Share

Bab. 4. Labirin Ilusi

Labirin Ilusi

Sunan Zunungga memenangkan pertandingan di babak pertama dan Tuba Lilin di babak kedua. Siapapun yang menjadi ketua regu akan ditentukan oleh babak selanjutnya. Tetapi, mereka masih belum sepakat untuk menentukan jenis tanding final tersebut. Akhirnya, setelah saling berembuk, pertandingan final adalah adu strategi berupa permainan kotak labirin.

Di dimensi Ashok, kotak labirin adalah salah satu permainan yang cukup populer terutama di kalangan para Asta penjaga, para jenderal tinggi dan komandan dasau. Permainan untuk mengisi waktu senggang sekaligus mengasah kemampuan otak dalam menyusun strategi.

Dalam permainan ini, terdapat kotak papan kecil seperti catur dengan pilihan batu berwarna hitam dan putih. Hanya bedanya, kotak labirin memiliki ruang ilusi yang hanya bisa dimasuki oleh para pemainnya.

Papan kotak hitam putih tersebut, setelah terbuka, ia akan membesar dan menarik para pemain untuk memasuki labirin-labirin kecil dan memecahkan sekumpulan teka-teki di dalamnya. Mereka akan dapat dilihat oleh Ashokans lainnya, karena kotak labirin akan membentang di udara seperti tampilan layar monitor besar.

Siapapun yang tercepat dalam menaklukkan tantangan ini akan segera terlempar keluar dari dalam ruang ilusi. Tetapi, jika tak ada satupun yang berhasil, maka setelah tiga jam, ruang ilusi akan hancur dan para pemain akan keluar dengan sendirinya.

Nampak Pancah Ungu memegang kotak labirin di tangannya. Sunan Zunungga dan Tuba Lilin saling bersiap. Sunan memegang batu berwarna hitam sementara Tuba Lilin memilih batu putih. Dalam hitungan ketiga, kotak labirin dilempar ke udara. Ruang ilusipun terbuka, menarik para pemain memasuki ruang labirin sesuai pilihan batu mereka.

Labirin putih dan hitam memiliki ruang tak beraturan yang dapat berubah berkala. Saat pemain terjebak, yang terlihat oleh mereka hanyalah labirin panjang tak berujung dengan celah yang membingungkan. Pada dasarnya, celah ini memiliki pola yang dapat dipecahkan. Dan inilah tantangan bagi para pemain agar dapat keluar dari ruang labirin ilusi di mana hanya memiliki satu pintu keluar yang sama baik formasi labirin hitam maupun putih.

Sunan Zunungga telah memasuki pintu labirin pertama. Batu hitam di tangannya membentuk sebuah gua besar berukuran beberapa meter. Dinding gua berkerak hitam dengan batu-batu cadas tak simetris. Kedalaman gua tersebut selintas terlihat tak berujung. Padahal, setelah berjalan beberapa langkah ke depan, akan ada persimpangan-persimpangan dan belokan yang cukup membuat pusing. Setiap beberapa depa akan terdapat jalur yang berbeda. Jika para pemain membaca pola yang salah, maka otomatis mereka akan terjebak jalur yang menggiring mereka kembali ke pintu masuk pertama.

Sebenarnya ruang ilusi adalah formasi kuno yang diciptakan pertama kali oleh Asta tertinggi sekaligus pemimpin terdahulu di dimensi Ashok. Penciptaan permainan ini adalah untuk melatih ketajaman para Asta melihat celah dan perbedaan seteliti mungkin. Jadi yang menjadi dasar permainan kotak labirin, tidak hanya mengandalkan ketajaman berpikir, tetapi juga melatih fokus seorang Ashokans untuk membaca sebuah pola. Meski awalnya tampak membingungkan, pada dasarnya kotak labirin hanyalah pola formasi sederhana saja. Menggunakan deret perhitungan aritmatika untuk menentukan setiap jalur yang pada akhirnya akan menuntun pada pintu muara.

Sementara Tuba Lilin yang memilih batu putih, kini berada di depan pintu masuk labirin dengan dinding kokoh pucat di sekelilingnya. Labirin tersebut berwarna putih tulang dengan tampilan ujung lorong yang seolah menukik sempit.

Perlahan Tuba Lilin berjalan sambil memperhatikan sekelilingnya, tak nampak apapun selain dinding-dinding pucat yang berjalur-jalur aneh. Di mana setiap jalur seolah semakin sempit hingga terkadang membuat nafasnya sedikit sesak.

Kepala botaknya serasa berputar saat dihadapkan pada warna putih tulang yang hanya memberi kebuntuan. Sudah berkali-kali dirinya mencoba memecahkan formasi dinding putih ini, tetapi pada akhirnya tetap saja membawa langkahnya kembali ke pintu masuk pertama.

Perjuangan dua Ashokans ini sepertinya banyak menarik minat para Asta yang berada tak jauh dari arena pertandingan. Bahkan beberapa Ashokans muda yang melewati tempat itu seakan tergelitik menyaksikan perjuangan Sunan Zunungga dan Tuba Lilin dalam memecahkan ruang ilusi. Termasuk beberapa Asta senior yang sedang bertugas. Mengingat kotak labirin bukanlah permainan yang mudah untuk dimainkan. Sehingga saat kotak labirin terbuka, perjuangan mereka yang terjebak adalah tontonan yang sangat memainkan emosi.

Pertandingan yang awalnya hanya disaksikan oleh beberapa Ashokans saja, kini mengundang kerumunan sekelompok Asta. Layar ilusi yang membentang lebar menampilkan Tuba Lilin berkali-kali menepuk jidat kepalanya yang licin. Sebagian ada yang tertawa, sebagian masih sibuk memperhatikan dengan celoteh masing-masing.

Coba perhatikan bocah yang berada di gua hitam! Kenapa dia belum juga beranjak?” Salah seorang Asta menunjuk Sunan kepada beberapa temannya. Tak seperti Tuba Lilin yang sudah berkali-kali kembali pada pintu masuk, Sunan bahkan belum memulai langkahnya. Dirinya masih tetap berpijak di depan pintu masuk labirin.

Sunan Zunungga pernah mendengar dari Garde Manta, bahwa formasi kuno yang dibuat dalam kotak labirin menggunakan pola perhitungan dasar. Formasi di dua jalur pertama akan menentukan pemetaan pola selanjutnya. Sehingga jika para pemain gagal menentukan pola di permulaan, maka formasi di ruang ilusi akan terus berubah. Hal sekecil apapun tak lepas dari jangkauannya. Menurut Sunan, kunci kotak labirin adalah membaca setiap tanda.

Labirin gua tempat Sunan berpijak, terbuka lebar, dinding berkerak hitam tak simetris itu tak ubahnya seperti gua nyata pada umumnya. Perlahan, akhirnya Sunan melangkahkan kaki memasuki mulut gua.

Sorak sorai para penonton di luar sama sekali tak terdengar oleh para pemain. Labirin ilusi dibatasi oleh ruang kedap sehingga baik Sunan Zunungga maupun Tuba Lilin seolah berada pada dunianya sendiri. Terjebak pada ruang keheningan dengan dinding kokoh tak berujung.

Tuba Lilin memperhatikan seluruh permukaan dinding. Kali ini dirinya benar-benar sedikit frustasi. Setiap beberapa langkah dirinya akan dihadapkan pada jalur-jalur aneh yang berbeda. Pola ini begitu rumit untuknya. Seorang Tuba lebih memilih bertarung melawan elang berkepala sembilan daripada terjebak dalam ruang ilusi dan menderita malu karena kebodohannya memecahkan formasi sebuah permainan.

Sial! Tempat ini benar-benar rumit dan membuatku gila!”

Sementara di formasi hitam, Sunan melangkah dengan perlahan. Ashokans yang menyaksikan hanya mendapati bahwa dirinya seolah terlalu berhati-hati, padahal tak ada yang benar-benar memperhatikan bahwa sebenarnya Nanzu memperhitungkan setiap langkahnya dengan seksama.

Setelah langkah yang kelima, dirinya mendapati sebuah jalur ke kanan dengan lorong panjang menurun. Sedikit licin hingga terpaksa ia menapak demi setapak saja. Selain memang tak ingin terburu-buru, Sunan tak ingin terpeleset hingga mengacaukan pola yang ingin dibacanya. Kali ini lorong tersebut terasa lebih panjang dan dalam. Namun, setelah langkah yang kelima belas, turunan itu berhenti pada dua belokan. Untuk sejenak Sunan tak bergeming. Menatap dinding di depannya yang buntu. Sementara rasa penasaran menyelimuti para Ashokans yang menyaksikan dari layar ilusi.

Menurutmu persimpangan mana yang akan dipilih bocah itu?”

Entahlah, pikiran bocah itu sulit ditebak.”

Namun, tak selang beberapa lama, Sunan memilih persimpangan di sebelah kirinya. Persimpangan itu sedikit menanjak. Dan setelah berjalan lima langkah lagi, Sunan kembali dihadapkan pada dua jalur. Hanya saja kali ini, di depannya masih terdapat lorong dalam tak seperti sebelumnya yang tertutup dinding gua.

Di luar kembali ricuh. Masing-masing penonton berkutat ikut berusaha menduga arah yang akan diambil oleh dua Ashokans yang berjuang di labirin ilusi. Pergerakan keduanya tak lepas dari pengamatan para Ashokans bahkan para Asta senior.

Aneh, kenapa bocah itu tak tampak kebingungan seperti di awal? Ia samasekali terlihat tak terpengaruh oleh banyaknya jalur di kiri maupun di kanan. Lihat, kali ini ia malah mengambil jalur lurus!”

Kau benar, apa yang sebenarnya dipikirkan bocah itu?”

Hal ini pula tak luput dari pengamatan salah seorang Asta senior yang berdiri di antara kerumunan penonton. Dalam hati ia mengagumi ketenangan dan ketangkasan Sunan Zunungga membaca formasi.

Tiba-tiba Sunan Zunungga menghentikan langkahnya. Dalam hati ia telah menghitung langkahnya tepat berhenti di pijakan ke duapuluhlima. Di depannya masih tampak jalur lurus, dan dua jalur datar di kiri kanannya. Ada tiga pilihan yang harus ditentukan olehnya, yaitu jalur kiri, kanan, atau kembali berjalan di jalur lurus. Dan akhirnya, Sunan kembali mengambil jalur di sebelah kanannya.

Bocah itu, kupikir akan mengambil jalur lurus seperti sebelumnya, kenapa sekarang ia mengambil jalur kanan? Padahal tadi ia seolah tak terpengaruh dengan banyaknya jalur. Menurutmu apa yang membuatnya terlihat tampak yakin dengan pilihannya? Apa dia benar-benar dapat memecahkan ruang ilusi? Atau ia hanya mencoba-coba keberuntungan saja?”

Entahlah, tapi sejauh ini ia tak pernah kembali di pintu masuk. Tak seperti peserta yang lain. Mungkin hanya sedikit yang seperti dirinya. Kita lihat saja.”

Sementara Tuba Lilin sudah lebih dari belasan kali berakhir di pintu masuk labirin dan ini benar-benar membuatnya kesal. Perhatian para Asta dan seluruh penonton kini terpusat pada Sunan Zunungga.

Di jalur sebelah kanan, setiap beberapa depa ke depan, terdapat persimpangan-persimpangan baru. Namun, Sunan terus melangkah dan hal ini semakin membuat penasaran para Ashokans dari luar layar. Kenapa tak tampak kebingungan di diri bocah tersebut. Padahal, sangat sedikit peserta yang dapat memecahkan formasi di ruang ilusi. Tak ada yang benar-benar tahu bahwa sebenarnya Sunan sibuk menghitung setiap langkahnya, dan kini ia kembali berhenti setelah menapak di hitungan ke tigapuluhlima.

Kembali ia dihadapkan pada jalur kiri dan kanan. Tak menunggu lama, Sunan mengambil jalur kiri kembali. Jalur ini tak seperti sebelumnya, tak menanjak ataupun menurun, tapi dipenuhi petakan batu tersusun dari cadas-cadas hitam. Selang beberapa menit melintasi petakan batu itu, Sunan akhirnya menemukan pintu yang menjadi muara ruang ilusi. Dengan cepat ia membukanya, seketika baik dirinya maupun Tuba Lilin terlempar keluar dari kotak labirin.

Wow, luar biasa…!”

Gemuruh tepuk tangan memenuhi udara. Para Ashokans tampak puas dengan tontonan mereka. Sangat jarang ada Ashokans yang menyelesaikan permainan kotak labirin. Kebanyakan dan acapkali, para pemain lebih sering terjebak dan keluar dengan sendirinya setelah ruang ilusi pecah. Namun, Sunan Zunungga berhasil menaklukkan tantangan labirin ilusi hanya dalam tempo yang singkat. Sungguh mencengangkan bagi sebagian Asta mengingat, para Ashokans muda hanyalah seorang remaja yang mulai beranjak dari masa cilik mereka.

Nanzu, kami sekarang mengakui, kau pantas menjadi ketua regu kita!” Pancah Ungu akhirnya bersuara. Mau tau mau, diam-diam ia juga turut mengagumi ketenangan dan ketajaman berpikir seorang Sunan Zunungga. Bahkan, jika itu dirinya, ia sadar ia tak akan menyelesaikan kotak labirin secepat Nanzu.

Terimakasih atas kepercayaan kalian. Aku akan berusaha menjaga kelompok kita dengan baik.” Sunan hanya tersenyum seraya menjabat tangan Tuba Lilin, Minak Hijau, Pancah Ungu dan Margo sahabat kecilnya.

Bocah, tunggu!” Seorang Asta senior memanggil Sunan yang hendak kembali ke kamar padepokannya. Langkah Sunan terhenti, ia menoleh dan melihat seorang Asta senior menghampirinya.

Ada gerangan apa, Senior?”

Apa yang membuatmu bisa menyelesaikan kotak labirin dengan mudah?”

Maaf Senior, mungkin hanya keberuntunganku saja,” Sunan menjawab. Namun, yang bertanya merasa tak puas dengan sikap Nanzu.

Tak perlu merendah bocah, aku tahu kau sudah memecahkan pola ini sejak awal, lalu apa bisa kau jelaskan padaku kenapa kau memilih jalur kanan dan kiri secara bergantian setelah jeda yang kau ambil.”

Begini Senior, karena saya pernah mendengar bahwa kotak labirin disusun berdasarkan formasi sederhana sebuah penghitungan aritmatika. Tentu di dalamnya juga akan ada keseimbangan. Karena itulah, aku mengambil jalur kanan dan kiri secara bergantian, setelah penghitungan langkah yang kubuat.”

Hahahaha, bagus sekali bocah, siapa namamu?!”

Sunan Zunungga, Senior, itu namaku, panggilanku Nanzu.”

*******************************************************************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status