Share

Bab 5

“Mbak, jawab, Mbak! Apa Mbak tahu sesuatu mungkin … kejadian dua setengah tahun lalu kan terjadi di villa Mas Laksa … apa Mbak tahu sesuatu?” Aku mendesaknya. Entah kenapa tiba-tiba feelingku mengarah ke sana.

“Mbak gak tahu apa-apa, Ra. Tadi itu, Mbak cuma kaget saja. Kok bisa ada Mas Laksa di sini. Maklum kita ‘kan orang gak punya. Sekalinya ada orang kaya yang mampir berasa aneh.” Dia menjawab sambil terkekeh.

“Yakin gak ada yang Mbak tutup-tutupin?” Aku menyipit.

“Ya ampuuun, Humaira. Harus gimana lagi cara Mbak jelasinnya! Lagian sudah dua setengah tahun lalu. Sudah gak usah diungkit lagi. Kamu sudah harus move on, Ra. Harus sudah melupakan masa lalu.” Mbak Rahma berucap seperti biasa. Itulah yang akan dia katakan setiap kali aku menanyakan kejadian dua setengah tahun lalu. Lalu dia menepuk pundakku dan berjalan pergi.

Aku masih mematung sendirian ketika suara deru motor terdengar menjauh. Mbah Rahma bahkan langsung pulang dan tak menemuiku lagi.

Aku juga sudah lelah. Lekas mengambil wudhu dan menunaikan empat rakaat kewajiban. Setelah itu aku melangitkan doa. Tak meminta banyak hanya meminta sebuah kebahagiaan dan kebaikan akan datang.

Keesokan harinya, hidup berjalan seperti biasa. Shubuh-shubuh aku sudah bangun lantas segera mengerjakan dua rakaat. Kaki yang kemarin terkilir dan terserempet masih bengkak dan sakit. Namun, masih bisa kukondisikan dengan berjalan meski terpincang-pincang.

Aku pun beranjak ke dapur. Sudah ada Ibu yang baru selesai mencuci piring. Dia tengah mengiris bawang.

“Sarapannya mau buat apa, Bu?” tanyaku. Aku sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan. Pakaian yang sehari-hari aku gunakan untuk bekerja di toko.

“Nasi goreng saja, ya, Ra. Ibu kemarin beli telur agak banyak. Jadi bisa pakai telur nasi gorengnya sama bisa dikecapin.”

Aku tersenyum, lantas mengambil telur dan mengambil kecap satu sachet. Kami tak pernah belanja berlebih. Maklum gajiku sebagai pegawai toko tak seberapa. Aku bekerja di sebuah toko grosiran.

Ibu memanaskan wajan dan menuang minyak sayur. Sementara itu, aku mengangkat nasi dari magic com yang sejak malam sudah dicabut dari colokan listriknya. Segera kubawa ke dekat Ibu yang tengah menggoreng bawang sebagai bumbunya.

“Masukkan telurnya, Ra.”

Aku segera memecahkan telur ke atas wajan. Tangan Ibu dengan gesit mengaduknya. Lantas kumasukkan juga penyedap rasa, garam dan nasinya, setelah itu kumasukkan merica dan kecap. Sesimpel ini menu sarapan kami di sini.

“Ibu hari ini nyetrika lagi?” tanyaku seraya mengambil dua buah piring. Ibu mematikan kompor dan menuang nasi goreng ke atasnya. Pas untuk kami berdua.

“Iya, Ra. DI rumah Bu Yayah gilirannya sekarang.” Dia menarik kursi kayu buatan almarhum Bapak dan lantas duduk menghadap meja kayu dengan taplak warna biru yang sudah usang. Aku pun melakukan hal yang sama dan mengambil tempat berhadapan dengannya.

“Kalau Ibu sudah capek kerja, istirahat saja di rumah, Bu. Uang gaji Rara cukup kok buat makan berdua.” Aku menatap wajahnya yang tampak selalu sehat meski sudah berumur.

“Ibu bosan kalau diam di rumah, Ra. Ibu kerja juga bukan buat ngoyo cari uang, toh. Buat ngebunuh waktu saja. Lagian, Ibu gak mau bergantung sama kamu, Ra. Suatu saat nanti kamu ákan nikah dan punya suami. Ibu gak mau repotin.”

Aku menghentikan kunyahan lalu mendongak dan menatap wajah Ibu yang selalu menjadi alasan untukku bertahan.

“Rara sudah gak mau mikirin lagi masalah jodoh, Bu. Rara hanya ingin menghabiskan hidup berdua saja dengan Ibu. Bukankah hidup itu hanya untuk mencari kebahagiaan dan mengumpulkan bekal pulang bukan?”

Aku tersenyum miris. Mungkin aku ditakdirkan sampai tua sendirian. Tak apa, aku masih punya Ibu. Bukannya menikah itu hanya Sunnah? Toh diriku sudah telanjur di cap buruk juga oleh lingkungan sekitar bahkan bekasnya masih terasa amat mendalam.

Karena kakikku masih sakit, aku berangkat kerja naik ojol. Sepeda motor tua peninggalan Bapak hari ini biar istirahat saja.

“Bu, Rara berangkat, ya! Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumsalam.”

Aku gegas menuju toko grosiran yang biasanya buka setiap jam delapan pagi. Lokasinya yang berada di dalam lingkungan pasar membuatnya bahkan rame setiap hari.

Ada 6 pekerja di sana dan Mas Irwan sebagai kepala toko yang ruangannya terpisah, kadang dia membantu juga kalau kasir lagi keteteran. Dua perempuan dan tiga lelaki. Untuk yang perempuan bagian menimbang, membungkus dan menata barang-barang di rak-rak dan satu lagi sebagai kasir. Untuk lelaki lebih pada mengurus para pembeli, mengepak barang dan membantu para customer yang sebagian besar dari warung-warung kecil yang berbelanja.

Aku dan Lila---teman kerjaku yang perempuan, terkadang membantu mereka juga sesekali jika pekerjaan utama kami sudah selesai. Berbeda dengan Meida yang jadi kasir, dia pasti disitu terus sampai seharian.

“Mbak Rara, kakinya kenapa?” Lila yang tengah menyimpan bekal makan siang di dapur kecil kami menoleh. Ya, di sini memang disediakan nasi oleh pemilik toko, hanya saja untuk lauk, kami harus beli sendiri.

“Keserempet motor, La.” Aku tersenyum seraya menyimpan jaket yang kupakai tadi.

“Oalah, nyoba ilmu, ya?” kekeh Lila yang memang pembawaannya ceria. Usianya baru 18 tahun, dia sudah kerja di sini sejak lulus SMP dan tak sekolah lagi.

“Bisa saja. Ayo, tuh sudah jam delapan.” Aku menunjukkan jam di dinding yang terlihat jelas.

Kami pun langsung duduk di tempat yang biasa kami kerjakan. Sudah ada puluhan liter minyak sayur yang harus kami bungkus menjadi perempatan dan setengah kilogram, belum lagi kacang, tepung terigu, gula merah. Sekali duduk, kadang baru sempat berdiri lagi ketika menjelang siang dan para pembeli yang membludak sudah keluar.

Jam makan siang pun tiba. Lila tak keluar. Sarmin, Idan, dan Lila sudah mulai makan. Mereka membawa bekal lauk dari rumah. Sementara itu, aku dan Meida keluar. Hari ini mau beli soto ceker di depan. Rahmat bagian jaga. Meski tulisan tutup di pasang, biasanya ada saja yang nyelonong dan minta buru-buru dilayani.

“Sotonya dua, ya, Bang. Kuah bening.” Meida yang memesan. Aku duduk di kursi plastik yang tersedia.

“Punyaku jangan dikasih micin, ya, Bang.” Aku menimpali.

“Beres, Neng!” Si Abang tukang soto tersenyum dan mengacungkan jempolnya di tengah serbuan pelanggan.

“Mbak, hush! Mbak!” Meida melirik ke arahku dan mengarahkan pandangannya ke sebelah kanan dengan sudut matanya. Aku mengikutinya dan berakhir pada sosok jangkung dengan tubuh sedikit kurus yang berjalan mendekat.

“Ra, bisa kita bicara? Sebentar, saja.” Mas Rustam menatapku dengan pandangan yang entah. Toko grosiran tempatku kerja memang bersebelahan dengan salah satu toko elektronik milik orang tuanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status