Aku menyesal.
Demi Tuhan, aku menyesal.
Sebab Mama sudah memintaku untuk menerima tawarannya untuk mengantarku pergi, tapi ku tolak. Mama juga meminta salah satu pekerjanya untuk mengantarku, dan aku juga menolaknya.
Dan sekarang, aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa.
Aku sedang dalam perjalanan pulang setelah mengantar uang kembalian dari penjualan hasil peternakan. Karena hanya mengantar kembalian dan tidak pergi lama, aku pikir tidak masalah jika tak diantar orang lain.
Aku pergi menggunakan sepeda oranye kesayanganku sejak dulu, dan lihatlah apa yang terjadi pada benda itu sekarang.
“Nona, sepedamu sudah rusak sekarang. Masih menolak untuk kami antar?” Lelaki berbadan besar yang berdiri dua meter di depanku itu berkata. Dia dan tiga rekannya, melihatku seakan-akan melihat mangsa yang akan dilumat dalam sekali lahap.Aku sedikit gemetaran, merasa takut sebab tempatku berpijak adalah ujung dari jalan sempit dan gelap yang diputus tembok besar.
“Siapa kalian sebenarnya? Apa mau kalian?” aku bertanya, dengan suara gemetar yang sebisa mungkin ditahan. Kalau aku panik dan bertindak gegabah, itu mungkin akan membahayakan diriku sendiri.
Para lelaki itu menatap kawanannya, sembari tertawa. Lalu mereka kembali menatapku, mengerikan.
“Kami datang untuk menjemputmu, dan membawamu.”
Aku makin mengerutkan kening, tak mengerti dengan apa yang lelaki berewok itu katakan. Lalu dia melanjutkan kata-katanya, “Kalau kau ikut kami, kau akan kami jadikan wanita penghibur yang populer, Nona! Satu kota akan mengenalimu dan kau akan dibayar mahal—”“Minggir, gadis itu milik bos kami.” Suara lain memecah atensi kami yang ada di gang sempit itu. Suara yang berasal dari lelaki yang mungkin ada di kubu yang berbeda dengan lelaki berewok di hadapanku.
Empat orang yang menyebut diri mereka sebagai anggota Luciano itu memutar tubuh, menghadap rombongan yang berniat bergabung dalam pembicaraan.
“Ah, Heatens?”
“Iya. Kami anggota Heatens yang ditugaskan untuk membawa Nona McRay.”
Aku membulatkan mata. Apa lagi ini, Ya Tuhan?
“Tu-tunggu! Kenapa mau membawaku!? Siapa lagi kalian ini?” Keadaan terasa semakin runyam. Aku sempat berpikir tiga lelaki lain itu adalah bantuan.
“Ayahmu terjerat utang belasan tahun lalu dengan bos kami, dia tidak bisa membayar yang setimpal dan bos kami menginginkanmu untuk menjadi istrinya,” ungkap lelaki dari Heatens itu, membuat kepalaku makin pusing.
“Ha? Istri? Bos-mu yang tua dan bau tanah itu mau memperistri Nona McRay? Apa kalian tidak salah?”
“Tidak ada yang salah jika menyangkut perintah.”
“Nona McRay sudah jelas-jelas akan bahagia hidup sebagai wanita penghibur. Dia akan menjadi kebanggaan dunia bawah atas nama Luciano!”
“Gadis desa sepertinya tidak akan bisa menjadi wanita malam! Dia yang dibesarkan dengan lembut dan sangat hati-hati, tidak akan bisa menjadi lebih dari sekadar istri yang menaati suaminya.”
“Jadi, bagaimana? Mau bertarung?”
Detak jantungku terpacu cepat kala melihat mereka memasang kuda-kuda, dan beberapa ada yang mengeluarkan pisau kecil.
Jika orang dari Heatens itu menyanggupi, maka habis sudah aku yang tak bisa melindungi diri sendiri ini.
“Baiklah. Aku terima tantanganmu.”
Aku hampir menangis, tapi dia menahan kembali air mata itu dan berlari menuju pintu gang. Sialnya, tanganku langsung ditarik oleh lelaki berewok tadi. Tangan kekarnya mencengkeram kuat, aku tidak bisa berlari dan hanya pasrah mengikuti gerakan tubuh lelaki itu yang masih ingin mengalahkan lawan sementara ia tetap menjagaku agar tak kabur.
Aku kewalahan, napasku terengah-engah sejak tadi. Menangis pun sudah melelahkan. Terkadang, lelaki dari Heatens berhasil mengambilku, tapi kemudian direbut lagi oleh lelaki Luciano. Itu terus terulang, sampai tiba-tiba saja aku ditarik dengan kuat keluar dari kegaduhan itu.
Aku jatuh, menabrak tubuh seseorang.
Kala itu, aku yang sudah tak karuan, merasakan sentuhan hangat di tubuhku. Satu tangan yang dengan enteng, memelukku dan menenangkan. Kupikir dia adalah pahlawan yang benar-benar datang untuk menolongku, tapi cukup sampai pelukan itu saja aku menganggapnya pahlawan.
Kenyataannya, dia lebih gila.
-Bersambung-
Sun Fleurry McRay berdiri dengan kaki yang hampir ambruk, tak kuat menahan gemetar akibat rasa takut yang mencekam.Dia hendak mengantar uang kembalian setelah pembeli melakukan transaksi bahan pangan dari peternakannya sore itu. Karena dia sudah mengenal pembeli dengan sangat baik dan sudah sering kali bolak-balik dari rumahnya ke lokasi pembeli, Sun berpikir dia tidak membutuhkan tumpangan atau pun seseorang untuk menemaninya.Tapi ketika ia akan pulang, baru dirinya merasa menyesal telah menolak semua tawaran orang-orang di peternakan untuk menemaninya.Ketika dalam perjalanan pulang, Sun dibuntuti oleh empat orang lelaki yang sudah dilihatnya sejak dia berada di tempat pelanggannya tadi. Sebenarnya salah satu dari empat lelaki itu sempat menawari Sun untuk pulang bersama mereka, sebab ia tadi sempat mengalami masalah pada rantai sepedanya. Tapi Sun menolak, mereka terlalu mencurigakan untuk bisa dia percaya.Rasa curiga Sun terbukti saat dirinya dalam
Dua hari setelah pertemuannya dengan Noah, Sun yang sudah memantapkan diri akhirnya memutuskan untuk pergi bersama Noah menuju sebuah tempat. Sun tidak tahu mereka akan pergi ke mana, tapi Noah sempat berkata jika mereka akan pergi menuju sebuah kota yang Noah tinggali. Mungkin bisa dibilang jika Sun akan dibawa ke rumah lelaki itu, dan semoga saja firasat buruk Sun yang merasa dirinya akan diserahkan kepada ketua kelompok orang-orang jahat seperti Noah itu tidak benar.Saat ini belum diketahui pasti tujuan mereka. Hanya saja yang Sun tahu, dirinya dan Noah saat ini sudah berada di New Orleans, kota pelabuhan terbesar di Louisiana, salah satu negara bagian Amerika Serikat.Seperti gambaran kota pada umumnya, tempat yang panas dan ramai oleh suara bising kendaraan bertenaga mesin membuat Sun yang selama ini tinggal di tempat asri bernama desa jadi agak terkejut. Tentunya, setelah menempuh perjalanan jauh, dihadapkan suasana yang jauh berbeda dengan suasana yang biasa ia t
Gelas kaca itu pecah. Suaranya nyaring memecah hening, meruntuhkan nyali tiga kepala yang tertunduk menahan takut. Tak ada yang berani mengangkat kepala, bahkan mata melirik untuk melihat tuannya saja tak kuasa.Berita kematian satu anggota Luciano membuat lelaki berdarah Italia itu geram bukan kepalang.Luciano adalah sekelompok gangster yang terbilang baru dan bergerak di kota Baton Rouge, ibu kota Louisiana. Dapat ditebak dari namanya, Luciano dipimpin oleh seseorang yang berdarah Italia bernama Marino De Luca.Luciano tak beda halnya dengan organisasi-organisasi dunia bawah di Italia. Mereka menjunjung tinggi solidaritas antar anggota dan dengan berita kematian ini, tentu saja itu membuat sang pemimpin merasa amat geram.“Patrick ...,” ujar Marino dengan lirih. Matanya melukiskan amarah, namun di sana juga ada kesedihan. “Dia anggotaku yang setia. Dia tidak seharusnya mati!”Kemarahan memuncak, Marino kembali membanting benda yang ada di hadapannya.
“Baiklah ....” Atensi Sun teralihkan, dia menoleh menuju Alexa dan Jessie yang tampak lekat mengamati penampilannya dari atas ke bawah. Tentu saja di benak mereka masih ada rasa terkejut dan tak percaya, gadis yang terlihat polos dan lugu di hadapan mereka ini adalah wanita dari lelaki yang merupakan incaran banyak kaum hawa di luar sana.“Tolong beri tahu kami, siapa namamu?” tanya Alexa.“Sun Flurry McRay.” Sun memperkenalkan dirinya dengan seadanya. Jika ditanya nama, maka dia akan menjawab dengan sopan. Namun, agaknya itu merupakan masalah bagi Alexa dan Jessie yang tampak langsung memicingkan mata, terusik.“Kau tidak akan bisa bertahan di sini jika caramu memperkenalkan diri seperti itu, Nona McRay.”“Apa aku kurang sopan?”“Sudah sopan, tapi kurang diiringi gerakan.” Penuturan Jessie membuat Sun mengerutkan kening, tak mengerti. “Kau lihat penampilan kami? Ini bukan hanya sekadar penampilan, namun kami membawa tata perilaku yang sepadan dengan ke
Hari berganti hari, tanpa sadar dia sudah genap melewati tujuh fajar dan tujuh senja di tempatnya menetap saat ini. Seminggu berlalu, Sun disibukkan dengan mempelajari Kediaman Melrose dan peraturan-peraturannya. Memang hal baru yang tak biasa ia lakukan. Sun belajar tentang cara bersikap sopan dan anggun ala wanita kerajaan kendati dirinya berasal dari desa yang cukup terpencil. Sun tidak tahu apa maksudnya. Alexa tidak pernah mengatakan jika peraturan yang dilakukannya adalah lampu hijau untuk bisa menuju ke pelaminan bersama lelaki Little Boy kesayangannya, tapi mematuhi peraturan Kediaman Melrose adalah cara yang sangat membantu untuknya bertahan di sisi lelakinya. Sun hanya melakukannya begitu saja meski tak jelas akan jadi apa dia di tempat ini. Seperti pagi yang sudah-sudah, Sun akan menikmati paginya dengan minum teh dan berbincang bersama wanita-wanita yang ada di sana. “Selamat pagi, Sun!” Sun mulai terbiasa dengan suasana yang ada d
“Apa kau sadar dengan apa yang kau tanyakan barusan, Sun?”Sun menatap resah, khawatir ucapannya akan membuat Emma marah dan merasa tersinggung. “Maaf, Nona. Aku tidak seharusnya bertanya seperti itu,” ujarnya dengan panik dan berharap Emma tidak terlanjur salah paham akan ucapannya. Tapi kecemasan Sun tak berarti saat tiba-tiba saja Emma tertawa.“Hahaha ...!”Suara tawa itu membuat Sun memasang wajah bingung. Bukan hanya ekspresi belaka, dia benar-benar bingung saat ini.Emma, selaku dalang dari suara tawa yang lepas itu pun berkata, “Tentu saja aku sangat senang, Sun!” Butuh waktu beberapa detik sampai Emma benar-benar berhenti tertawa. Sun tidak tahu di mana letak lucunya sampai gadis yang berusia tak jauh darinya itu tertawa terpingkal seperti ini.Setelah Emma selesai tertawa, dia diam sejenak. Emma mengambil napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Bukankah menyenangkan rasanya kalau punya banyak uang?” tanya gadis itu pada Sun yang terdiam tak
Sun dan Emma melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka di hari yang cerah.Hari yang cerah membawa kebahagiaan bagi semua orang. Jalanan French Quarter sangat ramai pagi ini. Banyak orang melewati jalanan yang juga dilewati Sun dan Emma. Entah mengapa melihat kesibukan lautan manusia itu menjadi hiburan tersendiri bagi Sun dan Emma.“Sun, kau harus melihat ini!” Sun belum selesai menikmati satu hal, dan Emma dengan sangat bersemangatnya mengajak Sun untuk melihat hal lain. Ketimbang Sun yang seorang pendatang baru di New Orlean, Emma yang menjadikan kota pelabuhan itu sebagai tempat kelahirannya malah terlihat lebih bersemangat menelusuri pusat hiburan di kota itu.Emma mengajak Sun untuk mengunjungi jalanan yang terkenal dengan deretan toko-toko yang menjual banyak hal. Tentu saja, karena French Quarter adalah jantung hiburannya New Orleans dan tentu saja tempat itu adalah tempat yang banyak didatangi wisatawan asing luar ataupun dalam
Noah terdiam lama, bibirnya rapat mengatup seakan ada yang merekatkannya. Memang ada, dan itu adalah ucapan Sun yang barusan dilontarkan kepadanya. Gadis dengan surai pirang emasnya itu masih lekat menatap Noah, pun dengan Noah yang melakukan hal serupa. Keduanya bahkan mungkin tak menyadari jika banyak detik berlalu hanya untuk melakukan kontak mata yang tidak tahu apa maksudnya. Sun menjadi yang paling pertama menyadarinya. Dia tidak tahu mengapa ia dan Noah saling beradu pandang untuk waktu yang lama. Setelah ucapannya, Noah tak lagi mau berkata. Dia tahu jika Noah sangat irit bicara, tapi tidak bisakah dia membuka sedikit saja mulutnya untuk merespons ucapan Sun? Atau hanya berikan Sun gumaman saja agar apa yang baru saja dikatakan gadis itu tak terdengar seperti sesuatu yang aneh sampai tidak perlu diberikan respons. Sun jadi merasa sangat malu dan canggung. Tapi itu tak berlangsung lama kala ia mulai berpikir, Noah mungkin saja terdiam karena se