Share

3. Pesta Di Rumah Haris

Pemuda yang mukanya sedikit basah itu melangkah mendekati ranjangnya Abrina. Bibirnya mengembangkan senyuman yang lembut. Lesung pipit kian menambah kesan manis. 

 

"Bagaimana kondisi kamu, Dek?" Pemuda itu mengulangi pertanyaannya. 

 

"Eum, aku ... tubuh aku sakit semua," balas Abrina lemah. 

 

Pemuda di hadapan menipiskan bibir mendengar kejujuran Abrina. "Kamu pingsan semalaman," tuturnya tenang. 

 

Abrina terdiam. Gadis itu menunduk. Tiba-tiba saja dia menyadari pakaiannya telah berganti dari hoodie dan celana jeans menjadi piyama. 

 

"Tadinya saya mau menghubungi keluarga kamu, tapi setelah diperiksa kamu tidak membawa identitas." Pemuda itu berbicara lagi. 

 

"Tentu saja, umurku kan belum genap tujuh belas tahun. Jadi belum punya KTP," sahut Abrina. Namun, hal itu hanya terucap di hati. 

 

"Kamu juga tidak membawa hape, jadinya saya dan supir saya Pak Min bingung harus menghubungi siapa," lanjut pemuda itu dengan serius. 

 

Abrina menghela napas. Rasa sesak kembali menyergap dada. Tiga bulan pasca ke luar dari rumah sang ayah, dirinya terpaksa menganti iPhone-nya menjadi ponsel android biasa. Itu semua agar dia bisa membayar ongkos kendaraan. Karena letak rumah kontrakan cukup jauh dari sekolah. 

 

Mirisnya, tiga hari yang lalu Abrina terpaksa menjual ponselnya demi bisa membayar DP biaya perawatan ibunya. Kini uang hasil jualan ponsel tersebut tinggal sembilan puluh ribu. 

 

"Saya hanya menemukan ini." 

 

Pemuda itu berkata seraya mengeluarkan uang sembilan puluh ribu milik Abrina dari saku kemeja putihnya. Dia lantas menaruhnya di atas nakas. 

 

"Kamu sudah semalaman di rumah sakit ini. Saya takut orang tua kamu nyariin, jadi apa ada nomor keluarga kamu yang bisa dihubungi?" tanya pemuda berwajah tenang itu kemudian. 

 

"Eum ...." Abrina dilanda bimbang. 

 

Saat ini tidak ada orang yang bisa dihubungi. Ibunya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Abrina tidak mau menghubunginya. Gadis itu tidak ingin menambah beban pikiran ibunya yang tengah sakit. 

 

"Ada gak, Dek?" tanya pemuda itu lagi. 

 

Abrina pun menggeleng pelan. 

 

"Gak ada?" Pemuda dengan hidung bangir itu menyipitkan mata, "maaf sebelumnya, apa kamu sudah gak punya orang tua?" tanyanya hati-hati. 

 

"Saya ada ibu, Kak," sahut Abrina pelan. 

 

"Bisa kakak minta nomor hapenya?" izin pemuda itu sopan. 

 

Abrina menatap pemuda itu lamat-lamat. "Sepertinya kakak ini orang baik," tebaknya dalam hati, "keknya gak ada salahnya kalo aku minta bantuan sama dia."

 

"Saat ini ibu aku lagi dirawat di rumah sakit, Kak," tutur Abrina kemudian. 

 

"Sakit apa?" tanya pemuda itu kalem. 

 

"Ibu aku kena demam berdarah." Abrina menunduk untuk menyembunyikan rasa sedihnya, "pengobatan ibu aku akan dihentikan jika aku gak bisa bayar biaya perawatannya, Kak. Dan gak ada orang yang bisa aku mintai bantuan." Air mata gadis itu menitik saat bercerita. 

 

"Memang di rumah sakit mana Ibu kamu dirawat?" tanya pemuda itu lagi. 

 

"Di rumah sakit Ibunda."

 

"Sebagai permintaan maaf karena sopir kakak udah menabrak kamu, kakak akan bantu seluruh biaya perawatan ibu kamu."

 

Abrina langsung menatap pemuda teduh nan menawan itu dengan hati yang terharu. "Te-terima kasih banyak, Kak," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. 

 

Tiba-tiba Abrina lekas bangun dari rebahannya. Namun, dia kembali mendesis saat merasakan sakit. Beruntung pemuda itu cukup perhatian. Dia langsung membantu Abrina untuk duduk dan memasang bantal untuk sandaran gadis itu. 

 

"Nama saya Abrina." Tanpa ragu gadis itu mengulurkan tangan. "Saya janji, kalo saya ada uang saya akan ganti seluruh uang yang nanti akan kakak keluarkan."

 

"Kamu bisa panggil kakak dengan nama Kak Gibran," balas pemuda itu seraya menjabat tangan Abrina. Cuma sebentar karena dia langsung menarik uluran tangannya. "Seperti yang sudah kakak bilang, kakak akan biayain perawatan ibu kami sebagai permintaan maaf. Jadi gak perlu kamu ganti."

 

"Tapi, Kak--"

 

"Sudah gak perlu dipikirkan, sekarang katakan siapa nama Ibu kamu dan dirawat di kamar apa?"

 

"Ibu aku namanya Miranti. Saat ini Ibu dirawat di kamar Anggrek."

 

"Oke, akan saya ingat-ingat," sahut Gibran sambil manggut-manggut. 

 

Ketika dia akan berbicara lagi, pintu kamar terbuka. Masuk seorang dokter dengan perawat. Keduanya melemparkan senyum ramah pada Gibran dan juga Abrina. 

 

Setelah berbincang sebentar dokter pun mulai memeriksa Abrina. Pria berkaca mata itu memeriksa denyut jantung, tensi darah, dan juga luka Abrina. Di belakang sang perawat mencatat obat apa saja yang dokter itu sampaikan. 

 

Tidak sampai sepuluh menit kedua petugas medis itu pun pamit undur diri. Mereka akan melanjutkan tugasnya untuk memeriksa pasien di kamar yang lain. Lima menit dari kepergian keduanya, datang petugas mengantarkan sarapan untuk Abrina. 

 

"Sini kakak suapi," ujar Gibran saat mengambil rangsum tersebut. 

 

"Gak usah Kak, aku bisa makan sendiri," tolak Abrina canggung. 

 

"Gak papa," sahut Gibran tenang. Dia dengan santainya duduk di tepi ranjangnya Abrina. "Kakak tahu tangan kamu masih sakit saat digerakan."

 

Abrina diam tidak bisa lagi mengelak. 

 

"Ayuk, aaa!"

 

Mau tidak mau Abrina pun membuka mulut. Meski kikuk dirinya perlahan mengunyah nasi berkuah sup tersebut. Karena sejujurnya perutnya pun memang sudah sangat kelaparan. Maklum dia belum makan lagi dari siang kemarin. 

 

Pada suapan keempat pintu kamar terbuka lagi. Seorang pria paruh baya masuk dengan membawa dua tas kertas di tangan. Abrina ingat jika laki-laki itu adalah sopirnya Gibran. 

 

"Mas Gibran ini saya bawakan baju ganti," ujar pria dengan rambut yang mulai memutih itu sembari menaruh tas-tasnya di meja set sofa. Gibran memang sengaja memilihkan kamar VIP untuk Abrina. 

 

"Terima kasih." Gibran langsung bangkit, "Pak Min tolong suapi Abrina," suruhnya seraya menyerahkan piring stainless yang ia pegang pada sang sopir. 

 

Setelah itu dirinya mengambil salah satu tas tersebut. Gibran pun kembali masuk ke kamar mandi untuk berganti baju. Karena dia sudah mandi saat Abrina masih terlelap. 

 

"Mas Gibran yang jaga kamu semalaman, Neng," ujar Pak Min memberi tahu. Si depannya Abrina menanggapinya dengan senyuman kecil. 

 

"Kalo boleh tahu Kak Gibran kuliah atau sudah bekerja, Pak?" tanya Abrina memberanikan diri. 

 

Pak Min tersenyum. "Dia sudah bekerja. Masih muda begitu Mas Gibran sudah punya usaha sendiri. Punya gerai ayam geprek dan tempat karaoke."

 

Abrina mengangguk. Mendadak ada rasa kagum pada pemuda yang ia sangka masih kuliah itu. 

 

Ketika Pak Min akan berbicara lagi Gibran sudah keluar dari dalam kamar mandi. Pemuda itu terlihat lebih segar dengan kemeja putih bersih dan celana slim fit hitam. 

 

"Pak Min, mana kunci mobilnya? Biar saya bawa mobil sendiri. Pak Minta di sini saja jaga Abrina," pinta Gibran begitu mendekat. 

 

"Gak usah, Kak," cegah Abrina cepat, "saya biar dijaga sama suster aja di sini."

 

"Beneran kamu sendirian gak papa?" tanya Gibran memastikan. 

 

"Gak papa," sahut Abrina pelan, "kalo boleh saya pinjam hapenya buat hubungi teman saya," pintanya sedikit malu. 

 

Tanpa banyak bicara, Gibran merogoh celananya. Dia lantas menyodorkan ponsel berlogo apel kegigit pada Abrina. 

 

Abrina pun lekas menghubungi nomornya Anggini. Beruntung sang kawan lansung menerima panggilan darinya. Tidak mau berlama-lama, Abrina lekas menceritakan kondisinya. Gadis itu meminta sang kawan untuk menjenguk usai pulang sekolah. 

 

"Terima kasih," ucap Abrina begitu mengembalikan ponsel pada sang pemilik. 

 

"Yakin kamu gak papa sendirian?" tanya Gibran sebelum beranjak pergi. 

 

"Iya, gak papa."

 

"Ya sudah kami pergi dulu, ya. Kalo kamu butuh apa-apa, pencet saja tombol call nurse itu," suruh Gibran seraya menunjuk tombol di atas headboard kasur Abrina. 

 

"Iya."

 

Gibran menipiskan bibir. Dia lantas melangkah pergi diikuti oleh Pak Min. Abrina sendiri menatap kepergian mereka dengan hati yang terharu. 

 

"Terima kasih banyak ya Allah, Engkau telah menurunkan dewa penolong untuk aku," ucapnya seraya menengadahkan tangan. 

 

***

 

Sementara itu semenjak kedatangan Abrina, hati Haris menjadi gelisah. Tidak dapat dipungkiri pria itu sangat menyayangi sang putri. Di palung terdalam hatinya pun merasa iba mendengar kabar sang mantan istri. 

 

Namun, apalah daya. Saat ini Haris tengah dibutakan oleh cintanya Lusi. Terlebih wanita itu tengah mengandung darah dagingnya yang berjenis kelamin laki-laki. Putra yang sangat ia nanti-nanti. 

 

Seharian Haris tidak semangat bekerja. Pria itu memutuskan untuk pulang cepat dari kantornya. Sepanjang perjalanan pikirannya terus tertuju pada Abrina dan Miranti. 

 

Hingga tidak terasa sampailah Haris di rumahnya. Pria baru sadar dari renungannya saat diberi tahu oleh sang sopir. Ketika turun dari mobil, kening Haris dibuat berkerut. Pasalnya dia mendengar dentuman musik yang cukup keras dari dalam rumah. 

 

Tanpa berpikir panjang, pria itu lekas memasuki rumah. Haris dibuat terkejut saat mendapati ada banyak orang yang tengah bergoyang mengikuti alunan musik. Mata Haris dibuat terbelalak melihat sang istri yang tengah hamil besar tanpak tengah bergoyang bersama seorang pemuda. 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mat Yudi
mantap sangat bijak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status