“Mbak, jawab, Mbak! Apa Mbak tahu sesuatu mungkin … kejadian dua setengah tahun lalu kan terjadi di villa Mas Laksa … apa Mbak tahu sesuatu?” Aku mendesaknya. Entah kenapa tiba-tiba feelingku mengarah ke sana.
“Mbak gak tahu apa-apa, Ra. Tadi itu, Mbak cuma kaget saja. Kok bisa ada Mas Laksa di sini. Maklum kita ‘kan orang gak punya. Sekalinya ada orang kaya yang mampir berasa aneh.” Dia menjawab sambil terkekeh.“Yakin gak ada yang Mbak tutup-tutupin?” Aku menyipit.“Ya ampuuun, Humaira. Harus gimana lagi cara Mbak jelasinnya! Lagian sudah dua setengah tahun lalu. Sudah gak usah diungkit lagi. Kamu sudah harus move on, Ra. Harus sudah melupakan masa lalu.” Mbak Rahma berucap seperti biasa. Itulah yang akan dia katakan setiap kali aku menanyakan kejadian dua setengah tahun lalu. Lalu dia menepuk pundakku dan berjalan pergi.Aku masih mematung sendirian ketika suara deru motor terdengar menjauh. Mbah Rahma bahkan langsung pulang dan tak menemuiku lagi.Aku juga sudah lelah. Lekas mengambil wudhu dan menunaikan empat rakaat kewajiban. Setelah itu aku melangitkan doa. Tak meminta banyak hanya meminta sebuah kebahagiaan dan kebaikan akan datang.Keesokan harinya, hidup berjalan seperti biasa. Shubuh-shubuh aku sudah bangun lantas segera mengerjakan dua rakaat. Kaki yang kemarin terkilir dan terserempet masih bengkak dan sakit. Namun, masih bisa kukondisikan dengan berjalan meski terpincang-pincang.Aku pun beranjak ke dapur. Sudah ada Ibu yang baru selesai mencuci piring. Dia tengah mengiris bawang.“Sarapannya mau buat apa, Bu?” tanyaku. Aku sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan. Pakaian yang sehari-hari aku gunakan untuk bekerja di toko.“Nasi goreng saja, ya, Ra. Ibu kemarin beli telur agak banyak. Jadi bisa pakai telur nasi gorengnya sama bisa dikecapin.”Aku tersenyum, lantas mengambil telur dan mengambil kecap satu sachet. Kami tak pernah belanja berlebih. Maklum gajiku sebagai pegawai toko tak seberapa. Aku bekerja di sebuah toko grosiran.Ibu memanaskan wajan dan menuang minyak sayur. Sementara itu, aku mengangkat nasi dari magic com yang sejak malam sudah dicabut dari colokan listriknya. Segera kubawa ke dekat Ibu yang tengah menggoreng bawang sebagai bumbunya.“Masukkan telurnya, Ra.”Aku segera memecahkan telur ke atas wajan. Tangan Ibu dengan gesit mengaduknya. Lantas kumasukkan juga penyedap rasa, garam dan nasinya, setelah itu kumasukkan merica dan kecap. Sesimpel ini menu sarapan kami di sini.“Ibu hari ini nyetrika lagi?” tanyaku seraya mengambil dua buah piring. Ibu mematikan kompor dan menuang nasi goreng ke atasnya. Pas untuk kami berdua.“Iya, Ra. DI rumah Bu Yayah gilirannya sekarang.” Dia menarik kursi kayu buatan almarhum Bapak dan lantas duduk menghadap meja kayu dengan taplak warna biru yang sudah usang. Aku pun melakukan hal yang sama dan mengambil tempat berhadapan dengannya.“Kalau Ibu sudah capek kerja, istirahat saja di rumah, Bu. Uang gaji Rara cukup kok buat makan berdua.” Aku menatap wajahnya yang tampak selalu sehat meski sudah berumur.“Ibu bosan kalau diam di rumah, Ra. Ibu kerja juga bukan buat ngoyo cari uang, toh. Buat ngebunuh waktu saja. Lagian, Ibu gak mau bergantung sama kamu, Ra. Suatu saat nanti kamu ákan nikah dan punya suami. Ibu gak mau repotin.”Aku menghentikan kunyahan lalu mendongak dan menatap wajah Ibu yang selalu menjadi alasan untukku bertahan.“Rara sudah gak mau mikirin lagi masalah jodoh, Bu. Rara hanya ingin menghabiskan hidup berdua saja dengan Ibu. Bukankah hidup itu hanya untuk mencari kebahagiaan dan mengumpulkan bekal pulang bukan?”Aku tersenyum miris. Mungkin aku ditakdirkan sampai tua sendirian. Tak apa, aku masih punya Ibu. Bukannya menikah itu hanya Sunnah? Toh diriku sudah telanjur di cap buruk juga oleh lingkungan sekitar bahkan bekasnya masih terasa amat mendalam.Karena kakikku masih sakit, aku berangkat kerja naik ojol. Sepeda motor tua peninggalan Bapak hari ini biar istirahat saja.“Bu, Rara berangkat, ya! Assalamu’alaikum!”“Wa’alaikumsalam.”Aku gegas menuju toko grosiran yang biasanya buka setiap jam delapan pagi. Lokasinya yang berada di dalam lingkungan pasar membuatnya bahkan rame setiap hari.Ada 6 pekerja di sana dan Mas Irwan sebagai kepala toko yang ruangannya terpisah, kadang dia membantu juga kalau kasir lagi keteteran. Dua perempuan dan tiga lelaki. Untuk yang perempuan bagian menimbang, membungkus dan menata barang-barang di rak-rak dan satu lagi sebagai kasir. Untuk lelaki lebih pada mengurus para pembeli, mengepak barang dan membantu para customer yang sebagian besar dari warung-warung kecil yang berbelanja.Aku dan Lila---teman kerjaku yang perempuan, terkadang membantu mereka juga sesekali jika pekerjaan utama kami sudah selesai. Berbeda dengan Meida yang jadi kasir, dia pasti disitu terus sampai seharian.“Mbak Rara, kakinya kenapa?” Lila yang tengah menyimpan bekal makan siang di dapur kecil kami menoleh. Ya, di sini memang disediakan nasi oleh pemilik toko, hanya saja untuk lauk, kami harus beli sendiri.“Keserempet motor, La.” Aku tersenyum seraya menyimpan jaket yang kupakai tadi.“Oalah, nyoba ilmu, ya?” kekeh Lila yang memang pembawaannya ceria. Usianya baru 18 tahun, dia sudah kerja di sini sejak lulus SMP dan tak sekolah lagi.“Bisa saja. Ayo, tuh sudah jam delapan.” Aku menunjukkan jam di dinding yang terlihat jelas.Kami pun langsung duduk di tempat yang biasa kami kerjakan. Sudah ada puluhan liter minyak sayur yang harus kami bungkus menjadi perempatan dan setengah kilogram, belum lagi kacang, tepung terigu, gula merah. Sekali duduk, kadang baru sempat berdiri lagi ketika menjelang siang dan para pembeli yang membludak sudah keluar.Jam makan siang pun tiba. Lila tak keluar. Sarmin, Idan, dan Lila sudah mulai makan. Mereka membawa bekal lauk dari rumah. Sementara itu, aku dan Meida keluar. Hari ini mau beli soto ceker di depan. Rahmat bagian jaga. Meski tulisan tutup di pasang, biasanya ada saja yang nyelonong dan minta buru-buru dilayani.“Sotonya dua, ya, Bang. Kuah bening.” Meida yang memesan. Aku duduk di kursi plastik yang tersedia.“Punyaku jangan dikasih micin, ya, Bang.” Aku menimpali.“Beres, Neng!” Si Abang tukang soto tersenyum dan mengacungkan jempolnya di tengah serbuan pelanggan.“Mbak, hush! Mbak!” Meida melirik ke arahku dan mengarahkan pandangannya ke sebelah kanan dengan sudut matanya. Aku mengikutinya dan berakhir pada sosok jangkung dengan tubuh sedikit kurus yang berjalan mendekat.“Ra, bisa kita bicara? Sebentar, saja.” Mas Rustam menatapku dengan pandangan yang entah. Toko grosiran tempatku kerja memang bersebelahan dengan salah satu toko elektronik milik orang tuanya.“Ra, bisa kita bicara? Sebentar saja.” Mas Rustam menatapku dengan pandangan yang entah. Toko grosiran tempatku kerja memang bersebelahan dengan salah satu toko elektronik milik orang tuanya. “Gak ada lagi yang harus dibicarakan, Mas.” Aku bangkit dan hendak meninggalkannya. Kulirik Meida dan mengisyaratkan agar sotoku dia bawa. Meida mengangguk paham. Namun lenganku dicekal oleh Mas Rustam. “Please, Ra.” Aku mematung ketika terasa cekalan yang cukup erat pada pergelangan tanganku. Lantas kutarik paksa hingga terlepas. “Semua sudah selesai, Mas. Gak ada lagi yang harus dibicarakan.” “Aku sudah memikirkannya lagi. Memikirkannya dalam-dalam. Kita akan tetap menikah, dengan atau tanpa restu keluargaku, Ra.” Mas Rustam berucap yakin dan pasti. Namun, aku tak lagi peduli. Aku setengah berlari meninggalkan dia dan bergegas masuk ke dalam toko. Aku tak mau lagi berandai-andai pada sebuah pernikahan. Buat apa menikah jika hanya menambah permasalahan. Namun, tetap saja terasa sesak. Set
“Ra, please!” Dia hendak meraih tanganku lagi ketika tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti di dekat kami. “Jangan ganggu Humaira!” Suara bariton itu terdengar seiring dengan terbukanya pintu mobil bagian depan dan menampilkan sosok yang kukenal. Aku dan Mas Rustam menoleh ke asal suara. Aku tertegun sejenak. Lelaki dengan kemeja warna navy dengan lengan digulung menjadi tiga perempat itu sudah berdiri tak jauh dari tempatku dan Mas Rustam berada. Tampilannya tampak perlente dan rapi. Mungkin dia baru saja pulang kerja.“Siapa kamu?! Ngapain sok ikut campur urusan saya?!” Mas Rustam menatap tak suka pada sosok lelaki yang baru turun yang tak lain adalah Mas Laksa itu. “Humaira, masuk! Saya antar kamu pulang!” Dia seolah tak menggubris pertanyaan Mas Rustam. Lirikan matanya mengarahkan pada pintu mobilnya yang tertutup. Meski canggung dan bingung, tetapi menghindari Mas Rustam adalah lebih baik. “Ra!” Mas Rustam hendak meraih lenganku, tetapi kalah cepat denganku yang sete
“Ibu, tunggu!” Aku mengejar langkahnya. Malu kalau ujug-ujug dia nanyain Mas Laksa seperti itu. Mau ditaruh di mana mukaku ini? Duh, kok jadi Ibu yang agresif, ya?Langkahku berhasil menjejeri Ibu. Lantas aku menarik lengannya. “Duh, Ra! Hati-hati, loh! Untung gak tumpah.” Ibu mendelik ke arahku ketika teh manis yang ada dalam nampannya nyaris tumpah. “Ibu tolong, ya. Jangan aneh-aneh.” Aku menjejerinya dan terus berbicara. “Aneh-aneh apa, sih, Ra? Ibu cuma mau –“ “Ahm, Ra.” Suara Mas Laksa membuatku dan Ibu yang tengah berdebat di ruang tengah menoleh. Dia sudah berdiri di ambang pintu. “Ya.” Aku menyahut.“Boleh permisi ke toilet sebentar?” “Ahm, silakan, Mas. Langsung saja ke belakang, ya.” “Permisi, ya.” Mas Laksa membungkuk melewati aku dan Ibu yang tengah mematung. Di tangan Ibu ada nampan berisi teh, sedangkan di tanganku ada baskom dan handuk kecil. “Kamu sih, Ra. Ribut mulu. Ibu Cuma mau nanya baik-baik kok sama Nak Laksa.” Ibu menatap punggung Mas Laksa yang menja
Sepanjang perjalanan aku menerka-nerka. Kira-kira dia kirim pesan lagi atau tidak? Beberapa hari ini, hati yang kosong seolah memiliki sedikiit warna. Bahkan tak jarang aku membaca chat dari Mas Laksa berulang-ulang. Ya, Tuhaaan? Apakah aku menaruh harapan pada perhatiannya? Serapuh inikah perasaan gadis yang sudah tak perawan dan usianya sudah tak lagi muda? Malu sendiri rasanya. Lantas kucoba mengubur dalam-dalam selintas senyum Mas Laksa yang mulai mengganggu ingatan. Namun, tetap saja, setiap hari kubaca chatnya sebelum tidur, berulang. Aku mengendurkan laju sepeda motor ketika sudah hampir tiba ke rumah. Tampak di depan rumahku ada dua mobil avanza terparkir. Siapakah mereka yang bertamu. Kalau dari mobilnya, itu bukan punya Mas Laksa. Lalu punya siapa? Sepeda motorku melaju lambat, tetapi tetap jua tiba. Aku parkir di depan karena tampak di teras ada lima orang yang tengah duduk melingkari meja kayu buatan Bapak. Aku menelan saliva ketika melihat lelaki jangkung yang menole
Baru saja aku hendak melangkah ketika gawaiku yang kusimpan di atas tempat tidur berdering. Nomor Mas Laksa muncul di sana. Aku meraihnya dan segera mengangkat panggilannya sambil berjalan menuju ke depan. Apakah sekhawatir itu dia padaku? “Hallo, assalamu’alaikum, Ra!” Suaranya terdengar di telinga seiring dengan kubuka daun pintu. Sejenak aku mematung, senyum itu mengembang begitu saja. Mas Laksa tengah berdiri di samping mobilnya dengan gawai yang ditempel pada telinganya. “Wa’alaikumsalam.” Aku menurunkan ponsel dan mematikan sambungannya. Sepasang mata jernih itu tampak menyipit seiring dengan senyuman yang mengembang. Mas Laksa berjalan mendekat. Ditentengnya satu plastik keresek warna hitam lantas disodorkan padaku. “Apa ini, Mas?” Aku menerimanya dan meneliti isi yang ada dalam plastik. “Ahm itu, sop iga sapi, Ra.” Mas Laksa berdiri dalam jarak kurang dari satu meter. Harum aroma maskulin menguar dan menusuk penciuman. Ada tiga kantung dalam plastik itu dan tiga bungkus
“Gimana, Bu? Sepertinya memang lebih baik kita pergi dari sini. Kita pindah ke tempat di mana orang-orang gak mengenal kita?” Aku menatap Ibu penuh harap.Gerakan tangannya yang tengah menyendok telur dadar yang kubuat untuk menu makan siang melambat. Ibu tampak berpikir beberapa lama. Lantas dia menatapku dalam. Pada akhirnya, bersama sebuah tarikan napas kepalanya mengangguk.“Alhamdulilah … makasih, Bu. Rara akan segera cari-cari informasi pekerjaan di kota.” Aku tersenyum sumringah.“Carikan buat Ibu juga, Ra. Hanya saja, Ibu gak setuju kalau rumah ini kita jual. Ibu hanya ingin menyewakannya. Rumah ini terlalu banyak kenangan, Ra.” Ibu menghela napas.“Oke, Bu. Gak apa.” * Mulai saat itu, aku tak terlalu meladeni pesan dari Mas Laksa maupun Mas Rustam. Tak mau lagi terkena PHP meski tak kupungkiri setiap aku membayangkan wajah Mas Laksa ada desir yang berbeda.Ya, perasaanku terhadap Mas Laksa berbeda dengan pada Mas Rustam. Jika aku menerima Mas Rustam karena tak enak akan keb
“Tunggu, Ra! Kalau begitu, aku ingin kamu jadi siapa-siapaku.” Ucapannya yang ambigu membuat langkahku terhenti. Aku menoleh dengan mata sembab sisa menangis tadi.“Maksudnya?” Aku menautkan alis dan menatapnya.“Maaf jika terlalu cepat. Namun, maukah kamu menjadi istriku, Ra?” Dia tiba-tiba mengeluarkan satu buah kotak berwarna navy dari saku jasnya. Sorot mata teduhnya menatapku dengan lekat.Beberapa detik aku termangu. Kutatap kotak warna navy yang tersodor padaku itu. Namun, suara teriakan beberapa orang perempuan membuatku terkesiap dan sekaligus malu.“Terima! Terima! Terima!”Aku menoleh ke asal suara. Tampak para pembeli soto langgananku yang tengah antri bertepuk tangan berirama, mendengungkan kata terima dan menatap ke arah kami. Beberapa pembeli baklor yang ada di sebelahnya tampak ikuta. Dia ikutan berteriak-teriak.“Terima, Mbak! Masnya ganteng kayak gitu, kok!”Teriakan beberapa orang terdengar di antara para ibu yang mendengungkan kata terima. Duh, rasanya wajah ini me
Suara langkah kaki dan deheman dari atas tangga membuat obrolan kami terhenti. Aku dan Mbak Tini menoleh serempak. Seketika aku menelan saliva, gugup kembali mendera ketika melihat sosok seorang perempuan dengan long dress yang tampak mewah dan elegan itu turun. Kaca mata bertengger menghiasi hidungnya yang mancung. Rambutnya digerai sebahu. Usianya kutaksir mungkin seumuran Ibu, hanya saja beda kelas. Dia kelas konglomerat dan kami hanya kelas rakyat jelata. Aku menarik napas panjang. Sudah pasrah dan siap jika kembali harus mendengar makian. Penolakan berulang seperti sebelum-sebelumnya. Langkahnya kian dekat memangkas jarak, menyisakkan beberapa langkah lagi. Aku mengulurkan tangan untuk sungkeman. Hati ketar-ketir takut ada makian, penolakan, tetapi ternyata tidak. Dia menerima uluran tanganku. Mbak Tini menepuk bahuku dan berpamitan dengan bahasa isyarat. Dia tampak segan ketika melihat ibunya Mas Laksa. Aidan yang berada di belakang kursi sudah melarikan diri sejak Mas Laksa