Meski Bimo sudah menunduk, namun tetap saja ia dapat melihat bayangan seseorang dari balik kaca mobilnya yang gelap.
"Luna," bisiknya lirih.
Selanjutnya, Bimo menginjakkan pedal gas mobilnya dalam-dalam. Mobil pun melesat cepat seperti kilat yang ingin meninggalkan bayang-bayang seseorang yang begitu anggun di mata Bimo, seanggun bidadari.
Empat puluh lima menit kemudian, akhirnya sampai juga mereka di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ternyata ini pengalaman pertama ketiganya menginjakkan kaki di tempat itu.
Sebelum keluar dari mobil, Bimo sempat menelepon seseorang.
"Jerry, kamu sudah di mana? Aku sudah sampai di bandara. Apa kamu sudah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk dokumen penting, agar aku dan dua anggota keluargaku yang lain bisa terbang ke tempat yang menjadi tujuanku saat ini?" suara Bimo jelas sekali terdengar oleh dua ora
Dengan tangannya yang mulai gemetar, Jerry menggesek layar ponselnya untuk menjawab panggilan itu. "Halo, Jer! Apa kamu sudah dapat informasi tentang suamiku?" lirih terdengar suara Luna, sepertinya ia habis menangis. Tentu saja itu membuat Jerry tak tega mendengarnya. Ia seperti berada dalam suatu dilema. "Eeemm, belum Bu!" jawab Jerry ragu. Ia usap-usap wajahnya dengan kasar menggunakan sapu tangannya, karena tiba-tiba keringat mengucur deras dari dahinya. "Kamu di mana sekarang?" Luna seperti kecewa mendengar jawaban dari orang kepercayaannya yang satu ini. "Sa-ya lagi di jalan, Bu. Seharian saya mencari keberadaan Pak Bimo." ucap Jerry dengan kebohongannya. Seperti ada beban berat yang menghimpit dadanya saat ini. Namun susah payah Jerry untuk mencampakkannya. "Ya sudah, kalau begitu," suara Luna terdengar menggantung. Lalu samb
"Bu Luna?! Bu Luna kenapa?" Bi Asih yang baru saja masuk ke dalam kamarnya, mengguncang tubuh Luna yang berteriak-teriak histeris memanggil-manggil nama kekasih hatinya itu. "Sabar Bu. Percayalah suatu hari nanti Pak Bimo pasti akan kembali," ujar Bi Asih berusaha menghibur hati sang majikan. Tapi Luna terus saja berteriak-teriak, hingga Bi Asih harus mendekapnya kencang sekali, sambil berbisik, "percayalah ada Tuhan yang akan menjaga kita, Bu!" Mendengar itu, Luna seketika terdiam. Ia ingat, Bimo pernah mengatakan itu padanya, saat ingin menenangkan dirinya dari rasa kecewa terhadap Marcel. Bi Asih senang melihat sang majikan sudah tenang. Ia pun kemudian melepas dekapannya. "Bu Luna sekarang harus makan!" "Saya tidak berselera makan, Bi!" Luna memalingkan wajahnya. "Tapi harus dipaksakan, Bu, biar nggak saki
Bimo bersama Anggita mengitari Harvard University, ada perasaan campur aduk di hati mereka. Dengan mobil sport keluaran terbarunya, Bimo dan Anggita mengitari universitas yang menjadi salah satu universitas terbaik di dunia itu. "Aku tak menyangka bisa menginjakkan kaki di sini, Kak!" Anggita dengan mata berbinarnya memuji keindahan universitas itu. "Sama seperti aku, Gita. Tapi memang seperti itulah hidup. Hidup seperti sebuah misteri. Baru kemarin kita berada di gubuk reyot, sekarang kita sudah berada di sini." Bimo tak kalah takjubnya memandang gedung yang berdiri gagah di hadapan mereka. Dalam kekaguman mereka, sebenarnya ada sebersit luka di hati keduanya. "Coba seandainya ada Luna dan Deandra-ku sayang, pastinya aku akan merasa lebih bahagia." Bimo menunduk menyapu rerumputan yang ia injak. "Hei, Kak
Bruuuukk … Luna langsung menghempaskan pintu kamar itu. Matanya mulai berkunang-kunang menyaksikan kenyataan yang ada di depan matanya barusan. "Kau tak ubahnya seperti binatang, Marcel!" Tangan kanannya ia kepalkan dan langsung mendarat ke dinding kamar Marcel. Lelaki yang semula dianggapnya sebagai kekasih terakhirnya itu, kini berubah menjadi monster yang seolah ingin membunuhnya. Lalu gadis itu berlalu dari apartemen milik sang kekasih. Kakinya terus melangkah, Luna ingin segera cepat-cepat keluar dari tempat yang memuakkan itu. Pupus sudah rencananya yang ingin memilih tanggal cantik bersama Marcel untuk hari bahagia mereka. Sosok wanita dalam selimut bersama Marcel yang dilihatnya tadi, membuat Luna tak harus menunggu lama untuk berpikir. Luna seketika itu juga membatalkan pernikahannya dengan Marcel. "Lebih cepat, lebih baik!" Diseka air mata
Bimo terpaksa menghentikan laju mobilnya. Dan menepi di bahu jalan. Bimo lalu mencoba menghentikan aksi Luna yang terlihat semakin membabi buta ingin menyakiti dirinya sendiri itu. "Mbak, coba tenang! Mbak, nggak boleh menyakiti diri sendiri, seburuk apapun masalah yang Mbak hadapi. Mbak, percayalah ada Tuhan yang selalu menjaga kita. Termasuk menjaga hati kita." Bimo membiarkan tubuhnya terkena pukulan dari Luna, saat ia berusaha menghentikan Luna yang kian mengamuk. "Bimo, di mana sebenarnya Tuhan kita? Kenapa dia tidak membantuku saat ini? Apa Dia tidak tahu kalau sebentar lagi aku akan menikah?" Luna semakin berteriak-teriak kalap. "Tuhan kita tak terlihat, Mbak. Justru, saat ini Dia sedang membantu Mbak, menunjukkan siapa sebenarnya Marcel, calon suami Mbak yang sebenarnya." Bimo terpaksa mengunci tubuh Luna dengan mendekapnya erat-erat di dadanya yang
Bimo buru-buru mengalihkan pandangannya. Bimo baru bisa bernapas lega, saat Luna mendekati, dan kali ini tubuhnya sudah tertutup pakaian lengkap. Bimo menghempaskan napasnya dengan kasar yang dari tadi sempat ia tahan. *** "Bagaimana Bimo, bisakah kamu menolongku?" "Saya?" Wajah tampan Bimo semakin membeku. Alis tebalnya terlihat kian menyatu satu sama lain, saat ia kerutkan keningnya. Hidung mancungnya berkali-kali ia seka dengan ujung jarinya. "Ya, kamu, Bimo!" Tatapan Luna kian sendu. Tak berani menatap Bimo, sopir pribadinya yang baru sebulan ini bekerja dengannya. "Saya bisa apa, Mbak? Saya tak mungkin menikahi Mbak. Saya hanya seorang sopir pribadi, dan berasal dari keluarga miskin. Bagaimana ka …" "Sudahlah Bimo, kamu bersedia membantu aku, atau tidak? Kalau kau bersedia, akan aku jamin k
Tapi itu tak mungkin, Bimo. Karena mereka terlalu sibuk dengan hidup mereka." Luna berusaha menyakinkan Bimo. Mata Bimo yang tajam seperti mata elang itu, menatap dalam-dalam kedua mata indah Luna. Membuat Luna salah tingkah, ada desiran lembut seperti menghinggapi peredaran darahnya. "Kalau begitu, saya akan lakukan ini semua demi Mbak dan bayi Mbak!" ujarnya mantap. "Jangan lagi panggil aku, Mbak!" Mata indahnya membesar. Membuat wajahnya terlihat lucu namun menggemaskan. Bimo tak tahan menatapnya, ingin ia sentuh hidung bangir itu. "Bimo, kau hanya lelaki yang disewa untuk menutupi aib gadis ini. Jadi berhentilah berpikir macam-macam!" Ada seruan dalam hatinya. "Bimo, aku janji, aku tidak akan merusak hidupmu dengan pernikahan ini. Aku tetaplah Luna yang bukan istrimu, dan kamu adalah Bimo yang bukan suamiku. Setelah
Semua para tamu yang hadir kembali bertepuk tangan. Semua seperti ikut terhanyut dalam kebahagiaan kedua mempelai. Malamnya, villa itu kembali hening. Hanya tinggal Luna dan Bimo, serta beberapa orang asisten villa saja yang ada di sana. Di kamar pengantin, Luna menghapus riasan di wajahnya, dan mencopot sanggulnya. Bimo duduk diam di sisi ranjang. Kasur empuk ranjang yang ia duduki seharusnya membuatnya nyaman, tapi ternyata saat ini tidak. Bimo hanya mampu menatap langit-langit kamar itu, seolah sedang mencari sesuatu. Dari balik cermin hias yang ada di hadapannya, Luna dengan jelas melihat kegelisahan itu. Dan jantung Luna pun tiba-tiba berdegup lebih kencang, saat ia menyadari ini adalah malam pengantinnya, malam pertama yang seharusnya indah. Malam pertama yang mampu menghangatkan dinginnya udara malam ini. Namun Luna berusaha mencampakka