Share

Bab 2. Hasutan mertua

"Makanya, anakmu dikasih makan pisang, jadi dia tidak rewel terus! Biar anteng dan kamu pun bisa mengerjakan yang lainnya!" saran ibu mertua saat mendengar Kalila hanya menangis saja dan aku tolak mentah-mentah. Bukan aku tidak mendengar nasehat orang tua.  

Namun, saran mertua yang ini, sangat berbahaya bagi kesehatan anakku. Pernah, anak tetangga setelah diberikan pisang oleh neneknya, anak itu beraknya bercampur darah. Dan aku tidak mau kejadian itu menimpa Kalila. 

"Kalila masih terlalu kecil, Bu. Dia belum boleh makan makanan selain ASI, anak umur segitu makanan yang sehat dan aman untuk tubuhnya hanya ASI. Tidak ada yang lain," jawabku. 

"Siapa bilang! Anak-anak Ibu, baru sehari lahir, owek owek, langsung Ibu kasih makan pisang. Buktinya mereka sehat-sehat sampai sekarang! Perempuan-perempuan sekarang kebanyakan teori. Akhirnya begini jadinya kan?" 

Ibu membandingkan wanita zaman dulu dengan zaman sekarang. Ya mana bisa. Wanita sekarang sudah cerdas-cerdas. Kalau pun hanya tamat SMP tetapi masih ada wadah untuk belajar, salah satunya melalui internet. 

Lagi pula Kalila menangis karena kepanasan, seandainya mas Raka bersedia memasang pendingin ruangan, mungkin Kalila tidak akan rewel seperti ini. 

"Ibu, bayi itu belum boleh dikasih pisang sebelum genap enam bulan. Pencernaannya masih terlalu tipis, tidak sanggup menggiling. Biar saja dia rewel dalam beberapa bulan saja, dari pada tuanya nanti dia sakit-sakitan!" jelasku berulang-ulang tetapi ibu mertua tetap ngotot mau memberikan makan untuk anakku, Kalila. 

"Susah ya kamu diajarin, melawan aja yang bisa tapi gak pernah mau mendengarkan. Sok paling pinter," ujar ibu mertua dengan wajah kesal sambil berlalu.

Aku hanya bisa menghela nafas kasar. Bukan maksud melawan orang tua, tapi kali ini nasehatnya tidak bisa kuterima. Karena itu sama saja dengan menghancurkan hidup anakku. 

"Dek, apa-apaan sih kamu? Nasehat ibu tidak kamu dengar, sementara kamu sendiri tidak benar. Maumu apa sih? Tega kamu melihat anak kita tersiksa karena kelaparan? Kamu mau membunuh anak kita?" Sekarang mas Raka ikut-ikutan memarahi aku karena tidak memberikan pisang pada bayi empat bulan kami. 

Ternyata ibu mertua mengadu sama mas Raka, herannya suamiku lebih mendengarkan ilmu sesat ibunya, dari pada keselamatan anak sendiri.

Kenapa aku bilang keselamatan? Setelah aku kasih makan pisang untuk anakku, adakah yang bisa menjamin perut anakku akan baik-baik saja? 

"Mas, bukan maksud Adek sampai hati membiarkan Kalila tidak makan. Mas harus tau, makanan bayi seumuran Kalila hanya ASI yang terbaik. Bukan yang lain." Aku berusaha menjelaskan panjang lebar pada pria pendamping hidupku tersebut. 

"Halah, kebanyakan teori. Begitulah, akibat wanita sok pintar, akhirnya anak yang tersiksa kelaparan!"

Aku berusaha untuk tetap tenang dan tidak menangis walau hati sangat sakit atas hinaan yang dilontarkan lelaki yang berstatus suamiku. 

Tidak ada dukungan sedikitpun dari suami. Aku berusaha tidak stres. Mengalihkan dengan membuka ponsel dan mencari hiburan disana. 

Pernah aku baca disebuah artikel, penyebab ASI tidak lancar salah satunya adalah karena stress. 

"Dek, kamu jangan melawan. Ini demi kebaikan anak kita juga!" Kebaikan? Kebaikan apa yang dimaksud suamiku? 

"Mas, kita ini sudah hidup dizaman modern. Bukan lagi zaman batu!" Sengaja aku sindir lelakiku, dia sendiri lulusan sarjana tetapi kepintarannya sudah sama dengan anak lulusan SD. 

"Jadi maksud kamu, Ibu ini kuno? Hidup zaman batu? Menantu tidak ada akhlak kamu ya?" 

Tiba-tiba Ibu mertua keluar dari kamar dan mendorong tubuh ini membuat diri ini jatuh, untungnya jatuh ke sofa. 

Tidak ada pembelaan sedikitpun dari lelaki yang berstatus suami itu. Masih bersyukur, Kalila tidak sempat jatuh dari gendongan. Bayiku menangis histeris, seakan tahu ibunya sedang dalam keadaan terancam. 

"Udah ... udah!" Mas Raka berusaha memeluk ibunya. 

"Ayo, Bu. Jangan diladeni. Risma otaknya sedang konslet. Dia gak waras. Kalau Ibu layani, berarti Ibu tidak ada bedanya dengan dia," 

Jleb 

Hinaan demi hinaan yang keluar dari bibir mas Raka begitu lancar bagaikan jalan tol. Tidak ada hambatan sedikitpun. Anak sama mamaknya sama saja. Sama-sama suka menghina orang lain, seakan dirinya manusia paling benar dan sempurna dimuka bumi ini. 

"Besok Ibu pulang saja, Nak. Untuk apa Ibu disini jika tidak dianggap." Bu Retno merajuk bagaikan anak kecil yang tidak diberikan mainan. Seolah-olah dia itu sedang sangat tersiksa karena ulahku. 

"Jangan pulang, Bu. Ibu disini saja ajarin Risma. Dia harus belajar sama Ibu bagaimana mengurus rumah tangga yang benar! Tolong Ibu ajari juga dia memasak yang enak!" Lagi-lagi mas Raka menyindir aku seakan-akan aku istri yang tidak becus dalam mengurus rumah tangga. 

"Biarkan ibu pulang, Raka. Ibu tidak dihargai disini. Ibumu ini hidup jaman batu tidak sama dengan kalian yang hidup dijaman modern," ujar ibu tergugu. Entah sandiwara apa lagi yang sedang dimainkan oleh wanita yang telah melahirkan suamiku ke dunia ini. 

"Bu, jangan pergi." 

"Ris ... Risma ... minta maaf sama ibu!" Bentak mas Raka seraya berlari ke arahku dan menarik kasar tangan ini. 

"Minta maaf sama ibu!" Perintah mas Raka dengan mata mendelik. 

"Salah Adek apa?" tanyaku, pura-pura tidak tahu apa kesalahan yang telah aku lakukan. Hanya karena tidak menuruti kemauannya aku harus meminta maaf. Aneh benar ini orang. 

"Minta maaf. Jangan banyak tanya!" bentak mas Raka. Tatapannya seakan hendak menelanku hidup-hidup. 

"Tapi Adek gak punya salah apa-apa, Mas?" tanyaku. 

Mata mas Raka mendelik melihatku. Wajahnya garang bagai singa kelaparan yang hendak menerkam mangsanya. 

"Kamu nanya lagi salahmu apa? Kamu kenapa sih, Dek. Gak berubah-berubah!" Emang dikiranya aku power rangers mudah berubah. 

"Apa maksud, Mas?" Aku semakin kesal dan kutingalkan saja dia yang masih merepet tidak menentu. 

"Dek, sini Kau!" Mas Raka menyeret diri ini untuk menemui ibunya. Kulihat mertua menatapku dengan tersenyum sinis. Dia merasa sudah menang karena berhasil mempengaruhi anaknya untuk membenci aku. 

Tidak masalah. Selama mempunyai jabatan dan harta kalian bisa berlaku sombong. Ingat dunia itu akan terus berputar. Semoga kalian tidak sampai jatuh ke jurang yang paling dalam dan menjadi hina dina. 

"Sakit, Mas." 

"Mas bilang kamu harus minta maaf sama ibu, kan? Kenapa dablek sekali," bentak mas Rama seraya menoyor kepalaku. Hati ini bagai teriris saat mas Raka mencengkeram tangan ini, aku hanya bisa meringis menahan sakit karena tenaganya yang sangat kuat.

Raga yang disakiti tidak seberapa dibandingkan hatiku yang hancur berkeping akibat perlakuan lelaki yang pernah aku sayangi tetapi sekarang rasaku sudah luntur terhadapnya. 

"Ibu, Risma minta maaf," Aku terpaksa menuruti kemauan suamiku untuk meminta maaf pada ibunya. 

Walaupun aku tidak bersalah tetapi tetap mengharap belas kasihan dari kedua ibu anak itu. 

"Makanya nasehat orang tua itu didengerin. Ibu itu sudah banyak makan asam garam kehidupan. Sudah banyak pengalaman dibandingkan kamu anak baru kemaren," cerocosnya panjang lebar. 

"Iya, Bu," jawabku 

"Ya udahlah. Mas mau berangkat kerja. Adek jangan tiduran aja di rumah. Ibu dibantu ya?" 

Hah? Apa aku tidak salah dengar? Sebenarnya bukan aku yang harus membantu ibu mertua tapi sebaliknya. Beliau rajin jika di depan anaknya saja. Namun, apabila mas Raka tidak berada di rumah, semua pekerjaan aku sendiri yang mengerjainya. 

Sementara mertua sibuk menonton sinetron di televisi. Atau sibuk bergunjing dengan tetangga. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status