Share

5. Adiknya Lusi

"Bina, bangun, Bina!"

 

Suara lembut mengalun di telinga Abrina. Sayangnya gadis itu masih saja terlelap. Sepertinya itu efek dari obat yang diminumnya usai makan siang. 

 

"Bina, bangun, Bin!" 

 

Gadis berwajah manis itu menepuk-nepuk pipi Abrina. Namun, mata Abrina tidak juga lekas terbuka. Sehingga dirinya terpaksa mengguncang tubuh sang kawan. 

 

Merasakan guncangan perlahan Abrina membuka mata. Sesosok gadis manis langsung melemparkan senyum manis untuknya. 

 

"A-Anggini?" sapa Abrina seraya mengerjapkan mata. 

 

Anggini tersenyum lembut. Gadis itu memang cukup peduli dan perhatian pada temannya. Tanpa diminta tolong Anggini lekas membantu abrina yang kesusahan untuk bangun dari tidurnya. Dirinya juga memasangkan bantal pada sandaran brangkarnya Abrina. 

 

"Kamu sudah lama di sini?" tanya Abrina dengan suara yang agak parau. 

 

Maklum gadis itu terlelap cukup lama. Dari habis makan siang sampai jam tiga sore ini. Hampir tiga jam sendiri. 

 

"Gak baru juga lima belas menit," balas Anggini yang kemudian duduk santai di tepi ranjang, "tadi aku nonton TV, tapi gak ada acara yang bagus. Karena bosan makanya aku bangunin kamu, maaf ya udah ganggu tidur kamu," ucapnya kemudian. 

 

Abrina tersenyum simpul. "Nggak apa-apa, aku justru berterima kasih kamu udah mau dateng ke sini."

 

"Kita kan sahabat," balas Anggini manis. Bahkan dia langsung merengkuh Abrina ke dalam pelukannya. Hal tersebut membuat hati Abrina menjadi hangat. 

 

"Kamu sudah mau satu minggu nggak masuk sekolah," ujar Anggini begitu melepas pelukan,  "udah gitu empat hari ini, nomor kamu nggak bisa dihubungi, makanya aku khawatir banget sama kamu, Bi," lanjutnya serius. 

 

Abrina menghela napasnya dalam-dalam. "Hape aku udah dijual dari empat hari yang lalu," tuturnya sedih. 

 

"Oh pantesan," sahut Anggini iba, "buat biaya sakitnya ibu kamu, ya?"

 

Abrina mengangguk lemah. 

 

"Terus tadi pagi kamu hubungi nomor aku pake hapenya siapa?" tanya Anggini ingin tahu. 

 

Abrina menatap Anggini lekat. Hanya dialah sahabat terbaiknya. Jadi tidak ada salahnya dirinya bercerita tentang masalah yang tengah di hadapi pada sang kawan. 

 

Maka bertuturlah Abrina mengenai sakit ibunya. Permasalahannya dengan sang ayah kemarin. Serta ide nakalnya dengan berpura-pura menabrakkan diri ke mobil Gibran demi bisa mendapatkan bantuan. 

 

"Astaga, Bina. Kamu sampai nekat begini," sahut Anggini tidak habis pikir, "terus kondisi kamu bagaimana?" tanyanya cukup khawatir. 

 

Bibir Abrina menipis. "Alhamdulillah cuma lecet-lecet biasa. Kata dokter besok sudah boleh pulang."

 

"Syukurlah kalau begitu." Anggini bernapas lega, "terus bagaimana dengan orang yang nabrak kamu?"

 

"Bukan nabrak, tapi aku yang sengaja menabrakkan diri," ralat Abrina sembari tersenyum. 

 

"Ya apapun itu, bagaimana perlakuan orang itu?"

 

"Alhamdulillah orangnya baik banget, Nggi," jawab Abrina dengan raut bahagia, "lihat aku dipilihkan kamar VIP ini. Kak Gibran juga berjanji akan membiayai perawatan Ibu aku."

 

"Kak Gibran?" Mata Anggini menyipit. 

 

"Iya, orang yang mobilnya aku tabrak," sahut Abrina dengan cengiran, "dia orangnya baik dan juga ganteng." Saat memuji pipi Abrina terlihat merona. 

 

"Tapi, entah kenapa aku merasa kayak pernah ketemu sebelumnya dengan Kak Gibran ini," lanjutnya serius. 

 

Anggini menanggapi dengan senyuman. "Emang benar sih di mana-mana yang namanya Gibran pasti orangnya baik dan juga ganteng," ujarnya masih terus tersenyum,  "aku juga punya kenalan seorang yang namanya Gibran. Orangnya juga baik dan ganteng."

 

Abrina dan Anggini saling berpandangan. Tanpa aba-aba mereka tergelak. Kedua remaja itu pun saling berpelukan. 

 

Abrina melepas pelukan saat melihat pintu kamar terbuka. Sosok Gibran muncul diikuti oleh Pak Min. Herannya Anggini justru terlihat syok melihat siapa yang datang. 

 

"Eh ada Anggi," sapa Pak Min di belakang Gibran. 

 

"Jadi kamu ya temannya Abrina?" tanya Gibran dengan tenang. 

 

"Eh iya, Kak," sahut Anggini dengan wajah yang semringah. Gadis itu tidak menyangka jika sosok Gibran kenalannya adalah orang yang sudah menolong Abrina. 

 

"Wah dunia memang selebar daun kelor," celetuk Pak Min bercanda, "di rumah Mas Gibran sering ketemu Anggi, eh di sini ketemu lagi."

 

Abrina yang masih bingung kenapa Anggini bisa kenal dengan Gibran dan Pak Min lekas mencolek lengan gadis itu. Lewat tatapan matanya dia mau Anggini bercerita. 

 

"Jadi Kak Gibran ini kakak kandungnya Gavin, Bi," tutur Anggini seraya melirik Gibran, "dan kamu tahu sendiri kan kalau ibu aku kerja cuci gosok di rumahnya Gavin."

 

"Oh jadi Abrina temannya Gavin juga?" tanya Gibran memastikan. 

 

Abrina hanya mengangguk pelan. Gadis itu masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Baginya sangat tidak masuk di akal jika Gavin adalah adiknya Gibran. 

 

Karakter mereka sangat berseberangan. Gibran berperangai tenang dan berwibawa. Sedangkan Gavin ramai dan urakan. Dia bahkan ketua geng anak-anak urakan di sekolah. 

 

Abrina sendiri sangat tidak menyukai Gavin sebagai teman satu kelas. Baginya Gavin sangat usil padanya. Sering sekali dirinya dikerjai oleh anak itu dan gengnya. 

 

Namun, menurut Anggini, Gavin berlaku seperti itu pada Abrina karena pemuda itu naksir. Menurut Anggini lagi, Gavin sengaja menarik perhatian Abrina dengan cara-cara usil. Terlebih selama ini cuma Abrina yang tidak peduli dengan Gavin, si bintang sekolah. 

 

"Tapi wajah Kak Gibran dan Gavin memang sangat mirip sih," aku Abrina dalam hati. "Pantesan aku kayak merasa kenal karena beberapa kali emang Kak Gibran pernah datang ke sekolah," batinnya seraya terus memperhatikan Gibran. 

 

"Tahu begini Kakak telpon Gavin buat jenguk kamu, Abrina," ujar Gibran kalem. 

 

"Eh gak usah, Kak," larang Abrina cepat. 

 

"Kenapa?" Mata teduh Gibran langsung menyipit. 

 

"Eum gak papa," jawab Abrina kikuk. 

 

"Kalian teman satu kelas kan?" tanya Gibran memastikan. 

 

"Iya, Kak." Abrina mengangguk pelan. 

 

"Jadi gini, Bina." Gibran menatap Abrina dengan serius, "tadi siang Kakak sudah ke rumah sakit tempat ibu kamu dirawat. Kakak sudah membayar semua biaya perawatan ibu kamu dan kakak juga sudah ngasih tahu kondisi kamu saat ini."

 

"Terima kasih banyak, Kak," ucap Abrina tulus. Matanya berkaca-kaca karena terharu bahagia. 

 

"Sama-sama." Gibran menyahut datar, "kondisi ibu kamu sudah perlahan pulih. Sedangkan kamu baru boleh pulang besok."

 

Abrina, Anggini, dan Pak Min mendengarkan dengan seksama. 

 

"Bukannya kakak nggak mau jagain kamu di sini, tapi kakak masih ada banyak pekerjaan di kantor," tutur Gibran dengan muka serius, "makanya kakak ada ide mau nyuruh Gavin buat jagain kamu. Daripada dia gak ada kerjaan."

 

"Gak usah, Kak," tolak Abrina cepat. 

 

"Kenapa, Abrina?" tanya Gibran heran. "Kakak gak tega ninggalin kamu sendirian. Pak Min sendiri juga udah capek kerja dari pagi gak bisa jaga kamu."

 

"Eum aku biar jaga perawat saja," pinta Abrina serius, "lagian gak baik seorang gadis dan pemuda ada di satu kamar tanpa ada orang lain. Aku takut ada fitnah, Kak," kilahnya memberi alasan. 

 

Gibran mengangguk paham. Dia lantas menatap Anggini. "Anggi, kamu lagi gak sibuk banget kan?" tanyanya kemudian. 

 

"Enggak, Kak." Anggini menggeleng pelan. 

 

"Kalau begitu kamu mau kan bermalam di sini buat nemenin Abrina teman kamu?"

 

Anggini meringis kecil. "Mau, Kak."

 

Gibran menarik napas lega. "Syukurlah, tapi kakak tetap akan menyuruh Gavin buat ikut jaga," putusnya tegas. 

 

Abrina pun tidak bisa mengelak. Gadis itu hanya terdiam saat mendengar Gibran menelepon seseorang yang ia yakini adalah Gavin. Benar saja setengah jam dari kepergian Gibran dan Pak Min, pemuda yang bernama Gavin pun datang. 

 

Dengan gayanya yang kelihatan tengil di mata Abrina, Gavin mendekati gadis itu. "Gue pikir cewek mana yang mesti gue jaga. Ternyata si cupu ini," ujarnya dengan seringai miring. 

 

Abrina dan Anggini hanya saling berpandangan. Keduanya memang enggan berhubungan dengan Gavin. Ketua geng sekolah yang sangat suka bikin sensasi. 

 

"Bisa-bisanya lu kenal abang gue, Bi?" tanya Gavin dengan tengil. Dia lantas menatap Anggini dengan tajam, "atau lu yang udah ngenalin abang gue ke dia?" tebaknya kemudian. 

 

"Enggak," bantah Anggini cepat, "emang Kak Gibran gak cerita tadi kenapa dia bisa kenal dengan Bina?"

 

"Abang gue cuma bilang kalo kemarin malam dia habis nabrak seorang cewek."

 

"Nah Abrina ini orangnya," sahut Anggini sembari menunjuk Abrina. 

 

"Udah ya, aku mau istirahat," pamit Abrina enggan melayani Gavin yang usil. 

 

Remaja itu kembali merebahkan badan. Dia tidur membelakangi teman-temannya. Meski belum mengantuk dirinya pura-pura kembali terlelap. 

 

Hingga akhirnya Abrina kembali tertidur sungguhan. Gadis baru terbangun saat hari sudah berganti gelap. Ketika dia mengedarkan pandangan, tampak Gavin tengah serius memandangi layar televisi. Namun, tidak ada bayangan Anggini. 

 

"Vin," panggil Abrina hati-hati. 

 

Gavin sontak berpaling ke arah ranjang Abrina. "Apa?"

 

"Mana Anggi?"

 

"Oh udah gue suruh balik tadi."

 

"Kok malah disuruh balik sih?" protes Abrina keberatan. 

 

"Ya gue kasihan liat dia bengong gak ada kerjaan. Sementara di rumah kan dia bisa bantu emaknya."

 

Abrina cemberut karena tidak bisa lagi memprotes. 

 

"Lu butuh apa?" tanya Gavin peduli. 

 

"Gak ada," sahut Abrina datar. 

 

Meski mendapatkan penolakan dari Abrina, tapi Gavin tetap bersikap peduli pada gadis itu. Beberapa kali dirinya membantu Abrina ke kamar kecil. Serta mengupaskan buahnya. 

 

Sejujurnya Abrina dapat merasakan perhatian pemuda itu. Hingga kata-kata Anggini yang selalu bilang kalau Gavin naksir sama dia kembali terngiang. 

Perhatian Gavin kian terlihat saat keesokan harinya pemuda itu memutuskan untuk membolos sekolah demi bisa menjaga Abrina. 

 

"Gue akan jaga elu sampai elu pulang dari sini," ujar Gavin ketika diusir halus oleh Abrina. 

 

Abrina tidak bisa berbuat banyak. Gadis itu hanya bisa berdoa semoga Gibran segera datang. Karena siang ini dirinya sudah diperbolehkan untuk pulang. 

 

Pukul satu siang orang yang dinanti Abrina pun datang. Seperti biasa Gibran tidak hadir sendiri. Namun, bukan Pak Min yang menemaninya melainkan seorang perempuan muda sepantaran. 

 

"Halo kakak ipar," sapa Gavin pada gadis yang digandeng oleh Gibran.

 

Sang gadis dengan mata berhias maskara itu pun hanya tergelak mendengar sapaan Gavin. 

 

"Abrina, kenalkan ini teman sekaligus personal asisten kakak," ujar Gibran mengenalkan gadis yang ia bawa. 

 

"Halo senang berkenalan dengan kamu," sapa gadis itu seraya mengulurkan tangan, "nama saya Livia."

 

Abrina menatap gadis tinggi semampai itu. Wajahnya cewek itu sangat mirip dengan wanita yang ia benci. Lusi. 

 

Yuk kira-kira apa hubungan Livia dengan Gibran ya? 

 

 

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mat Yudi
sangat mengesankan
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status