Share

Bab 7

“Sayang, nanti kita telepon ayah, ya, Nak!” ujarku sambil menciumi pipinya dan kubawa dia ke kamar belakang.

Kututup pintunya. Kupeluk Alika sambil berbaring di atas ranjang. Gadis kecilku menggeliat dan menatapku heran. Air mata ini terus mengalir. Sakit, sesak dan tak tahu harus mengadu pada siapa lagi sekarang.

Kuraba gawai yang tak bernyawa ini. Gawai ini ponsel lama yang hanya bisa menerima panggilan telepon dan sms. Belum bisa akses internet.

Semenjak menikah, gak pernah aku memakainya. Kusimpan saja di dalam lemari karena ini kubeli waktu lajang dulu dari hasil nguli. Baru ketika Mas Yasa pergi, kupergi ke counter dan membeli kartu sim. Aku sudah menghubungi pada nomornya kemarin agar dia menghubungi balik.

Sepertinya telepati di antara kami masih terpatri. Ponsel jadulku berdering. Mas Yasa menelpon. Dengan binar bahagia aku segera mengangkat panggilan darinya. Berharap mendapat kabar baik dari seberang sana.

“Hallo, Assalamualaikum, Mas!” sapaku.

“Wa’alaikumsalam … kalian sedang apa?” suara baritonnya terdengar sedikit serak.

“Aku sedang di kamar bareng Alika, Mas! Kamu lagi ngapain? Kok suaranya serak kayak gitu? Kamu sakit?" tanyaku.

“Aku baru bangun tidur, Dek!” jawabnya. Namun feelingku kok merasa aneh, gak biasanya dia tidur jam segini.

“Mas, kapan jemput aku sama Alika? Aku sudah gak betah tinggal di sini,” tukasku sambil mulai terisak. Masih terekam jelas semua kejadian menyesakkan pagi tadi. Tapi aku tidak hendak membicarakannya pada Mas Yasa sekarang, takut dia malah kepikiran. Aku gak mau dia kenapa-kenapa di sana. Aku hanya ingin dia segera menjemputku dengan Alika.

“Sabar, ya, Dek! Mas akan segera jemput kamu! Doakan semoga semuanya lancar!” ucapnya.

“Tapi aku gak mau nunggu kamu sukses dulu baru pergi! Aku mau ikut kamu sekarang, Mas! Jemput aku sekarang, Mas!” Aku terisak.

“Kamu jangan sedih kayak gitu dong, Dek! Kalau kamu Mas jemput sekarang nanti gimana dengan ibu? Keadaan kita masih megap-megap … aku tak mau kamu sama Ibu malah menderita nanti! Banyakin zikir, ya, Dek! Mas juga kangen! Kangeennn banget …,” lirihnya.

Air mata ini semakin deras mengalir. Aku bukan hanya kangen, Mas! Aku takut, benar-benar takut kejadian seperti tadi berulang lagi. Aku takut, bagaimana kalau pada saat itu aku tak bisa menghindar lagi. Aku gak bisa sendirian di sini, Mas. Gak bisa, Mas. Namun itu tak mampu kuucapkan padanya, hanya bergaung dalam dada.

“Dek, kok diem?” Suara Mas Yasa mengembalikan memoriku. Aku menarik napas panjang.

“Lagi nungguin kamu ngomong, Mas! Aku takut, Mas sendirian di sini,” gumamku sambil menghembuskan napas melepas beban.

Dia terkekeh. Suara tertawanya masih sama, hanya saja kini aku tak bisa menatap deretan gigi putihnya yang menambah manis tawanya.

“Ya masa Mas ngomong sendiri, Dek! Kamu mau cerita apa? Ayo mas dengarkan! Eh, Alika mana, Dek?” tanyanya.

“Ini Mas, dia lagi miring-miring di samping aku dengerin kita bicara. Alika bingung mungkin kok kamu ada suaranya aja,” ucapku. Sedikit demi sedikit beban ini terasa lebih ringan.

Ya, berbicara dengan Mas Yasa membuat hatiku yang rapuh perlahan menguat lagi. Apalagi dia selalu berbicara dengan yakin, jika dia akan menjemputku kembali.

Kami mengobrol cukup lama. Berbicara tentang apa saja yang bisa dibicarakan. Jarak yang menghalang ternyata bukan memudarkan perasaan ini, justru sebaliknya. Aku semakin yakin jika hati ini hanya miliknya.

Puas mengobrol dengan Mas Yasa, aku mematikan ponsel. Bersiap untuk memasak, setelah itu ba’da ashar nanti aku pergi ke pasar. Sepeda tua yang kami beli waktu awal nikah ternyata sangat berguna sekarang. Aku bisa berbelanja dengan menghemat ongkos jalan.

Aku memasak seperti biasa. Alika seperti biasa bermain bersama ibu. Setelah masakan selesai, kusimpan semua di dalam tudung saji. Mungkin hari ini aman dari jarahan Mbak Miranda, secara dia lagi marah sama aku atas perbuatan suaminya! Gak rugi sebetulnya dia memusuhiku, justru semua makanan ini harusnya akan aman dari jarahannya.

Jarak pasar ke rumah kutempuh dalam waktu empat puluh lima menit dengan bersepeda. Tidak jauh sebetulnya, tapi berjualan sayur keliling tetap banyak peminatnya.

Setelah kumemilih sayuran segar untuk kujual. Gegas kukayuh kembali sepeda ini menuju kediaman.

Sayur-sayuran kutata pada bakul jualanku agar besok awal pagi bisa keliling. Biasanya menghabiskan waktu hampir setengah hari hingga semua sayuran ini habis terjual.

“Alika sudah bangun, Bu?” tanyaku setelah aku selesai mandi. Tadi sewaktu baru tiba aku melihatnya tengah tertidur di kamar ibu.

“Sudah, itu lagi masih main di kamar ibu,” ucap wanita paruh baya yang menjadikan alasanku masih bertahan di sini.

Obrolan kami terhenti ketika pintu depan terbuka dengan keras. Ternyata yang datang Mbak Miranda. Dengan wajah ditekuk dia melewatiku tanpa berkata apa-apa, langsung menuju dapur. Aku yang memang hanya masak sedikit untuk Bapak dan Ibu saja mengikutinya.

“Mbak, itu makanan buat Bapak sama Ibu! Kenapa sih gak masak sendiri saja?” ucapku sambil berdiri tidak jauh darinya.

“Bapak kamu, Bapak Mbak juga walau ibu kita berbeda! Mbak juga berhak kok menikmati makanan mereka! Emang kamu aja yang bisa enak-enakkan tidur, makan gratis di sini seumur hidup!” ucapnya selalu dengan alasan yang sama.

“Mbak, tolong jangan bawa semua! Aku masak dikit, sisain buat Ibu … seharian dia capek juga jagain Alika!” Kali ini aku benar-benar tidak rela.

Dia memindahkan semua makanan itu ke dalam mangkuk plastik yang diambilnya dari rak piring. Sudah pasti ketika makanan yang dibawanya habis, mangkuk itu pun tidak akan kembali.

“Gak ada hak kamu yang cuma numpang melarang-larang aku di sini! Ini rumah Bapak, bukan rumah kamu! Nasi ini juga ditanam dari sawah Bapak, Bapak Mbak juga bukan Bapak kamu saja!” ujarnya seolah aku ini hanya benalu di rumah ini.

Namun suara Ibu mengalihkan perhatian kami.

“Mira, Ibu kasih tahu! Mela di sini memang numpang tidur. Namun bukan numpang sih, tepatnya ini memang rumah Mela karena rumah ini dibangun dari hasil ibu menjual tanah … tapi asal kamu tahu, dia tak pernah merepotkan kam. Mela tidak menumpang makan seperti yang kamu tuduhkan! Justru semua nasi dan lauk pauk yang kami makan itu hasil dari jerih payah Mela berjualan! Bukan dia yang numpang tapi Ibu dan Bapak yang selama ini numpang makan rejekinya Mela!”

Aku menoleh. Ibu datang dan menjabarkan semua itu pada Mbak Miranda. Dulu dia tidak pernah berbicara seperti itu karena takut Mbak Miranda yang memang bukan anak kandungnya akan tersinggung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Theart Art
cerita Evie yuzma emang semua top dr yg aq baca selalu lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status