Deg!Ucapan Bu Ida membuat ku monohok tak percaya. Rasanya tidak mungkin kalau bi Murti seperti itu, setaahu aku, bi Murti itu orang nya baik dan sayang padaku dan aku juga sudah menganga nya seperti saudara sendiri karena kebetulan orang tua ku agak jauh dari tempat tinggal ku yang sekarang."Mabk. Mbak Rina!" panggil nya sambil menepuk bahuku."Astagfirullah, maaf Bu Ida. Saya jadi ngelamun. Bu, rasa nya tidak mungkin Bibi ku seperti itu, selama ini dia baik sama saya," ujar ku."Terserah kamu saja, mbak Rina saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar dan apa yang saya lihat. Mbak, terkadang apa yang kita lihat belum tentu benar. Kalau begitu saya permisi," ujar Bu Ida.Wanita itu kemudian bangun dari duduknya dan aku pun ikut mengantar nya hingga ke teras rumah. Setelah kepergian Bu Ida, aku terus kepikiran sama ucapan nya tentang bibi dari suamiku itu.Leleh bergulat dengan pikiran ku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk menemui bibi ku di rumah nya, karena kebetulan rumah kam
Pagi itu sekitar pukul 10:00 WIB Arman dan kedua buah hatinya pergi ke rumah orang tuanya untuk menyelesaikan masalah antara istrinya dan kedua orang tuanya.Setibanya di sana, Dani enggan masuk kedalam rumah neneknya dan memilih untuk duduk di motor saja."Kenapa kamu nggak mau ikut masuk, Nak?" tanya Arman kepada bocah laki-laki itu."Tidak Ayah. Dani takut," jawab nya."Takut? Takut kenapa, Nak?""Aku takut Nenek sama kakek marah lagi seperti kemarin," jawab Dani dengan polos nya.Dani yang kini duduk di bangku TK B di usia nya yang masih terbilang sangat kecil untuk mengerti semua nya, tapi sepertinya kejadian dua hari yang lalu masih membekas di dalam ingatan nya.Arman tidak mempermasalahkan Dani yang enggan ikut masuk dengan nya. Lelaki itu kemudian menggendong si kecil Kirani dan membawa nya masuk kedalam rumah yang cukup besar itu."Asalamulikum," ucap Arman seraya masuk bersama putri bungsunya."Waalaikumsalam," jawab Bu Nani dan pak Wahyu serentak.Mereka tersenyum senang s
Janda? Aku tak pernah membayangkan di umur 30 tahun aku akan menyandang setatus seperti yang disebutkan ibu mertuaku barusan. Tapi kalau memang itu takdir ku akan ku terima dengan ikhlas.Selepas kepergian mertuaku, aku mengedarkan keberadaan mas Arman namun mas Arman sama sekali tak terlihat."Kemana dia?" gumam ku sambil berharap mas Arman segera datang. lelah menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke pasar seseui rencana ku di awal sebelum kedatangan ibu mertuaku."Bang, kiri bang," pinta ku kepada supir angkot.Lelaki itu kemudian menepikan mobilnya persis di depan pintu masuk pasar. Setelah memastikan mobil itu berhenti, baru aku turun dari pintu belakang."Terimakasih, bang. Berapa ongkosnya?" tanyaku.Sudah lama sekali aku tidak naik kendaraan umum, dan baru hari ini lagi aku naik angkutan umum karena sepeda motor ku di pakai oleh mas Arman. Itu adalah sepeda motor yang di beli oleh uang ku sendiri waktu masih bekerja, tidak bagus memang tapi setidaknya masih layak pakai
Baru juga nyampe rumah, tapi ucapan mas Arman membuat telinga ku sakit. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu padaku?"Mas, jawab! Apa maksud pertanyaan kamu barusan? Dan_ apa saja yang sudah di katakan oleh ibu pada mu, Mas? Aku ingin mendengar nya," tanyaku sembari melangkah masuk kedalam rumah sementara mas Arman terdiam di ambang pintu."Mah, tolong buka ini. Tante tadi baik yah, Mah? Dani sudah lama tidak makan bakso besar kayak gini," ucap nya sambil memberikan mangkuk serta kantong plastik yang tadi di beri oleh Ratan. Melihat bakso itu, aku jadi teringat peristiwa yang sangat tidak mengenakkan yang baru saja terjadi padaku. Ingin rasanya mengadu sama mas Arman, tapi sepertinya dia akan membelah Anita dari pada aku."Sini sayang, Mamah bukain."Aku mengambil kantong plastik itu dan menuangkan nya kedalam wadah lalu meminta Dani untuk makan sendiri sambil menonton TV. Sementara aku bergegas pergi ke dapur untuk menyimpan semua bahan-bahan kue yang tadi di beli di pasar."Rin,"
"Bu, kalau menurut Ibu aku nggak becus ngurusin mas Arman, silahkan saja Ibu ambil anak Ibu lagi," ucap ku geram."Rina!" sentak mas Arman menatap ku tajam. Mungkin dia tidak percaya kalau aku akan berkata seperti itu."Kamu lihat sendiri kan Arman? Bagaimana kelakuan istri mu itu pada Ibu?" tanya nya sambil melirik kearah ku dengan tatapan tidak suka. Namun aku sudah tak peduli. Cukup! Rasanya sudah cukup aku di perlukan seperti ini. Telinga ku sudah tidak mampu lagi untuk mendengar kata-kata buruk yang keluar dari mulut ibu mertuaku. Terserah! Aku sudah tak peduli mas Arman mau menilai ku seperti apa."Oh! Jadi seperti ini kelakuan kamu sama ibu? Pantas saja ibu tidak pernah suka sama kamu kalau kelakuan kamu seperti ini sama dia!" sentak nya."Maaf, Mas. Aku tidak akan bicara seperti itu kalau ibu tidak memulai nya!""Tuh kan! Istri kamu itu keras kepala, Arman. Jadi menurut mu, Ibu yang salah dan kamu yang benar, begitu? Kalau orang tua memberikan nasihat itu di dengar! Bukan ma
Aku sudah tidak tahan lagi untuk hidup bersama mas Arman. Apalagi ibu nya mas Arman selalu ikut campur rumah tangga ku dengan mas Arman. Hari ini sepertinya keputusan ku sudah bulat. Pergi dari rumah itu adalah yang terbaik walaupun sebenarnya berat tapi aku harus kuat.Setelah mengantar kue pesanan Mbak Santi dan mengantar Dani ke sekolah, aku langsung pergi kerumah orang tuaku. Kebetulan sekolah Dani tidak terlalu jauh dari rumah orangtua ku."Asalamulikum," sapa ku saat tiba di depan rumah ibu. Tidak terlalu bagus memang, tapi rumah ini terasa lebih nyaman dari rumah mas Arman, atau lebih tepatnya rumah orangtuanya mas Arman!"Waalaikumsalam ... Eh, Kirani cucu ku ... ." Ibu ku langsung meriah Kirani dari gendongan ku. Dengan wajah yang sumringah, ibu ku langsung mengajakku masuk dan aku patuh, lalu duduk di sofa."Suami kamu mana, Rin?" tanya bapak.Deg!Aku terkejut saat bapak bertanya seperti itu padaku. Baru saja tiba, tapi sudah ditanya soal mas Amran. Males sebenarnya untuk m
"Ratan?" Aku cukup terkejut saat melihat Ratna sudah ada di belakang ku. Wanita itu langsung berlari menghampiriku dengan wajah yang ceria."Rina, kamu kemana saja sih? Tadi aku kesini kata suamimu, kamu lagi pergi kerumah orangtuamu. Aku samperin kesana, eh kamu nya malah pergi kesini. Jadi aku buntutin kamu kesini deh. Oh iya, Rina. Aku mau pesan kue buatan mu untuk acara syukuran di rumah ku, kamu bisa kan? Dan ada lagi yang pengen aku obrolin sama kamu, Rina. Apa kamu ada waktu?" tanya nya."Rat, maaf banget. Bisa nggak? Kita bahas soal itu nya nanti dulu. Aku lagi bingung, Dani hilang," ujar ku."Apa? Dani hilang? Kok bisa? Gimana ceritanya?" tanya nya."Cerita nya panjang, Rat. Nanti aku ceritain sama kamu. Soal kue, nanti kalau Dani sudah ketemu, aku kabarin yah bisa atau enggak nya," jawab ku."Itu bisa di atur. Yang terpenting sekarang Dani ketemu dan mudah-mudahan dalam keadaan baik-baik saja.""Mabk, apa nggak sebaiknya kita pergi kerumah orangtuanya mas Amran saja? Siapa t
Jantung ku berdetak hebat saat mendengar suara putra kecil ku dari belakang, dengan sesungging senyuman aku kembali menoleh ke belakang dan melihat Dani melambaikan tangan nya dari jendela lantai dua."Dani!" teriak ku."Mamah, tolongin Dani, Mah. Nenek sama Tante Nita mengunci pintu nya," ujarnya terlihat sedih."Kamu tenang yah sayang. Mamah pasti tolongin kamu," ucap ku sembari berlari menuju rumah itu lagi."Rina kamu mau kemana?""Dani ada di rumah itu. Kalian lihat, dia ada di sana." Aku menunjuk ke arah kamar yang ada di lantai dua rumah mertua ku dan kami semua melihat Dani ada di sana sedang berdiri menghadap jendela sembari melambaikan tangan.Aku segera berlari menuju rumah itu lagi dan kebetulan pak RT dan para warga masih ada di sana. Sebagian sudah ada yang pulang dan sebagian lagi masih ada disini.Mertuaku menatapku sinis saat melihat aku datang lagi kerumahnya."Mau ngapain lagi kamu?" tanya nya ketus."Aku mau jemput Dani. Kalian sudah menyembunyikan Dani dari ku, i