Share

Bab. 3. Sebelum Perburuan

Sebelum Perburuan

Kini, para remaja yang ingin mengikuti Biak Peri dikumpulkan menjadi satu di sebuah lapangan luas tak jauh dari benteng perbatasan. Ada sekitar lima puluh orang peserta termasuk Sunan Zunungga. Mereka berkumpul membentuk sepuluh barisan dengan pembagian lima orang peserta untuk setiap baris.

Sunan Zunungga berdiri di barisan paling belakang. Di depannya berdiri Margo, teman masa kecilnya. Sejak matahari terbit, mereka dikumpulkan dan dibiarkan tanpa arahan. Mereka hanya diminta berdiri dan menunggu. Sudah berjam-jam lamanya hingga matahari telah menanjak tepat di ubun-ubun. 

Meski dimensi Ashok adalah dunia kesuburan, tetapi juga memiliki fenomena alam yang unik. Di mana ketika pagi, angin semilir akan terasa sangat menyejukkan seperti guyuran salju di belahan kutub. Namun, menjelang siang ketika matahari tepat di atas kepala, tak ubahnya seperti musim panas yang menyala liar dalam kawanan serigala. Dan menjelang sore, langit akan kembali teduh dan nyaman hingga perputaran malam tiba. 

Para Ashokans muda yang sudah tak sabar mulai banyak yang keluar dari barisan utama. Peluh mereka bercucuran seiring dengung suara perut yang juga memekakkan. 

“ Arghhh...apa-apaan ini, kemana para Tetua?”

“Kenapa kami cuma dibiarkan saja. Apa maksudnya?!”

Hardik salah seorang Ashokans muda di barisan paling tengah. Tubuh bongsornya menggeliat seperti cacing yang terpanggang. Beberapa suara lainnya mulai bersahutan. Mereka tak lagi berbaris rapi. Ada yang duduk, ada yang berbaring di rerumputan. 

Ketenangan berganti menjadi riuh rendah. Kesal dan amarah oleh pengabaian membuat ego muda beberapa Ashokans menyeruak panas. Sunan Zunungga masih terpatri di tempatnya berdiri. Hanya ia dan beberapa remaja saja yang masih tampak seolah tak terpengaruh. 

“Nanzu, kau lihat itu!” Margo menunjuk salah satu peserta yang sedang membuat ulah.

“Namanya Bading, putra bungsu dari salah satu Asta selatan. Lihat gayanya, sombong sekali dia, aku tak suka.”

“Iya, biarkan saja. Lebih baik kita tidak usah ikut campur.” Nanzu menimpali Margo yang melirik sinis pemandangan tak jauh dari tempatnya. 

Nampak Bading dan Ashokans bertubuh bongsor mulai membuat ulah. Kebiasaan buruk mereka yang merasa memiliki segalanya membuat tindak tanduknya tak segan berperilaku kasar terhadap peserta yang lain.

“Hei kau, Kucul, cepat kau kipasi aku,” bentak Bading pada salah satu remaja kurus yang berada tak jauh darinya. Perintah yang mendominasi itu membuat si remaja kurus tak berani berkutik. 

“Jangan cuma kau Bading, tapi suruh ia untuk mengipasi aku juga,” pinta Ashokans bertubuh bongsor yang ternyata tak lain adalah kerabat dekat si Bading. Julukannya adalah Badang Selatan. Mereka tak segan menghardik, memerintah, tak ubahnya si pemilik budak.

Situasi tak terkendali ini, nampak jelas di kejauhan. Dari atas menara benteng, para Asta senior sedang memperhatikan gerak gerik Ashokans muda dengan tingkah polah mereka.

“Bagaimana ini Ketua? Apakah sekarang saatnya kita menemui mereka?” Ujar salah seorang Asta pada Tetua senior yang bertugas mendidik Ashokans muda sebelum turnamen depan.

Yang ditanya hanya menjawab sekedarnya, “Sebentar lagi…” Lalu pergi meninggalkan menara pengintai. Raut wajahnya tampak dingin. Menyiratkan kekecewaan pada Ashokans muda yang harus jatuh dalam bimbingan singkatnya.

Beliau adalah Asta senior dari utara. Salah satu Asta dengan Agra Ular bertanduk perak berusia 6000 tahun. Tak heran, setiap kata-katanya meskipun singkat namun seolah menyimpan aura yang tak terukur. Begitu dalam, menusuk, mengintimidasi walaupun tertutupi oleh aura kebijaksanaan. 

Sementara di lapangan terbuka, Bading dan Badang Selatan bertindak tak ubahnya seperti raja mabuk. 

“Apa kau lihat-lihat, Margo? Mau kucongkel bola matamu, huh! Kulihat sedari tadi kau memperhatikan kami ! Apa kau juga ingin menjadi si tukang kipas?!” 

“Hahahahaha…” Badang terbahak mendengar si Bading mulai menyentil Margo. Sudah sejak lama ia memendam ketidaksukaannya. Ini bermula sejak Pietra, salah satu gadis Ashokans yang disukainya lebih memilih untuk dekat dengan Margo. Padahal, Badang sudah sejak kecil mengagumi Pietra yang cantik. Bahkan sering ia berandai-andai akan mempersunting gadis Ashokans itu. Kedengkiannya pun merebak. 

“Boleh juga usulmu Bading, sekalian juga dengan pemuda lemah di belakang bocah itu.” Geramnya seraya menunjuk Sunan Zunungga dengan bongkol jemarinya yang kasar bulat.

“Jangan Keke, pemuda lemah seperti Nanzu, kita hanya akan membuatnya pingsan.” 

“Hahahaha...kau benar. Aneh juga remaja lemah seperti dia berani-beraninya ingin mengikuti Biak Peri. Mungkin sudah bosan hidup.”

“Iya Keke Badang, kadang aku juga muak dengan orang-orang lemah seperti mereka. Tapi setelah dipikir, tak apa mereka ikut, biar nanti dimangsa elang berkepala sembilan di dalam hutan.Hahaha…”

Seketika tawa mereka terhenti. Serombongan Asta Penjaga dan Tetua Utara muncul dari balik benteng. Dalam sekejap barisan pun kembali terbentuk.

“Salam Tetua!” Serempak para Ashokans muda menyambut Tetua Utara. 

“Seperti kalian ketahui, turnamen Biak Peri masih tersisa dua minggu lagi. Dan selama itu pula, kalian akan berada dalam pelatihan khusus. Setiap barisan akan ditempatkan pada satu kamar. Setiap kamar akan dikepalai oleh seorang ketua regu. Siapapun yang menjadi ketua akan ditentukan oleh diskusi kalian masing-masing.”

“Setiap pagi kalian sudah harus hadir di aula utama benteng. Jika terlambat, kalian akan dihukum mengelilingi aula sebanyak lima ratus kali  putaran. Satu hal yang wajib kalian camkan, tidak ada keringanan apapun bagi mereka yang melanggar. Karena kalian para Ashokans muda adalah kebanggaan dimensi yang harus menunjukkan integritas.”

“Memiliki potensi dan kemampuan, kejujuran dan kewibawaan. Biak Peri tidak diperuntukkan bagi mereka yang tidak memiliki jiwa ksatria.”

“Apakah kalian paham?!”

“Kami paham,Tetua!”

Sorak para peserta Biak Peri bergemuruh lantang siang itu. Kalimat pembuka oleh Tetua Asta Utara menggema di setiap sudut jiwa para Ashokans muda. Menyala merah bak teriknya surya yang mengintip dari beranda langit tosca. 

Mereka digiring masuk ke dalam benteng. Benteng utama dimensi memiliki ukuran luas hampir sepertiga dasau atau wilayah secara keseluruhan. Dari luar, bangunan benteng tampak kokoh dengan pigura-pigura besar dan menara pengintai yang dibawahi Asta pemanah tingkat ahli. 

Di sebelah timur benteng, terdapat lonceng batu raksasa yang dijaga oleh beberapa Asta secara bergantian. Jika terjadi gangguan yang membahayakan, suara degup lonceng batu raksasa akan menjadi pengingat tanda bahaya yang mampu menjangkau seluruh dasau. 

Kamar penampungan yang menjadi tempat para peserta Biak Peri terletak di sebelah barat daya benteng. Menghadap langsung ke arah pegunungan tinggi dan pekatnya hutan Ranting Sembah. Tatkala malam, terdengar aneka bunyi aneh yang mengoyak. Auman dan geraman para makhluk mistik penghuni hutan. Namun, ini adalah hal yang biasa di kehidupan sekitar benteng.

Ada kabut tipis yang menutupi hutan Ranting Sembah. Kabut energi transparan tepatnya telah menjadi pembatas energi tak kasat mata yang menjadi penghalang makhluk mistik apapun di dalam hutan untuk keluar. Sebuah pagar energi dengan susunan berlapis yang hanya bisa dimasuki oleh Ashokans yang telah dibangkitkan titik energi alami mereka. 

Sunan Zunungga dan Margo berada pada satu kamar yang sama. Tiga orang lainnya adalah para remaja dari wilayah sebelah tenggara jauh. Dasau Merak Buluh. Mereka adalah Minak Hijau, Tuba Lilin dan Pancah Ungu. 

Tuba Lilin memiliki perawakan tinggi besar, berkepala botak dengan otot-otot yang menonjol keras. Minak Hijau adalah remaja dengan tampang seorang pemikir namun dengan paras wajah yang terbilang rupawan. Gerak sikapnya lembut dan penuh perhitungan. Sedangkan Pancah Ungu, sosok pendiam yang misterius. Sangat berbeda dengan Margo, teman masa kecil Sunan Zunungga yang sedikit humoris nan ceriwis. Sementara Nanzu sendiri, sosok remaja dengan pembawaan seperti air. Mengalir lembut namun kadangkala mengarus deras. Berbagai karakter dan sifat berbeda yang dipersatukan dalam bilik yang sama dengan tujuan yang sama. 

 

Mereka menempati pondok kecil di deretan paling ujung. Bersebelahan dengan pohon jacaranda ungu lilac. Jalan pelataran setapak di sekitarnya dikelilingi rerumputan liar setinggi mata kaki. 

Di dalam bilik, terdapat beberapa buah meja kursi dan lemari kayu berjejer serta sebuah dipan memanjang yang teranyam dari bambu kuning susu. Kisi dan jendela pintu tampak sedikit berdebu. 

“Hai semua, perkenalkan namaku Sunan Zunungga, panggilanku Nanzu.” Sunan membuka keheningan tersebut dengan perkenalan singkat darinya. 

“Kami tahu, kedua bocah sombong siang tadi menyebut namamu lantang,” sahut Tuba Lilin sambil mengibas-ibas  dipan panjang di hadapannya lalu menjatuhkan diri. 

“ Aku Tuba Lilin, sedang mereka adalah Minak Hijau dan Pancah Ungu. Kami pendatang dari Dasau Merak Buluh.” Yang diperkenalkan hanya diam. Minak Hijau menganggukkan kepala sementara Pancah Ungu terlihat seolah tak menghiraukan sama sekali dengan basa basi perkenalan itu. Dirinya langsung mencari tempat untuk berbaring dan tidur. Setelah seharian berdiri di depan benteng, benar-benar menguras energi dan emosi. 

“Nanzu, aku tidur di sampingmu saja. Mereka sepertinya tak cukup ramah.” Margo berbisik pelan di telinga Sunan, tapi rupanya ini sempat terdengar oleh Tuba Lilin. 

“Hahaha… santai saja kawan. Ini memang pembawaan kami orang tenggara jauh. Tak suka basa basi. “ Tuba menyela Margo yang akhirnya merasa sedikit tak nyaman. 

Untuk mencairkan kekakuan di antara mereka, Sunan pun berkata,” Aku harap kita bisa saling mendukung semenjak kita berada di satu atap yang sama.”

“Aku setuju. Oh ya, bagaimana tentang kesepakatan siapa yang akan menjadi ketua kamar?” Margo pun menimpali. 

“Aku Tuba Lilin tak mempermasalahkan siapapun yang ingin menjadi ketua. Selama semua yang tinggal di sini memiliki hak dan kewajiban yang adil.”

“Siapapun yang menjadi ketua haruslah yang paling kuat di antara kita !” Tetiba Pancah Ungu bersuara dari posisi tidurnya dan beranjak berdiri. 

“Karena kami Ashokans tenggara tak sudi di bawahi oleh orang-orang lemah!” Ujaran yang sedikit arogan itu membuat Minak Hijau yang sedari tadi diam akhirnya ikut berbicara.

“Aku sependapat dengan Pancah Ungu. Itu artinya dari kita berlima harus mengadakan tanding singkat. Siapapun yang menang dialah yang layak menjadi ketua regu.”

“Maaf tapi aku tidak tertarik menjadi ketua regu.” Sunan menyeletuk ringan tanpa ragu. “Apakah karena kau sadar dirimu lemah bocah?” Ucapan sinis Pancah Ungu samasekali tak membuat Nanzu merasa panas.

“Iya anggap saja begitu, aku mengakui tubuh fisikku memang terlahir lemah dari kalian.” 

“Kita boleh lemah tapi tak boleh terlahir pengecut! Jangan jadikan kelemahanmu sebagai alasan bocah.” Tuba Lilin menanggapi pernyataan Nanzu yang menolak untuk ikut berkompetisi menjadi ketua. 

“Jangan salahpaham kawan, aku bukannya pengecut dan takut, tapi aku hanya tak merasa tertarik saja dengan kompetisi menjadi ketua ini.” 

“Tidak bisa! Ini adalah ketentuan, kau harus ikut bertanding juga!” Nanzu akhirnya hanya bisa menghela nafas. Mau tak mau dirinya harus mengikuti kesepakatan tanding ini. 

Mereka sepakat menjadikan arena panahan di belakang benteng sebagai metode penentuan. Masing-masing dibekali sepuluh anak panah. Kelimanya berjejer menghadap target tembak. Asta yang berjaga di arena menjadi wasit pertandingan tersebut. Serempak, kesepuluh anak panah melesat cepat. Menyerbu titik tembak dengan jeda hanya beberapa detik. 

“Wow, tak disangka bocah itu, putranya Asta Manta, ternyata memiliki potensi Tetua.” Salah seorang Asta dan Tetua Utara sedang menyaksikan pertandingan tersebut dari atas menara benteng. 

“Tidak buruk, kita lihat saja perkembangannya ke depan.” Ujar Tetua Utara sembari berlalu. 

Hasil tanding menunjukkan kesepuluh anak panah Sunan Zunungga mengenai hampir semua titik tengah target. Diikuti oleh Minak Hijau dengan sembilan point. Dan Pancah Ungu delapan point. Sementara Margo hanya mengenai enam point. Dan Tuba Lilin tak lebih dari empat point. 

“Ah… aku memang paling tidak suka menembak,” bantah Tuba Lilin memberengut melihat anak panahnya yang lebih banyak tak mengenai sasaran. 

“Ini belum cukup!” Pancah Ungu menyela kasar. 

“Kau memang mengungguli kami, bocah! Tapi itu masih kurang untuk menjadikanmu sebagai ketua kami.”

“Baiklah, terserah kalian. Aku akan ikut saja. Oya satu hal, mengingat usia kita berlima tak terpaut jauh, sebaiknya kalian tidak menyebutku dengan sebutan bocah!” 

“Hahahaha...baiklah. Kalian dengar itu Minak Hijau, Pancah Ungu, jangan terlalu keras pada Nanzu.” Tuba Lilin kini memperhatikan deretan senjata yang berderet rapi tak jauh di sebelahnya. 

“Pilih senjata fisik kalian. Kali ini kita akan bertarung jarak dekat menggunakan senjata. Aku akan memilih tombak besar ini.” Tuba Lilin  piawai memutar tombak. Beberapa jurus diperagakan olehnya. Minak Hijau memilih menggunakan pedang. Pancah Ungu menggunakan cambuk. Margo yang memperhatikan juga memilih senjata andalannya. Sebuah tombak perak panjang mengayun di tangannya. Sedangkan Sunan Zunungga memilih menggunakan pedang lentur. 

“Nanzu, karena kau memenangkan babak pertama. Kau yang menentukan lawan tanding kami,” tukas Minak Hijau. 

“Baiklah…! Margo, kau akan berhadapan dengan Pancah Ungu. Dan kau Tuba Lilin, dirimu akan bertanding melawan Minak Hijau.”

Pertandingan dimulai dengan Pancah Ungu dan Margo. Cambuk hitam berkilat merah di tangan Pancah Ungu, berusaha membelit tombak perak yang dipegang Margo dengan erat. Dua kekuatan berseteru mempertahankan posisi. Beberapa seranganpun dilancarkan. Ketangkasan Margo bermain tombak tak mampu membendung cengkeraman liar serangan cambuk Pancah Ungu. Lilitan itu seperti ular yang mengamuk. Dalam beberapa jurus, tombak Margopun terlepas. 

“Cukup! Kau menang Pancah Ungu.”

Selanjutnya Tuba Lilin dengan Minak Hijau berhadapan di tengah arena. Tuba Lilin bersiap dengan kuda-kudanya. Dalam sekali hentakan, tombak di tangannya menggasing. Menyerang dan berputar untuk menyudutkan lawan. Namun, gerak lincah Minak Hijau bermain pedang tak dapat dianggap sepele. Permainan jurus pedang yang tampak halus dan menusuk membuat pertandingan lebih semarak. Tak ada yang kalah dengan cepat. 

Tetapi pada satu kesempatan, ujung tumpul tombak besar Tuba Lilin menghantam perut Minak Hijau hingga membuatnya tergeser beberapa depa ke belakang. Dapat dipastikan, Tuba Lilin memenangkan babak ini. 

Tiga orang yang tersisa adalah Sunan Zunungga, Pancah Ungu dan Tuba Lilin. 

“Nanzu, sekarang aku akan berhadapan denganmu!” 

Pancah Ungu melompat ke dalam arena. Hentakan cambuknya mencuat ganas. Begitu Sunan memasuki arena, pecutan cambuk Pancah Ungu seolah tak ingin memberi celah. Mengejar, menarik, berusaha keras menjatuhkan lawan. 

Pedang lentur di tangan Sunan Zunungga bergetar dan meliuk mengimbangi setiap arah serangan. Teknik pedang yang dimiliki Nanzu seperti tarian lentur sebuah pedang yang bernyawa. Tampak indah dan hidup. Namun, tak memiliki daya rusak yang kuat. Sangat berbeda dengan pecutan Pancah Ungu di mana setiap serangannya dialiri daya rusak yang besar. Setelah bertukar beberapa serangan, Pancah Ungu memenangkan pertandingan. 

Sepeminum teh telah lewat, dua Ashokans saling menatap serius. Tuba Lilin dan Pancah Ungu berhadapan di atas arena. 

“Kau sudah siap Pancah Ungu?” Tuba Lilin memulai  serangan tombak berputar dengan kekuatan penuh. Menderu beringas tak ingin memberi banyak peluang bagi lawannya untuk menghindar. Nampak sekali kekuatan fisik Tuba Lilin yang dominan sangat memudahkannya bergerak, daya hantamnya berkali lipat dibanding cambuk hitam yang menyala di tangan Pancah Ungu. 

Beberapa kali Pancah Ungu terdesak ke belakang dan menghindar. 

“Gila, Keke Tuba, kau mau membunuhku apa!” Pancah Ungu mengumpat kesal pada saudara jauhnya. Tuba Lilin hanya menyeringai, wajah seriusnya mendadak cerah. Setelah saling bertukar serang, Tuba Lilin akhirnya, menaklukkan keangkuhan Pancah Ungu dengan sebuah hantaman tombak. 

                           

                                                        ******************************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status