Beranda / Romansa / SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI / 3. Pesta Di Rumah Haris

Share

3. Pesta Di Rumah Haris

Penulis: Yenika Koesrini
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-02 05:04:00

Pemuda yang mukanya sedikit basah itu melangkah mendekati ranjangnya Abrina. Bibirnya mengembangkan senyuman yang lembut. Lesung pipit kian menambah kesan manis. 

 

"Bagaimana kondisi kamu, Dek?" Pemuda itu mengulangi pertanyaannya. 

 

"Eum, aku ... tubuh aku sakit semua," balas Abrina lemah. 

 

Pemuda di hadapan menipiskan bibir mendengar kejujuran Abrina. "Kamu pingsan semalaman," tuturnya tenang. 

 

Abrina terdiam. Gadis itu menunduk. Tiba-tiba saja dia menyadari pakaiannya telah berganti dari hoodie dan celana jeans menjadi piyama. 

 

"Tadinya saya mau menghubungi keluarga kamu, tapi setelah diperiksa kamu tidak membawa identitas." Pemuda itu berbicara lagi. 

 

"Tentu saja, umurku kan belum genap tujuh belas tahun. Jadi belum punya KTP," sahut Abrina. Namun, hal itu hanya terucap di hati. 

 

"Kamu juga tidak membawa hape, jadinya saya dan supir saya Pak Min bingung harus menghubungi siapa," lanjut pemuda itu dengan serius. 

 

Abrina menghela napas. Rasa sesak kembali menyergap dada. Tiga bulan pasca ke luar dari rumah sang ayah, dirinya terpaksa menganti iPhone-nya menjadi ponsel android biasa. Itu semua agar dia bisa membayar ongkos kendaraan. Karena letak rumah kontrakan cukup jauh dari sekolah. 

 

Mirisnya, tiga hari yang lalu Abrina terpaksa menjual ponselnya demi bisa membayar DP biaya perawatan ibunya. Kini uang hasil jualan ponsel tersebut tinggal sembilan puluh ribu. 

 

"Saya hanya menemukan ini." 

 

Pemuda itu berkata seraya mengeluarkan uang sembilan puluh ribu milik Abrina dari saku kemeja putihnya. Dia lantas menaruhnya di atas nakas. 

 

"Kamu sudah semalaman di rumah sakit ini. Saya takut orang tua kamu nyariin, jadi apa ada nomor keluarga kamu yang bisa dihubungi?" tanya pemuda berwajah tenang itu kemudian. 

 

"Eum ...." Abrina dilanda bimbang. 

 

Saat ini tidak ada orang yang bisa dihubungi. Ibunya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Abrina tidak mau menghubunginya. Gadis itu tidak ingin menambah beban pikiran ibunya yang tengah sakit. 

 

"Ada gak, Dek?" tanya pemuda itu lagi. 

 

Abrina pun menggeleng pelan. 

 

"Gak ada?" Pemuda dengan hidung bangir itu menyipitkan mata, "maaf sebelumnya, apa kamu sudah gak punya orang tua?" tanyanya hati-hati. 

 

"Saya ada ibu, Kak," sahut Abrina pelan. 

 

"Bisa kakak minta nomor hapenya?" izin pemuda itu sopan. 

 

Abrina menatap pemuda itu lamat-lamat. "Sepertinya kakak ini orang baik," tebaknya dalam hati, "keknya gak ada salahnya kalo aku minta bantuan sama dia."

 

"Saat ini ibu aku lagi dirawat di rumah sakit, Kak," tutur Abrina kemudian. 

 

"Sakit apa?" tanya pemuda itu kalem. 

 

"Ibu aku kena demam berdarah." Abrina menunduk untuk menyembunyikan rasa sedihnya, "pengobatan ibu aku akan dihentikan jika aku gak bisa bayar biaya perawatannya, Kak. Dan gak ada orang yang bisa aku mintai bantuan." Air mata gadis itu menitik saat bercerita. 

 

"Memang di rumah sakit mana Ibu kamu dirawat?" tanya pemuda itu lagi. 

 

"Di rumah sakit Ibunda."

 

"Sebagai permintaan maaf karena sopir kakak udah menabrak kamu, kakak akan bantu seluruh biaya perawatan ibu kamu."

 

Abrina langsung menatap pemuda teduh nan menawan itu dengan hati yang terharu. "Te-terima kasih banyak, Kak," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. 

 

Tiba-tiba Abrina lekas bangun dari rebahannya. Namun, dia kembali mendesis saat merasakan sakit. Beruntung pemuda itu cukup perhatian. Dia langsung membantu Abrina untuk duduk dan memasang bantal untuk sandaran gadis itu. 

 

"Nama saya Abrina." Tanpa ragu gadis itu mengulurkan tangan. "Saya janji, kalo saya ada uang saya akan ganti seluruh uang yang nanti akan kakak keluarkan."

 

"Kamu bisa panggil kakak dengan nama Kak Gibran," balas pemuda itu seraya menjabat tangan Abrina. Cuma sebentar karena dia langsung menarik uluran tangannya. "Seperti yang sudah kakak bilang, kakak akan biayain perawatan ibu kami sebagai permintaan maaf. Jadi gak perlu kamu ganti."

 

"Tapi, Kak--"

 

"Sudah gak perlu dipikirkan, sekarang katakan siapa nama Ibu kamu dan dirawat di kamar apa?"

 

"Ibu aku namanya Miranti. Saat ini Ibu dirawat di kamar Anggrek."

 

"Oke, akan saya ingat-ingat," sahut Gibran sambil manggut-manggut. 

 

Ketika dia akan berbicara lagi, pintu kamar terbuka. Masuk seorang dokter dengan perawat. Keduanya melemparkan senyum ramah pada Gibran dan juga Abrina. 

 

Setelah berbincang sebentar dokter pun mulai memeriksa Abrina. Pria berkaca mata itu memeriksa denyut jantung, tensi darah, dan juga luka Abrina. Di belakang sang perawat mencatat obat apa saja yang dokter itu sampaikan. 

 

Tidak sampai sepuluh menit kedua petugas medis itu pun pamit undur diri. Mereka akan melanjutkan tugasnya untuk memeriksa pasien di kamar yang lain. Lima menit dari kepergian keduanya, datang petugas mengantarkan sarapan untuk Abrina. 

 

"Sini kakak suapi," ujar Gibran saat mengambil rangsum tersebut. 

 

"Gak usah Kak, aku bisa makan sendiri," tolak Abrina canggung. 

 

"Gak papa," sahut Gibran tenang. Dia dengan santainya duduk di tepi ranjangnya Abrina. "Kakak tahu tangan kamu masih sakit saat digerakan."

 

Abrina diam tidak bisa lagi mengelak. 

 

"Ayuk, aaa!"

 

Mau tidak mau Abrina pun membuka mulut. Meski kikuk dirinya perlahan mengunyah nasi berkuah sup tersebut. Karena sejujurnya perutnya pun memang sudah sangat kelaparan. Maklum dia belum makan lagi dari siang kemarin. 

 

Pada suapan keempat pintu kamar terbuka lagi. Seorang pria paruh baya masuk dengan membawa dua tas kertas di tangan. Abrina ingat jika laki-laki itu adalah sopirnya Gibran. 

 

"Mas Gibran ini saya bawakan baju ganti," ujar pria dengan rambut yang mulai memutih itu sembari menaruh tas-tasnya di meja set sofa. Gibran memang sengaja memilihkan kamar VIP untuk Abrina. 

 

"Terima kasih." Gibran langsung bangkit, "Pak Min tolong suapi Abrina," suruhnya seraya menyerahkan piring stainless yang ia pegang pada sang sopir. 

 

Setelah itu dirinya mengambil salah satu tas tersebut. Gibran pun kembali masuk ke kamar mandi untuk berganti baju. Karena dia sudah mandi saat Abrina masih terlelap. 

 

"Mas Gibran yang jaga kamu semalaman, Neng," ujar Pak Min memberi tahu. Si depannya Abrina menanggapinya dengan senyuman kecil. 

 

"Kalo boleh tahu Kak Gibran kuliah atau sudah bekerja, Pak?" tanya Abrina memberanikan diri. 

 

Pak Min tersenyum. "Dia sudah bekerja. Masih muda begitu Mas Gibran sudah punya usaha sendiri. Punya gerai ayam geprek dan tempat karaoke."

 

Abrina mengangguk. Mendadak ada rasa kagum pada pemuda yang ia sangka masih kuliah itu. 

 

Ketika Pak Min akan berbicara lagi Gibran sudah keluar dari dalam kamar mandi. Pemuda itu terlihat lebih segar dengan kemeja putih bersih dan celana slim fit hitam. 

 

"Pak Min, mana kunci mobilnya? Biar saya bawa mobil sendiri. Pak Minta di sini saja jaga Abrina," pinta Gibran begitu mendekat. 

 

"Gak usah, Kak," cegah Abrina cepat, "saya biar dijaga sama suster aja di sini."

 

"Beneran kamu sendirian gak papa?" tanya Gibran memastikan. 

 

"Gak papa," sahut Abrina pelan, "kalo boleh saya pinjam hapenya buat hubungi teman saya," pintanya sedikit malu. 

 

Tanpa banyak bicara, Gibran merogoh celananya. Dia lantas menyodorkan ponsel berlogo apel kegigit pada Abrina. 

 

Abrina pun lekas menghubungi nomornya Anggini. Beruntung sang kawan lansung menerima panggilan darinya. Tidak mau berlama-lama, Abrina lekas menceritakan kondisinya. Gadis itu meminta sang kawan untuk menjenguk usai pulang sekolah. 

 

"Terima kasih," ucap Abrina begitu mengembalikan ponsel pada sang pemilik. 

 

"Yakin kamu gak papa sendirian?" tanya Gibran sebelum beranjak pergi. 

 

"Iya, gak papa."

 

"Ya sudah kami pergi dulu, ya. Kalo kamu butuh apa-apa, pencet saja tombol call nurse itu," suruh Gibran seraya menunjuk tombol di atas headboard kasur Abrina. 

 

"Iya."

 

Gibran menipiskan bibir. Dia lantas melangkah pergi diikuti oleh Pak Min. Abrina sendiri menatap kepergian mereka dengan hati yang terharu. 

 

"Terima kasih banyak ya Allah, Engkau telah menurunkan dewa penolong untuk aku," ucapnya seraya menengadahkan tangan. 

 

***

 

Sementara itu semenjak kedatangan Abrina, hati Haris menjadi gelisah. Tidak dapat dipungkiri pria itu sangat menyayangi sang putri. Di palung terdalam hatinya pun merasa iba mendengar kabar sang mantan istri. 

 

Namun, apalah daya. Saat ini Haris tengah dibutakan oleh cintanya Lusi. Terlebih wanita itu tengah mengandung darah dagingnya yang berjenis kelamin laki-laki. Putra yang sangat ia nanti-nanti. 

 

Seharian Haris tidak semangat bekerja. Pria itu memutuskan untuk pulang cepat dari kantornya. Sepanjang perjalanan pikirannya terus tertuju pada Abrina dan Miranti. 

 

Hingga tidak terasa sampailah Haris di rumahnya. Pria baru sadar dari renungannya saat diberi tahu oleh sang sopir. Ketika turun dari mobil, kening Haris dibuat berkerut. Pasalnya dia mendengar dentuman musik yang cukup keras dari dalam rumah. 

 

Tanpa berpikir panjang, pria itu lekas memasuki rumah. Haris dibuat terkejut saat mendapati ada banyak orang yang tengah bergoyang mengikuti alunan musik. Mata Haris dibuat terbelalak melihat sang istri yang tengah hamil besar tanpak tengah bergoyang bersama seorang pemuda. 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mat Yudi
mantap sangat bijak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   127. Jadian

    Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   126. Akhir Hidup Arman

    "Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   125. Tidak Selamat

    "Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   124. Kena Tembak

    DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   123. Perjuangan Haris

    "Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab

  • SUMPAH ANAK YANG TERSAKITI   122. Uang Tebusan

    "Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status