Share

Bab 6

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2023-02-21 08:56:04

“Ra, bisa kita bicara? Sebentar saja.” Mas Rustam menatapku dengan pandangan yang entah. Toko grosiran tempatku kerja memang bersebelahan dengan salah satu toko elektronik milik orang tuanya.

“Gak ada lagi yang harus dibicarakan, Mas.” Aku bangkit dan hendak meninggalkannya. Kulirik Meida dan mengisyaratkan agar sotoku dia bawa. Meida mengangguk paham. Namun lenganku dicekal oleh Mas Rustam.

“Please, Ra.”

Aku mematung ketika terasa cekalan yang cukup erat pada pergelangan tanganku. Lantas kutarik paksa hingga terlepas.

“Semua sudah selesai, Mas. Gak ada lagi yang harus dibicarakan.”

“Aku sudah memikirkannya lagi. Memikirkannya dalam-dalam. Kita akan tetap menikah, dengan atau tanpa restu keluargaku, Ra.”

Mas Rustam berucap yakin dan pasti. Namun, aku tak lagi peduli. Aku setengah berlari meninggalkan dia dan bergegas masuk ke dalam toko. Aku tak mau lagi berandai-andai pada sebuah pernikahan. Buat apa menikah jika hanya menambah permasalahan.

Namun, tetap saja terasa sesak. Setibanya di dalam toko, aku langsung masuk ke kamar mandi. Melewati Mas Irwan yang baru saja keluar dari ruangannya. Dia memanggilku, tetapi kuabaikan. Aku melewati Idan, Sarmin dan Lila yang tampaknya baru saja selesai makan.

“Mbak Rara kenapa?” Kudengar pertanyaan Lila.

“Sakit perut, La.” Aku menjawab asal. Lalu masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Tumpah sudah rasa sesak yang memenuhi rongga dada ini.

“Kenapa Rara?” Kudengar dari luar kamar mandi, Mas Irwan bertanya.

“Sakit perut, Mas. Kali makan sotonya kebanyakan sambel.” Lila menjawab. Lalu tak terdengar lagi suara Mas Irwan dan aku memutar kran agar tangisku tak terdengar hingga keluar.

Sepuluh menit kurang lebih ketika pintu kamar mandi diketuk.

“Mbak, aku kebelet, nih!” Suara Lila terdengar. Ketukan pada daun pintu beruntun. Mau tak mau aku menyudahi tangisku dan gegas mengambil membasuh wajah dan melihat pantulan diriku di depan cermin.

Pintu kubuka. Sudah ada Meida dan Lila yang berdiri di sana dan menatap cemas.

“Mbak, yang sabar, ya!” Keduanya serempak memelukku. Rupanya Lila bukan kebelet ke toilet, tetapi hanya untuk memancingku agar membuka pintu.

Ah, dipeluk seperti ini oleh mereka. Akhirnya aku malah nangis lagi. Kami bertiga berpelukan di depan toliet hingga kudengar suara Sarmin yang meminta lewat.

“Duh, ngalangin jalan, woyyy!”

“Rese, lo, Bang!” Lila sempat-sempatnya ngomel. Lalu kami melepas pelukan dan Lila serta Meida membimbingku duduk di dapur kecil yang ada di belakang toko.

“Kalian kok bisa tahu?” Aku menyudahi tangisku. Awalnya sudah ikhlas, gak pengen nangis, tapi tetap saja nyesek.

“Meida yang cerita tadi,” jelas Lila.

Aku menautkan alis dan menatap Meida. Aku tak menceritakannya pada siapapun. Sudah malu, sering sekali curhat gagal nikah lagi, gagal lagi hanya karena alasannya restu.

“Tadi Mas Rustam cerita di depan. Dia minta aku sampein ke Mbak Rara. Dia serius mau ajak nikah, ngajak Mbak Rara kawin lari saja, katanya.” Meida berucap dan tampak prihatin menatapku.

“Mbak sudah gak mikirin urusan nikah, Mei. Mungkin gak akan nikah aja sampai tua. Dari pada sakit hati mulu. Mbak capek.” Aku mengelus dada.

“Kok gitu, sih, Mbak. Please jangan buat kita sedih. Aku yakin, Mbak pasti akan dapetin seseorang yang bisa bikin Mbak bahagia. Yang sabar, ya.” Lila kembali memelukku.

“Kerja, weyy! Kerja!” Sarmin kembali lewat, keluar dari kamar mandi.

“Sirik aja, lo!” bentak Lila. Dia mengacungkan kepalan tangannya ke arah Sarmin.

“Iya, ih. Sudah jam satu. Nanti Mas Irwan ke sini dilaporin sama si Babeh. Aku balik ke depan dulu, ya! Kasihan Mas Rahmat belum makan. Mbak Rara juga, cepetan makan, gih!” Meida melihat jam yang menempel di dinding.

Lila pun bergegas kembali mengerjakan pekerjaan hingga menjelang sore. Aku memaksakan makan meski sedikit sebelum kerja lagi. Toko grosiran ini sangat ramai. Sampai-sampai pekerja sebanyak enam orang ini pun selalu keteteran. Namun, karenanya aku bersyukur. Kami bisa menggantungkan hidup dari sini.

Jam lima sore, toko baru tutup. Gawaiku berdering dan panggilan dari nomor Ibu yang masuk.

“Ya, Bu.” Aku meraih jaket dan memakainya. Lila dan Meida sudah bersiap juga.

“Gak usah beli lauk, Ibu tadi diberi daging sapi sama Bu Yayah. Ini Ibu masak rendang.”

“Oh ya sudah, Bu. Rara sebentar lagi pulang.”

“Hati-hati ya, Ra.”

Panggilan pun berakhir. Lila dan Meida sudah berjalan duluan melewati lorong-lorong berisi rak dan penuh dengan barang-barang. Berbeda dengan para lelaki yang tampak tengah mengobrol santai dulu di depan.

“Mbak duluan, ya!” Meida dan Lila melambaikan tangan. Rumah mereka searah, jadinya setiap hari berboncengan. Uang bensin dibagi dua jadinya.

“Hati-hati!” Aku melambaikan tangan dan tersenyum ke arah mereka.

“Ra, please!” Suara itu. Aku menoleh dan benar saja, Mas Rustam sudah berdiri di sampingku agak ke belakang.

“Mas, tolong ngertiin aku. Apa kamu gak puas mendengar gelar yang tersemat begitu panjang di belakang namaku. Perempuan gila, bekas korban perkosaan, sudah tak perawan! Apa kamu mau aku dihina lebih dari itu oleh ibumu?! Aku manusia, Mas. Aku punya hati. Lebih baik kita selesai.”

Aku tak lagi bisa mengontrol emosi. Andai dia memang serius dan ingin menikahiku, bukan seperti ini caranya. Kemarin waktu aku dikata-katain, dihina, direndahkan, dia diam saja. Sekarang datang, maksa-maksa mau ngajak kawin lari tanpa restu keluarganya? Dia pikir, aku ini apa?!

“Enggak, Ra. Aku mencintai kamu. Kamu juga mencintai aku ‘kan? Kita sama-sama saling cinta, Ra. Please jangan buat aku tersiksa karena harus kehilangan kamu.” Dia hendak meraih lenganku, tetapi aku menepisnya.

“Kamu hanya kehilangan aku, Mas. Aku sudah kehilangan segalanya. Jadi gak usah banding-bandingin siapa yang lebih tersiksa di sini.” Suaraku gemetar. Air mata, ah cengeng memang. Lagi-lagi jatuh tak bisa kutahan.

“Ra, please!” Dia hendak meraih tanganku lagi ketika tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti di dekat kami.

“Jangan ganggu Humaira!" Suara bariton itu terdengar seiring dengan terbukanya pintu mobil bagian depan dan menampilkan sosok yang kukenal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marcos
mungkinkah pelakunya dudsa itu?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 54 - End

    Bab 54 Sembilan bulan kemudian. Sosok ringkih bertubuh kurus itu menatap dengan air mata mengembun. Dia tak berani menghampiri kerumunan yang ada di sebuah rumah yang baru saja selesai di renovasi. Duduk di tepi jalan dengan wajah tertutup sebagian kerudungnya. Dia pun berpura-pura memunguti botol-botol minuman bekas agar tak dicurigai. Segerombolan para Ibu melewatinya sambil membawa tentengan dengan wajah sumringah. Mereka sibuk mengobrol sambil tertawa-tawa. “Gak nyangka, ya? Nasib Si Rara mujur banget. Dulu kita kira paling kalaupun ada yang mau, duda tua yang istrinya udah metong. Eh, malah dapet duda kaya yang tajir melintir dan tampannya gak ketulungan.” “Iya, bener. Bikin iri aja, ya. Ini bingkisannya juga pasti mahal ini harganya … udah kaya, suami ganteng, anak cantik, duit banyak, beuhh … mau dong diperkosa.” “Hush!” Lalu mereka bergelak tertawa. Perempuan yang tengah menyimak obrolan itu menghela napas panjang. Ada senyuman terukir tipis. Lalu dia pun beranjak meni

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 53

    “Iya, Om … semoga Viola segera bisa mendapatkan kebahagiaan.” Laksa menjawab datar. “Hanya saja, kebahagiaan dia itu, kamu, Laksa … tolonglah datang … Om mohon … anggap saja ini permintaan Om yang terakhir. Datanglah ke sini dan kuatkan dia … dia butuh kehadiran kamu, Laksa … dia butuh kamu.” Laksa menghela napas kasar. Ada rasa kemanusiaan yang tersentil, tetapi ada sebuah perasaan yang kini harus aku kedepankan juga yaitu perasaan istrinya, Humaira. “Maaf, Om. Saya tidak bisa. Ada perasaan istri saya yang harus dijaga.” Sambungan telepon diputus sepihak oleh Om Wisnu, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Laksa tak ambil pusing. Dia langsung beralih pada setumpuk pekerjaan dan mengabaikan hal-hal yang menurutnya tak penting. Termasuk urusan Viola. *** Di tempat yang berbeda. Ibu menatap Mbak Rahma. Tubuhnya yang kurus kering tampak memprihatinkan. Kondisinya mentalnya perlahan membaik karena bantuan dari Rara yang mengkover biaya berobat pada psikolog. Ha

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 52

    Kukecup keningnya lama. Perempuan yang namanya kini mulai memenuhi relung hati itu kubaringkan di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sekali begitu menggemaskan dan bikin kangen.“Jangan banyak gerak, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas.” Bukannya menjawab, sepasang bola bening itu hanya menatapnya dengan berkedip-kedip saja. Ada senyuman terkulum pada bibir merahnya yang tampak ranum. Kalau sudah begini, rasanya dunia ingin kuperintahkan saja untuk berhenti berputar. Perlahan aku menunduk, memangkas jarak untuk menyentuh bibir ranumnya. Dia tak menolak, sepasang mata itu berubah menjadi teduh. Amarah dan rasa bencinya sepertinya sudah berlari dan kini bahkan tangannya perlahan mengalung pada leherku.Krieeet!Suara daun pintu membuat aktivitasku berhenti begitu saja. Bersamaan dengan itu suara yang sangat kuhapal terdengar.“Laksa … bisa Mama bicara.” “Ahm, iy--Iya, Ma.” Sedikit gugup. Wajah Rara tampak merona, mungkin ada rasa malu ketika ketahuan sedang ber

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 51

    POV 3“Andai iya, apa betul Mas bisa melakukannya?” Rara bertanya tanpa menatap wajahnya. Mas Laksa menggenggam jemari itu kian erat. Sebelum menjawab, dia tampak memejamkan mata. Namun tak lama, sebuah anggukan menjadi jawaban. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin dengar itu. Andai pun kamu masih belum siap. Aku tak apa.” Rara berucap lirih. “Aku sudah memutuskan semuanya, Sayang.” Senyum pada bibirnya tersungging dan kehangatan tatap yang merebak membuat hati Rara yang awalnya takut, kacau dan galau perlahan menghangat. “Mas, Sayang kamu, Ra.” Mas Laksa pun mengucapkan dengan tatap penuh ketulusan. Belum sempat Rara menjawab, pintu ruangan didorong dari luar. Seorang perawat masuk membuat kamu menoleh ke arahnya. “Selamat siang, mohon izin periksa dulu, ya.” Mas Laksa mengangguk, lalu beranjak menjauh dan membiarkan perawat it memeriksa Rara. Setelahnya dia kembali meninggalkan ruangan.Hanya habis satu botol infusan hingga akhirnya Mas Laksa memboyong Rara pulang. Waktu sudah pukul

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 50

    Suara obrolan, bau yang tak asing dan genggaman hangat yang kurasakan pada akhirnya membuat kegelapan ini perlahan sirna. Aku membuka mata perlahan. Kepala masih terasa sangat berat. “Alhamdulilah … akhirnya sadar ….” Suara itu, aku sudah tahu pemiliknya. Hanya saja memang pandanganku masih kabur dan perlahan menyesuaikan hingga senyuman hangat dan tatapan teduh itu berjarak begitu dekat. Dia menatapku dengan lekat. “Nanti Bapak bantukan suapi pasiennya, ya, Pak! Kami tinggal dulu.” Suara seorang perempuan mengalihkan tatapanku. Tampak seorang perempuan dengan pakaian suster berdiri sambil memegang botol minyak kayu putih di tangannya. “Baik, Sus. Terima kasih.” Suster itu pun pergi, meninggalkanku dengan dia hanya berdua di ruangan ini. Dia mengambil gelas berisi air hangat lalu membantuku minum. Setelahnya tangannya beralih pada tray makanan. “Makan dulu ya, Sayang ….” Mas Laksa mengambil tray makanan. Baunya tercium seperti amis ikan dan seketika membuat perutku memberontak.

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 49

    BAB 49 - Pov LaksaJika aku membawa mobil dalam keadaan paling cepat, maka itulah sekarang. Memikirkan Humaira yang tak kunjung ditemukan membuatku seperti kesetenanan. Bahkan sejak tadi tuas gas kuinjak begitu dalam. Beberapa kali hampir mengenai pengemudi yang kadang menyebrang mendadak. Kontrol emosiku benar-benar sudah tidak berada pada takarannya. Dikarenakan berkendara dengan kecepatan tinggi, pada akhirnya aku sudah memasuki lagi, tempat di mana keberadaan Humaira dicurigai. Hanya saja, mobilku kali ini sedikit tersendat oleh kondisi pasar yang mulai ramai. Decitan rem yang nyaring menjadi pilihan ketika hampir saja mobilku menabarak penyebrang jalananan. Aku terkesiap dan mengumpulkan rasa syukur ketika melihat dia tak kenapa-kenapa. Rasa kantuk dan lelah memang mulai terasa setelah semalaman melakukan pencarian yang melelahkan. Aku tengah menetralkan rasa terkejut ketika mata ini tiba-tiba menangkap sosok yang tengah mematung di tepi jalan. Kedua netra beningnya tengah men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status