Share

2. Seorang Pemuda

Abrina terus melangkah kendati tetesan air hujan perlahan menyirami tubuhnya. Angin yang bertiup membuat hawa menjadi dingin. Beruntung gadis itu mengenakan hoodie. Namun, tetap saja pakaian agak tebal itu tidak mampu mengusir rasa dingin. 

 

Malam disertai hujan membuat angkutan umum jarang yang lewat. Abrina sudah mulai merasa kedinginan. Gadis itu akhirnya berlari demi bisa menghindari tetesan hujan. Dirinya lantas memasuki sebuah minimarket yang buka dua puluh empat jam. 

 

Baju dan celana Abrina sebagian basah. Wajar jika kini dia mulai kedinginan. Gadis itu ingin membeli satu cup kopi panas untuk menghangatkan tubuh seperti yang lain. Namun, saat merogoh kantung celana jeansnya, niat itu ia urungkan. 

 

"Ck! Tinggal seratus ribu doang," keluh Abrina nelangsa. Pasalnya gadis itu sudah tidak punya tabungan lagi. 

 

Begitu juga dengan sang ibu. Karena sewaktu ke luar dari rumah Haris, perempuan itu tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Terlebih Miranti memang tidak mendapatkan haknya. 

 

Saat ini Miranti tercatat sebagai karyawan di sebuah pabrik biskuit. Wanita itu sering mendapatkan shift malam. Dia yang memang aslinya ringkih kian sakit-sakitan karena pekerjaannya yang sekarang.  

 

Puncaknya seminggu yang lalu Miranti jatuh pingsan di pabrik. Karena keuangan yang terbatas dan belum gajian, perempuan itu memilih untuk beristirahat saja di rumah tanpa mau periksa ke dokter. 

 

Namun, kian hari kondisinya makin menurun. Melihat Ibunya yang tampak begitu lemah, Abrina memutuskan untuk membawa Miranti ke dokter. Meski dirinya sama sekali tidak ada tabungan. 

 

"Sttt!" Abrina mendesis kedinginan. "Aku gak mau ikutan sakit," pikirnya. 

 

Akhirnya gadis itu meneruskan niatnya. Dirinya mengeluarkan selembar uang yang sedikit basah dari kantongnya untuk membeli satu cup kopi. Rasa hangat langsung menjalari tenggorokan begitu Abrina menyeruput minuman berwarna hitam tersebut. 

 

Lewat kaca Abrina melihat jika hujan di luar perlahan surut. Kini tinggal gerimis kecil. Gadis itu memutuskan untuk ke luar. Namun, dia masih berdiri di beranda minimarket. 

 

"Mau pinjam uang ke siapa nih?" kesah Abrina bingung. 

 

Pasalnya di kota ini dia tidak punya siapa-siapa selain kedua orang tuanya. Miranti sendiri adalah seorang perempuan yang besar di panti asuhan. Sampai kini wanita itu tidak tahu asal usulnya. 

 

Sementara Haris adalah seorang anak tunggal. Kakek Abrina sudah berpulang dari dia berumur lima tahun. Sedangkan neneknya ikut menyusul lima tahun yang lalu. 

 

Saat ini Abrina tercatat sebagai seorang siswi di sebuah SMA favorit di kota Jakarta ini. Selain karena otaknya yang encer, juga sewaktu mendaftar dulu perekonomian keluarganya masih stabil. Sebab waktu itu ayah dan ibunya belum bercerai. 

 

Namun, sudah seminggu ini Abrina tidak masuk sekolah semenjak ibunya jatuh sakit. Gadis itu juga sudah bertekad untuk pindah ke sekolah yang biasa. Agar biayanya tidak terlalu mahal. 

 

Abrina yang mempunyai sifat sedikit tertutup membuatnya tidak mempunyai banyak teman. Apalagi setelah ke luar dari rumah ayahnya, gadis itu semakin menutup diri. Sehingga dia tidak mempunyai teman untuk dimintai tolong. Atau untuk sekedar berkeluh kesah. 

 

Sebenarnya Abrina mempunyai seorang sahabat. Anggini namanya. Teman satu bangku. Namun, gadis itu juga berasal dari keluarga yang biasa. Dia bisa masuk ke sekolah tersebut karena prestasi. Sehingga Abrina pun tidak sampai hati jika minta bantuan padanya. 

 

Ketika tengah merenung, mata Abrina tiba-tiba merasa silau. Ternyata ada sebuah mobil yang memasuki halaman minimarket. Mobil jenis SUV buatan negeri Jerman. 

 

Seorang pria seumuran ayahnya ke luar dari mobil mahal tersebut. Dari seragamnya sepertinya laki-laki itu adalah sopir dari si pemilik mobil. Abrina menatap kaca depan mobil tersebut. Namun, orang di dalam kendaraan tersebut tidak begitu jelas terlihat. 

 

Tiba-tiba terlintas sebuah ide gila. Abrina ingat dulu, ayahnya pernah ditipu oleh seseorang. Masih ingat sekali di benak Abrina saat ada seorang pria yang berpura-pura menabrakkan diri ke mobil ayahnya untuk meminta sejumlah uang. 

 

"Gak ada jalan lain, aku akan meniru cara itu," putus Abrina bertekad. 

 

Gadis itu menoleh saat melihat pintu kaca minimarket terbuka. Pak sopir mobil bagus itu yang keluar. Laki-laki itu melangkah menuju pintu mobil. 

 

"Saatnya beraksi," ucap Abrina menguatkan hati. 

 

Sebelum memulai aksinya, gadis itu menarik napas panjang untuk membulatkan tekad. Setelah itu dirinya mulai melangkah pergi. Abrina lantas mempercepat langkahnya ketika mobil berwarna hitam itu mulai berlalu.  

 

Dirinya terus berlari untuk menghadang laju mobil tersebut. Abrina memejamkan mata saat bemper mobil Range rover itu membentur tubuhnya. 

 

BRAKKK! 

 

Tubuh Abrina mental dan menghantam aspal.

 

"Awww!" Abrina mengerang. 

 

Remaja itu tidak menyangka jika akan merasakan rasa sakit yang sehebat itu. Pingangnya terasa patah. Belum lagi pandangannya juga menjadi kabur karena tertutup darah yang menetes dari dahi. Sakit yang luar biasa tersebut membuatnya terus mendesis dan akhirnya menangis. 

 

"Neng, kamu gak papa?" 

 

Terdengar suara seseorang. Rasa sakit membuat Abrina tidak menyahut. Gadis itu hanya terus mendesis dan mengeluarkan air mata. 

 

Perlahan Abrina merasa ada seseorang yang membalikkan tubuhnya. Samar-samar dia melihat wajah sopir dari mobil Range rover tersebut. 

 

"Bagaimana keadaannya, Pak Min?"

 

Tiba-tiba datang seorang pemuda. Meski tengah merasakan sakit yang menghebat, Abrina masih bisa melihat ketampanan pemuda tersebut. Namun, perlahan-lahan pandangannya kabur. Gelap. Abrina pun tidak bisa merasakan apa-apa. 

 

***

 

Entah berapa lama Abrina tidak sadarkan diri, gadis itu tidak tahu. Ketika membuka mata, dia merasa berada di ruangan yang asing. Namun, dia yakin jika saat ini tengah berada di sebuah kamar rumah sakit. 

 

Dirinya mengedarkan pandangan. Kosong tidak ada siapa-siapa. Ketika akan mencoba untuk bangkit, rasa sakit kembali menjalari tubuhnya.

 

"Stttt!" Abrina pun mendesis lara. 

 

"Bagaimana keadaanmu?"

 

Abrina sontak berpaling ke arah sumber suara. Seorang pemuda dewasa ke luar dari bilik yang Abrina yakini adalah kamar mandi. Paras pemuda itu sangat tidak asing di mata.

 

"Aku seperti pernah mengenalnya. Siapa dia?" gumam Abrina dengan pandangan yang terus tertuju pada si pemuda. 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mat Yudi
sangat mengesankan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status