“Nak… apa kamu mau pindah sekolah ke tempat Nini?” tanyaku saat perjalanan pulang kembali ke Jakarta.
Chika tampak berpikir. Matanya menatap ke atas sejenak, lalu menoleh padaku. “Sebenarnya … Chika suka tinggal di rumah Nini, disana sejuk, banyak bunga-bunga dan kupu-kupu. Tapi … Chika nanti kangen sama Ayah sama Bunda,” cicitnya.
Aku merangkul tubuh mungilnya. Membawa ke pelukanku. Gadis kecil ini tidak akan tahu bagaimana nasib rumah tangga orang tuanya setelah aku membalas Bang Arlan. Tetapi, aku tetap harus mengambil keputusan. Bertahan untuk terus sakit hati demi anak? Awalnya pikiran itu terlintas di benakku. Namun, aku pikir hal itu salah dan bodoh. Jika kelak Chika telah tumbuh dan mengerti, dia pasti akan sakit hati dan kecewa. Aku yakin, dia juga tidak ingin melihat Ibunya disakiti.
“Kalau kamu emang mau tinggal bersama Nini, gak apa-apa, Sayang. Nanti bunda sering jenguk kamu,” ucapku membujuk.
“Terus nanti Bunda ngapain disana? Kan Ayah kerja, kalau gak ada Chika, apa bunda gak kesepian?” tanyanya dengan mata menyorotkan kekhawatiran.
Aku tersenyum simpul. Sejak kapan bayiku ini berpikiran dewasa?
“Bunda juga mau kerja. Biar cita-cita Chika jadi dokter tercapai. Jadi, bunda harus kumpulin uang yang banyak.” Aku merayunya dan membuat gestur tangan mengembang.
Chika tertawa dan mengangguk paham.
Sebenarnya, aku ingin bertanya padanya. Kenapa kemarin dia marah pada Ayahnya dan menangis. Aku merasa ada hal yang ditutupi oleh Chika. Apa anak sekecil ini mengerti menyembunyikan rahasia?
“Nak …” Aku tak bisa menahan rasa penasaran. Chika menoleh dan menatapku dengan alis terangkat. “Kemarin, Ayah ngomong apa sama kamu? Kenapa kamu nangis dan marah sama Ayah?” tanyaku agak ragu.
Chika menghela napas berat. “Udah lah bunda, lupain aja!”
Aku membolakan mata. Sikap Chika tidak seperti anak kecil yang suka mengadu.
Aku mencebik manja. “Hmm … bunda kan mau tau, Nak. Ada apa sih? apa Ayah marahin kamu?” Aku sedikit memaksa.
Chika menunduk. Aku jadi merasa bersalah.
“Ya udah, kalo kamu gak mau cerita gak apa-apa, Sayang. Maafin bunda, ya.”
“Ada seorang tante datang ke rumah, Bund.” Chika mulai membuka suara. Meski pelan, aku masih bisa mendengarnya. “Tante itu meluk Ayah pas Ayah bukain pintu. Chika kebetulan haus, mau minum dan ngeliat Ayah …” Chika enggan melanjutkan ceritnya.
Aku tersenyum dan mengerti. Bagiku, kabar ini tidak lagi mengejutkan.
“Gak apa-apa, Sayang.” Aku mengelus puncak kepala Chika dengan lembut. Dia pasti takut. Dia memikirkan perasaanku dan …
“Dan ayah bilang sama Chika, jangan kasih tau bunda. Ayah melotot sama Chika, dia bilang kalo sampe bunda tau, Chika gak akan dikasih uang jajan lagi, gak boleh sekolah lagi dan gak boleh main lagi. ayah bakalan ngurung Chika,” jelasnya. Gadisku itu mulai terisak. Dia pasti takut dan kesal.
Dadaku mulai bergemuruh. Tak habis pikir, Bang Arlan sanggup mengancam anaknya sendiri seperti itu.
“Tapi … Ayah janji mau bawa Chika ke taman bermain minggu ini, Bund. Makanya Chika mau maafin ayah,” sambungnya lagi.
Aku menghela napas panjang. Hanya bisa terdiam sampai akhirnya mobil travel telah sampai mengantar kami ke depan rumah. Aku berpesan pada Chika untuk bersikap biasa saja di depan ayahnya. Aku juga akan bersikap sama.
“Chika gak usah khawatir. Bunda akan pura-pura gak tau. Kalau ayah tanya, bilang aja Chika gak ceritain apa-apa sama bunda, mengerti?”
Chika mengangguk. Aku berharap kekhawatiran dan rasa takutnya hilang. Aku tidak ingin membebani perasaan dan pikiran gadis sekecil itu yang seharusnya dia dengan bahagia menjalani kehidupannya sebagai anak berusia tujuh tahun.
****
Bang Arlan bersikap seperti biasa saat menyambut kami pulang. Dia merentangkan tangan dan berjongkok memeluk Chika saat membukakan pintu. Lalu menghampiriku dan mencium keningku. Sungguh aku merasa jijik. Namun, aku harus tetap mengikuti sandiawarnya demi bisa membalas perbuatannya dengan lebih kejam.
“Ayo masuk! Bentar lagi mau maghrib,” ajak Bang Arlan. Jika saja aku belum mengetahui kebenarannya, sudah tentu aku akan terus tertipu dengan wajah cerianya itu. Wajah yang terlihat mustahil melakukan perselingkuhan di belakang istri yang tampak amat dia cintai ini.
Di mata orang, kami adalah keluarga bahagia yang harmonis. Namun lihat saja, aku akan mengubah pandangan orang-orang itu dalam sekejap. Untuk apa aku mempertahankan pemikiran baik orang di luar sana terhadap keluarga kami, jika yang sebenarnya tidaklah seindah yang mereka lihat. Perbuatan Bang Arlan tidak perlu aku tutup-tutupi. Jika perlu, aku akan membuatnya malu seumur hidup dan merasa ingin mengubur dirinya sendiri.
“Ayah udah masak mie goreng bakso kesukaan kamu, lho!” ujarnya sambil menuntun tangan Chika.
Hatiku berdesir hebat. Entah sejak kapan air mataku tiba-tiba berlinang membasahi pipi ketika aku masih berdiri mematung melihat pemandangan di depanku. Selama ini, dia memang ayah yang baik. Tetapi, dia bukanlah suami yang baik.
“Ya Allah … gimana perasaan Chika nanti,” batinku.
“Bunda! Ngapain berdiri disitu! Ayo sini keburu maghrib!” teriaknya memanggil.
Aku tersenyum kikuk dan buru-buru menghapus air mataku.
Kami makan malam dan menikmati masakan Bang Arlan. Menjalani peran yang berpura-pura tidak terjadi apa-apa itu rasanya teramat berat.
Karena kelelahan, satu jam setelah makan malam, Chika tertidur di kamarnya. Aku melihat Bang Arlan dari balik pintu yang sedikit terbuka, sedang menyelimuti Chika dan mengecup keningnya.
Sejak tadi, Chika bercerita banyak hal tentang pengalamannya di rumah Nini, ketika aku sedang membereskan dapur. Hingga akhirnya gadis kecil itu tidak mampu melawan rasa kantuknya.
“Bunda …” Bang Arlan memanggilku dengan suara lembut ketika dia memergokiku tengah memandanginya dari balik pintu.
Pria itu berjalan mendekat dengan senyuman yang semakin membuatku jijik kepadanya.
“Kamu pasti kecapean juga. Ke kamar yuk biar Abang pijat,” ucapnya menawarkan.
“Gak usah, Bang. Aku mau langsung tidur aja,” jawabku sambil melongos pergi.
Dia menutup pintu kamar Chika pelan, lalu menyusulku ke kamar.
“Bunda … apa kamu gak mau menikmati malam ini?” godanya dengan suara mendayu. Dia menaik-turunkan alisnya dengan seriangain nakal dan perlahan mendekatiku yang seketika membalik badan. Aku meringis, merasa harus menghindarinya karena teringat, di kamar ini dia dan wanita yang belum kuketahui itu, sedang bercumbu tanpa rasa dosa.
“Bukannya bunda pengen buat adek untuk Chika?” bisiknya ke telingaku dan entah sejak kapan dia memeluk pinggangku dari belakang.
Refleks aku melepaskan tangannya yang melingkari pinggangku dan mendorong tubuhnya. Dia mengerutkan kening, mungkin heran dengan tindakanku barusan.
“Aku … aku … lagi haid, Bang.” Aku terpaksa berbohong.
“Loh, bukannya minggu lalu kamu haid?”
Sial! mana dia ingat lagi tanggal haidku.
“Enggak tau nih, mungkin karna stres,” ucapku sambil nyengir.
Dia tampak tidak mempercayaiku. Namun akhirnya mengerti.
“Abang mau mandi dulu ya, gerah banget!” ujarnya dan langsung mendapat anggukan dariku.
Aku mengusap dada, lega. Ketika Bang Arlan memasuki kamar mandi, aku melihat ponselnya teronggok di atas nakas. Entah apa yang ingin aku lakukan dengan benda itu. Tanganku terulur dan mengambilnya, tapi karena gemetar, ponsel itu pun terjatuh ke bawah kolong ranjang. Aku berusaha segera mengambilnya agar tidak ketahuan. Namun, ketika tanganku sibuk meraba bawah kolong ranjang, aku malah mendapatkan benda yang tak terduga.
“Bunda, kamu ngapain?” tanya Bang Arlan yang sedang melingkarkan handuk ke pinggangnya, dan seketika aku berdiri memperlihatkan apa yang baru saja aku temukan. Sebuah benda yang kupegang dengan tangan jijik.
“Memang saya pelakunya,” ucap Tante Rusni dengan kepala menunduk.Setelah ketahuan bahwa dirinya menemui Aditya yang merupakan mantan calon menantunya untuk membantunya mencari Yunita yang beberapa hari ini menghilang, aku tidak berhenti bertanya hingga akhirnya tante Rusni lelah dan mengakui bahwa dirinyalah yang telah menjebakku di acara reuni sekaligus pengumuman oleh Yunita bahwa dirinya akan menikah. Saat itu, aku bahkan tidak mengingat wajah calon suami Yunita.“Kenapa tante tega ngelakuin itu sama Gita? Apa salah Gita sama tante?” Aku mulai terisak. Perih sekali hati ini ketika wanita yang sama kuhormati seperti ibuku sendiri ternyata diam-diam menyakiti lahir dan batinku.Percakapan kami saat ini sedang direkam video oleh Angga sebagai bukti untuk berjaga-jaga. Sebab, orang jahat dan licik bisa mengulangi perbuatannya jika ada kesempatan.“Tante minta maaf, Gita. Tante sudah memberikanmu minuman untuk menghilangkan kesadaranmu, lalu menyuruh Aditya untuk berhati-hati dan janga
“Kamu yakin gak mau ambil lagi rumah itu? Atau kamu mau aku renovasi semua bentuknya agar kamu bisa melupakan Arlan?” Angga berujar tanpa menoleh padaku, sedang tangannya sibuk menyusun berbagai stok makanan di dalam kulkas.Aku tidak mengindahkan ucapannya, yang kuperhatikan sejak tadi adalah, perhatiannya soal makanan. Lelaki ini sangat hobi membelikan makanan untuk orang lain. Aku duduk di mini bar dengan tangan menyanggah dagu. Semakin kuperhatikan, Angga semakin tampan meski wajahnya terlihat kaku dan jarang tersenyum, apalagi ekspresinya yang datar itu.“Kamu denger aku ngomong, gak?” Angga menyalakan kompor dan mendidihkan air, lalu menatapku dari dekat.Aku terkesiap ketika tiba-tiba mendapati dua bola matanya berada tepat di depanku. Bersamaan dengan degup jantung yang berdebar tak menentu.“Malah senyam-senyum sendiri. Apa aku terlihat seperti suami idaman?”Aku mendecih. “PD amat,” gumamku sambil melipat tangan ke dada.Dia tertawa keras dan menyiapkan mie instan ke dalam m
“Baru kali ini aku mengenal orang segila Angga.” Aku menghela napas panjang dengan mata menatap langit-langit kamar.Hari yang melelahkan. Akhirnya aku kembali ke butik dan menginap di kamar lantai tiga, sebab rumah itu sudah kuserahkan pada Angga.Aku memang ingin menjualnya dan menebus kembali tanah peninggalan ayah. Tetapi, uang itu sudah diserahkan seluruhnya pada Bang Arlan.Kemarin, saat pertemuan terakhir kami, Bang Arlan masih dengan rasa gengsinya dan merasa harga dirinya dijatuhkan oleh Angga.“Saya tidak bisa menerima uang ini!” tegas Bang Arlan. Dari raut wajahnya, sepertinya dia memang serius. Aku jadi heran, kenapa dia menolak, padahal selama ini yang dia kejar hanya uang.“Apa permintaan saya susah, Pak Arlan?” tanya Angga dengan wajah yang ketat.Aku pun mengira setelah menerima uang miliaran, mereka akan pergi dan berhenti mengangguku, tapi ternyata Bang Arlan belum selesai.“Apa lagi yang kamu inginkan, Bang?” tanyaku dengan perasaan putus asa. “Kita selesaikan sampa
“Pak Angga?” Yunita bersuara, memecahkan keheningan suasana yang menegang.Bang Arlan yang tadinya terpelongo karena terkejut, kini berubah pandangan menjadi sinis.“Kamu?” Aku juga tak sabar, kenapa bisa Angga yang menjadi pembelinya.“Apa anda tidak mau melayani saya sebagai pembeli rumah ini?” Angga bertanya dengan angkuh pada Bang Arlan yang seketika memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menekan tombol merah, mengakhiri panggilan.“Si*l!” Bang Arlan menggerutu dengan tangan mengepal dan rahang mengeras. “Sampai kapan kau akan terus ikut campur urusanku, hah?” Mata Bang Arlan melotot pada Angga dengan gigi yang dirapatkan, geram.Angga tertawa kecil dan melangkah maju, mendekati Bang Arlan.“Sampai kamu berhenti menganggu Gita.” Angga menyondongkan wajahnya dan sedikit berbisik pada Bang Arlan.“Wah, Cah Bagus! Apa kamu akan memberikan uang pada ibu kalau ibu berhasil membujuk Arlan untuk berhenti mengganggu Gita?” tanya Mamanya Bang Arlan dengan mata berbinar. Di kepalanya han
“Chika ingat!” Putri kecilku itu berujar dengan tegas. “Nomornya B xx23 NJ.”Aku terperangah mendengar ucapan Chika. “Kamu cerdas sekali, Nak.” Aku berlutut, meraih tangannya. Dia hanya diam dengan ekspresi datar. Biasanya dia akan tersenyum manis jika kupuji, tapi hari ini, dia berubah sensi.“Chika mau ke kamar Nini dulu. Bunda boleh pergi selesaikan urusan dengan Ayah. Chika disini aja sama Nini.” Gadis kecilku itu melepas genggaman tanganku. “Nini, Chika ke kamar dulu ya, tinggal digoreng aja kan, donatnya?” Dia mengalihkan pandangan pada ibuku sambil berdiri, bersiap untuk meninggalkan dapur.Ibuku hanya mengangguk dengan senyum cerah. Gadis kecilku itu langsung pergi ke kamar Nini-nya dan mengunci pintu.Ibu mengusap bahuku dengan lembut. “Kamu yang sabar, ya, Nak. Chika, anak sekecil itu terlihat aneh jika bersikap seperti orang dewasa, tapi itu semua terjadi sebab tekanan batin yang dia rasakan. Bagaimana bisa dia menerima kenyataan secara tidak sengaja bahwa seorang pria yang
“Sayang … sini, biar bunda jelasin.” Aku merentangkan tangan, memintanya untuk datang ke pelukanku.Chika menggelengkan kepalanya sambil menangis sesenggukan. “Bunda sama ayah jahat! Bunda sama ayah gak sayang Chika!” Dia menjerit, meluapkan emosinya.“Chika … cucu Nini … sini sama Nini, Nak!” Ibuku yang sudah tenang berusaha membujuk gadis kecil itu, sedang aku terduduk di lantai menundukkan kepala.Meski dia benci dengan ayah bundanya, beruntung masih ada Nini yang menjadi labuhan hatinya.“Jangan terus menyalahkan bunda, Nak. Nanti kalau kamu udah besar, pasti mengerti kenapa semua ini terjadi,” ujar Ibuku memberikan Chika nasihat.Chika menenggelamkan kepalanya dalam pelukan ibu. “Tapi Chika gak mau ayah sama bunda pisah dan berantem, Nini. Chika maunya tante itu pergi jangan ganggu ayah lagi. Chika mau buang aja semua bonek itu!” Gadis kecil dengan dress rumahan berwarna merah muda itu membalik badan seketika dan menunjuk mainan baru yang diberikan Yunita.“Kalau Chika benci sama