Share

Kediaman Minami

“Band yang akan mengisi live music belum datang padahal acaranya dimulai lima belas menit lagi dan kami tidak menyiapkan cadangannya.” Aquila mengacak rambutnya kasar.

    

“Kau tau, Altair sangat bagus dalam bernyanyi” ucap Ryota yang dihadiahi tatapan tidak suka dari Altair.

“Benarkah itu? Kak aku mohon bantu aku kak..” 

“Boss akan memecatku jika acara ini berantakan karena aku penanggung jawabnya.” Lanjut Aquila memelas, memberi tatapan puppy eyes ke arah Altair yang tentu saja tidak akan bisa ditolak oleh orang berbadan kekar tersebut. Dan Altair hanya mengangguk tanda persetujuan. Ia sudah tidak pernah bernyanyi setelah sibuk mengurus perusahaannya jadi Altair merasa aneh untuk bernyanyi, tetapi mendengar Aquila mungkin akan dipecat oleh bossnya membuat dirinya tidak tega. Menyanyi satu dua lagu sepertinya bukan masalah. 

“Lain kali jangan lupa siapkan cadangan!” Altair menjitak kepala gadis itu pelan.

“Hehe... You are my savior, kak!” Reflek Aquila memeluk Altair erat. Sedangkan yang dipeluk berharap sang pemeluk tidak akan merasakan detak jantungnya yang mendadak ingin melompat keluar.

“Kalau begitu aku akan menyiapkan semuanya dahulu, apa kakak butuh sesuatu untuk nanti?” tanya Aquila setelah melepaskan pelukannya.

“Aku rasa piano itu cukup.” jawab Altair menunjuk piano yang berada di panggung kecil di sebelahnya.

“Baiklah aku mengerti.” Senyum Aquila mengembang, dia merasa sangat senang karena Altair mau membantunya, jadi dia tidak akan kehilangan pekerjaan.

“Kau menyukainya?” tanya Ryota setelah Aquila pergi.

“Omong kosong, aku baru mengenalnya tadi malam.” jawab Altair dingin.

“Apa? Kau baru mengenalnya semalam tapi kalian sudah saling memanggil dengan nama kecil? Dan sekarang kau berperan seperti seorang kekasih yang menunggui gadisnya bekerja begitu?” Naoki bertanya panjang lebar.

“Apa yang kalian lakukan semalam? Bahkan ‘dia’ dulu harus mengejarmu bertahun-tahun.”

“Diamlah, kau membuat moodku hancur Ryota!” tegas Altair, “Arata yang membawanya ke apartemenku dan menitipkannya, sepertinya anak itu suka padanya.” jelas Altair pada akhirnya. Dia tidak mau kedua sahabatnya salah paham.

Tuts piano ditekan, semua mata mengarah ke arah Altair yang sudah di atas panggung tak terkecuali Aquila. Gadis manis itu terpana begitu melihat Altair memainkan pianonya, kharisma yang dimiliki pria keturunan Australia itu begitu kuat seakan menyedot semua atensi Aquila.

Pria tinggi itu mulai menyenandungkan sebuah lagu, lagu yang mendayu bercerita tentang kerinduan kepada seseorang yang sudah menghianatinya dengan kebohongan. Dengan penghayatan yang sangat sempurna pengunjung kafe itu dibuat terdiam bahkan ada beberapa yang meneteskan airmata karena terbawa perasaan.

Aku benci mengakuinya

Aku masih merindukanmu

Bagaimana aku bisa melupakannya

Hari dimana kau berbohong padaku

Kita tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti semula

Katakan apa yang harus aku lakukan

Aku tahu kamulah satu-satunya yang membuat kehancuran ini

(i won’t to admit it ~ Bangchan)

Sedikit lirik yang terus terngiang-ngiang di kepala Aquila. Aquila mengamatinya dalam diam, dan menerka-nerka seberapa menderita Altair sampai bisa bernyanyi dengan penghayatan sedalam itu, siapa yang sudah menyakitinya.

Tiga menit berlalu, Altair menekan tuts piano terakhir kali untuk mengakhiri konser mendadaknya itu, semua orang tersadar dan riuh tepuk tangan terdengar dari seluruh penjuru kafe. Respon yang tak Altair duga sebenarnya. Ia membungkukkan badannya sedikit lalu berjalan ke meja di mana Aquila dan teman-temannya berada.

“Aquila.. hey, Aquila!” Altair melambaikan tangannya di depan wajah Aquila yang masih membatu.

“Ah.. kak.” Aquila gelagapan.

“Sepertinya dia tersihir pesonamu bung.” gurau Ryota dan mereka semua tertawa menanggapinya.

“Penampilan kakak sungguh luar biasa!” Pipi Aquila sedikit bersemu dan itu tidak luput dari penglihatan Altair, ekor matanya mengikuti Aquila yang sudah mulai kembali bekerja.

Pukul dua pagi Aquila menghampiri Altair yang sudah menunggunya di mobil dan lagi-lagi Aquila merasa bersalah melihat Altair yang tertidur di belakang kemudi, harusnya akhir pekan ia gunakan untuk istirahat bukan untuk menemaninya bekerja. Sedikit tak enak hati Aquila menepuknya pelan, tak butuh waktu lama Altair terjaga, setelah Aquila masuk ke dalam mobil ia mulai melajukan mobilnya, melaju menembus jalanan kota Tokyo yang terlihat sepi.

“Tadi itu sangat bagus kak.” Puji Aquila jujur. Penampilan Altair saat di panggung tadi benar-benar mencuri perhatian gadis manis itu.

“Terima kasih!” Altair menoleh ke arah Aquila yang duduk di sampingnya dan melemparkan senyum tulus. 

“Umm.. lagu itu apa kakak menyanyikannya untuk seseorang?” tanya Aquila yang tidak bisa membendung rasa penasarannya. Namun, rasa bersalah menyelimutinya saat tak mendapat jawaban sepatah katapun dari pria yang kini tetap fokus mengemudi, tentu saja itu cerita masa lalu yang cukup kelam mengingat setiap kata di lirik lagunya begitu menyayat hati untuk pendengar apalagi untuk yang membuat atau yang menyanyikan, jadi wajar saja jika Altair tidak ingin membicarakannya fikir Aquila.

Tak ada ucapan yang terlontar setelah itu, mereka masing-masing sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

***

“Terima kasih kak, lagi-lagi aku merepotkanmu!” ucap Aquila ramah.

“No worry!” jawab Altair tak kalah ramah.

Mereka berdua sedang berada di luar gerbang kediaman Aquila, Altair menawarkan diri untuk mengantarnya tadi, setelah semalaman gadis itu menginap di apartemennya lagi.

Altair menyapukan pandangannya ke arah rumah besar di depannya, menelusuri bangunan yang tidak asing di ingatan, pagar tinggi kokoh yang menjulang mengitari rumah bergaya mediterania tersebut, luas, indah dan nyaman tapi entah kenapa terlihat sangat hampa dan kosong dalam pandangan Altair.

“Kau masuklah dulu, aku akan langsung pulang.” ujar Altair. Aquila merasa tidak sopan karena tidak bisa mengajak tamunya masuk atau lebih tepatnya merasa malu jika ada orang lain yang akan tahu keadaan rumahnya yang sesungguhnya.

“Lain kali aku akan mengajak kakak masuk.” gumam Aquila lirih. Mata sendunya ia sembunyikan dari Altair. Pria tampan itu membalasnya dengan senyuman dan dengan lembut mengusap kepala Aquila.

“Please remain, if you need me, you can call me anytime yeah.” Aquila menengadah menatap mata orang yang baru saja mengucapkan kata-kata sederhana yang begitu dibutuhkan olehnya. Tidak bisa membalas dengan ucapan Aquila hanya menganggukkan kepalanya paham, menahan kristal yang hampir jatuh dari matanya .

Tak lama setelah Aquila meninggalkan Altair, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan gerbang, seseorang keluar dari mobil itu lalu menghampiri Altair yang masih berdiri bersandar pada mobilnya.

“Altair.. apa yang kau lakukan di depan kediamanku?” tanya pria paruh baya itu sembari membuka kacamata hitamnya.

“Paman?” seru Altair. “Aku baru saja mengantar Aqui- ahh maksudku Minami.” sambung Altair.

“It’s okay, kau bisa memanggilnya dengan nama kecil, ayo masuk!” Tawar ayah Aquila ramah.

“Ah tidak, aku ada urusan setelah ini paman.” Tolak Altair sopan.

“Oh ayolah.. Kau sudah jauh-jauh ke sini setidaknya minumlah secangkir kopi, sambil membicarakan kerjasama perusahaan kita bagaimana?” Bujuk sang tuan rumah. Merasa tak enak hati untuk kembali menolaknya Altair hanya mengangguk tanda setuju, segera ia kemudikan mobilnya di belakang mobil ayah Aquila, memasuki pelataran rumah bercat serba putih itu.

Turun dari mobil Altair sedikit kaget saat melihat seorang wanita muda memeluk tangan ayah sahabat barunya itu, seingatnya istri Paman Minami tidak semuda itu. Tentu saja Altair tahu karena Keluarga Sato dan Keluarga Minami sudah menjalin kerjasama sejak lama, hanya saja dia memang belum pernah bertemu Aquila yang dari kecil tinggal di luar negeri bersama kakek-neneknya. Setidaknya itulah yang Altair ingat.

Mereka bertiga memasuki kediaman besar itu dipimpin sang pemilik rumah, beberapa pelayan menyapa mereka ramah.

“Di mana Aquila?” tanya Tuan Minami pada kepala pelayan.

“Nona muda ada di kamarnya, Tuan.” jawab pelayan itu sopan.

“Panggilkan dia, kami akan makan malam bersama dengan sahabatnya!” perintah Paman Minami.

“Tu..Tuan apa perlu saya panggilkan Nyonya besar juga, beliau sudah kembali tadi siang?” Pelayan itu bertanya dengan ragu. Firasat Altair mendadak sedikit tidak enak.

Mereka bertiga sudah duduk di meja makan saat Aquila dan ibunya datang, ibu dan anak itu kaget melihat sosok wanita yang duduk di sisi kanan meja makan yang biasa di duduki nyonya rumah. Sementara yang ditatap acuh seakan tidak ada yang salah di sini. Altair segera menyadari apa yang terjadi di rumah Aquila.

“Bagaimana mungkin Otou-sama membawa wanita lain ke rumah ini, apa Otou-sama tidak menganggapku dan Okaa-sama?” tanya Aquila lirih. Terdengar sekali nada kecewa pada suaranya.

“Aquila duduklah! Kita akan makan malam!” Perintah Tuan Minami tenang.

“Apa Otou-sama gila? Bagaimana mungkin anda menyuruh kami makan di meja yang sama dengan dia?” Racau Aquila sambil menunjuk wanita asing yang kini duduk di samping sang ayah. Ibunya mencoba menenangkannya dengan mengelus pundak Aquila lembut tapi percuma, terlihat sekali kemarahan dan kekecewaan di sorot mata gadis yang biasa memamerkan senyum manisnya itu.

Altair hanya terdiam di sana, ia tidak tau harus berbuat apa, ia tidak mungkin ikut campur masalah keluarga orang lain begitu saja. Tapi tentu saja mata elangnya terus memperhatikan Aquila awas.

“Jaga bicaramu Aquila!” Tegas Tuan Minami penuh penekanan.

“Untuk apa aku harus menjaga ucapanku? Anda dan perempuan murahan itu saja tidak bisa menjaga perasaanku dan perasaan Okaa-“

Plak

Aquila memegangi pipinya yang terasa panas, ini pertama kalinya ia mendapatkan perlakuan kasar dari ayahnya,ia tak menyangka akan mendapat tamparan, sementara terlihat sekali Tuan Minami menyesali perbuatannya. Altair yang tidak mengira hal itu akan terjadi tidak bisa mencegahnya

“Apa yang kau lakukan pada anakku hah?” teriak Nyonya Minami histeris.

“Harusnya kau mengajari anakmu sopan santun, liat sikap anak mu sekarang.. itu karena kau terlalu asyik dengan karirmu.” teriak pria paruh baya itu.

“Kau sendiri bagaimana, bukankah kau juga punya kewajiban untuk mengajarinya? Tapi kenapa kau malah sibuk berkencan dengan banyak wanita?”

“Diam.. diam.. AKU MOHON KALIAN BERDUA DIAM!” Aquila membanting gelas yang tidak jauh darinya. Semua orang terdiam, menatap awas pada Aquila, baru kali ini mereka melihat Aquila yang tak bisa mengontrol emosinya.

Keputusannya untuk pulang ke rumah ternyata salah, jika tahu akan begini Aquila lebih memilih menumpang di apartemen Altair atau rumah teman-temannya. Sudah empat bulan ini Aquila memang tidak pernah pulang ke rumah, dia lebih memilih untuk menginap di tempat manapun asalkan bukan rumahnya, asalkan dia tidak mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Ia sudah sangat lelah melihat mereka selalu berseteru.

“Aku tidak pernah meminta kalian melahirkanku.. bagaimana kalian bisa saling menyalahkan seperti itu? Jika tidak punya waktu untuk membimbingku cukup jangan BAWA AKU KE DUNIA YANG KOTOR INI!” ucap Aquila lirih dengan nada tinggi di akhir kalimatnya. Kedua orang tuanya terkesiap mendengar terikan frustasi Aquila.

“Dan kau Tuan Minami, lelaki brengsek sepertimu tidak pantas dipanggil ayah! Kau wanita jalang yang sudah merenggut kebahagiaan keluargaku juga tidak pantas menjadi seorang ibu, aku berdoa semoga anakmu merasakan kesedihan yang lebih dalam dari apa yang aku rasakan saat ini!” Aquila berucap dengan penuh penekanan, terasa sekali rasa sakit yang teramat dalam setiap kata yang terucap dari mulutnya.

Aquila melangkah pelan menjauh dari keriuhan rumahnya setelah sebelumnya tersenyum tipis ke arah Altair. Bisa Altair lihat tatapan kesedihan yang terpancar dari manik coklat madu Aquila yang sudah retak. Dengan cepat Altair mengekor di belakang Aquila, gadis itu berhenti tepat di samping mobil hitamnya.

 “Take me to somewhere?” Aquila berujar lirih.

“Just get in!” Altair masuk ke mobilnya, disusul Aquila. Ia mengemudi dengan kecepatan sedang. Tak ada obrolan di antara mereka, Aquila asik menerawang keluar jendela dengan tatapan kosong, sementara Altair fokus mengemudi sambil menyenandungkan lagu mengikuti irama lagu dari radio yang ia nyalakan.

“Menangislah!” ucap Altair memecah keheningan tanpa kehilangan fokusnya pada jalanan.

“Aku tidak lemah.”

“Jadi kau pikir jika kita menangis itu artinya kita lemah?”

“...”

“Kita bukan robot Aquila, semua emosi yang kita rasakan itu valid. Bahagia, bersedih, marah, tertawa maupun menangis itu yang membuktikan kalau kita adalah manusia.” ucap Altair pelan.

“...”

Altair mengaktifkan kemudi otomatisnya, ia membuka hoodienya lalu menutupi wajah Aquila dengan itu.

Aquila tidak menyetujui ataupun menolak sikap Altair. Tidak lama setelah itu dapat Altair liat badan gadis di sampingnya itu sedikit bergetar, sesekali isakan kecil terdengar darinya.

Kembali menggunakan kemudi manual Altair menambah kecepatan mobil Audi mewah miliknya.

Menembus jalanan kota Tokyo yang nampak sepi malam ini.

Empat puluh lima menit sudah Altair mengendari mobilnya, kini ia berhenti di parkiran yang berada di atas dataran tinggi yang menghadap langsung ke pantai. Dari sana bisa dilihat kelap-kelip lampu kapal-kapal kecil milik nelayan, deburan ombak terdengar pelan, juga hembusan angin pantai menerpa keduanya yang kini duduk beriringan di atas kap mobil.

“Kak, kau tidak dingin?” tanya Aquila pelan. Bukan apa-apa hanya saja sekarang Altair hanya menggunakan kaos tanpa lengan setelah ia memberikan hoodienya kepada Aquila tadi.

“Jika aku bilang tidak, kau pasti tau aku berbohong.” 

“Kemarikan tanganmu!” Aquila meraih kedua tangan Altair lalu menggosok-gosokannya dengan tangannya, setelah dirasa cukup hangat Aquila membawa tangannya ke pipi Altair, menangkupnya. Altair yang mendapatkan perlakuan tiba-tiba itu sejenak membatu.

“Kau tidak suka? Maaf aku lancang.” Aquila melepaskan tangannya dari pipi Altair.

“No, i like it.. it’s warm, really!” Altair menarik kembali tangan Aquila, meletakkannya di kedua belah pipinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status