“Ra, please!” Dia hendak meraih tanganku lagi ketika tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti di dekat kami. “Jangan ganggu Humaira!” Suara bariton itu terdengar seiring dengan terbukanya pintu mobil bagian depan dan menampilkan sosok yang kukenal. Aku dan Mas Rustam menoleh ke asal suara. Aku tertegun sejenak. Lelaki dengan kemeja warna navy dengan lengan digulung menjadi tiga perempat itu sudah berdiri tak jauh dari tempatku dan Mas Rustam berada. Tampilannya tampak perlente dan rapi. Mungkin dia baru saja pulang kerja.“Siapa kamu?! Ngapain sok ikut campur urusan saya?!” Mas Rustam menatap tak suka pada sosok lelaki yang baru turun yang tak lain adalah Mas Laksa itu. “Humaira, masuk! Saya antar kamu pulang!” Dia seolah tak menggubris pertanyaan Mas Rustam. Lirikan matanya mengarahkan pada pintu mobilnya yang tertutup. Meski canggung dan bingung, tetapi menghindari Mas Rustam adalah lebih baik. “Ra!” Mas Rustam hendak meraih lenganku, tetapi kalah cepat denganku yang sete
“Ibu, tunggu!” Aku mengejar langkahnya. Malu kalau ujug-ujug dia nanyain Mas Laksa seperti itu. Mau ditaruh di mana mukaku ini? Duh, kok jadi Ibu yang agresif, ya?Langkahku berhasil menjejeri Ibu. Lantas aku menarik lengannya. “Duh, Ra! Hati-hati, loh! Untung gak tumpah.” Ibu mendelik ke arahku ketika teh manis yang ada dalam nampannya nyaris tumpah. “Ibu tolong, ya. Jangan aneh-aneh.” Aku menjejerinya dan terus berbicara. “Aneh-aneh apa, sih, Ra? Ibu cuma mau –“ “Ahm, Ra.” Suara Mas Laksa membuatku dan Ibu yang tengah berdebat di ruang tengah menoleh. Dia sudah berdiri di ambang pintu. “Ya.” Aku menyahut.“Boleh permisi ke toilet sebentar?” “Ahm, silakan, Mas. Langsung saja ke belakang, ya.” “Permisi, ya.” Mas Laksa membungkuk melewati aku dan Ibu yang tengah mematung. Di tangan Ibu ada nampan berisi teh, sedangkan di tanganku ada baskom dan handuk kecil. “Kamu sih, Ra. Ribut mulu. Ibu Cuma mau nanya baik-baik kok sama Nak Laksa.” Ibu menatap punggung Mas Laksa yang menja
Sepanjang perjalanan aku menerka-nerka. Kira-kira dia kirim pesan lagi atau tidak? Beberapa hari ini, hati yang kosong seolah memiliki sedikiit warna. Bahkan tak jarang aku membaca chat dari Mas Laksa berulang-ulang. Ya, Tuhaaan? Apakah aku menaruh harapan pada perhatiannya? Serapuh inikah perasaan gadis yang sudah tak perawan dan usianya sudah tak lagi muda? Malu sendiri rasanya. Lantas kucoba mengubur dalam-dalam selintas senyum Mas Laksa yang mulai mengganggu ingatan. Namun, tetap saja, setiap hari kubaca chatnya sebelum tidur, berulang. Aku mengendurkan laju sepeda motor ketika sudah hampir tiba ke rumah. Tampak di depan rumahku ada dua mobil avanza terparkir. Siapakah mereka yang bertamu. Kalau dari mobilnya, itu bukan punya Mas Laksa. Lalu punya siapa? Sepeda motorku melaju lambat, tetapi tetap jua tiba. Aku parkir di depan karena tampak di teras ada lima orang yang tengah duduk melingkari meja kayu buatan Bapak. Aku menelan saliva ketika melihat lelaki jangkung yang menole
Baru saja aku hendak melangkah ketika gawaiku yang kusimpan di atas tempat tidur berdering. Nomor Mas Laksa muncul di sana. Aku meraihnya dan segera mengangkat panggilannya sambil berjalan menuju ke depan. Apakah sekhawatir itu dia padaku? “Hallo, assalamu’alaikum, Ra!” Suaranya terdengar di telinga seiring dengan kubuka daun pintu. Sejenak aku mematung, senyum itu mengembang begitu saja. Mas Laksa tengah berdiri di samping mobilnya dengan gawai yang ditempel pada telinganya. “Wa’alaikumsalam.” Aku menurunkan ponsel dan mematikan sambungannya. Sepasang mata jernih itu tampak menyipit seiring dengan senyuman yang mengembang. Mas Laksa berjalan mendekat. Ditentengnya satu plastik keresek warna hitam lantas disodorkan padaku. “Apa ini, Mas?” Aku menerimanya dan meneliti isi yang ada dalam plastik. “Ahm itu, sop iga sapi, Ra.” Mas Laksa berdiri dalam jarak kurang dari satu meter. Harum aroma maskulin menguar dan menusuk penciuman. Ada tiga kantung dalam plastik itu dan tiga bungkus
“Gimana, Bu? Sepertinya memang lebih baik kita pergi dari sini. Kita pindah ke tempat di mana orang-orang gak mengenal kita?” Aku menatap Ibu penuh harap.Gerakan tangannya yang tengah menyendok telur dadar yang kubuat untuk menu makan siang melambat. Ibu tampak berpikir beberapa lama. Lantas dia menatapku dalam. Pada akhirnya, bersama sebuah tarikan napas kepalanya mengangguk.“Alhamdulilah … makasih, Bu. Rara akan segera cari-cari informasi pekerjaan di kota.” Aku tersenyum sumringah.“Carikan buat Ibu juga, Ra. Hanya saja, Ibu gak setuju kalau rumah ini kita jual. Ibu hanya ingin menyewakannya. Rumah ini terlalu banyak kenangan, Ra.” Ibu menghela napas.“Oke, Bu. Gak apa.” * Mulai saat itu, aku tak terlalu meladeni pesan dari Mas Laksa maupun Mas Rustam. Tak mau lagi terkena PHP meski tak kupungkiri setiap aku membayangkan wajah Mas Laksa ada desir yang berbeda.Ya, perasaanku terhadap Mas Laksa berbeda dengan pada Mas Rustam. Jika aku menerima Mas Rustam karena tak enak akan keb
“Tunggu, Ra! Kalau begitu, aku ingin kamu jadi siapa-siapaku.” Ucapannya yang ambigu membuat langkahku terhenti. Aku menoleh dengan mata sembab sisa menangis tadi.“Maksudnya?” Aku menautkan alis dan menatapnya.“Maaf jika terlalu cepat. Namun, maukah kamu menjadi istriku, Ra?” Dia tiba-tiba mengeluarkan satu buah kotak berwarna navy dari saku jasnya. Sorot mata teduhnya menatapku dengan lekat.Beberapa detik aku termangu. Kutatap kotak warna navy yang tersodor padaku itu. Namun, suara teriakan beberapa orang perempuan membuatku terkesiap dan sekaligus malu.“Terima! Terima! Terima!”Aku menoleh ke asal suara. Tampak para pembeli soto langgananku yang tengah antri bertepuk tangan berirama, mendengungkan kata terima dan menatap ke arah kami. Beberapa pembeli baklor yang ada di sebelahnya tampak ikuta. Dia ikutan berteriak-teriak.“Terima, Mbak! Masnya ganteng kayak gitu, kok!”Teriakan beberapa orang terdengar di antara para ibu yang mendengungkan kata terima. Duh, rasanya wajah ini me
Suara langkah kaki dan deheman dari atas tangga membuat obrolan kami terhenti. Aku dan Mbak Tini menoleh serempak. Seketika aku menelan saliva, gugup kembali mendera ketika melihat sosok seorang perempuan dengan long dress yang tampak mewah dan elegan itu turun. Kaca mata bertengger menghiasi hidungnya yang mancung. Rambutnya digerai sebahu. Usianya kutaksir mungkin seumuran Ibu, hanya saja beda kelas. Dia kelas konglomerat dan kami hanya kelas rakyat jelata. Aku menarik napas panjang. Sudah pasrah dan siap jika kembali harus mendengar makian. Penolakan berulang seperti sebelum-sebelumnya. Langkahnya kian dekat memangkas jarak, menyisakkan beberapa langkah lagi. Aku mengulurkan tangan untuk sungkeman. Hati ketar-ketir takut ada makian, penolakan, tetapi ternyata tidak. Dia menerima uluran tanganku. Mbak Tini menepuk bahuku dan berpamitan dengan bahasa isyarat. Dia tampak segan ketika melihat ibunya Mas Laksa. Aidan yang berada di belakang kursi sudah melarikan diri sejak Mas Laksa
Deg! Satu benturan lagi terasa mengenai dada. Maksudnya apa dari semua obrolan yang tak sengaja kudengar ini? Apakah perhatian yang Mas Laksa tunjukkan itu hanya sebatas karena amanat Mbak Keysa? Lalu kenapa Mbak Keysa mengamanatkan seperti itu. Kenapa Mas Laksa harus menikahiku? Aku dan dia pun tak berteman dekat. Justru dia temannya Mbak Rahma. Lalu kenapa harus aku yang dia pilih untuk menggantikannya? Tante Ros tak menimpali lagi sehingga setelah beberapa detik, aku memutuskan untuk berjalan menuju mereka kembali. Aku duduk di tempat semula. “Ahm, Ma. Sudah agak malam. Aku nganter Rara pulang dulu, ya!” “Oke.” Tante Ros tersenyum. “Pamit pulang dulu, ya, Tante!” Aku bangkit dan mencium punggung tangannya. “Oke, hati-hati.” Hanya itu yang terucap. Namun, segini saja aku sudah merasa syukur. Tak ada hinaan, tak ada cemoohan dan tak ada makian seperti yang sudah aku bayangkan. Mas Laksa mengantarku pulang. Dalam benak sebetulnya muncul beragam pertanyaan. Namun, entah kenapa a