Share

Bab 3

Sudah aku duga. Percuma saja rasanya mengadu kepada mas Arman, toh dia tidak akan mampu berbuat apa-apa karena mereka adalah orang tuanya sedangkan aku? Aku hanya orang lain yang kebetulan masuk ke kehidupan nya karena sebuah ikatan pernikahan.

Aku memilih untuk pergi ke kamar dan meninggalkan mas Arman yang masih diam mematung di sana.

"Rin," ucap nya. Mas Arman ternyata menyusul ku ke kamar dan duduk di samping ku. Namun aku tak peduli, aku masih dengan posisi ku yang semula, tidur sambil miring ke samping dan membelakangi mas Arman.

"Rina, aku mohon sama kamu, mengalah lah sama ibu jangan seperti ini. Aku jadi bingung harus berbuat apa? Kamu adalah istri ku dan mereka, mereka adalah orang tua ku, bukankah kita harus menghormati orang tua?"

Mendengar mas Arman berkata seperti itu, seketika itu aku langsung mendelik menatapnya. "Sudah cukup selama ini aku mengalah sama orang tua kamu, Mas! Aku harus mengalah seperti apa lagi? Apa aku harus diam terus dan membiarkan mereka menyakiti perasaan aku? Begitu maksud kamu, mas?"

Mas Arman diam, lalu berkata,"Bu_kan begitu juga maksud aku. Tapi alangkah baiknya kalau kamu mengalah."

"Tidak, Mas. Aku sudah capek mengalah terus selama ini. Sampai kapanpun, orang tua kamu memang tidak akan pernah menerima aku sebagai putri mereka sendiri. Jangan seorang putri, sebagai menantu saja mereka enggan untuk menerima nya. Mas, apa nggak sebaiknya kita bercerai saja," ucap ku.

Aku sudah benar-benar lelah dengan rumah tangga ku yang terus di uji. Mungkin kalau kekurangan masalah ekonomi aku masih bisa bersabar dan menerima nya. Namun ini bukan itu masalah nya. Mertua ku terus-terusan menguji kewarasan ku sebagai seorang istri dari putranya.

Mertua ku memang termasuk orang kaya di desa ku, namun walaupun mas Arman terlahir dari keluarga berada tapi pekerjaan mas Arman bukan lah seorang bos ataupun pengusaha sukses. Ia hanya seorang kuli bangunan dengan penghasilan tak menentu. Jangankan untuk membeli ini dan itu, terkadang untuk makan sehari-hari saja rasanya sangat sulit.

Aku menikah dengan mas Arman bukan karena harta ataupun profesi dia sebagai apa? Melainkan karena cintanya yang tulus pada ku sehingga aku mau menikah dengan nya.

Namun sering berjalan nya waktu, aku merasa tidak nyaman dengan pernikahan ini. Bukan karena maslah aku dan mas Arman, namun karena kedua orang tua nya lah yang terus menyudutkan aku, kalau aku adalah wanita pembawa sial. Sebelum Aku berkata seperti itu kepada mas Arman, aku sudah memikirkan nya baik-baik dan mungkin bercerai itu adalah jalan yang terbaik bagi kami

"Astagfirullah! Kamu ngomong apa Rin? Istighfar, Rina. Istighfar. Perceraian itu di benci sama Allah dan bagaimana nasib kedua anak-anak kita kalau kita sampai bercerai?"

"Terus kita harus gimana, Mas? Orang tua kamu nggak suka sama aku?" sentak ku sambil menangis.

Aku tidak tahu harus gimana lagi. Berulang kali aku meminta bercerai namun mas Arman tidak pernah setuju. Aku lelah. Aku capek terus-terusan di hina seperti ini oleh kedua orang tua nya.

"Besok aku akan pergi ke rumah ibu. Dan meminta nya supaya tidak berbuat seperti itu lagi sama kamu. Tapi aku mohon, jangan berkata seperti itu lagi," ucap mas Arman sambil menangis.

"Aku tidak yakin kalau ibu mau mendengarkan nasehat kamu, mas!" ucap ku.

"Aku juga nggak yakin sebenarnya. Tapi aku akan berbicara pada nya."

*******

Keesokan harinya mas Arman benar-benar pergi ke rumah orang tuanya. Dia mengajak ku namun aku tidak mau ikut. Aku masih trauma dengan kejadian dua hari yang lalu jadi aku memutuskan untuk di rumah saja. Beruntung mas Arman mengerti, dan dia tidak memaksa aku untuk ikut dengan nya.

Mumpung di rumah sepi, aku langsung buru-buru mengemasi barang-barang dan mainan yang berserakan. Setelah selesai, aku pun pergi ke luar untuk menjemur pakaian yang baru saja selesai di cuci.

Seperti kebiasaan sehari-hari ibu-ibu para tetangga, setelah selesai berbenah rumah, mereka akan pada ngumpul di teras tetangga yang lain sambil ngobrol macam-macam. Semua orang diam saat aku keluar dari dalam rumah. Dan menatap ku dengan tatapan sinis.

"Eh si Rina tuh! Diam-diam!" ucap seseorang.

Walaupun mereka berbisik-bisik tapi aku tahu, kalau aku lah yang sedang menjadi topik obrolan mereka. Aku hanya diam sambil sesekali tersenyum ke arah mereka. Aku berusaha acuh dan tidak perduli. Biarkan sajalah mereka mau ngomong apa juga, terserah.

"Mabk, Rina! Kemarin itu ada apa? Kok, mertua kamu marah-marah sih?" celetuk Yeti tenggaku yang paling julid dan selalu ingin tahu, kalau kata istilah jaman sekarang, si paling kepo!

"Ia, Rin. Kok, kayak nya Bu Nani marah banget. Ada apa sih?" imbuh yang lainnya.

"Nggak ada apa-apa, Bu Ibu ... ," jawab ku berusaha menutupi. Aku sebenarnya malu, kalau maslahah rumah tangga ku menjadi konsumsi publik.

Mereka tersenyum mencibirku, "Nggak ada apa-apa kok marah nya kayak orang kesurupan. Oh iya, Rin, mangkanya jadi memantau jangan pelit. Kamu harus sadar, rumah yang kamu tempati itu hasil siap?" celetuk bu Yeti.

Ingin rasanya aku menyumpal mulut nya itu dengan baju yang sedang ku jemur. Namun aku berusaha bersabar dan terus mengucapkan istighfar di dalam hati. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi mereka seolah-olah tahu semuanya dan menghakimi sesuka hati.

"Dasar lidah tak bertulang," gerutu ku sambil pokus menjemur pakaian.

"Nggak usah di dengerin omongan mereka, Rina. Mulut-mulut orang kampung memang seperti itu. Rina, apa saya bisa bicara sebentar. Ada sesuatu yang ingin saya obrolkan sama kamu?"

Aku terkejut saat bu Ida tiba-tiba datang dan berkata seperti itu. Dia adalah tetangga ku yang paling baik dan dia juga merupakan ibu RT di tempat ku.

"Boleh bu Ida. Mari masuk! Kebetulan di rumah lagi tidak ada siapa-siapa," ajak ku kepada nya.

Wanita itu kemudian masuk dan duduk di kursi ruang tamu, sementara aku permisi pergi ke dapur untuk membuatkan teh manis untuk nya.

"Mabk Rina, tidak usah repot-repot!" ucap Bu Ida. "Saya cuma sebentar, kok."

Aki urungkan niat ku, lalu duduk di samping nya. "Ada apa bu Ida?" tanya ku.

"Mbak Rina, kalau saya boleh kasih saran, Mabk Rina jangan terlalu dekat sama bibi mu, bi Murti," ucap nya hati-hati.

Deg!

"Maksud bu Ida? Emang nya ada apa sama bi Murti?" tanya ku balik.

Bi Murti adalah saudara dari keluarga suamiku yang kebetulan rumah nya dekat dengan ku. Aku sudah menganggap nya seperti ibu ku sendiri karena dia baik pada ku. Aku selalu berkeluh kesah pada nya dan bercerita apa saja kepada nya termasuk soal hubungan ku dengan ibu mertua.

"Demi Allah, saya mendengar sendiri, kemarin Bu Murti menjelek-jelekkan kamu di depan ibu mertua kamu. Dan yang memberi tahu mertua mu soal Arga yang menelpon kamu, itu adalah dia."

Deg!

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status