Share

Yang Penting Aku Mendapatkan Uangnya

Mae jatuh terjengkang. Tidak mungkin sanggup menahan beban tubuh Evelyn yang lebih tambun darinya, dan terkejut juga. Tidak menduga kalau Evelyn akan brutal menyerang di hadapan umum.

Namun, seandainya tahu serangan itu datang, Mae pun tidak akan melawan atau menghindar. Penyerangan itu adalah resiko dari pilihannya begitu memutuskan untuk menjadi istri Barnet. Serangan dan cacian adalah hal normal, dan akan diterima—asalkan tidak keterlaluan.

“Kau pelacur murahan! Seharusnya kau saja yang mati!”

Evelyn mungkin berpura-pura sedih, tapi hinaan dan amarahnya untuk Mae adalah emosi asli yang dilampiaskan dengan sekuat tenaga.

Evelyn menjambak rambut panjang berwarna brunette milik Mae, juga berusaha menamparnya. Mae menahan tangan Evelyn agar rambutnya tidak tercabut, dan hanya sempat melakukan itu karena dengan cepat Evelyn ditarik mundur oleh perawat dan dokter yang tadi. Wajah mereka tampak shock menyaksikan kebrutalan itu.

Sekali lagi, hanya Mae yang tenang. Dengan bantuan perawat lain, ia berdiri dan memandang Evelyn yang masih menuding ke arah dirinya.

“Kau lihat saja nanti, Jalang! Kau akan mendapat balasannya!” pekik Evelyn.

“Mrs. Jones, maaf. Tapi apa yang dialami ayah Anda bukan salah siapapun. Serangan jantung bisa terjadi kapan saja. Tidak perlu menyalahkan seseorang.” Dokter yang tadi berusaha menenangkan.

“Kau seharusnya melaporkan ini ke polisi! Dia pembunuh!” pekik Evelyn, menunjuk Mae.

“Maaf, tapi…”

Dokter itu masih mengatakan banyak hal yang kurang lebih menangkis tuduhan Evelyn, tapi tidak ada yang mendengar. Evelyn mengamuk histeris dan menangis, Mae sudah tidak memperhatikan.

Matanya memandang ke arah daftar dokter jaga yang ada di menempel pada dinding di dekat pintu UGD. Membaca nama dokter, jadwal jaga, juga masing-masing perawat yang mendampingi.

Tidak ada tujuan khusus, itu hanya usaha agar tidak perlu mendengar caci-maki Evelyn, maupun penjelasan tidak penting dari dokter.

Hanya satu yang penting bagi Mae. Ia akan menandatangani surat kematian Barnet—sebagai istri, dan menunggu pembacaan surat wasiat Barnes. Mae ingin melihat uangnya. Semakin cepat, semakin baik.

Tapi ia harus menghadiri pemakaman dulu tentu. Mae akan bersabar. Barnet menjanjikan uang banyak untuk segala kerepotan selama delapan bulan masa pernikahan mereka. Mae tidak keberatan menunggu beberapa hari untuk uang banyak.

***

Mae meletakkan setangkai mawar merah, di samping kepala Barnet. Penampilannya sudah rapi, tampak segar. Tampak lebih hidup daripada saat hidup malah. Siapapun yang merapikannya sangat ahli. Tidak lagi berantakan—ataupun terlihat seperti meninggal saat hasratnya belum selesai. 

“Terima kasih,” bisik Mae. Barnet terkadang keras dan ketus—khas orang tua, tapi ada kala dia cukup perhatian. 

Pernikahannya yang ketiga ini tidak sangat baik—karena nafsu Barnet masih tinggi, tapi tidak buruk juga. Jauh dari buruk malah. Mae tidak akan mengeluhkan rasa sakit itu, terutama kalau mengingat pernikahan pertamanya. Tapi yang utama, Mae berterima kasih untuk uangnya.

“Apa yang kau lakukan di sini?! Siapa yang mengizinkanmu mendekatinya?!”

Kedamaian sesaat itu runtuh sudah. Mae bahkan tidak bisa dengan tenang mengucapkan selamat tinggal. Seperti kemarin, Evelyn dengan brutal menarik tangan Mae dan menariknya ke sudut aula rumah duka itu. 

“Pergi!” Evelyn mendorong Mae keluar dari pintu, sampai tersungkur.

Mae sekali lagi tidak melawan—tidak keberatan. Memang lah ia malas kalau sampai harus menghadiri keseluruhan acara duka itu. Terlalu lama. 

Mae berdiri sendiri, sama sekali tidak memandang ke arah pelayat lain yang memandang ke arahnya—mereka memang ada untuk menjadi penonton. Evelyn tidak akan kasar kalau tanpa penonton. Evelyn sudah melihatnya datang sejak tadi, tapi menunggu sampai tamu ramai untuk mengusirnya, sengaja memperburuk namanya,

Namun, sekali lagi tidak masalah. Sebentar lagi Mae akan pergi dari rumah Barnet, dan tidak akan perlu bertemu dengannya lagi.

Mae menyingkir di dekat pagar samping, merogoh kantong, dan mengambil sebatang rokok dari kotaknya, tapi harus mengumpat karena koreknya macet. Tidak perlu lama kecewa tapi, karena langsung ada tangan terulur beserta korek menyala dari arah belakang punggungnya.

Ucapan terima kasih Mae tersangkut di tenggorokan, saat merasakan ada tangan merangkul pinggang, dan dengan kurang ajar, menjalar ke bawah, meremas pantatnya yang memang ranum. Tanpa melihat pun Mae tahu siapa pemilik tangan brengsek itu.

“Lepaskan, Dex!” desis Mae.

“Kenapa? Kau terlihat kesepian, Mae. Aku ingin menemanimu. Kau pasti rindu sentuhan pria segar bugar seperti aku.” Dexter menarik tubuh Mae semakin dekat dan berusaha mencium lehernya.

Mae mendorong wajahnya dengan jijik. Dexter adik dari Evelyn—pria yang menemaninya kemarin saat di rumah sakit. Meski biasanya tidak jahat menghina seperti Evelyn, tapi Mae lebih benci pada Dexter karena menjijikkan.

Bahkan saat ayahnya masih hidup, Dexter akan terang-terangan menggoda Mae—yang berstatus ibu tirinya, di belakang punggung Barnet.

“Aku akan punya uang dari ayahku setelah ini. Aku bisa memberimu apa saja. Aku bisa memberimu hidup nyaman lebih dari ayahku, dan uang banyak. Kau suka itu bukan?” bisik Dexter, sambil mengusap telinga Mae dengan bibirnya. Rayuan itu hanya menghasilkan geli dan merinding jijik untuk Mae.

“Tidak. Kau tidak hampir mati. Aku tidak butuh.” Mae mengayunkan tangan ke belakang. Menampar pipi Dexter dengan telak. Suaranya sampai menggema. 

“AGH! Sialan!” Dexter mengumpat, dan mundur.

Mae tidak menyia-nyiakan kesempatan. Langsung berbalik dan menendang selangkangan Dexter, membuatnya berteriak kesakitan, sementara jatuh berguling dengan tangan menangkup diantara pahanya.

“Sekali lagi kau mengayunkan ‘barang’ menjijikkan itu di dekatku, aku akan menginjaknya!” Mae mendesis, lalu berlari saat melihat Dexter berusaha bangun. Mae tahu tidak akan menang kalau Dexter melawan dengan serius, maka lebih baik mundur.

“Anak tiri setan!” maki Mae sambil duduk di halte terdekat dari rumah duka itu. Ia menengok ke belakang beberapa kali tadi, dan tidak melihat Dexter mengejar—masih kesakitan mungkin. Aman baginya untuk berhenti berlari. Mae mengatur napasnya yang terengah, sambil mengusap keringat. 

“Ini.”

Mae memekik kaget saat melihat tangan terulur—menyerahkan sapu tangan biru untuk menyeka keringat. Mae langsung berdiri, dan menjauh, teringat uluran tangan Dexter.

Tapi pria itu bukan Dexter—berbeda jauh dari Dexter. Yang utama dari rambut. Mae merasa silau saat memandang rambut pirang hampir platinum itu—Dexter berambut gelap. Lalu wajahnya.

Dexter muda—cukup tampan, tapi pria pirang itu sangat tampan. Mata biru dan teduh, tersenyum ramah. Kesan seluruhnya amat sangat jauh dari anak tiri setan itu.

“Perkenalkan, Ashton Cooper.” Pria itu tidak menyerah. Setelah sapu tangannya tidak diterima, ia mengulurkan tangan.

“Aku tidak bertanya.” Mae menolak jabat tangan itu, dan bermaksud pergi.

Tapi Ash mengulurkan tangan, menghalangi masih sambil tersenyum. “Maaf, tapi aku ingin menawarkan sesuatu.” 

“Apa?” Mae berhenti. Pria itu tidak terlihat jahat.

“Mmm… aku menawarkan pernikahan. Maksudku, apa kau ingin menikah denganku?” Ashton sedikit terbata, tapi mengucapkannya dengan jelas. Memandang mata Mae tanpa berkedip—yakin.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Yanne Kristianti
makin menarik crt-nya
goodnovel comment avatar
Anggraina Puspitasari
Aneh nggak sih..di pertemuan pertama langsung menawarkan pernikahan..aah Babang Ashton Kucher nih
goodnovel comment avatar
Yanti
ya ampun jujur amat mae
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status