Aku terenyuh dengan ucapan mas Haikal. Kalau di lihat dari raut wajahnya, dia serius mengatakan itu. Tapi entah mengapa, mendengar semua itu hatiku malah merasa sedih. Kegagalan rumah tangga ku dengan mas Arman membuat aku trauma untuk memulai nya lagi."Maaf, Mas. Aku masih betah sendiri," ucapku."Tapi mau sampai kapan, Rina? Kamu bercerai udah mau dua tahun, harus butuh waktu berapa lama lagi untuk kamu bisa membuka hati untuk orang lain, setidaknya aku!" ucap mas Haikal.Tubuhku bergetar, hatiku semakin tidak karuan. "Tapi aku belum siap, Mas. Maaf, aku permisi."Aku segera beranjak pergi dari tempat itu dan meninggalkan mas Haikal sendiri di sana. Aku tahu dia pasti kecewa, namun aku juga tidak tahu apa aku mencintai nya atau tidak.Hari berganti malam, walaupun malam sudah larut tapi aku masih terjaga. Kata-kata mas Haikal masih terngiang jelas di telinga ku. Ingin melupakannya dan menganggap semua itu tidak pernah terjadi nyatanya tidak bisa. Di dalam kamar terasa panas, padaha
POV author.Tangan Arman gemetar saat menerima kartu undangan pernikahan manatan istrinya. Bahkan ia tak berani untuk membuka apalagi membaca tulisan di dalamnya. Arman tak sanggup membaca nana mantan istrinya bersanding dengan lelaki lain.Dengan langkah gontai, lelaki itu masuk kedalam rumah nya sambil berlinang air mata. Entah mengapa rasa nya begitu sakit saat sang mantan akan menikah lagi. Padahal mereka sudah tidak ada hubungan apapun lagi. Tapi tetap, hati Arman terasa amat sakit."Kartu apa itu, Arman?" tanya bu Nani s sambil mengambil kartu tersebut dari atas meja.Dengan cepat, Bu Nani membuka kartu tersebut tanpa membaca siapa pengirimnya. Wanita itu terkejut, matanya membulat serta mulutnya menganga."Ada apaan sih, Bu? Kok, ekspresi nya kayak gitu banget!" Anita datang dari arah belakang, dengan cepat gadis yang sekarang sedang hamil 3 bulan tersebut mengambil kartu undangan tersebut dari tangan sang ibu, lalu membacanya.Sama seperti Bu Nani. Gadis itu juga sangat terke
"Nenek ... ." Kudengar putri bungsu ku memanggil nama nenek nya, aku yang saat itu sedang sibuk membersihkan rumah hanya diam tanpa menengok keluar. Namun setelah beberapa menit, ibu mertuaku tidak masuk kerumah atau pun memanggil nama ku."Kok tumben Ibu nggak masuk kedalam," pikir ku, lalu aku pun bergegas untuk menghampirinya."Ibu, kapan ibu datang? Mari masuk," ajak ku pada nya dengan ramah. Namun bukan sesungging senyuman yang aku dapatkan dari wajah ibu mertua ku, melainkan raut wajah yang sudah di penuhi dengan emosi."Rina, kenapa kamu tidak bilang kalau Arga lagi sakit, hah!" sentak nya.Aku cukup terkejut saat ibu mertua tiba-tiba marah padaku. Benar dugaan ku, kalau dia memang marah."Bu, tapi kan Arga juga tidak ada di rumah. Dia masih di luar kota, jadi untuk apa aku bilang sama ibu. Lagi pula, tadi pagi aku nggak sempat mampir ke rumah ibu, karena Kirani sakit aku membawa nya ke klinik " jawab ku menjelaskan.Memang tadi pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06:00 Arga adik i
Namaku Rina, usiaku sekarang menginjak tiga puluh tahu dan kini aku sudah dikaruniai dua orang anak dari hasil pernikahan ku dengan mas Arman selama sepuluh tahun, yang pertama Dani, 7 tahun dan yang kedua Kirani 3 tahun.Awal menikah semua nya masih terlihat baik-baik saja. Ibu mertuaku, bu Nani terlihat sayang padaku, namun semua berubah setelah aku dinyatakan hamil dan terpaksa harus berhenti bekerja dan semua uang tabungan ku habis karena ikuti membantu membiayai membangun rumah di tanah yang sebelumnya sudah di belikan oleh orang tua mas Arman.Waktu itu ibu ku pernah bilang, "Nak, kenapa nggak bangun rumah di sini saja? Tanah Ibu masih luas. Itu tanah ibu mertua kamu, kalau nanti ada apa-apa, kamu tidak bisa menggugat nya, apalagi kamu berniat mengeluarkan semua uang tabungan mu demi membangun rumah itu. Kalau ibu boleh kasih saran, sebaiknya jangan, Nak. Kecuali, kalau kamu membangun rumah di atas tanah yang kalian beli selama menikah baru boleh, karena itu termasuk harta Gono-
Sudah aku duga. Percuma saja rasanya mengadu kepada mas Arman, toh dia tidak akan mampu berbuat apa-apa karena mereka adalah orang tuanya sedangkan aku? Aku hanya orang lain yang kebetulan masuk ke kehidupan nya karena sebuah ikatan pernikahan.Aku memilih untuk pergi ke kamar dan meninggalkan mas Arman yang masih diam mematung di sana."Rin," ucap nya. Mas Arman ternyata menyusul ku ke kamar dan duduk di samping ku. Namun aku tak peduli, aku masih dengan posisi ku yang semula, tidur sambil miring ke samping dan membelakangi mas Arman."Rina, aku mohon sama kamu, mengalah lah sama ibu jangan seperti ini. Aku jadi bingung harus berbuat apa? Kamu adalah istri ku dan mereka, mereka adalah orang tua ku, bukankah kita harus menghormati orang tua?"Mendengar mas Arman berkata seperti itu, seketika itu aku langsung mendelik menatapnya. "Sudah cukup selama ini aku mengalah sama orang tua kamu, Mas! Aku harus mengalah seperti apa lagi? Apa aku harus diam terus dan membiarkan mereka menyakiti p
Deg!Ucapan Bu Ida membuat ku monohok tak percaya. Rasanya tidak mungkin kalau bi Murti seperti itu, setaahu aku, bi Murti itu orang nya baik dan sayang padaku dan aku juga sudah menganga nya seperti saudara sendiri karena kebetulan orang tua ku agak jauh dari tempat tinggal ku yang sekarang."Mabk. Mbak Rina!" panggil nya sambil menepuk bahuku."Astagfirullah, maaf Bu Ida. Saya jadi ngelamun. Bu, rasa nya tidak mungkin Bibi ku seperti itu, selama ini dia baik sama saya," ujar ku."Terserah kamu saja, mbak Rina saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar dan apa yang saya lihat. Mbak, terkadang apa yang kita lihat belum tentu benar. Kalau begitu saya permisi," ujar Bu Ida.Wanita itu kemudian bangun dari duduknya dan aku pun ikut mengantar nya hingga ke teras rumah. Setelah kepergian Bu Ida, aku terus kepikiran sama ucapan nya tentang bibi dari suamiku itu.Leleh bergulat dengan pikiran ku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk menemui bibi ku di rumah nya, karena kebetulan rumah kam
Pagi itu sekitar pukul 10:00 WIB Arman dan kedua buah hatinya pergi ke rumah orang tuanya untuk menyelesaikan masalah antara istrinya dan kedua orang tuanya.Setibanya di sana, Dani enggan masuk kedalam rumah neneknya dan memilih untuk duduk di motor saja."Kenapa kamu nggak mau ikut masuk, Nak?" tanya Arman kepada bocah laki-laki itu."Tidak Ayah. Dani takut," jawab nya."Takut? Takut kenapa, Nak?""Aku takut Nenek sama kakek marah lagi seperti kemarin," jawab Dani dengan polos nya.Dani yang kini duduk di bangku TK B di usia nya yang masih terbilang sangat kecil untuk mengerti semua nya, tapi sepertinya kejadian dua hari yang lalu masih membekas di dalam ingatan nya.Arman tidak mempermasalahkan Dani yang enggan ikut masuk dengan nya. Lelaki itu kemudian menggendong si kecil Kirani dan membawa nya masuk kedalam rumah yang cukup besar itu."Asalamulikum," ucap Arman seraya masuk bersama putri bungsunya."Waalaikumsalam," jawab Bu Nani dan pak Wahyu serentak.Mereka tersenyum senang s
Janda? Aku tak pernah membayangkan di umur 30 tahun aku akan menyandang setatus seperti yang disebutkan ibu mertuaku barusan. Tapi kalau memang itu takdir ku akan ku terima dengan ikhlas.Selepas kepergian mertuaku, aku mengedarkan keberadaan mas Arman namun mas Arman sama sekali tak terlihat."Kemana dia?" gumam ku sambil berharap mas Arman segera datang. lelah menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke pasar seseui rencana ku di awal sebelum kedatangan ibu mertuaku."Bang, kiri bang," pinta ku kepada supir angkot.Lelaki itu kemudian menepikan mobilnya persis di depan pintu masuk pasar. Setelah memastikan mobil itu berhenti, baru aku turun dari pintu belakang."Terimakasih, bang. Berapa ongkosnya?" tanyaku.Sudah lama sekali aku tidak naik kendaraan umum, dan baru hari ini lagi aku naik angkutan umum karena sepeda motor ku di pakai oleh mas Arman. Itu adalah sepeda motor yang di beli oleh uang ku sendiri waktu masih bekerja, tidak bagus memang tapi setidaknya masih layak pakai