LOGIN
Oeeee... oeeee... oeeee...
Tangisan bayi menggema dari kamar permaisuri, mengguncang ketenangan istana megah Kekaisaran Alam Matahari tepat di tengah siang hari. Saat itu, Sang Kaisar tengah memimpin rapat bersama para menteri dan jenderal tertinggi ketika seorang kasim berlari tergesa, membisikkan kabar gembira di telinga penguasa tertinggi itu.
Wajah Sang Kaisar seketika berubah—campuran antara kaget, gembira, dan lega. Dengan tawa yang tak bisa ditahan, ia berdiri dan berkata lantang, “Putraku telah lahir!”
Para pejabat langsung menunduk hormat, sementara Kaisar mengakhiri pertemuan tanpa menunggu lama. Langkahnya cepat, penuh semangat, menuju kediaman sang permaisuri.
“Selamat, Yang Mulia,” ucap tabib istana sambil menggendong bayi mungil yang baru lahir. “Putra pertama Anda telah lahir dengan selamat.”
Kaisar mendekat, menatap istrinya yang tampak lelah tapi tersenyum lembut. Ia menggenggam tangan sang permaisuri. “Terima kasih, istriku. Kau telah berjuang keras.”
Tabib itu berdeham pelan, suaranya bergetar penuh takjub. “Yang Mulia, tubuh sang pangeran luar biasa. Ia memiliki fisik Dewa Perang dan akar spiritual tingkat Dewa! Dalam seribu tahun, belum pernah lahir bayi seperti ini.”
Kaisar terdiam sejenak—lalu meledak dalam tawa yang menggema di seluruh ruangan. “Hahaha! Langit benar-benar memberkati Kekaisaran Alam Matahari!” Ia mengangkat bayinya tinggi-tinggi, matanya berbinar. “Istriku, kau adalah berkah terbesar dalam hidupku. Anak ini... akan menjadi penguasa semesta!”
Tanpa peduli darah dan air ketuban yang masih menempel di tubuh sang bayi, Kaisar keluar menuju podium utama istana, memperlihatkan putranya di hadapan para menteri, jenderal, dan pasukan yang berbaris rapi.
“Lihatlah!” serunya lantang. “Putra pertamaku, penerus tahta Kekaisaran Alam Matahari! Ia memiliki tubuh Dewa Perang dan akar spiritual tingkat Dewa! Ia akan menjadi penguasa seluruh alam!”
Sorak-sorai membahana.
Kaisar mengangkat bayinya dengan bangga. “Mulai hari ini, ia akan menjadi Putra Mahkota Alam Matahari. Aku menamainya Indra!”
Sorak-sorai kembali bergema, mengguncang dinding istana. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Seorang kasim tiba-tiba berlari tergopoh-gopoh dan membisikkan sesuatu di telinga Kaisar.
“Ada satu putra lagi yang lahir, Yang Mulia.”
Kaisar tertegun. “Apa...?”
Tanpa berkata banyak, ia menunduk pada para pejabat. “Tuan-tuan sekalian, aku pamit. Sang Ratu memanggilku.” Ia melangkah pergi dengan tenang, namun di matanya tersimpan campuran bingung dan was-was.
Di dalam kamar, sang permaisuri tampak pucat, kelelahan. Di sisinya, tabib kembali berlutut. “Yang Mulia, Pangeran Kedua telah lahir, namun...”
Kaisar menatap tajam. “Namun apa?”
Tabib itu menelan ludah. “Pangeran kedua... tidak memiliki akar spiritual. Ia hanya memiliki tubuh fana biasa.”
Ruangan seketika hening. Wajah Kaisar menegang. “Tidak mungkin! Aku adalah keturunan langsung Penguasa Alam. Bagaimana mungkin anakku lahir cacat seperti itu?!”
Tabib menunduk dalam. “Maaf, Yang Mulia. Tapi aku yakin... dua pangeran ini adalah berkah sekaligus ujian bagi kekaisaran.”
Sang Permaisuri langsung memotong dengan suara bergetar. “Jangan katakan anakku malapetaka! Ia lahir sehat! Aku melahirkannya dengan seluruh hidupku!”
Tabib menghela napas. “Pangeran pertama adalah karunia satu dalam sejuta tahun... namun pangeran kedua—” ia berhenti, takut melanjutkan.
Kaisar terdiam lama. Suaranya serak ketika bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”
“Membuangnya,” jawab tabib perlahan. “Jika tidak, mungkin ia akan membawa kehancuran bagi kekaisaran.”
Kata-kata itu seperti petir di dada Kaisar. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam. Sang Permaisuri menangis keras, mengguncang tubuh lemah.
Sang Kaisar berjalan keluar kamar, berdiri di bawah langit yang gelap dan penuh petir. Suaranya pelan tapi bergetar. “Langit... mengapa memberiku ujian seberat ini? Jika aku membuang putraku, aku kejam sebagai ayah. Tapi jika aku membiarkannya hidup di sini, aku egois sebagai Kaisar... apa yang harus kulakukan?”
Tabib mendekat, menunduk. “Yang Mulia, anda harus memilih antara kasih sebagai ayah... atau tanggung jawab sebagai penguasa.”
Sang Ratu, dengan sisa tenaga terakhir, berusaha merangkak ke arah suaminya. “Yang Mulia... jangan buang anak kita. Aku mohon...” air matanya jatuh membasahi lantai. “Dia sehat, hanya berbeda. Aku akan membesarkannya, mendidiknya. Kekuatan bisa dilatih. Jangan buang darah dagingmu sendiri...”
Namun Kaisar diam. Lalu berkata datar, “Kasim.”
“Daulat Tuanku,” sahut kasim.
“Panggil Menteri Perang He.”
“Laksanakan, Yang Mulia.”
Kaisar lalu menatap tabibnya. “Tabib Scribinus, bungkus pangeran kedua itu baik-baik. Ia akan dibuang jauh dari istana... dan dari alam ini.”
Tabib itu menunduk dalam. “Daulat, Yang Mulia.”
Tak lama, Menteri Perang He tiba, berlutut. “Ada perintah apa, Yang Mulia?”
Kaisar menatap tajam. “Bawa pangeran kedua jauh dari kekaisaran. Tempatkan dia di dunia fana, di antara manusia biasa.”
Menteri He terkejut. “Apa? Tapi—”
“Ini perintah,” potong Kaisar tegas. “Anak itu tak bisa berkultivasi. Aku ingin ia hidup damai di dunia yang tak mengenal kekuatan.”
Menteri He menunduk dalam-dalam. “Baik, Yang Mulia.”
Sang Kaisar melepaskan cincin penyimpanan dari jarinya dan memberikannya. “Di dalamnya ada seluruh hartaku. Berikan padanya... sebagai tanda maaf seorang ayah.”
Menteri He menerimanya dengan hormat, namun sebelum pergi, Sang Ratu memanggil lirih, “Tunggu!”
Ia memeluk bayi kecil itu erat-erat. Air matanya jatuh ke pipi mungil sang anak. “Maafkan ibumu, nak... Aku tak mampu melindungimu. Tapi ketahuilah, kau adalah cahaya dalam hidupku. Aku menamakanmu Surya, penerang dalam kegelapan...”
Ia menyerahkan bayi itu dengan tangan gemetar.
Namun Kaisar berkata dingin, “Dia bukan Surya. Namanya Sura. Sisi gelap dari Kekaisaran Alam Matahari. Pastikan dia dibuang jauh... di dunia yang tenang, di mana manusia lemah hidup damai. Titipkan dia pada keluarga tanpa keturunan. Setelah itu, kembalilah.”
“Daulat, Yang Mulia.” Menteri He berlutut, lalu pergi di bawah deras hujan, membawa bayi kecil itu menuju takdirnya.
Kaisar berdiri lama di sana. Petir membelah langit di luar jendela. Ia menutup matanya, menahan perih di dada.
“Tabib Scribinus,” panggilnya perlahan. “Rahasiakan semuanya. Jika kabar ini bocor, kekaisaran akan terguncang.”
“Baik, Yang Mulia,” jawab tabib itu dengan hormat.
Kaisar menatap dingin ke arah para dayang. “Jika satu kata saja keluar dari mulut kalian... nyawa kalian taruhannya.”
Empat dayang berlutut gemetar. “Kami paham, Yang Mulia! Kami bersumpah akan diam!”
Ratu akhirnya pingsan di pelukan pelayan, sementara Kaisar meninggalkan ruangan dengan langkah berat, menuju ruang baca istana, menatap hujan deras yang membasahi langit Alam Matahari. Dalam hatinya, ia tahu—keputusan ini akan menghantui sisa hidupnya.
Di bawah badai malam itu, Menteri Perang He melangkah menembus hujan, membawa bayi kecil bernama Sura menuju dunia fana, jauh dari gemerlap langit Kekaisaran Alam Matahari.
Di sisi lain, pertemuan resmi antara para Petinggi Immortal dengan Petinggi Klan iblis sedang berlangsung, dimana saat ini, sedang melakukan negosiasi dan menghentikan pembantaian yang dilakukan oleh mereka."Aku hampir mati karena tertawa, kalian ingin aku melepaskan orang-orang ini dan menghentikan pembantaian..?" ucap Amber sang Master Demon yang menjadi pemimpin tertinggi ras iblis surgawi saat itu."Master Demon Amber, kami belum cukup puas...!" teriak para bawahannya sedang menyiksa dan menggantung serta menguliti dan menjilati tubuh seorang gadis kultivator yang di tangan mereka."Kumohon maafkan aku..!" teriak dari wanita kultivator itu memohon dengan jeritan kesakitan kepada Iblis yang saat ini membekap kedua datangannya dan ingin menarik salah satu bagian kakinya.Para iblis tampak sangat riang dan bahagia serta ceria dengan apa yang saat ini mereka lakukan.Amber melirik sedikit ke arah bawah
--- KUIL DEWA ---Seluruh Immortal dan Para Petinggi Immortal tampak sedang berkumpul bersama, menyaksikan semua hal yang terjadi di dunia bawah. Dimana mereka terlihat seperti peserta "nonton bareng" yang menyaksikan secara langsung siaran live pembantaian keluarga mereka yang ada di dunia bawah alam manusia.Zi Min sang Raja Surgawi - Domain Immortal Suanwu, yang sudah tidak tahan dengan pembantaian itu, tanpa sengaja angkat bicara "Bisakah kita turun ke bawah..?"Raja Iblis - Tu Shi yang juga ada di sampingnya dapat mendengar hal itu sembari menyilangkan tangannya, ia kemudian angkat bicara menyahuti "Apa yang kau pikirkan, lagi pula, kau hanyalah seorang immortal tanpa 'vision'..""Kasihan sekali para semut dunia bawah itu, disaat mereka sangat putus asa, kita akan muncul sebagai penyelamat dan memperlihatkan kebaikan kita..! ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun, padahal rencana pembantaian dan penebaran fitnah
Di luar Domain, di hamparan Lautan Bintang, ribuan planet berpendar dalam cahaya beragam warna. Namun tepat di atas Benua Kuno – Planet Kuno, sebuah makhluk raksasa pelahap bintang berdiam, mengawasi dunia yang terkurung di antara rahangnya. Ia adalah penjaga segel, diletakkan di sana oleh pemiliknya—sosok yang bahkan para dewa enggan menantangnya.Langit Benua Kuno tampak seperti perisai kristal yang retak, seolah dunia sedang dikurung di dalam mangkuk kaca raksasa.“Kontinen Kuno benar-benar telah terkunci…” ucap salah satu Dewa Pure Virtue, suaranya dipenuhi keputusasaan. “Dan pada akhirnya, Jeng De tetap gagal melarikan diri ke dunia baru…”
Angin bergemuruh ketika Orb raksasa di langit terus membesar. Sinarnya berdenyut seperti jantung raksasa yang hendak meledak, memancarkan tekanan yang membuat tanah retak dan udara bergetar.Wanita Tua itu, yang sebelumnya begitu congkak, kini gemetar hebat. Para bawahannya yang tersisa berlutut ketakutan, wajah mereka pucat pasi saat He Sura melangkah mendekat dengan langkah perlahan namun menakutkan.“...Kami menyerah…! Kami hanya ingin hidup…!” teriaknya, suara penuh kepanikan dan putus asa.“Dewa dari surga terlalu kuat… Kami tak punya pilihan selain mematuhi mereka!” lanjutnya sembari membungkuk sampai dahinya hampir menyentuh tanah. “Tolong ampuni kami!”He Sura be
Seketika seluruh serangan para immortal menghilang, terserap oleh pusaran energi berwarna ungu gelap yang terbentuk di tangan He Sura. Pusaran itu berputar seperti lubang hitam yang lapar, melahap setiap mantra, setiap serangan pedang energi, setiap panah cahaya, hingga seluruh kekuatan penghancur para immortal raib tanpa jejak.Lalu…WHOOOOOOSH!!Ledakan angin keluar dari pusaran itu, menghantam seluruh immortal dengan tekanan luar biasa. Tubuh mereka bergoyang, jubah mereka berkibar liar, sebagian bahkan harus menancapkan senjata atau menyalurkan energi ke tanah supaya tidak terlempar.Semua terdiam.Semua terperangah.Semua tidak percaya.
Asap tebal yang menggulung dari ledakan sebelumnya masih menggantung di udara, menelan wujud para immortal yang tersisa. Mereka batuk, terhuyung, dan terus berusaha menembus asap dengan mata yang menyipit penuh kewaspadaan. Jantung mereka berdetak kencang, tidak tahu apakah serangan berikutnya akan datang dari depan… atau dari balik kegelapan abu yang pekat.Di tengah kabut itu, suara tenang dan dalam bergema.“Meskipun mereka telah tiada… masyarakat di dunia mana pun selalu mengagumi orang-orang seperti mereka. Yang hidup dengan kehormatan. Yang mati dengan keberanian.”Itu suara He Sura.Ia berdiri tegap, memandang Chan Si dan Yan Shi yang berlutut sambil memeluk kepala Jeng De—sosok yang begitu mereka cintai. Mata mereka masih dipenuhi air mata, tubuh gemetar, tetapi







