi! Mending di sini bantuin Mas bikin konten biar lebih menarik lagi,” ujarnya.“Gak apa, Mas! Biar nanti ketika kita sukses bisa memberikan kejutan yang indah untuk mereka! Biar mereka menganga melihat tukang ngendon dan tukang sayur tapi isi rekeningnya lebih besar dari pada suaminya Mbak Miranda yang pekerja kantoran!” ucapku sambil mencoba tersenyum. Mas Yasa tersenyum lembut. Dia lelaki yang sangat pengertian sebetulnya. Cuma memang karena waktunya habis di kamar jadi seolah dia lelaki yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga.Pernah dulu beberapa kali menggantikanku keliling menjual sayur. Kami bertukar posisi. Aku dimintanya untuk membuat konten agar tidak terlalu berat kerjanya. Namun dalam hitungan hari, jam tayang langsung menurun dr
“Mela, Bapak besarkan kamu dari kecil, berharap suatu hari nanti kamu bisa menjadi kebanggaan keluarga! Namun apa? Tidak ada hal baik yang bisa kamu berikan pada Bapak yang telah berjasa membesarkanmu ini!Bahkan menuruti permintaan kecil Bapak saja kamu tidak mau! Bapak kecewa punya anak seperti kamu, Mela!Setidaknya lihat Mbakmu---Miranda, hidupnya mapan dan terpandang. Punya suami pekerja keras dan sudah karyawan. Sudah punya rumah. Tiap bulan bisa ngasih sama ibu dan Bapak! Lha kamu?Apa yang sudah kamu berikan pada Ibu dan Bapak? Selama dua puluh empat tahun kami besarkan! Gak ada timbal baliknya sama sekali! Bisanya hanya buat malu dan buat Bapak kecewa!” ujarnya lagi. Aku semakin erat memeluk Alika. Ingin aku berlari ke kamar dan menangis sepuas-puasnya. Setiap ucapan Bapak terasa pedih mengiris. Mungkin jika Ibu mengatakan dia bukan Bapak kandungku, maka aku akan percaya. Sejak kecil, perlakuannya sangat berbeda padaku dengan perlakuannya pada Mbak Miranda. Aku menguatkan
“Kamu yakin mau ikut? Mas akan coba pulang dulu ke Surabaya, Dek! Mungkin benar, kalau nunggu dari konten ini menghasilkan akan terlalu lama! Mas mau pinjam uang modal pada keluarga, Mas!Kamu beneran mau ikut, tapi harus siap menghadapi sikap keluarga Mas yang memang belum merestui pernikahan kita, Dek! Mas cuma takut kamu gak kuat!” lirihnya. Aku terdiam. Dilemma datang. Sudah dua tahun menikah, bahkan aku belum mengenal seperti apa rupa mertuaku dan saudara-saudara Mas Yasa. Pilihan yang Mas Yasa ambil telah benar-benar membuatnya menjadi orang terbuang juga dari keluarganya. “Aku akan coba, Mas!” lirihku. Dia tersenyum, menatap dengan sorot netra sendu. Hatinya pasti sangat luka dengan semua ucapan Bapak. “Pegang dulu Alika, Mas!” Aku memberikan putri kami yang sejak tadi ketakutan dalam dekapanku. “Ika, Cayang!” ucap Mas Yasa sambil menghujani wajah mungil buah hati kami dengan ciuman. Aku segera membereskan pakaianku. Tekadku sudah bulat, mau ikut ke mana pun Mas Yasa perg
Dua hari setelah kepergian Mas Yasa, kondisi ibu membaik. Kehadiran Alika memang benar-benar obat yang mujarab untuknya. Meskipun ada cucu lain dari Mbak Miranda, tapi Ibu selalu memperlakukan Alika istimewa.Ya, meski bukan memanjakannya dengan kemewahan tapi itulah yang aku rasakan. Alika bagi ibu seperti segalanya. Mbak Miranda memiliki dua anak laki-laki. Mungkin karena itulah, Alika jadi cucu perempuan satu-satunya. Jafran bahkan kadang mengeluh pada Mbak Miranda katanya kasih sayang Nenek berat sebelah. Anak bungsu Mbak Miranda itu meskipun lelaki dia adalah seorang pengadu. Padahal usianya baru juga empat tahun. Sementara anak pertamanya sudah duduk di sekolah dasar kelas dua. Agis nama putra pertama Mbak Miranda. “Mel, kapan kamu bisa nyetriakin baju, Mbak? Itu di rumah udah numpuk!” ujarnya sambil menurunkan Jafran dari gendongannya. Anak lelaki itu langsung berlari bermain ke rumah tetangga. “Iya, Mbak! Entar aku setrikain! Ini lagi mau nidurin dulu Alika biar Ibu gak ca
“Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas bisa kasih kamu uang kalau kamu tutup mulut! Lagian ‘kan kamu pasti kesepian juga! Yasa bukannya sudah diusir Bapak, ya?” seringainya. “Istighfar, Mas! Aku gak serendah itu! Kumohon Mas, cepat pergi dari kamar ini!” ucapku sambil berjalan menggeser langkah. Aku tidak boleh terus mundur atau akan terpojok olehnya. “Ayolah Mel, Mas sudah gak tahan! Sudah lama Mas suka sama kamu sebetulnya!” ucapnya sambil membuka kancing kemejanya. Aku segera berlari menuju pintu yang kuncinya masih menggantung di sana. Namun tangan Mas Hasim menarik kain dasterku dari samping. Beberapa kancing depan terlepas.“Jangan, Mas!” Aku menepis lengannya tapi tidak merubah posisi. Mas Hasim semakin mendekat ke arahku.“Mau lari ke mana, Mela! Layanin Mas dulu, sebentar saja!” bisiknya. Menjijikan. Kusiku perutnya tapi dia malah terkekeh. Dia mendorong tubuhku sehingga terjatuh di antara tumpukan pakaian. “Mas, Lepas! Tol--,” satu tangannya membekap mulutku. Air m
“Sayang, nanti kita telepon ayah, ya, Nak!” ujarku sambil menciumi pipinya dan kubawa dia ke kamar belakang.Kututup pintunya. Kupeluk Alika sambil berbaring di atas ranjang. Gadis kecilku menggeliat dan menatapku heran. Air mata ini terus mengalir. Sakit, sesak dan tak tahu harus mengadu pada siapa lagi sekarang. Kuraba gawai yang tak bernyawa ini. Gawai ini ponsel lama yang hanya bisa menerima panggilan telepon dan sms. Belum bisa akses internet.Semenjak menikah, gak pernah aku memakainya. Kusimpan saja di dalam lemari karena ini kubeli waktu lajang dulu dari hasil nguli. Baru ketika Mas Yasa pergi, kupergi ke counter dan membeli kartu sim. Aku sudah menghubungi pada nomornya kemarin agar dia menghubungi balik. Sepertinya telepati di antara kami masih terpatri. Ponsel jadulku berdering. Mas Yasa menelpon. Dengan binar bahagia aku segera mengangkat panggilan darinya. Berharap mendapat kabar baik dari seberang sana. “Hallo, Assalamualaikum, Mas!” sapaku.“Wa’alaikumsalam … kalian
“Mira, Ibu kasih tahu! Mela di sini memang numpang tidur. Namun bukan numpang, tepatnya ini memang rumah Mela karena rumah ini dibangun dari hasil ibu menjual tanah … tapi asal kamu tahu, dia tak pernah merepotkan kami. Mela tidak menumpang makan seperti yang kamu tuduhkan! Justru semua nasi dan lauk pauk yang kami makan itu hasil dari jerih payah Mela berjualan! Bukan dia yang numpang tapi Ibu dan Bapak yang selama ini numpang makan rejekinya Mela!” Aku menoleh. Ibu datang dan menjabarkan semua itu pada Mbak Miranda. Dulu dia tidak pernah berbicara seperti itu karena takut Mbak Miranda yang memang bukan anak kandungnya akan tersinggung. Benar saja, Mbak Miranda meletakkan semua makanan itu kembali ke atas meja dengan setengah dibantingnya. Dia menoleh pada Ibu.“Jadi, ibu mau bilang kalau aku selama ini meski rumah terpisah tapi tetap numpang makan di sini? Jadi ibu kini mau banding-bandingkan Mela sama aku, kalau Mela itu lebih baik di mata Ibu?” ucapnya dengan napas naik turun se
Iseng kuklik gambar mic pada gawai jadulku yang sering error sendiri. Eh, tapi ini ada beberapa file rekaman? Apa tidak sengaja tertekan waktu aku terjatuh akibat ulahnya? Coba nanti aku periksa usai shalat maghrib saja.Gegas kutunaikan tiga rakaat. Kulakukan dengan khidmat. Rasanya ada kedamaian menyusup pada relung kalbu setiap kali lantunan kalimat suci itu terucap perlahan dari bibirku. “Robbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’afini wa’fu ‘annii.”“Wahai Tuhanku! Ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkanlah segala kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rezeki padaku, berilah aku petunjuk, berilah kesehatan padaku dan berilah ampunan kepadaku.”Kuhayati setiap bacaan shalat yang kulantunkan dengan khidmat. Memohon pada sang pemilik kehidupan. Kadang ingin menyerah dan pasrah, tapi setiap kali menghayati setiap makna dari rangkaian kalimat yang setiap lima kali sehari aku lantunkan, hati ini segar kembali. Selalu ada pucuk harapan yang terbayang indah