Share

SUKSESNYA ISTRI YANG DIREMEHKAN
SUKSESNYA ISTRI YANG DIREMEHKAN
Author: Trinagi

Bab 1. Istri Yang Diremehkan

"Mas, Kalila demam. Dari tadi malam dia rewel terus," 

"Kenapa Kalila bisa demam? Pasti kamu kasih makan sembarangan kan? Kamu jadi ibu enggak pernah becus mengurus anak! Kerjaan kamu apa saja di rumah, sih? Heran. Entah apa bisanya betina satu ini," cerocos mas Raka panjang lebar. 

Begitulah suamiku. Jika anak sakit selalu saja aku yang disalahkan. Ibu mana yang mau anaknya sakit? Jika bisa, aku ingin menggantikan posisinya. Biar saja aku yang sakit dan Kalila tetap sehat dan ceria. 

"Mana mungkin Adek kasih Kalila makanan sembarangan? Adek masih waras, Mas jangan asal nuduh!" 

Tidak tahan juga selalu disalahkan akhirnya aku ungkapkan semua rasa sakit  hati ini. Istri mana yang tahan setiap hari selalu dibentak, dimaki. Kadang aku berfikir, ingin pergi saja dari rumah ini. 

"Apa yang gak mungkin bagi perempuan gak guna seperti kamu? Bisanya jadi beban aja!" 

Hanya istighfar dan tarikan nafas panjang yang bisa kuberikan. Apapun alasan yang aku katakan tidak ada gunanya di mata mas Raka.  

"Lihat lantai rumah. Sudah berapa bulan tidak kamu pel? Pantas saja anakmu sakit." 

Lelaki egois itu hanya tahu rumahnya bersih saja tanpa dia peduli, bagaimana repotnya seorang Istri. Semua beban rumah tangga seratus persen diserahkan dipundakku.  

Padahal suamiku mempunyai jabatan mentereng dengan gaji dua puluh juta lebih setiap bulan tetapi dia tidak mau membayar asisten rumah tangga. 

"Sudah Adek pel kemarin, Mas. Hari ini tidak sempat karena Kalila menangis terus dan tidak mau ditinggal jadi gak sempat Adek beresin," 

"Alasan." 

"Terserah Mas mau percaya atau tidak. Capek ribut terus!" ucapku seraya membersihkan tumpahan air di lantai. Sementara Kalila baru saja tidur dan masih berada dalam gendongan. Rasanya tulang ini remuk karena menggendong seharian. 

"Mas, minta uang. Kalila mau berobat!" 

"Uang seratus ribu yang kukasih, belum empat hari masak sudah habis?" protesnya.  

"Mas pikir uang segitu cukup buat biaya hidup sehari-hari? Sementara barang-barang serba mahal sekarang!" 

"Kamu aja yang gak pandai ngatur keuangan. Beda sama ibuku! Berapapun aku kasih, selalu cukup!" Diri ini selalu dibanding-bandingkan dengan ibunya. Mana bisa disamakan biaya hidup zaman dulu dengan sekarang! 

"Atau jangan-jangan kau kirim untuk orang tuamu?" Suamiku selalu saja berprasangka buruk terhadap kedua oragtuaku. 

"Uang pensiun ibu sama bapak sudah cukup buat menghidupi mereka berdua dan sekolah Lintang. Malah berlebih, Mas. Buktinya mereka sering mengirimkan Adek uang buat keperluanku sehari-hari."  Lintang merupakan adik bungsuku, dia sekarang sekolah menengah umum dan akan tamat sebulan lagi.

"Halah ... mana ada mereka ngirim uang buat kita. Kamu aja yang ngada-ngadain, biar dibilang orang tuamu kaya?" sinisnya. 

"Seharusnya Mas itu malu karena kehidupan Adek masih disokong orang tua. Sebenarnya Adek ini tanggung jawab Mas. Bukan tanggung jawab orangtua lagi!" diri ini seorang istri tetapi biaya hidup masih tanggung jawab orang tuaku. Keberadaan suami tidak ada gunanya sama sekali dimataku.

"Kenapa mesti malu? Wajarlah orang tuamu mengirim uang, 'kan ada anaknya yang pengangguran disini, hanya makan tidur saja kerjanya," 

"Jadi Mas keberatan menafkahi Adek?" Begitulah setiap hari, perdebatan-perdebatan seperti ini tidak bisa dihindari. Setiap kata yang keluar dari bibir mas Raka sangat menyakiti perasaanku. Padahal membiayai istri dan anak itu merupakan tanggung jawab suami. 

"Bukan keberatan, tetapi sia-sia aku nafkahi kamu! Masakanmu gak ada enaknya sedikitpun. Wujudnya aja gak selera. Kayak makanan bebek. Jadi buat apa susah-susah ngasih kamu uang belanja? Kalau aku mau makan tinggal beli diwarung!" 

"Ya udah kalau begitu. Adek gak usah masak lagi. Mas beli aja diwarung!" 

"Oh, nantang kamu!" 

Aku menggeleng. "Jangan teriak-teriak. Kalila tidur, Mas." 

"Kamu sudah pandai ngatur-ngatur aku sekarang ya? Aku mau teriak, mau lompat-lompat apa urusanmu? Ini rumahku. Kamu itu hanya numpang disini, ya!" mas Raka seakan menunjukkan kekuasaannya dirumah ini. Mentang-mentang aku tidak kerja jadi dia bisa semena-mena. Selalu diremehkan seakan aku ini hanya benalu dalam hidupnya.

"Iya Adek tau cuma numpang, Mas. Tapi masalahnya Kalila sakit, nanti dia bangun dan menangis. Siapa yang repot? Kita juga kan?" 

"Terserah kamu. Aku mau istirahat. Pastikan dirumah ini jangan ada suara bising-bising selama aku tidur." lanjut lelaki berambut ikal itu. 

"Minta dulu seratus ribu buat biaya Kalila berobat." pintaku saat mas Raka hendak masuk kamarnya untuk beritirahat. 

Ya kamarnya. Karena selama melahirkan Kalila, mas Raka tidak mau tidur sekamar denganku. Kata lelaki penyuka kopi hitam itu, dia tidak mau tidurnya terganggu karena Kalila sering terbangun tengah malam dan menangis minta susu. 

Mas Raka juga tidak sanggup mencium bau pesing karena bayi kami masih mengompol.

Suamiku tidak bersedia membeli popok sekali pakai, alasannya kalau popok sekali pakai pemborosan. Makanya, jangan heran jika cucianku selalu banyak setiap hari. Itu pun menyuci harus manual karena jika memakai mesin cuci, tidak bersih katanya. 

"Gak ada uang aku. Kamu bisanya apa sih? Beranak?"

Katanya aku bisanya beranak saja? Memang anak itu dari siapa? Bukankah karena dia minta dilayani tiap malam ditempat tidur, makanya aku beranak? Kenapa aku pula yang disalahkan? Kenapa bukan dia yang seharusnya sadar diri hanya memikirkan selangkangan saja?  

"Mas,  

"Udah sana ..." usir mas Raka dengan mengibaskan tangannya seolah-olah sedang mengusir ternak masuk pekarangannya.  

"Mas, tolonglah! Sekali ini saja. Besok-besok akan saya usahakan sendiri uangnya." Aku bersumpah, setelah ini tidak akan lagi aku mengemis uang sama lelaki yang berstatus suami itu. Begitu rendahnya harga diriku dimata mas Raka. 

"Dasar pengemis! Merendahkan harga diri, demi uang seratus ribu. Miris!" Lelakiku tidak sadar, kewajiban menafkahi anak dan istri itu kewajiban dia. Jadi untuk apa menikah kalau aku harus pontang panting mencari uang sendiri? Hanya menjadi teman tidurnya saja? Murah sekali harga diriku, setingkat pelacur saja dibayar setelah melayani laki-laki. Lah aku? Jadi pembantu sekaligus pelacur gratis!  

Kadang timbul penyesalan, kenapa aku bersedia menikah dengan lelaki pelit bin medit seperti mas Raka. Lebih sedih lagi, mas Raka yang tidak pernah menghargai wanita. Dimata dia, wanita itu hanya manusia bodoh tempat melampiaskan nafsu saja.  

"Otakmu dipake! Untuk apa ijazah sarjanamu kalau itu aja kamu gak bisa atasi? Nampaknya Kamu sekolah hanya sampai pintu gerbang saja ya? Dan lulus karena dosenmu sudah muak melihat mahasiswa abadi macam kamu!" Hinanya lagi.   

Dulu, aku disuruh berhenti bekerja karena menurut mas Raka wanita itu tugasnya mengurus suami dan anak saja dirumah. Lelaki yang berkewajiban bekerja. Dan dengan bodohnya aku menuruti semua saran lelaki yang sudah menghalalkan aku tiga tahun yang lalu.  

"Beginilah akibat lulus sarjana karena ditendang!"  

Aku menahan diri untuk tidak mencebik, tak berdecak atau sekedar menatap matanya. Aku hanya menunduk menutupi embun yang menumpuk disudut mata ini. Aku tidak ingin mas Raka melihat mata ini menangis. Diri ini tidak ingin nampak lemah dimata dia.  

Istri mana yang tahan jika setiap hari mendengar hinaan, bagaikan seorang gembel yang butuh dikasihani? Ingin rasanya aku pergi dari rumah yang kurasakan bagaikan neraka ini.  

Namun, aku tidak mempunyai keberanian karena diri ini tidak memiliki penghasilan sendiri. Aku takut, bagaimana nanti bisa menghidupi Kalila seorang diri.  

"Adek memang bodoh, Mas. Tapi bukan berarti Mas bisa leluasa menghina. Adek memang tidak mencari duit sendiri. Kalau gak ada Mas yang kasih makan, mungkin Adek akan mati kelaparan. Tapi apa karena itu, Mas sampai semena-mena terhadap istri yang bodoh ini? Adek bukan budak yang bisa Mas perlakukan seenak hati!!" ujarku kesal. Tiba-tiba muncul keberanian untuk mengutarakan isi hati ini.  

Tak terasa air mata berderai membasahi pipi. Secepat kilat aku seka, jangan sampai terlihat oleh mas Raka. 

Selama dua puluh empat tahun hidup dengan orang tuaku, tidak pernah sedikitpun dimarahi oleh mereka apalagi sampai membentak. Mereka menyayangi dengan sepenuh hati. Berbeda jauh dengan suamiku. Dia memperlakukan diri ini bagaikan budak belian yang tidak ada harganya sama sekali. Mungkin dia merasa sudah rugi telah membayar mahar, jadi biar balik modal makanya dia semena-mena terhadap istri.  

"Adek tau diri. Adek bukan wanita pintar dan juga tidak ada istimewanya. Hanya perempuan bodoh!" ujarku. Rasanya sesak di dalam dada ini, bagaikan ditimpa batu berton-ton.  

"Bagus kalau kamu sadar!" 

"Lagi pula nafkah dalam rumah tangga kewajiban suami,  bukan istri! Kalau Mas tidak mau menafkahi anak dan istri, gak usah menikah. Mas bayar saja pelacur!"

"Sudah lancang kamu!"  

"Mas yang membuat Adek lancang!" Uang seratus ribu saja susah keluar dari dompetnya, padahal bukan untukku melainkan berobat Kalila. Dasar pelit.

"Kalau kamu tidak bisa mengurus Kalila, besok aku suruh ibu kemari!" Kemudian mas Raka melempar uang merah ke wajahku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status