Share

bab 4

Deg!

Ucapan Bu Ida membuat ku monohok tak percaya. Rasanya tidak mungkin kalau bi Murti seperti itu, setaahu aku, bi Murti itu orang nya baik dan sayang padaku dan aku juga sudah menganga nya seperti saudara sendiri karena kebetulan orang tua ku agak jauh dari tempat tinggal ku yang sekarang.

"Mabk. Mbak Rina!" panggil nya sambil menepuk bahuku.

"Astagfirullah, maaf Bu Ida. Saya jadi ngelamun. Bu, rasa nya tidak mungkin Bibi ku seperti itu, selama ini dia baik sama saya," ujar ku.

"Terserah kamu saja, mbak Rina saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar dan apa yang saya lihat. Mbak, terkadang apa yang kita lihat belum tentu benar. Kalau begitu saya permisi," ujar Bu Ida.

Wanita itu kemudian bangun dari duduknya dan aku pun ikut mengantar nya hingga ke teras rumah. Setelah kepergian Bu Ida, aku terus kepikiran sama ucapan nya tentang bibi dari suamiku itu.

Leleh bergulat dengan pikiran ku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk menemui bibi ku di rumah nya, karena kebetulan rumah kami berdekatan, aku masuk melalui pintu belakang supaya tidak terlihat oleh tenaga yang lain.

Tok!

Tok!

Tok

"Bi," panggil ku sembari mengetuk pintu berwarna coklat tersebut.

Aku mengedarkan pandangan ku, memastikan kalau di sekitar rumah ini tidak ada para tetangga julid.

Cklek!

"Eh Rina, masuk Rin," ucap nya terlihat biasa saja dan tidak ada yang mencurigakan dari nya.

Aku kemudian masuk kedalam rumah itu dan duduk di ruang dapur.

"Kok di situ duduknya, Rin. Di sini saja!"

"Nggak usah, Bi di sini saja," tolak ku.

"Oh baiklah."

Wanita berusia sekitar 40 tahunan tersebut kemudian duduk di samping ku. "Ada apa?" tanya nya.

Bagus!

Tanpa aku bertanya lebih dulu, dia sendiri yang bertanya padaku.

"Begini, Bi, ada yang ingin aku tanyakan sama bibi, apa benar, bibi yang memberi tahu ibu mertuaku kalau adik ipar ku menelpon kemarin pagi?" tanyaku.

Gelep!

Seketika wajah saudara suamiku berubah, tadi yang terlihat bisa saja kini berubah tegang. Melihat ekspresi nya yang tiba-tiba seperti itu, aku semakin yakin kalau yang di ucapkan sama Bu Ida itu benar adanya.

"Bi, jawab aku."

"I_ya. Bibi yang memberi tahu ibu mertua mu. Emang salah nya di mana? Tadi pagi, ibu mertua mu main kesini dan kebetulan dia menanyakan tentang kabar putranya, dan kebetulan bibi dengar kalau kemarin pagi Arga menelpon anak ku dan meminta tolong sama kamu untuk menelpon suami kamu, tapi kamu bilang tidak ada pulsa. Ya bibi bilang nya seperti itu. Mangkanya Rina, jadi menantu jangan perhitungan seperti itu. Kurang baik apa mertua mu sama Kamu," cemooh nya tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Oh aku baru tahu, ternyata saudara suamiku sipat aslinya seperti ini.

"Astagfirullah, bi. Bukan nggak ada pulsa. Baterai hp ku habis dan memang hp ku sudah rusak. Terus nomor suamiku aku juga tidak aktif. Pantas saja mertua ku marah kalau bibi ngomongan nya seperti itu!" sentak ku kesal. Baru kali ini aku bicara agak keras padanya, karena ulahnya aku harus menerima hinaan yang membuat mental ku hancur berkeping-keping.

Wanita itu tak terima saat aku berkata seperti itu.

"Kenapa kamu malah nyalahin saya? Seharusnya kamu berpikir Rina! Bukan malah menyalahkan orang lain," cetusnya.

"Bi, bibi tahu karena perbuatan bibi. Kemarin aku di hina habis-habisan oleh kedua mertuaku. Aku di katakan menantu pelit, menantu tak tahu diri, ini dan itu dan masih banyak hinaan lainya," pungkas ku dengan bibir bergetar menahan rasa sakit dan kecewa yang bergemuruh di dadaku, aku kira wanita itu adalah wanita baik-baik padahal sama saja.

"Itu memang pantas kamu dapatkan, Rina!" cetusnya tanpa rasa iba sedikitpun.

"Astagfirullah." Aku menggeleng-geleng tak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulut wanita yang sudah ku anggap seperti ibu sendiri, aku pikir, Bi Murti itu lebih baik dari ibu mertua ku ternyata mereka sama sama. Sama-sama berhati iblis!

"Ingat, Bi. Bibi juga punya seorang anak perempuan bahkan anak bibi dua-duanya perempuan. Aku bukan menyumoahkan atau apapun itu, hukum Allah itu adil. Suatu saat, anak-anak bibi akan merasakan apa yang aku rasakan! permisi!" ucap ku dengan bibir bergetar menahan tangis. Aku berusaha menahan air mataku sebisa mungkin supaya tidak menetes, sudah cukup aku menangis sekarang jangan lagi.

"Heh wanita tidak tahu di untung! Kutukan mu tidak akan mempan! Emang kamu pikir kamu siapa? Dukun! Sok-sokan nuyumpahin orang!" hardik nya, namun aku tak perduli. Aku memilih untuk buru-buru pergi dari rumah itu.

Brak!

Saking kesalnya, aku menutup pintu itu sembari di banting. Ku dengar dari luar, kalau bibi ku masih ngomel-ngomel nggak jelas di dalam sana. Namun aku tak peduli. Aku berusaha menutup telinga dan pergi dari rumah itu.

Bruk!

"Eh Mbak Rina. Habis dari mana, Mbak?" tanya tetangga ku yang kebetulan berpapasan dengan ku.

"Dari warung," jawab ku berbohong sambil berlari pergi.

Sreeet!

"Eh tunggu, Mbak!" cegah nya sembari menarik tangan ku, sontak langkah ku terhenti dan berbalik menatap nya. "Maaf, Mbak kalau Mbak juga mau menghina saya, jangan sekarang. Hati ku sudah benar-benar hancur," ucap ku.

Wanita di depan ku menatap ku heran, lalu ia berkata. "Siapa yang mau menghina Mbak Rina. Saya cuma main bilang, saya mau pesan beberapa kue basah untuk besok acara arisan di rumah saya, apa Mabk Rina bersedia?" tanya wanita itu padaku.

Seketika bibir ku tersenyum, aku pikir tentangku akan sama seperti tetangga-tetangga yang lainnya, menghina dan menghakimi tanpa ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Bisa kan Mbak Rina?" tanya wanita itu lagi.

"Oh bisa, Mbak bisa," jawab ku sesungging senyum di bibir ku.

"Ok kalau begitu, ini uang DP nya nanti kalau sudah pesanan nya jadi, Saya baru lunasi semuanya," ucap Nya sambil memberikan pecahan 100 sebanyak tiga lebar padaku.

"Baik, Mbak Yuni. Terimakasih karena Mbak sudah percaya sama saya," balas ku seraya mengambil uang itu.

"Sama-sama Mabk Rina. Kalau begitu, saya permisi."

Aku mengangguk mengiakan. Setelah kepergian Mbak Santi aku pun bergegas masuk kedalaman rumah dengan sedikit harapan. Mulai sekarang aku harus bekerja keras supaya bisa punya tabungan sendiri dan bisa membeli ucapan mertua ku yang menghina aku orang miskin. Aku memang terlahir dari keluarga miskin, tapi bukan tidak mungkin orang yang terlahir dari keluarga miskin akan selamanya miskin. Selagi ada kemauan dan berusaha, insyaallah Allah akan mempermudah jalan nya.

Mumpung ini masih pagi, aku berniat pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan-bahan kue untuk besok pagi supaya tidak terlalu mendadak dan kebetulan mas Arman dan anak-anak masih di rumah mertua ku.

Dorr!

Dorr!

Dorr!

"Rina! Keluar kamu!"

"Astagfirullah, suara siapa itu?" gumam ku.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status