Beberapa pria yang sedang duduk di dermaga langsung kompak tidak berkedip begitu melihat wanita muda itu melintas di hadapan mereka. Suara heels-nya yang tidak terlalu tinggi terdengar mengetuk-ngetuk di sepanjang ia berjalan di dermaga. Wanita yang terlihat serba mahal itu menghampiri sebuah kapal mewah dengan dua layar yang sudah siap terentang. Jemy baru mendapat pesan dari kakak perempuannya dan langsung pergi ke mari untuk menyusul.
Adam masih diam menilai ketika wanita muda itu sudah berdiri di depannya. Jemy hanya mengenakan baju rajut dengan motif garis-garis cerah yang cuma sepanjang paha. Garis bahunya juga agak lebar dan sedikit menggantung miring ke samping seperti gaya orang yang malas memakai pakaian dengan benar. Kaca mata hitamnya juga lumayan besar dengan kombinasi topi pantai bermotif cerah yang cukup lebar, lumayan untuk ia bersembunyi dari sengatan matahari yang memang sedang sangat terik. Adam cuma mengingatkan agar tidak tertipu dengan tampilan menggodanya, karena dia juga masih ingat bisa segarang apa wanita itu ketika sedang murka seperti kemarin.
"Di mana Erica?" tanya Jemy karena hanya melihat Adam yang sedang duduk santai di atas dek kapalnya sambil menikmati minuman.
"Tidak ada karena memang hanya kita berdua," santai pria itu menanggapi dengan senyum sedikit licik.
"Jangan bilang kau menipuku?"
Adam hanya mengedikkan bahu dengan santai untuk membenarkan.
"Bagaimana jika kita jalan-jalan dulu sebentar, Adik Ipar." Adam sudah berdiri dan mulai memutar kemudi.
"Adam, jangan main-main. Katakan di mana Erica?" tanya Jemy sekali lagi dengan nada lebih tegas.
"Dia masih di hotel bersama ibumu."
Jemy mulai mengumpatkan berbagai makian kotor yang tidak sesuai dengan bibir merah manisnya yang mungkin juga berasa strawbery atau cherry. Tapi Jemy panik karena benda tersebut benar-benar sudah mulai bergerak meninggalkan dermaga dan jelas Adam tidak sedang main-main untuk menguji kesabarannya.
"Sepertinya udaranya cukup bagus untuk berlayar." Adam ikut mengenakan kaca mata yang tadi cuma tergantung di saku kemejanya. Jemy jadi tidak tahu pria itu sedang menyeringai licik atau justru sedang mengejeknya.
Jemy sengaja diam karena tidak mau membuat Adam besar kepala, padahal dia benar-benar sedang takut. Jemy belum pernah berlayar dan tiba-tiba kepalanya terasa pening serta agak mual berdiri di atas dek yang seolah mengayun-ngayunkan tubuhnya seperti di atas roller coaster. Sementara itu diam-diam Adam tersenyum sendiri menyaksikan gadis muda itu berpegangan erat pada tiang layar.
Karena melihat gelombang membuat Jemy semakin mual jadi lebih baik ia menutup mata saja dan pasrah jika pun kapal yang mereka tumpangi bakal terbalik karena Adam memang benar-benar tipe pria ugal-ugalan. Dia membawa kapalnya menukik dan membelah gelombang seolah dirinya Kapten Jack Sparrow yang tidak takut mati.
Jemy baru kembali berani membuka matanya begitu merasakan benda itu telah benar-benar berhenti. Tadinya dia pikir mereka sudah kembali ke dermaga tapi ketika ia membuka mata ternyata dia justru tidak bisa melihat daratan sama sekali. Mereka berada di tengah lautan. Ombaknya memang lebih tenang setelah berada di tengah, tapi tetap saja mengerikan jika ingat mereka sedang jauh dari pun dan hanya berdua.
Jemy segera kembali melihat ke arah Adam. "Apa maumu?"
"Aku tidak akan mengembalikanmu ke daratan sebelum kau mau berjanji!"
Jemy langsung tahu apa kemauan pria brengsek itu." Jangan pikir kau bisa menakut-nakutiku, aku tetap akan membongkar perselingkuhan kotormu!"
"Memangnya apa masalahnya? itu hanya ciuman dan aku akan menikahi saudarimu." Adam sudah berjalan mendekatinya.
"Kau memang pria brengsek!"
"Aku juga pernah mencium Gigi Hadid dan dia tidak masalah."
"Oh, luar biasa. Aku cuma heran bagaimana kakakku yang cerdas itu bisa menyukai pria sepertimu."
"Apa kau tidak lihat aku tampan dan kaya," kata Adam sambil merentangkan lengannya dengan sok pongah untuk membuat wanita di depannya semakin kesal meski tujuanya untuk bercanda.
"Jangan besar kepala, karena saudariku bisa mendapatkan pria yang puluhan kali lebih baik darimu!"
"Ya, saudarimu memang cantik, cerdas, dan berhati mulia. Karena itu aku tidak mau keisenganmu mengacaukan segalanya."
Belum selesai mereka berdebat tiba-tiba seekor burung terbanting jatuh di depan Jemy, tepat di ujung tumit sepatu Louboutin bersol merah yang sedang dia pakai. Jemy segera melompat kaget karena burung tersebut ternyata masih hidup dan segera mengepakkan sayap kecilnya lagi untuk berusaha terbang meskipun masih agak limbung.
"Bagaimana ada burung jatuh seperti itu?" heran Jemy melihat Adam yang malah sudah mendongak ke arah layar.
"Dia terbentur layar." Adam masih nampak berpikir serius. " Seharusnya sudah tidak ada burung di sini."
Adam benar karena mereka sudah jauh dari daratan, kecuali ada yang membawa burung tersebut tersesat sampai kemari. Dan benar saja karena tak lama suara udara mulai berdesing dan tali layar mereka berderik menegang.
"Sial!" umpat Adam segera buru-buru berusaha menurunkan layar tapi sepertinya Jemy belum sepenuhnya paham dengan kepanikan pria itu sampai tiba-tiba badai mulai datang dengan cepat. Awan seketika menjadi gelap dan udara seperti berpusar-pusar diikuti gelombang tinggi yang mulai membuat kapal mereka bergoncang miring.
"Masuk ke dalam!" triak Adam tapi Jemy masih bingung karena melihat pria itu kesusahan menurunkan layar, sebenarnya dia ingin membantu tapi tidak tahu bagaimana caranya sementara kapal mereka sudah semakin terseret badai yang sedang menggila. Jemy sama sekali tidak tahu jika di tengah lautan cuaca bisa berubah tiba-tiba seperti ini. Udara semakin berdesing-desing menyakiti mata dan telinga. Semua yang ada di atas dek juga sudah porak -poranda beterbangan termasuk topi lebarnya. Kursi lipat yang tadi diduduki Adam juga sudah melayang entah ke mana. Mungkin jika Jemy tidak erat-erat berpegangan diapun akan segera terlempar karena kapal mereka mulai miring tidak seimbang. Adam sudah meneriakinya beberapa kali untuk masuk ke dalam kabin tapi Jemy sudah tidak bisa menyimak apa pun yang pria itu katakan karena suara gemuruh dari badai menenggelamkan suaranya.
Adam menyerah karena sepertinya memang sudah tidak bisa menurunkan layar, sudah tidak sempat lagi. Dia melepaskan tali yang sudah setengah ia uraikan kemudian lari untuk menyeret Jemy dan mendorongnya masuk ke dalam kabin. Kapal mereka semakin miring dan air mulai masuk ke dalam kabin. Adam berusaha menutup pintu cepat-cepat tapi tetap saja airnya merembas masuk.
"Aku tidak mau mati bersamamu!" kata Jemy menatap marah pada Adam yang baru menutup pintu di belakangnya.
Suara deburan ombak seperti menghantam dek dan lambung kapal, benda itu ikut berputar miring dan mungkin mereka memang akan mati. Semua benda di dalam ruangan sempit itu sudah berjatuhan ikut bergeser ke kanan dan ke kiri bersamaan dengan tubuh mereka yang pasti sudah terbentur jika tidak berpegangan kuat-kuat. Air dari luar mulai merembas masuk melalui pintu dan cela. Tangan Jemy sudah kebas berpegangan karena sudah hampir dua jam dan badai belum juga berhenti menguncang-guncangkan kapal mereka dan justru suaranya semakin mengerikan.
"Sungguh Adam, jika aku sampai mati di sini akan kukejar kau sampai ke neraka!"
Jemy mulai menggigil karena badan mereka berdua sudah terendam sebatas pinggang.
"Aku juga belum menikahi saudarimu, aku belum mau mati."
Pria itu memang tetap menyebalkan meskipun sudah hampir mati.
Satu jam kemudian suara angin yang berdesing-desing itu mulai mereda dan kapal mereka mulai kembali tenang.
"Sepertinya kita belum mati," kata Adam sambil melihat melalui jendela bulat di dinding kabin.
"Sebaiknya kau pastikan dulu!"
Jelas mereka sama-sama mendengar benturan keras di atas dek kapal dan entah apa yang suaranya sampai seperti ledakan itu tadi.
Badai sudah benar-benar reda dan awan sudah kembali cerah ketika Adam membuka pintu kabin untuk keluar.
Alangkah terkejutnya mereka berdua mendapati tiang layar yang sudah ambruk patah terseret di sisi lambung kapal dengan layar yang terlilit-lilit dan koyak.
"Apa kita bisa pulang?" tanya Jemy menyadari mereka hanya berdua di atas kapal yang sudah hancur dan terombang-ambing di tengah samudra Pasific."Aku juga tidak tahu," jawab Adam terdengar bodoh.Mereka sama sekali tidak melihat daratan dan mungkin masih akan terus terombang-ambing tanpa tahu akan dibawa ke mana karena mesin kapal juga mati dan tanpa layar. Semua alat navigasi juga tidak ada yang berfungsi setelah terendam air."Semua ini karena perbuatanmu!" tuding Jemy mengunakan jari telunjuknya yang masih bercat kuku cantik."Semoga ada yang segera menemukan kita.""Berdoalah sering-sering kalau begitu!" Jemy bensar-benar kesal.
Sudah beberapa jam mereka menunggu tapi masih belum juga terjadi apa-apa. Berulang kali Jemy mendongak ke angkasa dan yang dia lihat hanya lalu lalang burung camar yang mulai seperti mengejek mereka dengan ocehannya."Mungkin tidak ada jalur penerbangan yang melintas di sini," kata Adam dan Jemy langsung buru-buru menoleh padanya."Oh, sial sekali hidupku karena bertemu denganmu.""Sebaiknya kita nikmati saja dulu pantainya, lihatlah ini pulau yang indah!" saran Adam terdengar sinting."Terserah kau saja!" Jemy memilih berdiri karena bosan cuma duduk dan menunggu.Adam memang benar mengenai pulaunya yang indah dan berpasir putih seperti surga. Pohon-p
"Sekarang pikirkan bagaimana kita bisa meminum airnya jika seperti ini?"Adam sudah membolak-balik buah tersebut dan sama sekali tidak tahu dari mana dia harus mulai membukanya karena yang dia tahu biasanya hanya tinggal menusuk sedotan. Sementara itu Jemy sepertinya juga belum pernah mengupas kelapa. Nampaknya mereka berdua harus berpikir keras lagi karena tidak mungkin jika mereka harus menggigiti kulit kelapa yang sudah setengah tua.Jemy kembali berdiri untuk mengais sampah-sampah yang tersangkut di bibir pantai coba menemukan apa saja yang kira-kira bisa mereka gunakan untuk membuka kelapa. Kadang Jemy juga putus asa bagaimana mereka bisa bertahan hidup jika seperti ini, bahkan pisau kecil pun mereka tidak punya."Coba pakai ini." Jemy membawa sebatang kayu
Pakaian mereka sudah kering, Adam juga baru saja selesai mengikat lagi tali sepatunya dan memakai kembali kemeja yang baru dikembalikan Jemy."Jam berapa sekarang?" taya Jemy melirik jam tangan di pergelangan tangan Adam."Hampir jam dua belas." Jawab Adam masih sambil duduk di batang kayu besar yang sudah tidak berkulit."Pantas perutku sangat lapar."Sebenarnya Adam juga lapar cuma dia diam saja dan benar-benar diam tidak berusaha berbuat apa-apa."Kita akan segera mati jika hanya diam saja seperti ini."Dari tadi mereka memang hanya duduk di pinggir pantai memandangi ombak sampai mereka mulai
"Sebenarnya rasanya tidak terlalu buruk, tapi ini agak pahit," kata Adam setelah coba makan beberapa."Mungkin karena kita tidak membuang kotorannya.""Oh, Tuhan! jadi aku makan kotoran kerang!" Mata pria itu langsung melebar syok sambil buru-buru meludahkan apa yang sudah berada di mulutnya dan kumur-kumur dengan air kelapa."Dan juga arang," tambah Jemy berlagak santai padahal dia sendiri juga agak merinding ketika harus memakannya. "Mungkin lain kali kita merebusnya saja.""Sungguh aku jadi tidak ingin makan jika belum benar-benar kelaparan." Adam berhenti untuk memandangi makanannya dengan ngeri."Kita perlu makan untuk hidup bukan untuk memanjakan lidah, anggap saja begitu."
"Kenapa kau melihatku seperti itu!""Kau jelek jika menangis.""Apa pedulimu, kau yang sudah membuat hidupku jadi sial seperti ini!"Sebenarnya Jemy sudah ingin menangis sejak kemarin-kemarin, tapi dia selalu berusaha menahannya karena tidak suka di anggap rewel dan lemah tapi kali ini sepertinya dia sudah benar-benar tidak tahan lagi. Masa bodoh jika sedang ingin menangis harusnya menangis saja karena ini memang sudah keterlaluan."Entah apa yang sedang dipikirkan keluargaku sekarang." Jemy mulai bingung karena ternyata benar-benar kerepotan untuk kembali menghapus air matanya dengan kedua tangan penuh tanah."Sudah, kemari." Adam menarik Jemy dengan lengannya membiarkan gadis
Adam memamerkan jaring ikan yang dia dapat dari bibir pantai. Walau sudah rusak menurutnya itu masih bisa digunakan untuk menangkap ikan karena dia tidak mau di suruh makan kerang dan siput laut lagi. "Sepertinya menangkap ikan juga tidak semudah melempar jala ke laut," ragu Jemy yang memang pesimis jika pria macam Adam tahu cara menangkap ikan. "Jangan meremehkanku!" Adam segera pergi membawa jaring yang tadi sudah sempat sedikit dia benahi itu untuk menangkap ikan atau sekedar keras kepala ingin membuktikan jika dia bisa. Sudah hampir setengah hari Jemy ikut meringis silau menyaksikan hamparan pasir putih dan tubuh Adam dari kejauhan yang pastinya sudah terpanggang matahari. Kulit pria itu terlihat semakin coklat kemerahan karena semakin jarang mau memakai pakaian lagi di siang ha
Jemy masih berjemur sambil menyaksikan gumpalan awan tipis di langit yang sedang cerah. Seperti biasa kicauan burung camar terdengar ribut berlalu lalang terbang di atasnya. Adam sudah pergi ke pantai untuk coba menombak ikan hiu. Jemy hanya sesekali mendengar pria itu mengumpat kesal, dan malah ingin tertawa jika melirik beberapa ranting kering yang sudah Adam jemur untuk membuat api jika dirinya berhasil mendapatkan tangkapan.Mereka berdua sama-sama belum makan dari pagi. Jemy hanya minum air kelapa dan memakan sekalian daging kelapa mudanya. Gadis itu pikir mereka memang tidak akan makan sepanjang hari ini. Sampai tiba-tiba Adam berteriak jika dirinya berhasil menangkap ikan dan segera membawanya lari untuk di pamerkan.Bukan hiu tapi semacam ikan karang dengan sirip hampir seperti monster dan gigi meringis mengerikan. Adam ju