"Bi Sarti benar." Haris berbicara sendiri, "ini gak adil untuk Abrina. Dia juga anakku, sudah sepantasnya dia menikmati apa yang aku punya," gumamnya sadar diri. "Pak Nono!" panggil Haris kemudian. Pak Nono yang sedang mengobrol dengan istrinya cukup terkejut. Suami istri itu saling berpandangan. Keduanya takut akan mendapatkan teguran dari Haris. "Ayo ikut saya," ajak Haris kalem. Ketakutan di hati Pak Nono sirna melihat ekspresi Haris yang tenang. "Eh iya, Pak." Pria itu pun mengangguk. Haris mendahului langkah. Pak Nono pun membuntuti di belakang. Kedua laki-laki dewasa itu menaiki tangga. Mereka menuju lantai atas yang sepi dari orang. "Pak Nono, tolong ambil semua jenis makanan yang ada. Bawa dan kasih kan untuk Abrina," suruh Haris begitu tiba di lantai atas. Pak Nono tercekat. "Maksudnya?" tanyanya sedikit tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Tadi saya mendengar obrolan kalian," kata Haris jujur, "dan sebenarnya saya juga merasa cukup bersalah," ungkapnya sendu.
Miranti menatap uang tersebut penuh dilema. "Jujur saat ini saya memang sangat membutuhkan uang, Pak Nono. Tapi ini duit bukan hak saya, karena saya sudah tidak ada hubungan lagi dengan Mas Haris.""Tapi Bu Ranti kan ibunya Non Abrina.""Benar, sayangnya dia gak menerima dan saya gak berhak untuk memaksanya," jawab Miranti bijak. Pak Nono mendesah kecewa. "Baiklah kalo begitu saya permisi ya, Bu," pamitnya kemudian. "Kalo Mas Haris nanya kenapa Abrina gak mau menerima, bilang saja dia masih ngambek.""Iya, Bu."Miranti mengantar mantan sopirnya sampai ke depan. Wanita itu masuk ke rumah lagi setelah mobil Pak Nono hilang dari pandangan. Langkahnya langsung tertuju pada kamar Abrina. Gadis itu Tambak termenung dengan pandangan tertuju pada ke luar jendela. "Mamah gak pernah mengajari kamu untuk bersikap pendendam, Bina," ujar Miranti begitu duduk di samping putrinya. Abrina menoleh. "Selama ini aku selalu mematuhi nasihat Mamah, tapi plis untuk kali ini biarkan aku dengan jalanku,
"Gimana Abrina? Ada yang mau disampaikan pada Pak Gibran?" tanya Livia saat melihat Abrina justru termenung. "Nama kamu Abrina kan? Temannya Gavin?" tanyanya bersikap profesional. Abrina hanya mengangguk pelan. "Jadi apa yang mau kamu sampaikan pada Pak Gibran," ulang Livia. "Tidak ada." Kali ini Abrina menggeleng, "kalo begitu saya permisi," pamitnya kemudian. Gadis itu melangkah meninggalkan lobi kantornya Gibran. Abrina menyusuri jalan. Seperti biasa tangannya membawa kantong plastik berisi boks untuk donat jualannya. Meski hari ini jualannya habis, entah mengapa Abrina merasa tidak begitu bahagia. Gadis itu sedikit kecewa karena tidak bisa bertemu dengan Gibran. Padahal dia sudah menggantungkan harapannya pada pemuda itu. Abrina ingin bekerja pada Gibran. Abrina menghentikan angkot yang melintas. Gadis itu menaiki kendaraan tersebut. Kebetulan sedikit sepi, sehingga dia masih kebagian tempat duduk. Hanya saja selama dalam perjalanan, pikiran Abrina melayang entah kemana. Ot
Semantara itu sobat kental Gavin yang bernama Eza tercengang melihat kelakuan Leon. Dia dan ketiga temannya lekas berlari menolong Abrina. "Bi, elu gak papa?" tanya Eza peduli. Abrina tidak menjawab. Gadis itu hanya bisa terisak sembari menatap donat-donatnya yang sudah kotor. "Leon emang sembarangan, maksudnya dia apa sih?" ujar Eza ikutan kesal. Sedangkan ketiga temannya memunguti donat-donatnya milik Abrina. "Nah itu Leon!" tunjuk teman Eza begitu melihat Leon ke luar dari arah toilet, "Leon!" panggilnya. Leon mendengar namanya dipandang. Namun, dia berpura-pura tidak mendengarnya. Pemuda itu menjauh tanpa mengindahkan panggilan itu. Namun Eza segera berlari mencegatnya. "Lu jadi orang jahat banget, ya!" kecamatan Eza gemas. "Udah nabrak Bina sampai jatuh dan barang dagangannya tumpah main selonong aja. "Boro-boro tanggung jawab bayar, minta maaf pun enggak.""Waduh gue gak sengaja, Za," dalih Leon cuek, "tadi gue lagi kebelet banget buang air.""Alah alesan!""Serius, Za," b
Abrina menatap Eza. Gadis itu seolah ingin meminta masukan dari pemuda itu."Apa yang membuat elu ragu, Bi?" tanya Eza seakan bisa membaca isi pikiran Abrina.Tidak enak dengan sang manajer, Abrina berbisik, "pemandu lagu kan imejnya jelek, Za," tuturnya jujur.Eza menarik napas panjang. "Ingat tujuan awal kenapa elu mau mencari pekerjaan. Elu mau bantu mamah lu kan biar dia gak kerja lagi? Biar dia gak kecapean lagi?"Abrina mengangguk lemah."Udah lu gak usah denger apa kata orang, yang penting niat lu baik, Bi," pesan Eza serius, "lu kerja aja yang bener. Kumpulin gajian sama bonus yang lu dapat buat modal usaha Mamah lu. Kalau usaha rumah lu udah berkembang, lu bisa kok cabut dari sini."Abrina mencerna kalimat yang diucapkan oleh Eza. Pemuda itu ada benarnya. Semua tergantung pada niatnya. Dan niat Abrina adalah demi bisa mengurangi beban sang ibu."Baiklah aku mau," putus Abrina kemudian.Eza dan sang manager tersenyum senang mendengar keputusan Abrina.Abrina kembali menatap Pa
Bibir Lusi seketika terangkat."Keren kan kabar yang aku kasih?" tanya Leon bangga, "so aku minta bonus dari Mbak ya," pintanya sembari menaikan satu alis."Buat Abrina menderita di tempat kerjanya, baru akan Mbak kasih kamu hadiah," janji Lusi serius."Pajero ya, Mbak," pinta Leon sambil menyengir."Eh gak usah ngelunjak ya! Itu motor yang kemarin aja belum pernah kamu pakai ke sekolah."Leon bangkit dari duduknya. "Males ah pake motor, apalagi yang udah pernah masuk ke bengkel," tuturnya sambil lalu."Hu sombong!" kecam Lusi. Namun, hatinya masih berbunga mendengar kabar dari sang adik. "Okeh ... Mas Haris harus liat kalo anaknya bisa juga jadi nakal."Malam harinya Lusi mendekati suaminya yang tengah mengerjakan pekerjaannya yang belum rampung di kantor. Dia menggunakan bekas kamarnya bersama Miranti untuk tempat kerjanya.Awalnya Lusi bertanya basa-basi. Hingga akhirnya perempuan itu menanyakan tentang kerja sama antara Haris dengan Gibran."Belum ada kesepakatan. Kata Livi, Gibr
Abrina tercengang. Dia tidak menyangka jika tamu yang akan dia layani malam ini adalah Haris ayah kandungnya. Ada rasa sedih dan rindu yang menyergap jiwa. Sebagai anak yang dulu kerap disayang oleh sang ayah, ingin sekali Abrina memeluk tubuh pria yang duduk di sofa minimalis berwarna merah tersebut. Namun, bila teringat betapa laki-laki tersebut yang telah membuat ibunya sedih, rasa rindu berubah menjadi benci. Abrina memejam sekejap. Dia tengah meyakinkan diri jika laki-laki yang juga tengah memandangnya bukanlah orang yang pantas dihormati. Akhirnya gadis itu mengangkat sedikit dagunya. Abrina harus tampil percaya diri di depan Haris. Gadis itu lantas menyalami beberapa tamu yang notabene adalah teman bisnisnya Haris. Dia melempar senyum manis pada dua orang laki-laki yang usianya memang sepantar Haris. Sementara itu Harus masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Abrina putri baiknya yang selalu tampil sopan dan elegan kali ini tampak begitu menyentak hatinya. Di ruang
Pria itu sudah habis kesabaran melihat sang anak berjoget-joget di hadapannya bersama kawan-kawannya. Abrina sendiri lekas berhenti. Begitu juga dengan kedua temannya Haris. Haris bangun dan segera mendekati Abrina. "Cukup buat papah malu, Bina!" ujarnya dengan suara yang bergetar. Rasa marah dan sedih bermuara di dalam hatinya saat ini. "Hah?" Kedua teman Haris saling berpandangan karena heran. Begitu juga dengan Ira yang hanya bisa melongo bingung. "Beneran dia anak kamu?" cecar si kacamata tidak percaya. Haris mengabaikan pertanyaan temannya. Matanya terus memindai sang putri. "Ayo kita balik sekarang!" ajaknya lekas menarik lengan Abrina. "Tolong lepaskan tangan saya," pinta Abrina dengan tatapan datar. Bukannya melepas pegangan, Haris justru mencengkeram lengan Abrina. "Kamu menolak pemberian uang dari papah dan memilih pekerjaan hina seperti ini?" tanyanya dengan dada yang turun naik menahan gejolak emosi. "Maaf, ini pekerjaan halal. Anda tidak bisa merendahkan sesuka hat