“Sebaliknya.”
Ash membalik lembar yang berikut, dan menunjuk laporan rekening—sesuai permintaan Mae. Ia menyertakan laporan rekening asli miliknya, juga salinan surat-surat berharga. Surat kepemilikan saham, aset—rumah, tanah, mobil, barang seni, dan lainnya.
Namun, Mae tidak peduli detail aneka, matanya langsung bergulir ke bawah. Bagian jumlah total.
“Satu juta pound?” Mata Mae membelalak. Jumlah itu fantastis. TIdak bulat apalagi. Masih ada sekian ratus ribu dibelakangnya.
Mae ingat betul kekayaan keluarga kerajaan Inggris---dilini paling rendah, berkisar satu juta pound. Orang biasa yang bisa menyamai harta kekayaan anggota keluarga bangsawan adalah kaya. Kekayaan yang akan diterima Mae dari Barnet saja kurang lebih 'hanya' empat ratus ribu pound.
“Itu uang yang bisa aku pakai. Asetnya belum termasuk total. Tidak sempat.” Ash menjelaskan lebih jauh, khawatir jumlah yang terlihat kurang. Waktu yang diberikan Mae terlalu singkat, ia belum sempat menilai berapa harga terakhir semua aset diam miliknya.
Tapi masih mencurigakan untuk Mae. Kekayaan itu tidak mungkin didapat Ash dari gaji tentara—setinggi apapun pangkatnya. Mae tidak bisa mentolerir uang dari sumber tidak jelas. Akan menyebalkan kalau tiba-tiba sebelum mati Ash terjerat kasus. Bisa-bisa seluruh kekayaannya disita, dan Mae tidak akan mendapat uang warisan.
“Kau mendapat ini dari mana? Aku tidak mulia, tapi aku juga akan menolak kalau kau melakukan kriminalitas—korupsi misalnya.” Mae mengernyit.
“Oh, tidak. Aku tidak melakukan kriminalitas. Uang itu warisan dari kakekku. Aku punya penasehat keuangan yang bagus, jadi semakin berkembang.” Asher langsung membantah keras.
“Masuk akal.” Mae puas. Ia menutup map itu, tidak perlu melihat hal selain jumlah uang.
“Kau tidak ingin memeriksa lainnya? Aku menyertakan surat dokter dan…”
“Tidak perlu. Tidak penting.” Mae memotong, tidak ingin tahu detail penyakit Ash.
“Oke.”
Suara itu kecewa. Mae bisa mendengar ‘oke’ dari Ash tidak lagi bersemangat. Tapi Mae tetap maju, tidak akan membuang waktu untuk simpati. Ada banyak yang harus ditanyakannya.
“Apa penyakitmu ini sangat mematikan? Kapan perkiraan kau akan mati?” tanya Mae. Tidak peduli kalaupun pertanyaannya itu terdengar keji.
Ini pertama kali Mae bisa memprediksi pernikahannya akan berlangsung berapa lama. Biasanya tergantung nasib. Pernikahan keduanya berlangsung dua tahun penuh padahal suaminya berumur hampir delapan puluh.
“Itu… em.. Satu tahun.” Ash kembali menunduk sambil menyesap minuman pesanannya.
“Kau akan memberiku warisan berapa persen dari ini?” Mae menunjuk map.
“Terserah kau saja.” Ash tetap membalas dengan lembut, meski Mae sama sekali tidak menunjukkan simpati setelah mendengar betapa singkat sisa waktu hidupnya.
“Jangan bodoh! Bagaimana kalau aku meminta semua?” sergah Mae. Ia tidak suka ada janji yang dibuat sembarangan.
“Boleh. Aku akan memberikan semua.” Ash menjawab tanpa ragu.
Mae terpana, lalu akhirnya sungguh-sungguh memandang wajah tampan itu. Tidak terlihat berbohong. Maka alasan dari kepasrahan itu hanya satu.
“Kau sudah sangat putus asa?”
Mae membayangkan pria itu tidak lagi bisa melakukan hal apapun dengan normal. Kaya, tapi tidak bisa menyembuhkan penyakitnya sendiri. Keadaan sekarat memang bisa membuat tekad setegar karang menjadi keropos.
“Benar.” Ash tersenyum. Tidak hangat—masam dan pahit—tapi masih sedap dipandang.
“Kau tinggal sendiri?” Mae beralih dan memandang teh, menepis sedikit kasihan yang hadir.
“Ya.”
“Bagus. Aku tidak ingin ada orang lain tinggal bersama kita.” Mae puas. Ia tidak mau ada Dexter atau Evelyn lain.
“Oke.”
“Apa sakitmu ini akan membuatmu sulit dirawat? Kau perlahan akan menjadi lemah, buta, lumpuh atau butuh bantuan? Kalau iya kau harus menyewa perawat. Aku tidak mau merawat orang sakit. Merepotkan.” Mae mengajukan syarat lain yang baru terlintas. Ia malas kalau tugasnya sebagai istri mencakup merawat.
“Mengerti.” Ash mengangguk.
“Aku akan tidur denganmu, tapi tidak akan ada anak. Apalagi kau akan mati juga, anak itu akan menjadi yatim. Jadi jangan berharap.” Mae menyebut syarat paling penting.
“Ya.” Ash diam beberapa saat sebelum menjawab, tapi tidak ada bantahan, maka semua beres.
“Baiklah, sepakat kalau begitu. Mmmm… kita akan menikah serius—memakai upacara dan resepsi, atau formal saja?” Mae nyaris saja lupa. Ia tidak bisa menerima warisan tanpa menikah resmi.
“Formal saja. Aku akan menyiapkan dokumen untuk ditandatangani,” kata Ash, seraya mengambil map berisi CV-nya.
“Bagus.” Mae mengulurkan ponsel. Menyuruh Ash memasukkan nomornya. Mae akan membagi nomornya sendiri nanti.
“Hubungi aku. Sekitar minggu depan, setelah pembacaan warisan Barnet aku baru bisa pergi. Aku harus menyelesaikan itu dulu, lalu kita bisa menikah.” Mae menghabiskan teh pesanannya, dan berdiri.
“Kau akan membayar ini bukan?” Mae mengangkat cangkir kosong.
“Tentu.” Ash tersenyum dan mengangguk.
“Great. Bye. Sampai jumpa minggu depan.” Mae berdiri meninggalkan meja. Sedikit melirik untuk memandang bagian belakang kepala pirang itu.
Ia penurut dan jauh sekali dari tipe pria yang ingin ‘memelihara’ Mae sebelum ini. Sedikit aneh juga—terlalu banyak diam. Nyaris mencurigakan.
Mae ingin berpikir panjang mengenai penawarannya, tapi aroma wangi uang bernilai jutaan pound terlalu menyengat untuk ditolak.
***
“Aku akan memberikan delapan puluh persen harta pada istriku—Mary Jones.”
Mae membelalak begitu mendengar kalimat—yang dibacakan pengacara—yang menjadi bagian surat wasiat Barnet. Bukan karena nama, karena Mary memang nama aslinya. Mae adalah panggilan.
Mae terkejut karena jumlahnya. Mae ingat Barnet hanya menyebut lima puluh persen, dan Mae tidak pernah merengek lagi setelahnya. Ia tahu Evelyn dan Dexter tidak akan diam kalau lebih dari itu. Entah apa yang membuat Barnet menambahkan jumlah warisan untuknya.
Mae melirik ke arah Evelyn dan Dexter yang tentu saja tampak marah, tapi hanya bisa saling memandang dan meremas tangan. Tidak mungkin rela, tapi masih diam saat ini.
Mereka kembali menatap tajam, sementara pengacara meneruskan pembacaan sisa surat wasiat itu. Utamanya berisi pembagian aset, Mae tidak mendapat apapun, karena menginginkan uang tunai saja memang.
Aset Barnet berupa perusahaan dan tanah sebenarnya juga jumlah yang tidak sedikit, tapi delapan puluh persen hilang tidak mungkin direlakan oleh kedua anak Barnet.
“Silakan. Setelah ini semua resmi.”
Pengacara itu menyerahkan dokumen pengesahan. Begitu semua pihak menandatangani, maka uang itu milik Mae. Berakhir sudah hubungannya dengan Jones.
Mae menandatangani dokumen itu dengan cepat. Giliran kedua anak Barnet, namun tidak semulus itu.
“Kami tidak akan menandatanganinya.” Dexter menolak dan mendorong dokumen itu kembali ke pengacara.
Mae menahan lidahnya untuk tidak mengumpat, memandang Dexter dan Evelyn yang sama-sama menyeringai.
“Kami akan membawa kasus ini ke polisi. Aku tidak yakin ayahku benar meninggal karena serangan jantung,” kata Evelyn.
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole