Share

Haruskah Aku Menerima Penawaran Ini?

“Tidak mau,” tolak Mae. Tidak kalah tegas. Rasa terkejutnya bertahan sedetik dan langsung menguasai diri.

“Eh?” Ashton tercengang. Penolakan itu terlalu mutlak. Mae bahkan tidak tampak berpikir.

“Mungkin info yang kau terima tidak lengkap. Aku tidak menikah—maupun menerima sugar daddy yang muda. Kau masih akan hidup lama,” jelas Mae, gamblang.

Pria itu tidak amat muda. Mungkin lebih tua sepuluh tahun dari Mae, sekitar tiga puluh sekian, tapi tetap tidak memenuhi standar. Tidak ada keriput dan tampan saja sudah tidak masuk hitungan.

“Itu…” Ash tidak bisa berkata-kata, dan Mae juga tidak ingin mendengar apapun. Ia maju mendekati jalan. Ada bus yang mendekat.

“Tunggu!” Ash menyambar lengan Mae yang hampir menjejak ke dalam bus.

“Kau jangan sembarangan…”

“Aku… aku sakit. Aku hampir mati,” kata Ashton. 

Mae mundur, dan pintu bus itu langsung menutup. Sopirnya tidak menganggap Mae ingin naik lagi, dan langsung melaju pergi.

“Kau tidak terlihat akan mati.” Mae mengamati. Tubuh pria tampan itu tegap sempurna, berotot malah, meski tertutup jas hitam rapat.

“Well, aku pandai menyembunyikannya.” Senyum kembali berkembang. 

Mae biasanya tidak peduli pada senyum—ataupun cacian, sama saja di matanya. Tapi senyum itu hangat. Sudah sangat lama tidak ada orang yang tersenyum seperti itu padanya. Keinginan Mae untuk pergi berkurang.

“Sakit apa?” tanya Mae. Jeda, lalu Ash menunduk sebelum menjawab lirih.

“Kanker ganas.”

“Hoo…” Mae mengangguk, mengangkat bahu.

“Oke, aku pertimbangkan. Temui aku setelah pemakanan besok. Bawa semua keterangan tentang dirimu—terutama kekayaan. Aku harus tahu berapa warisan yang aku terima setelah kau mati.”

Syarat Mae yang terlalu jujur itu mungkin kembali mengejutkan, sampai Ash hanya bisa mengangguk dengan mimik terpana.

“Ok, bye.” Mae mengangkat tangan, menyetop taksi, dan pergi. Mae berpaling sejenak saat taksi melaju. Pria itu masih berdiri diam di halte, sebelum melangkah pergi.

Mae akan melihat besok apakah pria itu serius atau tidak. Mae biasanya akan menunggu sebulan atau dua bulan sebelum mencari pria—setelah hubungannya berakhir. Tapi kesempatan tidak boleh dilewatkan.

Ia harus segera keluar dari rumah Barnet. Kalau langsung bisa pindah ke tempat pria itu, Mae bisa menghemat biaya sewa apartemen.

***

“Kau…” 

Dexter menunjuk Mae, tapi tidak berani mendekat. Masih ada orang di sekitar makam itu. Dexter tidak akan mau terlihat mendekati Mae di hadapan banyak orang. 

Rombongan pelayat baru saja berjalan pulang. Mae menunggu selesai karena tidak ingin bertemu mereka, tapi kurang memperhatikan detail. Diantara orang-orang itu, rupanya anak tiri setan masih ada. Tapi keadaannya berbeda.

“Apa kau baru diinjak rombongan kuda?” tanya Mae. Wajah Dexter babak belur. Matanya bengkak dan sudut bibirnya ungu, belum luka sobek tertutup plester di dekat alis. Mengerikan.

“Bukan urusanmu! Kau dengar aku, Jalang!” Dexter mendekat, dan Mae mundur. Ia tidak akan sangat beruntung bisa menendang Dexter lagi, saat waspada.

Tapi Dexter juga tidak akan berani menyerangnya di depan banyak orang. Ia menjaga jarak lalu menunjuk Mae untuk mengutuk.

“Kau tidak akan mendapatkan apapun! Kau dengar! Tidak sepeserpun uang itu akan menjadi milikmu! Aku tidak akan membiarkan…”

“Terserah.” Mae tidak punya waktu mendengar omong kosong. Ia berjalan memutar, meletakkan bunga di atas peti Barnet dan mengusapnya.

“Ini yang terakhir. Aku menemanimu sampai akhir sesuai janjiku dulu. Bye, Barnet.” Mae ingin mengucapkan selamat tinggal dengan lebih baik, tapi malas kalau Dexter sampai mendekatinya.

Dengan tergesa, Mae berbalik meninggalkan area makam. Tidak berhenti meski Dexter beberapa kali memanggil. Hanya sampai disitu tapi, Dexter tidak akan berani menyentuhnya saat ada saksi.

“Itu kan… istri Barnet, yang tidak tahu malu."

“Astaga, berani sekali muncul.”

“Rasa malunya pasti mati.”

“Kalau aku jadi dia, aku akan memilih tidak keluar dari lubang.” 

“Murahan akan selalu murahan. Kita lihat beberapa lama lagi dia akan menggaet siapa.”

“Hati-hati, jangan sampai suamimu melihatnya!”

“Jijik!”

Beragam bisikan keras yang disengaja itu, semua terdengar oleh Mae saat menyusuri jalan menuju pintu keluar area pemakaman. Mae tidak melirik untuk melihat siapa yang berbisik, tidak peduli dan tidak ada yang diambil hati. Sudah amat sangat terbiasa. 

Hampir semua warga Bakewell—kota kecil di bagian utara London, mengenal siapa Mae dan apa yang dilakukannya. Mae tidak ambil pusing meski semua makhluk di kota itu mencaci, ia tetap hidup yang penting. Cacian itu tidak menghalanginya membayar kebutuhan hidup.

“Halo.” 

Mae mengangguk, dan terkesan. Pria pemilik senyum hangat itu serius rupanya. Ash menunggu Mae muncul dan menyapa saat melihatnya.

“Kita harus pergi. Semua orang akan mencelamu kalau sampai terlihat bersamaku.” 

Mae memberi isyarat memakai kepalanya, agar Ash mengikuti. Mereka menyeberang dan masuk ke restoran kecil, menghindari rombongan pelayat tadi. Mae memilih meja paling ujung agar tidak terganggu orang mondar-mandir.

“Kau bukan teman Barnet?” tanya Mae, setelah memesan kopi.

“Oh, bukan.” Ash menggeleng.

Mae kemarin mengira Ash teman Barnet—atau mengenalnya, karena jelas dari pakaian ia bagian dari tamu di rumah duka, tapi hari ini Ash memakai baju kasual. Jeans, jaket dan sepatu kets. Ia tidak ikut acara pemakaman.

Mae tidak bertanya lebih jauh—tidak peduli. Ia meraih map yang diulurkan Ash.

“Tanganmu kenapa?” tanya Mae, sekilas terlihat memar di sekitar buku-buku tangan kanannya.

“Oh, tidak ada.” Ash menyembunyikan memar itu dengan menarik lengan jaketnya sampai melebihi jari, dan Mae lagi tidak tertarik setelah itu. Pertanyaan itu spontan tanpa maksud khusus.

Fokus Mae sudah tersedot oleh isi map dari Ash. Keterangan yang diberikan Ash terlalu lengkap. Ia menyerahkan CV serius, seperti yang dipakai saat melamar kerja. Beberapa lembar panjang berisi kehidupannya.

“Kau tentara?!” Mae melihat foto sebelum membaca isi. Ash berdiri memakai seragam lengkap dengan pose tegap kaku.

“Benar.” Ash mengangguk.

“Tidak bisa. Kau masih miskin.” Mae menutup map itu. Ia tidak peduli Ash sekarat. Gaji tentara mungkin cukup untuk hidup diatas rata-rata, tapi tidak amat kaya seperti apa yang dicari Mae.

Barnett pemilik empat pabrik bir yang cukup besar di Bakewell. Itu standar kekayaan minimal yang dicari Mae.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yanti
dexter babak belur, ashton tangannya memar. ini mereka habis berantem ya .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status