Mae sadar :(
Fokus mata Mae yang tadinya bertebaran ke segala arah, akhirnya menatap warna biru yang ada persis di hadapannya. Mata biru yang selalu menjadi kepercayaannya itu, saat ini mengatakan hal aneh. Hal yang terdengar bodoh malah. Mae mendengus dan menegur akhirnya. “Kau itu bicara apa? Kau mirip sekali dengan Amy saat sedang jahil. Jangan main-main pada saat seperti ini, bukan waktunya.”Ash menggeleng. “Mary, kau pikir kenapa Stone ada di sini? Dia bukan petugas paramedis yang menjemput pasien. Stone adalah polisi, bukan paramedis. Keberadaannya seharusnya memberitahumu kalau keadaan tidak baik-baik saja bukan?” Perlahan Ash menjelaskan lagi. Ia tahu akan mengulang penjelasan itu karena tidak akan mudah diterima Mae. Ash akan mengulanginya meski ratusan kali, asalkan Mae terlepas dari ketergantungan pada Carol dan Faraday.“Tapi—” Mae menatap Stone yang menunjuk kursi di pojok—memang ada untuk keluarga pasien yang menunggu hasil tes. “Silakan,” katanya. Mengajak Mae duduk agar mereka b
“Tapi … Kenapa?” Pertanyaan yang datang amat lambat, dan fokus Mae kembali terpecah.Ia menatap Daisy, lalu pintu masuk unit observasi itu—baru kembali pada Stone dan Ash.Bahkan setelah semua itu, Mae masih perlu merasa mencari Carol dan dokter Faraday.“Mary.” Ash menepuk pelan pipi Mae, lebih lega karena paling tidak Mae tidak menolak sekitar, dan masih bisa diajak bicara meski sulit menerima. “Kau percaya padaku bukan? Kau tahu aku akan melakukan apapun untukmu bukan?” tanya Ash dengan senyum. Akan melakukan apapun hal positif untuk mengalihkan emosi Mae dari Carol.“Ya… Kau mencintaiku.” Mae bergumam dan menyentuh pipi Ash. Ia tahu Ash tidak akan berbohong. Ia membutuhkan orang yang tidak berbohong saat ini.Semua serba membingungkan—Mae tidak tahu harus mempercayai apa, tapi Ash tidak akan berbohong, tidak akan menyakitinya. “Ya, aku selalu menginginkan kebahagiaan untukmu. Selalu.” Ash mengangguk, sambil meremas tangan Mae yang ada di pipinya.“Tapi kenapa? Kenapa berpura-pura
“TIDAK!” Mae kembali berteriak dan hampir saja berlari pergi, tapi Ash berhasil merangkul tubuhnya, dan memeluk erat.“Maaf… maaf…,” bisik Ash, menyesal membuat Mae mengingat kejadian itu, tapi tidak berhenti. Sedikit lagi.“Kau korban, Mary. Kau yang menderita. Kau yang memberi uang untuknya. Mama Carol dan Dokter Faraday, mereka meminta uang darimu. Kau yang mencarinya, mereka yang menikmatinya.” Ash mengulang kalimat panjang itu, paling tidak tiga kali, sambil melawan keinginan Mae untuk memberontak.“Tidak begitu! Aku melakukannya untuk Daisy, semua uang itu untuk Daisy! Agar dia sembuh! Aku rela! Untuknya!” Mae tidak mau mendengar, tidak ingin menerima.Bagaimana bisa? Mae hanya tahu kenyataan itu. Mae mencurahkan seluruh hidupnya untuk itu. Mae tidak pernah memikirkan masa depannya, hanya Daisy—dan Daisy.“Aku rela… Daisy sakit…” Mae kembali menepuk dadanya—karena semakin sesak. Masih enggan menerima kalau dirinya korban, karena hal itu sama saja mengakui kebodohan seumur hidup.
“Aku tidak tahu kau sudah sadar.” Ash terkejut saat melihat Daisy dalam keadaan membuka mata. Ia baru saja meninggalkan sisi Mae.Mata Daisy bergulir menatap Ash. Awalnya biasa saja, tapi dengan cepat menjadi merah dan air mata turun di pelipisnya.“Maaf, apakah maskernya bisa dilepaskan?” Ash bertanya pada perawat yang kebetulan lewat di dekat ranjang Daisy.“Oh? Tentu, asalkan pasien tidak merasa sesak napas lagi. Apa Anda bisa bernapas lega?” Perawat itu bertanya dengan ramah, tentu berpura-pura tidak melihat air mata Daisy, karena itu privasi.Daisy mengangguk dan perawat itu membantunya melepaskan masker, lalu memasang selang oksigen menempel di bawah hidungnya. Masih membantu Daisy bernapas dengan lebih lega meski tanpa masker. “Panggil saya lagi kalau memang terasa sesak.” Begitu perawat itu berpamitan dan pergi, maka Daisy tidak lagi menahan isakannya. Ash meraih tisu dan membantunya menghapus air mata, karena tangan Daisy terlalu lemas untuk menggenggam apapun. Tangannya den
Ash menggeleng. “Perbedaan itu bukan tidak mungkin. Bisa jadi orang tua kalian—”“Ayahku O dan ibuku A. Aku melihat catatannya di dokumen dulu. Aku tidak amat paham saat pertama melihatnya, tapi saat mempelajarinya di sekolah, aku akhirnya paham. Aku dan Mae tidak mungkin berasal dari orang tua yang sama.”Ash memejamkan mata, ingin memproses tapi otaknya terasa terlalu aktif. Ia berpikir terlalu jauh, padahal jawabannya mudah. Hanya perlu hal sederhana untuk membuktikannya.“Mae tidak menganggapnya aneh, karena tidak pernah melihat dokumen kematian orang tua kami—orang tuanya. Aku dulu meminta pada Mama Carol untuk memperlihatkannya karena penasaran kenapa mereka meninggal, Mae tidak pernah mempertanyakannya.”Daisy menghapus butir air matanya yang turun, lalu melanjutkan dengan nada datar.“Tapi aku malah bersyukur saat menyadari kalau Mae tidak akan pernah tahu. Dokumen itu sudah ikut terbakar bersama rumah Mama Carol. Aku lega saat menyadarinya.”“Apa kau waras? Kenapa kau diam? Ke
“Jangan memaksa kalau masih lemas. Tidak ada yang memburumu, Mary.” Ash berdiri dan menahan bahu Mae yang tampak ingin bangkit begitu membuka mata.“Aku—dimana…” Mae menatap sekitar.“Rumah sakit. Kau pingsan.” Ash menekan remote, sedikit menegakkan ranjang agar Mae bisa lebih tegak tanpa harus duduk.“Oh—ya.” Mae menerjemahkan kenyataan saat pandangannya menemukan polisi berseragam, tampak berjaga tidak jauh dari pintu.“Stone meninggalkannya agar bisa melaporkan perkembangan keadaanmu dan Daisy secara langsung.” Ash menjelaskan alasan keberadaan polisi itu. Stone sudah meninggalkan rumah sakit beberapa saat lalu.“Daisy!” Mae berpaling dengan sangat cepat, tapi ranjang Daisy kosong. “MANA…”“Jangan panik. Daisy hanya sedang menjalani serangkaian tes. CT-scan dan lain-lain. Aku kurang tahu apa saja, tapi banyak. Dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan keadaannya.”Ash memandang lantai saat mengatakan itu, karena dirinya kurang lebih berkontribusi atas kegawatan keadaa
“Jangan bodoh! Kau sakit, tidak seharusnya berpikir sejauh itu! Aku—” Mulut Mae terbungkam, oleh tangan kurus Daisy. “Aku tidak mau mendengarnya lagi.” Daisy mencegah Mae menyebut tentang tanggung jawab lagi.Mae tadi mencela setelah Daisy mengaku kalau semua hinaan itu ada untuk menjauhkan Mae. “Tapi benar—meski… itu… Dibuat—”“Aku tahu. Bob—maksudku Inspektur Stone, sudah menceritakannya padaku.” Daisy mengambil alih. Mae ragu karena tidak tahu seberapa banyak Daisy tahu tentang keadaan yang sebenarnya.“Kau baik-baik saja?” Mae meraih tangan Daisy. Sejak tadi ia mengkhawatirkan bagaimana reaksi Daisy.“Mereka… mereka…”“Aku baik, Mae. Aku malah merasa lebih baik. Aku rasa, dokter Faraday memang penipu. Aku langsung merasa lebih baik begitu berhenti meminum obat darinya.” Daisy menghela napasnya yang nyaring itu, dan hanya itu.Mae sampai menatapnya dengan heran. Ia mengira Daisy akan menangis setidaknya, atau marah—apapun, bukan hanya sekadar menghela napas.“Kau yakin baik-baik
“Aku tidak tahu! Aku bukan ahli obat!” Carol menggeleng dan membentak.Bahkan lebih keras dari detektif yang Sejak tadi menginterogasinya. Tentu saja Carol tidak mengakui satupun kejahatan yang dituduhkan padanya“Kau tahu semua penolakan ini akan menjadi catatan jaksa dan akan memperberat tuntutan hukumanmu bukan?” Detektif yang sebenarnya memiliki kesabaran cukup tebal itu sudah tampak lelah. Bukan hanya hari ini saja, kemarin sikap Carol kurang lebih sama. Tidak mengatakan apapun—tidak menyebutkan hal yang penting.Carol kurang lebih hanya mengeluh tentang sakit punggungnya yang fiktif—tidak ada lagi yang percaya. Atau berpura-pura tidak mendengar, mengantuk dan lain sebagainya. Carol memakai segala cara untuk menghindari pertanyaan.“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan.” Carol menggeleng dan bersandar di kursinya.Kata-kata yang mungkin sudah diulangnya ratusan kali semenjak sampai di kantor polisi adalah itu.“Sebenarnya apa yang kau inginkan?” Detektif itu menggelengkan ke