Share

4. Rencana Lusi

"Lusiii!" Haris berteriak di tepi pintu. 

 

Sayang hingar bingar musik membuat suaranya tenggelam. Pria itu menarik napas untuk meredam gejolak amarah. Dia melangkah menuju keberadaan sang istri yang masih meliuk bersama seorang pemuda yang tidak jelas wajahnya. Maklum pemuda tinggi itu berdiri membelakangi Haris. 

 

"Lusiii!" bentak Haris seraya menarik tangan sang istri yang sedang diangkat ke atas. 

 

"Eh Mas Haris sudah pulang?" sahut Lusi begitu melihat wajah sang suami yang marah. 

 

"Kamu apa-apaan buat acara beginian, hah?" tegur Haris dengan suara yang keras. 

 

Lusi tersenyum. Wanita yang hari itu mengenakan dress tanpa lengan menghadap ke tempat meja DJ. Dengan kedipan matanya dia memberi kode agar musik dimatikan. 

 

Pria di meja DJ itu pun mengangguk paham. Tidak sampai satu menit, hingar bingar musik pun berhenti. Beberapa orang yang tidak sadar dengan kedatangan Haris sontak mengeluh. 

 

Namun, begitu tahu si pemilik rumah sudah pulang mereka pun terdiam maklum. Kebanyakan yang datang adalah anak muda seusia Abrina. Ada juga teman-teman Lusi yang Haris kenal.

 

"Bisa kamu jelaskan kenapa ada acara ramai-ramai begini?" Kali mata Haris terlihat tajam saat mencecar Lusi. 

 

"Maaf, Mas, mungkin aku lancang--"

 

"Bukannya sudah kuberi tahu, kamu tidak boleh seenaknya sendiri mengundang orang di rumah ini," potong Haris dingin. 

 

"Iya, Mas, aku tahu aku salah. Tapi apakah merayakan hari jadi sang adik itu suatu kesalahan?" tanya Lusi dengan wajah yang pura-pura polos. 

 

"Perayaan hari jadi?" Mata Haris memincing karena tidak paham. 

 

"Iya, Mas." Kini bibir Lusi yang bergincu merah seksi itu melengkung ke atas. Dia lantas menarik lengan pemuda yang menjadi teman dansanya.

 

"Hari ini ulang tahunnya Leon yang ketujuh belas, Mas," ujar Lusi sambil menepuk pemuda yang wajahnya masih seumuran Abrina. 

 

Haris menatap pemuda jangkung tersebut. Marah membuatnya tidak sadar jika pemuda yang diajak dansa oleh sang istri ternyata adalah adik iparnya sendiri. Tidak lama mendekat seorang gadis. 

 

Wajah pemudi itu sangat mirip dengan Lusi. Hanya saja jika Lusi bertampang judes, gadis itu justru berwajah lembut. Dengan sopannya si lajang itu lekas meraih tangan Haris untuk disalim.

 

"Leon, kasih salim juga sama Mas Haris!" suruh Lusi pada adik bungsunya. 

 

Lusi mempunyai dua adik. Adik pertamanya bernama Livi. Usianya hanya beda dua tahun darinya. Saat ini gadis itu sedang bekerja sebagai seorang personal asisten. 

 

Adik kedua Lusi bernama Leon. Pemuda yang sedang merayakan sweet seventeen-nya itu agak memiliki sikap yang sama dengan Lusi. Tengil. 

 

Merasa disuruh, Leon menyalami kakak iparnya. Dia mencium punggung tangan Haris sesuai arah Lusi. 

 

"Cepat bubarkan pesta ini, saya pusing lihatnya," suruh Haris pada Lusi masih dengan nada dingin. 

 

Pria itu lantas berlalu meninggalkan Lusi dan adik-adiknya. Dia menuju kamarnya di lantai atas. Kesal membuatnya menaiki anak tangga dengan sedikit berlari. 

 

"Guys, sorry banget ya party harus bubar sekarang juga," ujar Leon sedikit berteriak. 

 

"Yahhh!" Sontak anak muda yang merupakan teman-teman Leon mengeluh kecewa. 

 

"Gimana sih, Leon? Kita kan belum makan-makan," celetuk salah satu teman Leon. 

 

"Adek-adek sayang, kalian kalo lapar ambil aja makanan yang tersedia. Tapi jangan makan di sini, ya," suruh Lusi dengan bergaya anggun. 

 

Meski berdecak beberapa pemuda itu mengikuti perintah dari Lusi. Mereka mengambil makanan yang ada. Setelah itu berpamitan pada Leon dan kedua kakaknya. Beberapa teman Lusi yang diundang perempuan itu pun melakukan hal yang serupa. 

 

"Sorry banget ya, Say," ucap Lusi pada kawannya ketika dipamiti. 

 

"Tahu suaminya gak suka ramai-ramai, lain kali kalau mau buat acara itu di cafe atau di luar saja. Jangan di rumah seperti ini," saran perempuan dengan rambut blonde itu pada Lusi. 

 

"Itu pasti. Ini gak sengaja buat acara ginian karena si Leon ngomongnya mendadak kemarin," timpal Lusi usai mengecup pipi sang kawan. 

 

Wanita itu ikut mengantar kepulangan beberapa sahabatnya sampai ke pintu depan. Perlahan satu persatu tamu yang lain ikut pamit. Hingga akhirnya rumah kembali sepi. 

 

"Bi Sarti! Pak Nono!" panggil Lusi pada  asisten rumah tangganya dan sopir sang suami. 

 

"Iya, Bu."

 

Bi Sarti dan Pak Nono ada sepasang suami-istri. Mereka sudah bekerja di rumah Haris dari pria itu masih berstatus bujang. Setelah orang tuanya tiada, Haris sudah menganggap Pak Nono dan Bi Sarti seperti keluarga sendiri. Terlebih pasangan itu tidak mempunyai keturunan. 

 

"Iya, Bu Lusi," ujar Bi Sarti begitu mendekat. Sedangkan sang suami hanya diam di belakangnya. 

 

"Cepat beresin ini semua!" suruh Lusi sembari menunjuk sisa-sisa pesta. 

 

"Baik, Bu." Bi Sarti dan Pak Nono mengangguk patuh. 

 

"Kita gimana, Mbak?" tanya Livi pada Lusi. 

 

"Udah kalian santai aja," ujar Lusi cuek, "sekarang masuk ke kamar yang sudah kalian pilih," suruhnya kemudian. 

 

"Oke, Mbakku sayang," sahut Leon juga cuek. Dengan santainya dia mengecup pipi Lusi. Setelah itu beranjak menuju kamar di lantai satu itu. 

 

Tidak lama Livi mengikuti sang adik. Gadis dua puluh empat tahun itu memasuki kamar di seberang kamarnya Leon. Di mana ruang tersebut sebenarnya adalah kamar pribadinya Abrina. 

 

Lusi sendiri lekas menaiki anak tangga. Kehamilannya sudah memasuki trimester ketiga. Makanya dia berhati-hati. 

 

Sebenarnya kamar dia dan Haris ada di lantai satu juga. Namun, jika tengah kesal Haris memang selalu naik ke kamar yang di atas. Di mana kamar tersebut merupakan bekas kamarnya dengan Miranti dulu. 

 

Awal menikah Lusi pernah marah karena tidak diizinkan untuk menempati kamarnya Miranti. Padahal jelas-jelas wanita itu sudah pergi dari rumah. Namun, karena Haris memang tidak melarangnya, Lusi pun tidak bisa membantahnya. Terlebih tiga bulan pasca menikah dirinya positif hamil. 

 

"Mas," panggil Lusi begitu memasuki bekas kamarnya Miranti. 

 

Haris yang tengah merenung langsung menoleh begitu dipanggil. 

 

"Maafkan aku ya udah gak izin dulu sama kamu," ucap Lusi begitu duduk di samping Haris. 

 

Perempuan muda itu lekas menyandarkan kepalanya di pundak sang suami. 

 

"Leon itu ditinggal ayah dan ibu dari dia SD, Mas. Hidup susah membuat dia gak pernah merasakan kebahagiaan saat ulang tahun," tutur Lusi dengan suara yang menghiba, "apa salah kalau aku merayakan ulang tahunnya?"

 

"Ya gak salah sih, tapi kenapa gak bilang sama aku dulu?" protes Haris pelan. Pria itu paling tidak bisa marah jika Lusi sudah bermanja-manja di tubuhnya. "Kalo kamu ngomong kan aku bisa menyiapkan pesta untuk Leon dengan budget yang lebih besar."

 

"Ahhh ... kamu memang suami yang paling baik sedunia," tukas Lusi kian mengeratkan pelukan, "aku yakin kamu pasti setuju kan kalo Livi dan Leon tinggal di sini?"

 

"Apah?" Haris sontak melepaskan pelukan Lusi. 

 

"Rumah ini begitu besar untuk kita berdua, sedangkan mereka justru tinggal di rumah kontrakan yang sempit. Jadi gak ada salahnya kalo Livi dan Leon menempati kamar-kamar di rumah ini," lanjut Lusi dengan percaya diri. 

 

"Ini yang aku gak suka dari kamu, Lus. Selalu ceroboh dan gak pernah izin sama aku," ungkap Haris merasa keberatan. 

 

"Memangnya ada yang salah, Mas?" tanya Lusi dengan cuek, "Livi dan Leon adalah adik-adiknya aku. Berarti dia juga saudaranya kamu, Mas. Oh iya perlu kamu ketahui kalo aku sudah mendaftarkan Leon di sekolah yang sama dengan Abrina," tutur Lusi dengan seringai tajam. 

 

Tentu Lusi sudah mempunyai rencana kenapa dia nekat memasukkan Leon di sekolahnya Abrina. Bahkan perempuan itu juga sudah meminta pada kepala sekolah agar Leon di tempatkan di kelasnya Abrina. 

 

Next. 

 

Kira-kira apa rencana Lusi sebenarnya ya? 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status