Beranda / Fantasi / SURA, PANGERAN TERBUANG / 2. PERJALANAN MENTERI PERANG HE

Share

2. PERJALANAN MENTERI PERANG HE

Penulis: Lampard46
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-21 19:02:16

Menteri Perang He melangkah meninggalkan istana Kekaisaran Alam Matahari dengan wajah tenang, namun di dalam dadanya bergolak badai yang sulit diredam. Tak seorang pun mengetahui kepergiannya—bahkan bawahannya yang paling setia. Ia memang tidak memiliki istri, tidak memiliki kerabat, dan tak ada siapa pun yang perlu dia pamitkan. Maka, tanpa suara, ia membawa sang pangeran kedua jauh dari dunia yang dulu ia lindungi dengan darah dan pedang.

Di luar tembok ibu kota, di bawah langit keemasan yang mulai berwarna senja, Menteri He menatap bayi mungil di dalam pelukannya. Wajah sang pangeran begitu tenang—tidur pulas tanpa tangisan, seolah dunia ini tak punya kuasa untuk mengguncangnya.

Ia tersenyum getir, lalu mencium kening bayi itu. “Pangeran kecil... kau tak perlu takut. Aku tidak akan membuangmu,” bisiknya lembut. “Mulai sekarang, aku akan menjadi ayahmu. Aku akan membesarkanmu seperti darah dagingku sendiri.”

Ia menghela napas panjang. “Kau tahu, kita berdua sama, kau dan aku. Sama-sama dibuang karena dianggap cacat. Bedanya, kau darah keturunan raja, sementara aku cuma tuan muda dari suku kecil yang terlupakan. Tapi tak apa, aku akan membawamu ke tempat yang dulu membangkitkan potensiku. Mungkin... Kuil Semesta masih mau memberiku petunjuk tentang dirimu.”

Ia menatap jauh ke depan. “Kau tidak akan jadi sampah sejarah, Pangeran. Aku bersumpah.”

Namun langkahnya terhenti. Ia menatap bayi yang masih terlelap. “Tapi... bagaimana aku membawamu ke sana? Dunia luar terlalu keras untuk tubuh sekecil ini.”

Ia menatap cincin penyimpanannya, lalu menggeleng cepat. “Tidak mungkin aku menaruhmu di dalam sana. Tidak ada udara di ruang penyimpanan. Kau bisa mati sebelum tiba...”

Ia berjalan mondar-mandir. “Harusnya ada cara lain...”

Lalu wajahnya bersinar seketika. “Ah! Aku ingat!” Ia menepuk dahi sendiri. “Guru Agung dulu mengajarkanku teknik berpindah jarak jauh! Aku hanya perlu fokus pada tempat tujuan dan menyatukan Qi-ku dengan energi alam!”

Maka ia berdiri tegap, menempelkan dua jarinya di kening kanan, memusatkan kekuatan, dan berbisik pelan, “Arahkan hatiku ke Kuil Semesta.”

Dalam sekejap—syuuut!—ia lenyap.

Beberapa detik kemudian, tubuhnya muncul kembali di tanah berbatu berlumut dengan napas tersengal. “Hah... hah... hah... gila... sungguh gila... aku lupa betapa beratnya teknik ini...”

Ia terjatuh berlutut, lalu duduk bersila, menaruh sang bayi di sampingnya di atas tanah datar. Ia meneguk eliksir pemulih dan memejamkan mata sejenak. Setelah beberapa waktu, napasnya kembali stabil.

“Sudah lama sekali aku tak ke sini,” gumamnya pelan sambil memandangi lembah itu. “Udara masih segar, energi spiritual masih sepekat dulu, dan langitnya... selalu cerah. Kalau tidak ada larangan, aku pasti tinggal di sini selamanya.” Ia tersenyum samar, lalu bangkit berdiri. “Tapi aku tidak boleh buang-buang waktu. Ayo, Pangeran. Kita ke Kuil Semesta.”


Bangunan itu menjulang di hadapannya, megah dan tak tergambarkan oleh kata. Pintu kuil berukir pola tatanan alam semesta, memancarkan aura agung yang membuat jiwa terasa kecil. Kubah-kubah emasnya memantulkan cahaya seperti bintang, sementara setiap lantainya memiliki simbol yang menggambarkan hukum dunia.

Menteri He menyalurkan Qi ke arah pintu, mengetuknya dengan cara para kultivator kuno. “Salam hormat, Kakek Kuil Yang Agung,” sapanya penuh hormat.

Suara dalam dan berat menggema dari dalam kuil, “He kecil... kau datang lagi rupanya. Ada urusan apa kali ini sampai berani membangunkanku dari tidur panjang?”

“Maafkan aku, Kakek Kuil,” jawab He dengan menunduk. “Aku tidak bermaksud mengganggu, tapi aku... membutuhkan bantuanmu.”

“Tch. Langsung saja. Waktumu tidak banyak, bukan?” Suara itu terdengar menggema lembut tapi tegas.

He menghela napas, menatap bayi di pelukannya. “Kakek Kuil... bayi ini bernasib sama denganku dulu. Dibuang karena tidak memiliki akar spiritual. Aku ingat, waktu dulu Guru Agung membawaku kemari... Kakek-lah yang membangkitkan potensi tersembunyi dalam diriku. Karena itulah aku datang lagi, memohon agar Kakek melakukan hal yang sama untuk bayi ini.”

Suara tua itu terdiam sejenak sebelum menjawab, “He kecil... aku tidak bisa membantumu.”

He terperanjat. “Apa maksudmu? Apa bayi ini benar-benar tidak punya harapan?”

Suara itu bergema lebih berat. “Aku tidak bisa... bukan berarti tidak ada harapan.”

He mengerutkan kening. “Aku... tidak mengerti, Kakek Kuil.”

“Bayi yang kau bawa itu,” jawab Kuil Semesta perlahan, “memiliki tubuh fisik tertinggi. Aku hanyalah ciptaan dari serpihan kekacauan abadi. Sedangkan dia—” suaranya menggema dalam nada hormat, “—adalah tubuh abadi kekacauan itu sendiri. Bagaimana mungkin aku, yang diciptakan dari kulitnya, berani mengubah esensinya?”

He tertegun, matanya membulat. “Tubuh... abadi kekacauan? Kau bilang... tubuh tertinggi di seluruh semesta?”

“Ya. Itulah sebabnya aku tidak layak menolongnya.”

He menatap bayi itu dengan takjub. “Lalu... apakah ada yang bisa menolongnya?”

Kuil Semesta terdiam lama, sebelum menjawab pelan, “Mungkin hanya satu. Senior Pohon Dunia. Tapi aku tak tahu apakah ia bersedia membantu.”

“Pohon Dunia?” He mengerutkan dahi. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Apa dia seperti Kakek Kuil?”

“Tidak pernah mendengar bukan berarti tidak ada. Pohon Dunia jauh lebih agung dariku. Ia menjaga keseimbangan seluruh semesta. Di setiap rantingnya tumbuh buah dunia—dan tiap buah adalah satu alam seperti yang kau tinggali.”

He menatap kosong, lalu mengangguk tegas. “Kalau begitu, aku akan pergi menemuinya.”

Namun beberapa langkah kemudian, ia berhenti, menepuk kepala sendiri sambil tertawa canggung. “Eh... Kakek Kuil, aku tidak tahu di mana tempatnya. Bisa tolong arahkan dulu?”

Kuil Semesta tertawa berat. “Hahaha! Dasar bocah konyol. Kau tidak akan bisa menemuinya. Pohon Dunia tidak berpindah tempat—jika dia bergerak, semua dunia akan runtuh.”

“Jadi bagaimana aku bisa menemuinya kalau dia tersembunyi?”

“Untuk bisa terhubung dengannya, kau harus pernah bertemu dengannya sekali saja. Tapi kau tidak pernah, bukan?”

He mengangguk lemah. “Ya. Jadi... artinya aku tidak bisa menemuinya sama sekali?”

“Hanya ada satu cara,” jawab Kuil Semesta. “Melalui aku.”

He mendengus. “Astaga... Kakek Kuil, kenapa tidak bilang dari tadi? Kepala ini hampir meledak!”

Suara tawa menggema keras. “Hahaha! Aku hanya menjawab sesuai keingintahuanmu, bocah cerewet!”

Wajah He berubah serius. Ia berlutut dalam-dalam. “Wahai Kakek Kuil Semesta Yang Agung, aku mohon... kirimlah aku untuk bertemu dengan Senior Pohon Dunia.”

Hening. Lalu pintu kuil bergemuruh, memancarkan cahaya emas lembut.

“Baiklah, He kecil. Aku akan membawamu ke sana. Semoga Pohon Dunia berkenan menyambutmu.”

“Terima kasih, Kakek Kuil,” ucap He tulus. Ia lalu melangkah masuk ke pintu yang kini bertransformasi menjadi gerbang menuju alam lain.


Cahaya menyilaukan menyambutnya. Di hadapannya berdiri sesuatu yang begitu besar, menjulang tak berujung. Batang pohon setinggi langit, memancarkan dao spiritual yang begitu murni hingga udara bergetar.

“Di mana aku...?” gumam He pelan, menengadah, matanya tak bisa menangkap ujung pohon itu.

Lalu terdengar suara tua tapi tenang, bergema lembut di sekitarnya. “Hei, bocah konyol. Apa kau yang ingin menemuiku lewat juniorku, si Kuil Semesta itu?”

He menoleh bingung. “Wahai Kakek Pohon Dunia Yang Agung... apakah kau yang berbicara?”

“Tentu saja aku. Siapa lagi di sini?”

He tertawa canggung. “Ahaha... salam hormat, Kakek Pohon Dunia Yang Agung!”

“Bocah ini... aku ada di depanmu. Kenapa memberi salam ke segala arah?”

“Maaf, Kakek Pohon, aku... tidak tahu harus melihat ke mana,” jawab He polos.

“Hahaha! Dasar menghibur. Lanjutkan, He kecil. Untuk apa kau mencariku?”

He menatap bayi dalam gendongannya. “Aku ingin meminta bantuan Kakek Pohon untuk membuka potensi bayi malang ini.”

“Kenapa begitu peduli pada bayi itu?”

He menunduk, suaranya berat. “Karena aku tahu rasanya dibuang. Bedanya, aku dibuang saat dewasa, setelah sempat merasakan kasih sayang. Tapi bayi ini... dia bahkan belum sempat memanggil ibunya.”

Suara Pohon Dunia bergema pelan. “Kau punya hati yang mulia, He kecil. Bahkan lebih baik dari ayah si bayi.”

Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Tapi ketahuilah, bayi itu bukan sampah. Ia adalah Tubuh Abadi Kekacauan yang bahkan melampaui aku. Aku, juga Kuil Semesta, tidak punya kuasa sedikit pun atas tubuhnya.”

He tertegun. “Jadi benar? Dia... tubuh abadi kekacauan?”

“Benar. Ia tidak butuh kultivasi. Kekuatan dalam dirinya akan tumbuh sendiri seiring waktu. Ia menyimpan satu triliun dantian suprame yang belum terbangkitkan.”

He menarik napas panjang. “Lalu... apa yang bisa kulakukan untuknya?”

“Rawatlah dia. Besarkan dengan cinta. Tapi hati-hati, He kecil. Jika dia tumbuh dengan kebencian, dunia ini akan runtuh di bawah langkahnya.”

He menunduk hormat. “Aku mengerti, Kakek Pohon.”

“Baik. Aku akan menanamkan esensi tubuhku ke dalam dirinya, agar tubuh fana di sekitarnya tahu kapan ia lapar, haus, atau membutuhkan perhatian. Itu akan membuatnya menangis—cara alamiah bagi makhluk kecil sepertinya untuk berkomunikasi.”

Cahaya lembut memancar dari salah satu cabang. Ujung ranting menyentuh kening bayi, dan seketika tubuh mungil itu sedikit menggeliat. Ia membuka mata sebentar, lalu kembali tertidur dengan tenang.

“Sudah selesai. Mulai sekarang, dia sepenuhnya tanggung jawabmu.”

He berlutut dalam-dalam. “Terima kasih, Kakek Pohon. Aku berjanji akan merawatnya dengan segenap hidupku.”

“Bagus,” sahut Pohon Dunia. “Sekarang pergilah. Aku akan mengirimmu ke dunia bawah, tempat paling tenang dan terpencil. Di sana, kau bisa membesarkannya tanpa gangguan.”

Ujung ranting besar menyentuh kening He, memancarkan cahaya lembut. Dalam sekejap, tubuhnya diselimuti aura hijau terang.

“Selamat jalan, He kecil,” gema suara Pohon Dunia memudar. “Rawatlah bayi itu baik-baik... karena kelak, seluruh semesta akan menggantung padanya.”

Dan dalam seberkas cahaya, Menteri He bersama sang bayi lenyap dari alam para dewa—menuju dunia bawah yang tenang dan penuh rahasia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   217. KEMAMPUAN BAWAAN

    Di sisi lain, pertemuan resmi antara para Petinggi Immortal dengan Petinggi Klan iblis sedang berlangsung, dimana saat ini, sedang melakukan negosiasi dan menghentikan pembantaian yang dilakukan oleh mereka."Aku hampir mati karena tertawa, kalian ingin aku melepaskan orang-orang ini dan menghentikan pembantaian..?" ucap Amber sang Master Demon yang menjadi pemimpin tertinggi ras iblis surgawi saat itu."Master Demon Amber, kami belum cukup puas...!" teriak para bawahannya sedang menyiksa dan menggantung serta menguliti dan menjilati tubuh seorang gadis kultivator yang di tangan mereka."Kumohon maafkan aku..!" teriak dari wanita kultivator itu memohon dengan jeritan kesakitan kepada Iblis yang saat ini membekap kedua datangannya dan ingin menarik salah satu bagian kakinya.Para iblis tampak sangat riang dan bahagia serta ceria dengan apa yang saat ini mereka lakukan.Amber melirik sedikit ke arah bawah

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   216. Kedatangan Sang Dewa Pemberontak

    --- KUIL DEWA ---Seluruh Immortal dan Para Petinggi Immortal tampak sedang berkumpul bersama, menyaksikan semua hal yang terjadi di dunia bawah. Dimana mereka terlihat seperti peserta "nonton bareng" yang menyaksikan secara langsung siaran live pembantaian keluarga mereka yang ada di dunia bawah alam manusia.Zi Min sang Raja Surgawi - Domain Immortal Suanwu, yang sudah tidak tahan dengan pembantaian itu, tanpa sengaja angkat bicara "Bisakah kita turun ke bawah..?"Raja Iblis - Tu Shi yang juga ada di sampingnya dapat mendengar hal itu sembari menyilangkan tangannya, ia kemudian angkat bicara menyahuti "Apa yang kau pikirkan, lagi pula, kau hanyalah seorang immortal tanpa 'vision'..""Kasihan sekali para semut dunia bawah itu, disaat mereka sangat putus asa, kita akan muncul sebagai penyelamat dan memperlihatkan kebaikan kita..! ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun, padahal rencana pembantaian dan penebaran fitnah

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   215. Segel Langit & Kebangkitan Iblis

    Di luar Domain, di hamparan Lautan Bintang, ribuan planet berpendar dalam cahaya beragam warna. Namun tepat di atas Benua Kuno – Planet Kuno, sebuah makhluk raksasa pelahap bintang berdiam, mengawasi dunia yang terkurung di antara rahangnya. Ia adalah penjaga segel, diletakkan di sana oleh pemiliknya—sosok yang bahkan para dewa enggan menantangnya.Langit Benua Kuno tampak seperti perisai kristal yang retak, seolah dunia sedang dikurung di dalam mangkuk kaca raksasa.“Kontinen Kuno benar-benar telah terkunci…” ucap salah satu Dewa Pure Virtue, suaranya dipenuhi keputusasaan. “Dan pada akhirnya, Jeng De tetap gagal melarikan diri ke dunia baru…”

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   214. ORB PENGHANCUR DUNIA

    Angin bergemuruh ketika Orb raksasa di langit terus membesar. Sinarnya berdenyut seperti jantung raksasa yang hendak meledak, memancarkan tekanan yang membuat tanah retak dan udara bergetar.Wanita Tua itu, yang sebelumnya begitu congkak, kini gemetar hebat. Para bawahannya yang tersisa berlutut ketakutan, wajah mereka pucat pasi saat He Sura melangkah mendekat dengan langkah perlahan namun menakutkan.“...Kami menyerah…! Kami hanya ingin hidup…!” teriaknya, suara penuh kepanikan dan putus asa.“Dewa dari surga terlalu kuat… Kami tak punya pilihan selain mematuhi mereka!” lanjutnya sembari membungkuk sampai dahinya hampir menyentuh tanah. “Tolong ampuni kami!”He Sura be

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   213. PUSARAN PEMUSNAH

    Seketika seluruh serangan para immortal menghilang, terserap oleh pusaran energi berwarna ungu gelap yang terbentuk di tangan He Sura. Pusaran itu berputar seperti lubang hitam yang lapar, melahap setiap mantra, setiap serangan pedang energi, setiap panah cahaya, hingga seluruh kekuatan penghancur para immortal raib tanpa jejak.Lalu…WHOOOOOOSH!!Ledakan angin keluar dari pusaran itu, menghantam seluruh immortal dengan tekanan luar biasa. Tubuh mereka bergoyang, jubah mereka berkibar liar, sebagian bahkan harus menancapkan senjata atau menyalurkan energi ke tanah supaya tidak terlempar.Semua terdiam.Semua terperangah.Semua tidak percaya.

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   212. PUSARAN KEMURKAAN HE SURA

    Asap tebal yang menggulung dari ledakan sebelumnya masih menggantung di udara, menelan wujud para immortal yang tersisa. Mereka batuk, terhuyung, dan terus berusaha menembus asap dengan mata yang menyipit penuh kewaspadaan. Jantung mereka berdetak kencang, tidak tahu apakah serangan berikutnya akan datang dari depan… atau dari balik kegelapan abu yang pekat.Di tengah kabut itu, suara tenang dan dalam bergema.“Meskipun mereka telah tiada… masyarakat di dunia mana pun selalu mengagumi orang-orang seperti mereka. Yang hidup dengan kehormatan. Yang mati dengan keberanian.”Itu suara He Sura.Ia berdiri tegap, memandang Chan Si dan Yan Shi yang berlutut sambil memeluk kepala Jeng De—sosok yang begitu mereka cintai. Mata mereka masih dipenuhi air mata, tubuh gemetar, tetapi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status