Share

Bab 6

“Ra, bisa kita bicara? Sebentar saja.” Mas Rustam menatapku dengan pandangan yang entah. Toko grosiran tempatku kerja memang bersebelahan dengan salah satu toko elektronik milik orang tuanya.

“Gak ada lagi yang harus dibicarakan, Mas.” Aku bangkit dan hendak meninggalkannya. Kulirik Meida dan mengisyaratkan agar sotoku dia bawa. Meida mengangguk paham. Namun lenganku dicekal oleh Mas Rustam.

“Please, Ra.”

Aku mematung ketika terasa cekalan yang cukup erat pada pergelangan tanganku. Lantas kutarik paksa hingga terlepas.

“Semua sudah selesai, Mas. Gak ada lagi yang harus dibicarakan.”

“Aku sudah memikirkannya lagi. Memikirkannya dalam-dalam. Kita akan tetap menikah, dengan atau tanpa restu keluargaku, Ra.”

Mas Rustam berucap yakin dan pasti. Namun, aku tak lagi peduli. Aku setengah berlari meninggalkan dia dan bergegas masuk ke dalam toko. Aku tak mau lagi berandai-andai pada sebuah pernikahan. Buat apa menikah jika hanya menambah permasalahan.

Namun, tetap saja terasa sesak. Setibanya di dalam toko, aku langsung masuk ke kamar mandi. Melewati Mas Irwan yang baru saja keluar dari ruangannya. Dia memanggilku, tetapi kuabaikan. Aku melewati Idan, Sarmin dan Lila yang tampaknya baru saja selesai makan.

“Mbak Rara kenapa?” Kudengar pertanyaan Lila.

“Sakit perut, La.” Aku menjawab asal. Lalu masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Tumpah sudah rasa sesak yang memenuhi rongga dada ini.

“Kenapa Rara?” Kudengar dari luar kamar mandi, Mas Irwan bertanya.

“Sakit perut, Mas. Kali makan sotonya kebanyakan sambel.” Lila menjawab. Lalu tak terdengar lagi suara Mas Irwan dan aku memutar kran agar tangisku tak terdengar hingga keluar.

Sepuluh menit kurang lebih ketika pintu kamar mandi diketuk.

“Mbak, aku kebelet, nih!” Suara Lila terdengar. Ketukan pada daun pintu beruntun. Mau tak mau aku menyudahi tangisku dan gegas mengambil membasuh wajah dan melihat pantulan diriku di depan cermin.

Pintu kubuka. Sudah ada Meida dan Lila yang berdiri di sana dan menatap cemas.

“Mbak, yang sabar, ya!” Keduanya serempak memelukku. Rupanya Lila bukan kebelet ke toilet, tetapi hanya untuk memancingku agar membuka pintu.

Ah, dipeluk seperti ini oleh mereka. Akhirnya aku malah nangis lagi. Kami bertiga berpelukan di depan toliet hingga kudengar suara Sarmin yang meminta lewat.

“Duh, ngalangin jalan, woyyy!”

“Rese, lo, Bang!” Lila sempat-sempatnya ngomel. Lalu kami melepas pelukan dan Lila serta Meida membimbingku duduk di dapur kecil yang ada di belakang toko.

“Kalian kok bisa tahu?” Aku menyudahi tangisku. Awalnya sudah ikhlas, gak pengen nangis, tapi tetap saja nyesek.

“Meida yang cerita tadi,” jelas Lila.

Aku menautkan alis dan menatap Meida. Aku tak menceritakannya pada siapapun. Sudah malu, sering sekali curhat gagal nikah lagi, gagal lagi hanya karena alasannya restu.

“Tadi Mas Rustam cerita di depan. Dia minta aku sampein ke Mbak Rara. Dia serius mau ajak nikah, ngajak Mbak Rara kawin lari saja, katanya.” Meida berucap dan tampak prihatin menatapku.

“Mbak sudah gak mikirin urusan nikah, Mei. Mungkin gak akan nikah aja sampai tua. Dari pada sakit hati mulu. Mbak capek.” Aku mengelus dada.

“Kok gitu, sih, Mbak. Please jangan buat kita sedih. Aku yakin, Mbak pasti akan dapetin seseorang yang bisa bikin Mbak bahagia. Yang sabar, ya.” Lila kembali memelukku.

“Kerja, weyy! Kerja!” Sarmin kembali lewat, keluar dari kamar mandi.

“Sirik aja, lo!” bentak Lila. Dia mengacungkan kepalan tangannya ke arah Sarmin.

“Iya, ih. Sudah jam satu. Nanti Mas Irwan ke sini dilaporin sama si Babeh. Aku balik ke depan dulu, ya! Kasihan Mas Rahmat belum makan. Mbak Rara juga, cepetan makan, gih!” Meida melihat jam yang menempel di dinding.

Lila pun bergegas kembali mengerjakan pekerjaan hingga menjelang sore. Aku memaksakan makan meski sedikit sebelum kerja lagi. Toko grosiran ini sangat ramai. Sampai-sampai pekerja sebanyak enam orang ini pun selalu keteteran. Namun, karenanya aku bersyukur. Kami bisa menggantungkan hidup dari sini.

Jam lima sore, toko baru tutup. Gawaiku berdering dan panggilan dari nomor Ibu yang masuk.

“Ya, Bu.” Aku meraih jaket dan memakainya. Lila dan Meida sudah bersiap juga.

“Gak usah beli lauk, Ibu tadi diberi daging sapi sama Bu Yayah. Ini Ibu masak rendang.”

“Oh ya sudah, Bu. Rara sebentar lagi pulang.”

“Hati-hati ya, Ra.”

Panggilan pun berakhir. Lila dan Meida sudah berjalan duluan melewati lorong-lorong berisi rak dan penuh dengan barang-barang. Berbeda dengan para lelaki yang tampak tengah mengobrol santai dulu di depan.

“Mbak duluan, ya!” Meida dan Lila melambaikan tangan. Rumah mereka searah, jadinya setiap hari berboncengan. Uang bensin dibagi dua jadinya.

“Hati-hati!” Aku melambaikan tangan dan tersenyum ke arah mereka.

“Ra, please!” Suara itu. Aku menoleh dan benar saja, Mas Rustam sudah berdiri di sampingku agak ke belakang.

“Mas, tolong ngertiin aku. Apa kamu gak puas mendengar gelar yang tersemat begitu panjang di belakang namaku. Perempuan gila, bekas korban perkosaan, sudah tak perawan! Apa kamu mau aku dihina lebih dari itu oleh ibumu?! Aku manusia, Mas. Aku punya hati. Lebih baik kita selesai.”

Aku tak lagi bisa mengontrol emosi. Andai dia memang serius dan ingin menikahiku, bukan seperti ini caranya. Kemarin waktu aku dikata-katain, dihina, direndahkan, dia diam saja. Sekarang datang, maksa-maksa mau ngajak kawin lari tanpa restu keluarganya? Dia pikir, aku ini apa?!

“Enggak, Ra. Aku mencintai kamu. Kamu juga mencintai aku ‘kan? Kita sama-sama saling cinta, Ra. Please jangan buat aku tersiksa karena harus kehilangan kamu.” Dia hendak meraih lenganku, tetapi aku menepisnya.

“Kamu hanya kehilangan aku, Mas. Aku sudah kehilangan segalanya. Jadi gak usah banding-bandingin siapa yang lebih tersiksa di sini.” Suaraku gemetar. Air mata, ah cengeng memang. Lagi-lagi jatuh tak bisa kutahan.

“Ra, please!” Dia hendak meraih tanganku lagi ketika tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti di dekat kami.

“Jangan ganggu Humaira!" Suara bariton itu terdengar seiring dengan terbukanya pintu mobil bagian depan dan menampilkan sosok yang kukenal.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marcos
mungkinkah pelakunya dudsa itu?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status