Share

[4] Present

“Jadinya mau dibelikan apa?” Suara Alex terdengar redam akibat jarak, padahal ponsel si perempuan sudah diletakan di meja dengan speaker menyala.

Lorna menautkan alis, “Kenapa bisik-bisik begitu.”

Ia sendiri tengah berada di ruangan baru tempat kerjanya– lantai tiga gedung firma hukum milik keluarga Lehnserr. Alex waktu itu membantu Lorna membereskan berkas lama, renovasi kecil itu selesai dan hampir semua staff melalui penyesuain tempat lagi.

“Sedang di toilet.”

“Menjijikan.”

Alex mendesah pelan, “Jadi?”

Perempuan itu terdiam, berpikir lama tentang jawaban dari pertanyaan aneh yang dilontarkan si pemuda. Sejujurnya ia tak mau dibelikan apa-apa, baik itu makanan ataupun barang. Apapun deh, Lorna bukan tipe orang yang suka membeli barang secara impulsif. 

Lalu sang pengacara cukup tahu bahwa Leon Alexander ialah keras kepala menyamai dirinya, maka Lorna tak mau capek-capek mendebat pemuda itu agar berhenti menawarinya hadiah. Beberapa saat kemudian, Lorna ikut menghela nafas. 

“Aku—“

“Al? Kenapa lama sekali?” Seru seseorang dari luar toilet, didahului beberapa ketukan pelan.

“Shit.”

Alex buru-buru menyentuh opsi matikan panggilan, sementara kakinya terperanjat ke arah pintu. Saat Lorna hendak mengatakan sesuatu, suara Regina keburu sampai duluan ke telinga pemuda itu.

“Kau tak apa?” Tanya Regina saat dilihatnya Alex sedikit bernafas berat.

Alex tersenyum canggung, lalu menjawab singkat. “Aku baik.”

Netra perempuan itu berpindah ke badan si pemuda, telapak halus berkelana ke dada bidang. Alex mendekat, mengerti dengan sinyal-sinyal kecil yang diberikan kekasihnya. Buru-buru bibir mereka bertaut, diawali kecupan manis berlanjut pautan yang membawa desah diantara keduanya.

Tangan Alex bergerak merangsak ke dalam lingerie yang membalut tubuh seksi, Regina semakin melenguh nikmat. Badan kurusnya loncat hingga kedua kaki melingkar sempurna di pinggang Alex. 

"Alexander ...."

"Yes baby?"

Regina mulai beringas, kedua kaki yang melingkar pada binggang kian dirapatkan. Mengundang helaan nafas keras dari mulut si pemuda, Alex berjalan dengan Regina menempel di badan. Sedikit kasar melepas lengan serta kaki yang mengurung, pemuda itu ikut melemparkan diri menindih sang kekasih di atas kasur.

"Mmnghh Alexander ...."

"What is it, Darling?"

Kini giliran Alex membatasi pergerakan si model seksi. Kedua pergelangan Regina digenggam erat oleh satu telapak si penyanyi, sementara telapak yang lain sibuk menelanjangi. Gemas, Alex merobek pakaian mahal yang Regina kenakan hanya untuk momen spesial. 

Pemuda itu kemudian memangut bibir yang tak berhenti mendesah dalam ciuman basah. Regina bergerak tak nyaman, kian menggesekan badan pada milik kekasih tersayang.

"I want you–" Regina memutus ikatan saliva yang sebelumnya tercipta, menatap Alex dalam seakan serius dengan apa yang akan dikatakan.

"I wan't all of you."

Alex tersenyum simpul, "Im all yours, sweetheart. All things that made me– me, belongs to you."

Regina menggigit bawah bibir, "I love you."

"I love you more."

Sesi bercinta kedua pasangan muda itu baru selesai setelah 2 jam kemudian, Regina langsung tertidur pulas. Permainan panas sekaligus manis, memberi kesan hangat pada dada keduanya. Alex benar-benar memberikan segalanya pada perempuan itu, segala yang ada pada dirinya adalah milik Regina. Apapun yang Regina mau Alex tak bisa berkata tidak.

Saat pemuda itu meraih celana yang tergeletak di lantai kamar, netra coklatnya menangkap benda pipih yang menonjol. Alex mengeluarkan ponsel pintar itu, berniat menanyai Lorna tentang ucapanya yang terputus tadi. 

Saat tombol power ditekan, layar ponselnya ternyata tak terkunci. Alex menatap horror riwayat panggilan yang masih berjalan, melirik opsi mute panggilan yang tak sengaja diterapkan.

Gelagapan, dengan ratusan sumpah serapah yang terucap dalam hati, Alex makin tercekat rekata mendengar helaan nafas kecewa dari ujung telepon.

“... There's nothing i can ask then. Aku tak bisa meminta yang sudah dimiliki orang lain."

Sesuatu di dalam diri Alex baru saja tersayat.

***

Lorna berniat melupakan segala hal tentang Alexander setidaknya untuk saat ini. Rentetan kegiatannya selama beberapa hari kebelakang mulai muncul, Lorna teringat salah satu rekan si penyanyi. Cowok tinggi bernama Maverick, beberapa hari lalu ia mengundang Lorna ke acara ulang tahun sang putri. 

Jemari kasar mengetuk meja berulang kali, perempuan itu berubah atensinya menjadi memikirkan hadiah apa yang akan diberikan pada anak Maverick nanti.

Niatnya ingin menghindari Alex, tapi yang dilakukan malah bercakap cuap dengan dunia yang mengelilingi pemuda itu.

***

“Hai.” Seru Lorna saat pintu dibuka pelan.

“Hai?” Anak perempuan berusia enam itu tersenyum lebar, setelahnya menatap bingung seraya memanggil sang ayah.

“Papa! Ini siapa?”

Lorna berusaha memasang ekspresi seramah mungkin. Sulit. Namun ia juga tak mau membuat tabiat baru. Berpura-pura memiliki personaliti berbeda sering sekali dilakukan manusia, banyaknya dengan tujuan lebih disukai orang lain. Lorna sangat anti. 

Perempuan itu maju satu langkah, "Cassie?” 

“Iya?” 

Langkah kaki Maverick baru sampai ke pintu saat Lorna berlutut menyamai tinggi dengan putrinya itu, “Happy Birthday.”

Cassie tersenyum sumringah, diambilnya bunga chrysanthemum berbungkus plastik hias dengan gerakan cepat. “Thank you! Aunty ....”

“Lorna.” Seru Maverick seraya ikut berlutut.

“Aunty Lorna.” 

Cassie sedikit loncat untuk memeluk sang kenalan baru, Lorna tersenyum seraya menunduk. Membalas pelukan polos, hidung kecilnya menyentuh surai coklat yang diurai cantik.

****

Beberapa kali gelas wine diisi, hitungan yang sama berlaku pada banyaknya cairan yang melewati tenggorokan. Acara ulang tahun ini malah menjadi ajang kumpul teman Maverick saja, terutama karena Cassie baru pindah ke LA dan belum punya banyak kenalan. 

“Is he ... always been this dense?”

Tanpa sadar, perempuan itu melanggar ucapan sendiri tentang tak akan peduli apapun berkaitan si laki-laki. Lorna lupa, dunia yang tengah ia pijak adalah milik pemuda yang kemarin menghancurkan hatinya.

Manusia-manusia yang saat ini mengisi presensi pada tatap yang merasa sepi adalah bagian dari hidup sang penyanyi. Putri keluarga Lehnserr itu salah besar kalau niatnya memang ingin melupakan, yang ada ia malah tertarik semakin dalam. 

James tertawa keras, terpantau si gitaris memang paling banyak meneguk minuman keras. "Aku kira kau pintar."

"Memang pintar." Dengus Lorna.

"Kalau iya pintar, seharusnya sejak awal putus segala komunikasi dengan Alex. Bukannya makin mudah dirayu seperti itu. Kau suka padanya ya?"

Nicholas memijat pelipis, agak kecewa namun tak kaget dengan perkataan James yang terlalu jujur. Selama menempuh pendidikan dari dasar sampai atas, James memang sering bermasalah dengan orang lain akibat mulut kasarnya. Seringkali karena banyak siswa yang merundung Nicholas, pemuda bertampang sangar itu langsung maju pasang badan membela sang teman.

"Tidak."

"Mengaku saja." Alis si gitaris naik turun ritmis, sementara Lorna menyangkal kontak mata denhan menyenderkan kepala. Ia menatap langit-langit rumah, seperti yang sering dilakukan saat sendirian.

"Tidak." 

James tertawa lepas, "Gila. Kalian gila." 

Dalam waktu singkat, Lorna berhasil akrab dengan sirkel Alex yang lain. Sifat masing-masing dari mereka tak beda jauh, James memang tak sesopan Maverick. Nicholas, pemuda yang paling muda diantara mereka, lebih banyak diam meskipun tak sulit diajak berbicara.

Segala canggung dihantam langsung konversasi yang mengalir alami– mungkin karena mereka semua telah dewasa. Tak ada istilah malu-malu akibat teman dekat memiliki hubungan dengan seorang perempuan.

"Benar saja banyak yang bilang sifat kau dan Al mirip." Kali ini Maverick berceletuk, ia duduk di sofa panjang bersisian dengan Nicholas. Sementara pantat James masih betah menempati lantai berbalut karpet, Lorna menempati sofa lain sendiri. 

Nicholas menggeleng pelan, "Tapi Lorna ... ayahmu tahu?" 

"Tahu." Lorna semakin memasang wajah kesal. 

"Dia malah mendukung. Dibesarkan di keluarga tak waras memang sulit." 

‘Kau sendiri tak waras.’ Seru hampir semua yang ada dalam ruangan itu –kecuali Cassie, yang tengah sibuk memperhatikan bunga pemberian Lorna— di dalam hati. 

"Tapi kalau boleh jujur," Maverick menggaruk belakang kepala. "Aku sendiri tak suka dengan Regina." 

Satu-satunya perempuan seumuran di ruangan itu mengerang kesal. "Aku pun tak suka, Mave. Suaranya menyebalkan." 

"Kalau kau sih sepertinya cemburu saja." James kembali menyemburkan tawa.

Yah, ia awalnya sangat khawatir dengan perilaku Alex yang terbilang gegabah. Takut-takut skandal di masa lalu terulang kembali, apa lagi orang yang dihadapi punya kekuasaan besar. Namun kalau seperti ini– James akan sibuk menertawakan keduanya.

Kebodohan dua manusia yang hidup di dunia berbeda, berpikir bahwa mereka bisa diam-diam mencuri kesempatan dari hukum alam yang menyatakan keduanya tak akan pernah bisa bersama.

"Berisik sekali kau." 

“Mengaku.”

“Tidak.”

"Tapi kalau boleh jujur," Maverick menggaruk belakang kepala. 

"Aku sendiri kurang suka dengan Regina." 

"Aku pun tak suka, Mave. Suaranya menyebalkan." 

"Kalau kau sih sepertinya cemburu saja." James kembali bersuara. 

"Tidak." 

“Mengaku.”

“Nope.”

Perdebatan singkat itu berakhir saat Cassie berlari kecil, menyimpan chrysanthemum yang kini berdiri sempurna di dalam botol kaca. 

Tangan kecilnya dengan hati-hati menempatkan botol kaca itu di meja tengah, memangu dagu seraya menatap lurus.

"Pappa, kenapa Uncle Alex tidak ikut kemari?" Sepasang netra hitam melempar tanya pada Maverick, dibalas senyum singkat.

Sang Ayah mengusap pucuk rambut buah hatinya, “Uncle Alex masih di pesawat, sayang.”

“Pesawat?” 

“Iya, dengan Aunty Regina.”

“Ah, tidak seru.” Anak perempuan itu mencebik, membuat Lorna bertanya-tanya sedekat apa hubungan Cassie dengan Alex sampai bocah ini terlihat sangat kecewa. 

Pikiran itu kembali ditangkis, Lorna beberapa kali menggelengkan kepala gegara tak hentinya ia disapa bayangan si pemuda. Tetiba Cassie berjalan kecil, sampai berdiri diam di depan kursi yang Lorna duduki.

“Aunty? Boleh angkat aku?”

Lorna meregangkan kedua lengan, disambut gerakan cepat dari si anak perempuan. Senyum sumringah tampak terpatri di bibir kecil, diam-diam Cassie agak ragu mengajak interaksi sang pengacara– salahkan air muka yang masih terlihat galak meskipun sudah dilemaskan.

Cassie duduk di pangkuan gadis itu dengan lengan yang memeluk leher, netra coklat dan hitam saling lempar tatap. Lorna menatap lurus, begitu juga dengan Cassie.

Tangan Cassie bergerak— telunjuknya menoel pipi tirus perempuan itu berulang kali. 

“Cassie, Honey. Jangan seperti itu.” Maverick kaget, tak biasanya sang putri bersikap demikian terhadap orang baru. Terlebih ia sendiri baru bertemu dua kali dengan Lorna, mana sempat berkata anaknya tak berkelakuan aneh. 

Lorna mengangkat kedua alis, "Kau sedang apa?”

“Hmmm,” Anak itu kembali memeluk leher, kini kepalanya menempel di bawah dagu si perempuan. 

“You’re so cool.”

Kekehan kecil keluar dari mulut putri keluarga Lehnserr, “You think?” 

“Yeah.”

Kata orang, Lorna pernah dengar, pujian yang keluar dari mulut anak kecil itu sepenuhnya jujur. Gadis itu biasanya tak merasa senang kalau mendengar kalimat memuji, karena kebanyakan memang hanya basa-basi. Kali ini Lorna melonggarkan pertahanan, benteng yang mengurung segala emosi yang ia miliki sedikit diturunkan.

James—dengan tangan jahilnya, merekam kejadian itu dan langsung mengirimkan pada sebuah nomor.

Fr: James 

Al, tak usah pulang sekalian ya :)

Kita bubar dan magang di kantor Lorna saja

Fr: Alexander

The fuck?

Dia datang?

Gitaris sangar itu diam tak bersuara, kali ini niat menjahilinya sedikit dibumbui persoalan serius. Pendapatnya tentang Alex dan Lorna tak akan berubah, makannya James coba peringatkan masing-masing dari mereka meskipun dengan cara kasar. 

Fr: James

Kemarin sewaktu memberitahu kondisimu

Mave sekalian mengundangnya

Cassie tak punya kenalan perempuan lain

Well, Alex, she sure likes her a lot

And so does he :)

Alex tak membalas. Secara tersirat, James menjodohkan Maverick dengan Lorna di depan Alex. Kalau yang ini sepertinya bisa, sobat drummer-nya itu tak pernah bermain-main dalam suatu hubungan.

“Aunty Lorna?”

“Hm?”

“Kenapa badanmu panas?”

Lorna berkedip beberapa kali, “Sepertinya efek kurang tidur. Sudah biasa."

Maverick berdiri, mengangkat badan sang putri dari pangkuan Lorna. Cassie berpindah memeluk leher sang ayah, permohonan maaf digumam pelan. 

  

  

Leon: 

Pulang. 

  

Lorna: 

kau sedang apa di ruang tamuku bodoh. 

  

Leon: 

Puuuulaaaaaaangggggg :(

Aku tak mau pulang sebelum kau pulang :(

  

Lorna: 

???

aku menginap di rumah maverick saja kalau gitu 

anaknya menyukaiku kok 

  

Leon: 

:) 

Tidak mempan :) 

Lorna mengerutkan dahi, saat James berjalan menuju dapur dengan niat mengambil minuman dingin cowok itu melewati kursi yang Lorna duduki. Si gitaris terdiam, mengintip dari samping apa yang diperhatikan gadis itu.

"Itu CCTV rumahmu?" 

"Iya," si gadis mendengus, "Ayah bersikeras memasang software yang terhubung langsung dengan CCTV rumah. Untuk proteksi lebih, banyak manfaatnya juga sih." 

"Alex sedang apa?" 

"Kau pikir aku tahu?" 

James memasang ekspresi tengil, terbukti hal yang ia katakan hampir semuanya benar. Bahwa Alex tak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang ia mau, dan Lorna seharusnya menjauh dari pertama bertemu. 

Masalahnya, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya Alex mau. Lorna juga kebingungan mencari alasan untuk meninggalkan, menolak ikuti saran James karena dengan demikian– gadis itu mengakui bahwa dirinya telah jatuh hati. 

"Mungkin dia serius." 

Semua menatap Nicholas, hening sesaat sebelum pemuda itu tersenyum tipis.

"Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Al. Tapi kurasa kita semua tahu, Alex tak pernah tak serius dengan apa yang ia kejar. Maksudku–"

"Alex tak pernah tidur dengan perempuan yang sama dua kali, begitu?" Semprot James, gemas dengan penjelasan Nicholas yang bertele-tele.

"Mhm." Nicholas bergumam, "Kupikir semua perempuan yang berniat menginginkan lebih pun selalu Alex tolak tak peduli seberapa berkesan mereka di atas ranjang."

"Tipikal." 

Lorna menjatuhkan ponselnya ke atas paha sendiri. Gadis itu tampak manis –setidaknya begitu menurut Maverick dalam hati– dengan gaun santai tak berlengan, pakaian itu menutup badan sampai atas lutut. Rambut yang biasa diikat rapi kini diurai, meski raut wajahnya tetap terlihat kasar. 

"Hey, kami bukan orang jahat." 

"Oh iya?" Lorna tersenyum ironis. 

"Mau kusebutkan daftar pelanggaran hukum perdata apa saja yang pernah kalian lakukan?" 

"Oi!" 

"Kau tahu dari mana?" 

"Dia kan pengacara, bodoh!" 

"Maaf ya, sudah jadi kebiasaanku untuk mencari tahu sebisaku saat akan berteman dengan seseorang." 

"Dasar robot." 

"I get that a lot." 

Percakapan terakhir Lorna di rumah Maverick diisi dengan sedikit kericuhan. Terutama memang karena pola pikir manusia-manusia itu terlampau jauh, Lorna yang kaku dan kasar sedikit mirip dengan Nicholas dalam hal kaku. Sementara kasar dan garang disamai oleh James, adu argumen tak bisa dihindari dalam beberapa kali kesempatan. Maverick sendiri lebih sibuk memperhatikan putrinya, sesekali Lorna mendapati laki-laki itu tersenyum sendiri saat menatap apapun yang Cassie lakukan.  

Leon is Calling .... 

"Apa sih!? Ganggu." 

'Lorna.' 

"Ah, fuck." Perempuan itu sedikit menjauhkan ponselnya rekata mulut tak kuat mengumpat.

"What is it, father?" 

'Pulang sekarang. Tak baik membuat orang lain menunggu.' 

Lorna memutar mata. Di saat-saat seperti ini sang ayah selalu bersikap pura-pura garang. Di depan tamu, di depan klien, saat acara-acara formal yang melibatkan keluarga para pejabat. Mungkin Andrew ingin memperlihatkan bahwa dirinya punya pribadi tegas, dibalut moral baik yang tak memilah orang berdasarkan relasi.

Padahal laki-laki itu juga yang mendukung Lorna untuk merebut Alex dari kekasihnya. 

"Tapiii aku sedang mengobrol dengan teman yang lain." Lirikan netra coklat menyapu ruang tamu, James mendengus geli sementara Maverick tersenyum kecil. 

Sedikit banyak ia pernah mendengar sang pengacara sulit berteman dengan orang sekitar, mungkin cairan wine tadi cukup sebagai pemancing percakapan di antara mereka.

'Pulang. Kasihan Alex menunggu dua jam.' 

Helaan nafas tak bisa ditahan, "Kenapa tak Alex saja yang pulang?" 

'Lorna.' 

"Iya ini pulang." 

Telepon dimatikan. 

"The fuuuuck, ayah saja sampai memilihnya." 

James membaringkan diri di sofa panjang sebelah Lorna, "Alex punya pesona, Nak. Selama manusia itu masih punya hati, cukup melihat dan berbicara dengan pemuda itu saja sudah membuat luluh."  

"Meh." 

Meskipun seringkali muak dengan perilaku congkak si penyanyi, baik teman maupun orang yang pernah berinteraksi pasti setuju dengan perkataan James barusan. Alex punya karisma.

*****

 

"Aw!"  

Alex mengusap kepalanya yang baru saja dijatuhi benda keras, "Kau mau membunuhku?" 

Lorna menatap jijik, "Lemah." 

Alex mendecak sebelum iris melirik sebuah buku, benda yang baru saja menyakitinya. Crime And Punishment, karya Fyodor Dostoevsky. 

"Ini ... apa?" 

Lorna memutar bola mata. Pertanyaan yang dianggap bodoh itu sebenarnya perilaku spontan saja, Alex pun tahu bahwa benda yang dilempar barusan adalah sebuah buku.

"Kau–" 

"Untukmu." 

Alex melemaskan ekspresi, "... thanks?" 

"Donasi."

Alex menggumam kata 'fuck you!' sebelum akhirnya bergeser menyisakanyempat untuk si perempuan. Lorna berjalan mengitari sofa, tas kecilnya disimpan di atas meja, badan dijatuhkan di samping si pemuda. 

"What a day." 

"Bagaimana kau tahu?" 

"Hm?" 

"Buku ini, aku sedang mencarinya." 

Alex lupa tentang percakapan tiga arah yang terjadi tempo hari. Saat dirinya dan Regina tengah bercinta, lalu Lorna masih tersambung melalui ponselnya. Tatapan lurus dilempar gadis itu sebelum akhirnya Alex teringat kembali, berdeham kecil seraya membuang pandang.

Canggung kali ini tak bisa diobati dengan topik apapun.

"Lupakan." Gumam Lorna.

Alex mengangguk pelan.

"Al," Perempuan itu berbalik, menunjukan punggungnya yang tampak lesu pada netra si pemuda.

"Kenapa?" 

"Can you ... please? I can't breathe in this thing." 

Tangan kurus itu menyampirkan rambut yang terurai ke salah satu pundak, beberapa masih jatuh menutupi resleting pakaian yang ia kenakan. Lorna bernafas berat.  

"Oh." Alex kemudian mendekat, tangannya membuka resleting gaun itu sampai ke ujung pinggang.  

"Huh, thanks." Badan sang pengacara kini sedikit lunglai, menahan postur tegak sehari penuh memang melelahkan. Apalagi Cassie beberapa kali minta digendong, bocah umur 6 tahun itu terasa berat di punggung Lorna.

Tak berhenti sampai di situ, Alex menyusupkan tangannya ke dalam pakaian yang setengah membuka. Pelan-pelan, sengaja menyentuh kulit Lorna inci demi inci. Perempuan itu menghela nafas berat, namun tak ada penolakan berarti keluar dari tubuhnya.  

Alex mengerutkan dahi saat dirasanya badan itu lebih panas dari biasanya, namun ia tak banyak berkomentar. Sisa canggung tadi masih menempel pekat di atmosfir. 

Berniat memberikan sedikit treatment, Alex menempelkan badan. Tangannya berkelana sampai buah dada, ia remas seraya menempelkan bibir pada leher jenjang. "I miss you." 

"I miss you too." Jawab Lorna setengah sadar. "In your dream." 

Alex menyapu puting yang mengeras dengan jari telunjuknya, menghasilkan rahang si perempuan yang ikut menahan tekanan. Lorna akhirnya mengerang, kepala jatuh pada bahu bidang yang terletak di belakang. Senyum nakal tak luput dari netra gelap, Alex semakin mulai menggigit pelan.

"Kau benar-benar harus diajari etika ya." 

"Mmmh wanna teach me?" 

"Pleasure." 

Lorna menepis tangan Alex, buru-buru berdiri seraya menarik si pemuda menuju kamar tidur. Nafas yang memburu menjadi pertanda sesuatu, Lorna mulai melemah. 

Pintu kamar ditutup pelan. Gaun yang setengah terbuka itu jatuh di atas lantai, Lorna berjalan menuju lemari untuk mencari pakaian bersih. Alex bersandar di pintu, netranya melihat-lihat keadaan sekitar. 

Saat Lorna berjalan mendekat, Alex menebak-nebak apa yang akan gadis itu lakukan. 

  

"Mandi." Kata si perempuan lirih, seraya berjinjit– melingkarkan tangan pada leher sang penyanyi. Alex menempatkan tangan pada pinggang yang meliuk cantik, berbagi kecupan singkat sebelum kening ikut menempel. 

"Kau demam." Seru Alex. Ia jatuh pada konklusi serta memahami apa yang sedang terjadi. Pantas saja wanita ini bersikap agak beda dari biasanya, meskipun angkuhnya tetap sama. Lorna mengerang, mengeratkan pelukan tanpa mengatakan apa-apa. 

"... lebih baik tak usah mandi." 

"Tapi badanku berkeringat." 

Alex menaikan alis, iseng menempelkan hidug pada lengan Lorna yang masih melingkar di lehernya. "Masih wangi kok." 

Lorna terkekeh geli, "Kau mau apa ke sini." 

Pemilihan kata yang digunakan terkesan kasar, apalagi nada si perempuan sudah seperti itu adanya. Namun Alex tak terlalu tersinggung, kali ini mulai terbiasa dengan tindak-tanduk mainan barunya ini. Terlebih tadu sempat berbincang dengan sang ayah, sifatnya sangat mirip. 

"Main."

Alex kemudian merasakan remasan pada kejantanannya, tahu-tahu tangan Lorna sudah berada di bawah. "Bukan yang seperti itu, sialan!" 

  

Lorna mencebik, "Pemilihan katamu saja yang jelek." 

"Kau–"  

  

"Mau menginap?" Potong Lorna tanpa melonggarkan pelukan sedikitpun.

  

"Sopan sekali memotong omongan orang lain." 

"Oh, ayolah." 

Keduanya diam di posisi itu untuk beberapa lama. Telapak kasar Alex memeluk kulit halus yang hanya berbalut pakaian dalam, pemuda itu tercenung.

 Sebelum memutuskan datang ke mansion keluarga Lehnserr, Alex berpikir berulang kali. Ia tak tahu apa keputusan ini akan berakhir baik atau buruk. Sementara kepala menduga-duga siapa saja yang ada di rumah Lorna, perasaannya ikut dihantui takut berhadapan dengan keluarga si perempuan.

Namun ternyata lelahnya berbuah manis, tak sia-sia Alex langsung tancap gas saat Regina tertidur di rumah si pemuda. Dibumbui kantuk akibat penerbangan lama, Alex disambut baik oleh ayah sang pengacara. Keduanya hanya mengobrol singkat.

Alex memasang senyum miring setelah agak lama melamun, "Tadinya hanya mau bertemu denganmu saja. Tapi karena kau sibuk, dan aku harus menunggu dua jam, jadinya sudah larut seperti ini aku masih belum pulang. Apa boleh buat." 

"Menjijikan." Lorna menjauhkan badan, sepasang mata melirik jam.

"Masih pukul sebelas. Sana pulang!" 

 

"Yasudah, aku pulang." Alex melepas lengan yang memeluk, langsung berbalik badan dan memutar kenop pintu.

"Al." Lorna kembali memeluk dari belakang. Suaranya kali ini terdengar lebih serak, Alex mengeraskan rahang. 

Mungkin efek demam yang menyebabkan wanita itu agak hilang kesadaran, atau fakta bahwa mereka tengah berada rumah Lorna– membuatnya lebih menjadi diri sendiri. 

"Lepas, aku mau pulang." 

"Tak boleh." Kini ucap si wanita lebih lirih, "Temani aku di sini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status