Share

BAB 4 ORANG TUA SUSAN

"Bangun. Susan! tau aku akan menciummu! "

'Sial!'

Aku segera terkesiap bangun karena mengira benar-benar ada pria di dekat wajahku. Aku sempat melihat ke sekeliling sebentar dan berharap hidupku akan kembali normal, sampai kemudian kudengar lagi suara Eric dari dalam kepalaku.

"Kapan kau akan enyah dari kepalaku!"

"Akhirnya kau kembali bicara," ejeknya dengan cukup puas.

Sepertinya hari masih pagi dan aku sudah kembali dibuat kesal.

"Bisakah kau menyingkir sejenak, aku butuh waktu untuk menjalani rutinitas pagiku." Bagaimanapun aku perlu mandi dan ke toilet.

"Kau tahu aku tidak bisa ke mana-mana," kelit Eric.

"Oh, yang benar saja! Aku tidak mau kau ikut lagi ke kamar mandi! "

"Memangnya kenapa? aku biasanya melakukan semua itu untukmu."

Kujatuhkan lagi wajahku ke atas bantal karena kesal dan malu yang luar biasa.

"Cepat Susan, karena kita juga masih harus bicara."

"Aku tidak mau!" tolakku dengan tegas.

"Tolong jangan merepotkan dirimu sendiri."

"Aku tidak akan kemana-mana jika kau tidak menyingkir!"

"Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak bisa! " tegas Eric yang mungkin lama-lama ikut jengkel juga karena aku masih belum mau bergeming dari atas tempat tidur.

"Biarkan aku mati saja, Eric! Aku tidak mau hidup seperti ini!"

"Kau ingin apa?" tantang Eric, "mencekik lehermu sendiri untuk mengakhiri hidup kita berdua? atau menengelamkan diri di bak mandi?"

"Tidak ada kita! " tolakku. "Ini tubuhku, ini hidupku, dan kau hanya numpang di sini! sama sekali tidak berhak berpendapat apa lagi mengaturku!"

"Coba saja lakukan sendiri!" tantangnya, dan tiba-tiba aku sudah bangkit untuk berjalan ke kamar mandi.

"Hentikan, Eric! "

Eric yang membawa tubuhku bergerak dan aku tidak bisa mencegahnya di aterlalu kuat dan terlalu mengauasaiku.

"Aku tidak mau ke kamar mandi denganmu!" salah satu tanganku berhasil berpegangan di kusen pintu tapi kakiku terus melangkah maju seperti di seret setan yang tidak kelihatan. Kami sudah mirip dua orang yang saling tarik menarik dan aku tahu akan tetap kalah menghadapinya.

Tiba-tiba aku sudah berdiri di depan wastafel untuk menggosok gigiku dengan perasaan kesal yang luar biasa. Aku tidak tahu apa yang dirasakan Eric tentang perasaannya, karena sepertinya dia hanya memiliki kepala dan tubuhku 'tapi tidak memiliki hatiku!'. Aku simpan satu kutipan itu 'Eric tidak bisa menguasai hatiku!'

Karena kalau tidak, pasti dia juga sudah mengendalikannya juga dan membuatku menyukainya dengan suka rela tanpa perlu perdebatan seperti ini. Sepertinya aku mulai sedikit menemukan celah, dan semoga bisa berguna jika aku bisa menemukan lebih banyak organ tubuhku yang  masih lebih loyal padaku.

Kulanjutkan menggosok gigiku sambil melihat pantulan wajahku sendiri di depan cermin. Aku masih sama seperti pagi-pagi biasa saat aku bangun sebelum ada Eric Northman di dalam kepalaku.

Kuingat-ingat lagi poinnya, 'Aku tidak boleh percaya padanya! dan aku tidak boleh kalah darinya!' kutegaskan ikrar itu berulang kali.

Kuraih gelas untuk mengambil air berkumur, kemudian aku langsung berjalan ke bawah shower tanpa melepas satupun pakaianku. Aku tahu Eric coba mengkritik cara mandiku.

"Jangan ikut campur, diamlah saja dan jangan sekali-sekali menggangguku di area ini!"

Dia tidak menjawab apa-apa jadi kuanggap saja dia setuju. 'Kamar mandi adalah privasiku yang tidak bisa diganggu!'

Setelah selesai kusambar handuk dan kulepas pakaian basahku satu-persatu dari dalam handuk yang sudah kulilitkan ke seluruh tubuh. Aku tahu ini sangat merepotkan tapi lumayan membuatku sedikit nyaman walau aku tidak tahu bagai mana dulu biasanya Eric memandikan tubuhku. Aku hanya bisa berusaha tidak memikirkan sesuatu yang tidak dapat kuingat. Terserah kalaupun dulu dia menelanjangiku. Karena selama aku tidak ingat seharusnya aku tidak perlu malu.

"Sebenarnya kau tidak perlu serepot itu jika mau menutup matamu!" terdengar suara Eric mengkritik caraku yang kurang efisien.

"Jadi kau menutup mata saat mandi dua tahun ini?"

Aku akan coba menghargainya jika itu benar.

"Kadang," jawabnya enteng.

Aku segera mendengus dan benar-benar menyesal karena sempat hampir mempercayainya.

"Terkadang aku tidak punya cukup waktu utuk menutup mataku dan harus mondar-mandir di kamar mandi mengurusimu," kilahnya tapi aku sudah tidak mau percaya, karena semua laki-laki pasti sama saja.

Aku keluar dan segera mencari pakaianku di lemari, kuharap dia juga tidak akan ikut campur.

"Yang merah," katanya ketika aku baru akan membuka laci pakaian dalamku.

Bibirku langsung berdesis,"Tutup mulutmu!" segera kututup juga laci tersebut dan mengambilnya dengan tanganku tanpa perlu melihat.

Aku tahu dia hanya coba membuatku kesal.

"Jangan macam-macam, Eric!" Aku mengingatkan agar dia tidak berpikiran kotor.

Kututup mataku saat mulai melepas handuk dan cepat-cepat memakai pakaian dalamku. Aku tahu ini konyol, tapi apa kalian pikir aku punya pilihan lain?

Aku buru-buru menyelesaikan ritual pagiku karena aku ingin segera pergi untuk mengunjungi rumah ibuku.

Baru saja aku keluar dari kamar Eric sudah menarikku ke pantry.

"Apa, yang kau lakukan?"

"Kita makan dulu."

"Aku mau kerumah ibuku nanti bisa makan di sana."

Eric menggeleng dengan kepalaku.

"Tidak, aku tidak bisa makan sembarangan."

"Ini tubuhku aku yang lebih tahu!" lama-lama aku semakin jengkel dengan orang satu ini.

"Kita juga harus bicara dulu! " tegasnya.

"Nanti saja itu bisa ditunda, aku mau mengunjungi orang tuaku dulu!" tegasku yang juga tidak mau kalah.

"Tidak. kita harus bicara dulu!"

Karena kesal, kulempar sendok dari tangannya, dan dia marah kemudian menekan tanganku ke atas meja.

"Atau kita tidak akan pergi kemana pun!" ancamnya.

Aku berpaling untuk menggigit bahuku, walaupun kami sama-sama sakit paling tidak aku masih sempat membalas sebelum kemudian dia juga mengunci mulutku.

"Hentikan, Susan! Kita tidak akan berhasil jika terus seperti ini."

"Aku hanya ingin tahu kabar orang tuaku!" teriakku, "apa kau peduli?"

Eric tidak menjawab.

"Sudah hampir dua tahun aku tidak melihat mereka dan sekarang kau mengajakku berdebat untuk hal sepele tentang menu sarapan pagimu!"

Sepertinya Eric masih diam dan aku tidak perduli.

"Lepaskan tanganku!"

Kurasakan tanganku yang semula kaku mulai merileks.

"Tolong jangan ikut campur, kali ini saja," kataku sebelum berdiri untuk mengambil tas tanpa mengambil kunci mobil.

"Kau mau pergi dengan apa?" protes Eric seolah dia mengekor di belakangku.

"Lebih baik aku naik taksi dari pada mengendarai gerobak bajamu!"

Akhirnya Eric diam, dan masih diam sampai aku duduk di dalam taksi.

"Kapan kau terakhir bertemu ibuku?"

"Mungkin dua bulan lalu."

"Kau keterlaluan!" sedangkan dulu aku pasti mengunjunginya setiap minggu.

Akhirnya aku sampai di rumah ibuku yang terlihat sepi dan semua jendelanya masih tertutup padahal ini sudah siang.

"Kemana mereka?"

"Aku tidak tahu."

Kupikir Eric memang tidak pernah peduli dengan orang tuaku jadi aku malas untuk bertanya lagi padanya.

Aku berlari menyebrangi halaman untuk bertanya pada tetangga di depan rumah.

"Apa, Bibi tahu kemana orang tuaku?"

"Kau Susan, kan?"

"Ya, Bibi aku, Susan."

"Kau lama tidak kelihatan."

"Aku bekerja di luar kota, Bibi," aku berbohong.

"Pantas sepertinya ibumu sering merindukanmu."

Mungkin nanti aku akan membuat perhitungan dengan Eric perihal ini, dia benar-benar keterlaluan!

"Oh ya, apa Bibi tahu kemana orang tuaku pergi?"

"Mungkin mereka belum kembali dari kampung, karena tempo hari kalau tidak salah ada keluarga kalian yang meninggal, apa mereka tidak memberitahumu?"

"Terimakasih, Bibi," kurasa sudah cukup dan aku segera pergi tanpa perlu menjawab pertanyaannya tadi.

Aku benar-benar hanya ingin marah kepada Eric, bisa-bisanya dia tidak menghiraukan perasaan orang tuaku sama sekali.

"Aku tidak tahu kau ini manusia atau apa, sampai tidak punya hati sama kali!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status