"Bangun. Susan! tau aku akan menciummu! "
'Sial!'
Aku segera terkesiap bangun karena mengira benar-benar ada pria di dekat wajahku. Aku sempat melihat ke sekeliling sebentar dan berharap hidupku akan kembali normal, sampai kemudian kudengar lagi suara Eric dari dalam kepalaku."Kapan kau akan enyah dari kepalaku!"
"Akhirnya kau kembali bicara," ejeknya dengan cukup puas.
Sepertinya hari masih pagi dan aku sudah kembali dibuat kesal.
"Bisakah kau menyingkir sejenak, aku butuh waktu untuk menjalani rutinitas pagiku." Bagaimanapun aku perlu mandi dan ke toilet.
"Kau tahu aku tidak bisa ke mana-mana," kelit Eric.
"Oh, yang benar saja! Aku tidak mau kau ikut lagi ke kamar mandi! "
"Memangnya kenapa? aku biasanya melakukan semua itu untukmu."
Kujatuhkan lagi wajahku ke atas bantal karena kesal dan malu yang luar biasa.
"Cepat Susan, karena kita juga masih harus bicara."
"Aku tidak mau!" tolakku dengan tegas.
"Tolong jangan merepotkan dirimu sendiri."
"Aku tidak akan kemana-mana jika kau tidak menyingkir!"
"Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak bisa! " tegas Eric yang mungkin lama-lama ikut jengkel juga karena aku masih belum mau bergeming dari atas tempat tidur.
"Biarkan aku mati saja, Eric! Aku tidak mau hidup seperti ini!"
"Kau ingin apa?" tantang Eric, "mencekik lehermu sendiri untuk mengakhiri hidup kita berdua? atau menengelamkan diri di bak mandi?"
"Tidak ada kita! " tolakku. "Ini tubuhku, ini hidupku, dan kau hanya numpang di sini! sama sekali tidak berhak berpendapat apa lagi mengaturku!"
"Coba saja lakukan sendiri!" tantangnya, dan tiba-tiba aku sudah bangkit untuk berjalan ke kamar mandi.
"Hentikan, Eric! "
Eric yang membawa tubuhku bergerak dan aku tidak bisa mencegahnya di aterlalu kuat dan terlalu mengauasaiku.
"Aku tidak mau ke kamar mandi denganmu!" salah satu tanganku berhasil berpegangan di kusen pintu tapi kakiku terus melangkah maju seperti di seret setan yang tidak kelihatan. Kami sudah mirip dua orang yang saling tarik menarik dan aku tahu akan tetap kalah menghadapinya.
Tiba-tiba aku sudah berdiri di depan wastafel untuk menggosok gigiku dengan perasaan kesal yang luar biasa. Aku tidak tahu apa yang dirasakan Eric tentang perasaannya, karena sepertinya dia hanya memiliki kepala dan tubuhku 'tapi tidak memiliki hatiku!'. Aku simpan satu kutipan itu 'Eric tidak bisa menguasai hatiku!'
Karena kalau tidak, pasti dia juga sudah mengendalikannya juga dan membuatku menyukainya dengan suka rela tanpa perlu perdebatan seperti ini. Sepertinya aku mulai sedikit menemukan celah, dan semoga bisa berguna jika aku bisa menemukan lebih banyak organ tubuhku yang masih lebih loyal padaku.
Kulanjutkan menggosok gigiku sambil melihat pantulan wajahku sendiri di depan cermin. Aku masih sama seperti pagi-pagi biasa saat aku bangun sebelum ada Eric Northman di dalam kepalaku.
Kuingat-ingat lagi poinnya, 'Aku tidak boleh percaya padanya! dan aku tidak boleh kalah darinya!' kutegaskan ikrar itu berulang kali.
Kuraih gelas untuk mengambil air berkumur, kemudian aku langsung berjalan ke bawah shower tanpa melepas satupun pakaianku. Aku tahu Eric coba mengkritik cara mandiku.
"Jangan ikut campur, diamlah saja dan jangan sekali-sekali menggangguku di area ini!"
Dia tidak menjawab apa-apa jadi kuanggap saja dia setuju. 'Kamar mandi adalah privasiku yang tidak bisa diganggu!'
Setelah selesai kusambar handuk dan kulepas pakaian basahku satu-persatu dari dalam handuk yang sudah kulilitkan ke seluruh tubuh. Aku tahu ini sangat merepotkan tapi lumayan membuatku sedikit nyaman walau aku tidak tahu bagai mana dulu biasanya Eric memandikan tubuhku. Aku hanya bisa berusaha tidak memikirkan sesuatu yang tidak dapat kuingat. Terserah kalaupun dulu dia menelanjangiku. Karena selama aku tidak ingat seharusnya aku tidak perlu malu.
"Sebenarnya kau tidak perlu serepot itu jika mau menutup matamu!" terdengar suara Eric mengkritik caraku yang kurang efisien.
"Jadi kau menutup mata saat mandi dua tahun ini?"
Aku akan coba menghargainya jika itu benar."Kadang," jawabnya enteng.
Aku segera mendengus dan benar-benar menyesal karena sempat hampir mempercayainya.
"Terkadang aku tidak punya cukup waktu utuk menutup mataku dan harus mondar-mandir di kamar mandi mengurusimu," kilahnya tapi aku sudah tidak mau percaya, karena semua laki-laki pasti sama saja.
Aku keluar dan segera mencari pakaianku di lemari, kuharap dia juga tidak akan ikut campur.
"Yang merah," katanya ketika aku baru akan membuka laci pakaian dalamku.
Bibirku langsung berdesis,"Tutup mulutmu!" segera kututup juga laci tersebut dan mengambilnya dengan tanganku tanpa perlu melihat.
Aku tahu dia hanya coba membuatku kesal."Jangan macam-macam, Eric!" Aku mengingatkan agar dia tidak berpikiran kotor.Kututup mataku saat mulai melepas handuk dan cepat-cepat memakai pakaian dalamku. Aku tahu ini konyol, tapi apa kalian pikir aku punya pilihan lain?
Aku buru-buru menyelesaikan ritual pagiku karena aku ingin segera pergi untuk mengunjungi rumah ibuku.
Baru saja aku keluar dari kamar Eric sudah menarikku ke pantry.
"Apa, yang kau lakukan?"
"Kita makan dulu."
"Aku mau kerumah ibuku nanti bisa makan di sana."
Eric menggeleng dengan kepalaku.
"Tidak, aku tidak bisa makan sembarangan."
"Ini tubuhku aku yang lebih tahu!" lama-lama aku semakin jengkel dengan orang satu ini.
"Kita juga harus bicara dulu! " tegasnya.
"Nanti saja itu bisa ditunda, aku mau mengunjungi orang tuaku dulu!" tegasku yang juga tidak mau kalah.
"Tidak. kita harus bicara dulu!"
Karena kesal, kulempar sendok dari tangannya, dan dia marah kemudian menekan tanganku ke atas meja.
"Atau kita tidak akan pergi kemana pun!" ancamnya.
Aku berpaling untuk menggigit bahuku, walaupun kami sama-sama sakit paling tidak aku masih sempat membalas sebelum kemudian dia juga mengunci mulutku.
"Hentikan, Susan! Kita tidak akan berhasil jika terus seperti ini."
"Aku hanya ingin tahu kabar orang tuaku!" teriakku, "apa kau peduli?"
Eric tidak menjawab.
"Sudah hampir dua tahun aku tidak melihat mereka dan sekarang kau mengajakku berdebat untuk hal sepele tentang menu sarapan pagimu!"
Sepertinya Eric masih diam dan aku tidak perduli.
"Lepaskan tanganku!"
Kurasakan tanganku yang semula kaku mulai merileks."Tolong jangan ikut campur, kali ini saja," kataku sebelum berdiri untuk mengambil tas tanpa mengambil kunci mobil.
"Kau mau pergi dengan apa?" protes Eric seolah dia mengekor di belakangku.
"Lebih baik aku naik taksi dari pada mengendarai gerobak bajamu!"
Akhirnya Eric diam, dan masih diam sampai aku duduk di dalam taksi.
"Kapan kau terakhir bertemu ibuku?"
"Mungkin dua bulan lalu."
"Kau keterlaluan!" sedangkan dulu aku pasti mengunjunginya setiap minggu.
Akhirnya aku sampai di rumah ibuku yang terlihat sepi dan semua jendelanya masih tertutup padahal ini sudah siang.
"Kemana mereka?"
"Aku tidak tahu."
Kupikir Eric memang tidak pernah peduli dengan orang tuaku jadi aku malas untuk bertanya lagi padanya.
Aku berlari menyebrangi halaman untuk bertanya pada tetangga di depan rumah.
"Apa, Bibi tahu kemana orang tuaku?"
"Kau Susan, kan?"
"Ya, Bibi aku, Susan."
"Kau lama tidak kelihatan."
"Aku bekerja di luar kota, Bibi," aku berbohong.
"Pantas sepertinya ibumu sering merindukanmu."
Mungkin nanti aku akan membuat perhitungan dengan Eric perihal ini, dia benar-benar keterlaluan!
"Oh ya, apa Bibi tahu kemana orang tuaku pergi?"
"Mungkin mereka belum kembali dari kampung, karena tempo hari kalau tidak salah ada keluarga kalian yang meninggal, apa mereka tidak memberitahumu?"
"Terimakasih, Bibi," kurasa sudah cukup dan aku segera pergi tanpa perlu menjawab pertanyaannya tadi.
Aku benar-benar hanya ingin marah kepada Eric, bisa-bisanya dia tidak menghiraukan perasaan orang tuaku sama sekali.
"Aku tidak tahu kau ini manusia atau apa, sampai tidak punya hati sama kali!"
Akhirnya Sidney mengalah dan setuju untuk menjemput putra Paris. Selama ini anak itu tinggal bersama pengasuh di bawah perlindungan hukum. Biasanya Paris hanya diijinkan untuk berkunjung tanpa boleh mengajak anak itu keluar bersamanya."Aku tidak mau menangani bocah yang masih mengompol." Sidney tetap bersikeras tidak mau ikut campur jika nanti Susan mendapat masalah."Anak laki-laki tujuh tahun sudah tidak kencing di celana lagi, Sidney!"Kadang Susan juga masih kesal dengan sifat egois suaminya yang bisa sangat tidak masuk akal, Dia mau memiliki banyak anak tapi tidak mau repot mengurusi anak-anak."Kita harus melihatnya dulu siapa tahu nanti kau juga akan menyukaianya!"Susan memencet bel pintu sementara Sidney masih berdiri di undakan tangga paling bawah nampak tak berminat untuk ikut masuk. Sidney benar-benar lebih suka disuruh menunggu di dalam mobil dari pada ikut berbasa-basi seperti yang diajarkan Susan."Ingat kau cukup tersenyum j
Sidney sudah tidur ketika Susan pelan-pelan mengambil buku harian Jessy dari dalam laci. Sidney tidak suka jika Susan membaca buku itu karena biasanya Susan malah jadi menangis setelah membacanya dan Sidney tidak suka melihat Susan bersedih untuk sesuatu yang menurutnya percuma. Tapi tetap saja Susan sering diam-diam membacanya, Jessy memiliki tulisa yang sangat rapi sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Membaca buku harian Jessy membuat Susan serasa ikut mengenal saudarinya meskipun mereka tidak pernah bertemu.***Jessy 12 Maret 2016***Bukannya aku tidak mau tinggal di kampung halama Paris, tapi aku sudah pernah mencobanya dan tidak bisa. Paris adalah orang yang sering bepergian dengan segala kesibukan pekerjaannya yang luar biasa. Paris juga melarangku bekerja lagi sejak kami menikah, sering kali aku merasa bosan ketika harus tinggal sendiri di rumah besarnya. Aku juga tidak punya teman atau keluarga di sana, semua yang kukenal adalah teman-teman Paris dan ling
Susan memperhatikan Sidney yang masih tertidur dan menyentuh bibir penuhnya yang sedikit terbuka. Ternyata pria seperti Sidney juga bisa nampak lucu ketika sedang tertidur dan Susan menyukainya karena jarang-jarang Sidney mau diganggu."Apa yang kau lakukan!" tegur Sidney yang ternyata sudah terbangun."Tidak ada," acuh Susan segera pura-pura mengabaikannya."Kemari kau!""Ao..!" Susan memekik kaget karena Sidney balas memukul bokongnya.Mereka masih sama-sama belum berpakaian sejak selesai bercinta tadi malam dan Tiba-tiba saja Sidney sudah kembali menerjang masuk dan menderanya."Sidney, ingat kau punya janji dengan Notarais pagi ini!"Susan coba mengingatkan tapi Sidney tetap mengabaikanya karena Susan memang bisa sangat cerewet meskipun sedang ia setubuhi. Gilanya Lagi Susan masih sempat meraih ponsel dan membalas pesan."Buang benda itu, Susan!" Sidney langsung membalik tubuh Susan dan merampas ponsel terkutuk itu dari tan
JESSY... Saat pertama kami bertemu dia adalah pemuda yang rupawan, berulang kali dia bertanya bagaimana untuk mendapatkan wanita sepertiku dengan sangat terus terang dan sedikit tidak tahu malu."Masukilah hatinya, maka kau akan mendapatkan segalanya," kataku saat menatap Netra biru gelapnya yang dalam ketika kami duduk di meja bar dan yakin pria tampan itu belum mabuk untuk merayuku. Aku tahu jika Paris Parker adalah pria yang cukup percaya diri untuk mendapatkan apapun keinginannya."Sebutkan apa saja yang bisa kudapatkan, setelah itu? " bisiknya saat mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Love, loyalty, dan keberanian !" Walapun setiap hari aku bekerja di antara para wisatawan asing tapi memang tidak akan pernah kubiarkan diriku terlibat dengan mereka dalam urusan asmara. Namun sepertinya pengecualian utuk seorang Paris Parker, pria yang telah dengan begitu berani berlutut di depanku dan memohon untuk menjadikanku miliknya.
Seorang pengurus rumah menemukan Paris Parker sudah terduduk kaku takbernyawa dengan bekas lobang peluru si pelipis kanannya. Tangan kanana masih memegang pitol dan sebuah ponsel terjatuh di lantai tak jauh dari tempat dududknya. Sebuah buku harian milik Jessy yang juga baru Paris temukan dari dalam laci masih terbuka di atas meja karena sepertinya pria itu juga belum selesai membacanya dan sudah tidak tahan.Pihak kepolisian menghubungi Sidney parker sebagai satu-satunya keluarga Paris. Sidney dan Susan juga langsung terbang ke Bali hari itu juga. Pihak kepolisian meminta Sidney untuk memutuskan bakal di makamkan di mana jenazah saudaranya. Sebenarnya Sidney sendiri juga tidak tahu karena hubungan mereka selama ini memang tidak seperti layaknya keluarga, tapi Susan yang langsung menyela dan minta agar Paris dimakamkan di samping saudarinya. Pihak kepolisian juga memberikan buku harian Jessy kepada Susan dan memberi tahu Sidney jika akan ada notarais dari Paris Parker yang ak
"Oh, Sayang apa yang kau pikirkan?" tanya Sidney pada wanita yang sedang berbaring di bawah naungan tubuhnya tapi entah pikiranya sedang melayang berada di mana."Tidak ada," bohong Susan sambil menggeleng saat Sidney menyentuh bibirnya dengan ibu jari."Aku bisa sangat cemburu jika kau memikirkan pria lain," sarkas Sidney yang sebenarnya juga tahu jika Susan sedang memikirkan Parish yang baru saja menelponya.Sidney merunduk untuk mencium Susan dan tetap bersikeras menahan wanita itu dalam ciumanya meskipun Susan agak enggan untuk menaggapinya."Sungguh aku mencemaskan Parish." Akhirnya Susan terus terang ketika tiba-tiba mendorong Sidney untuk berhenti sejenak."Sudah kubilang jangan memikirkan pria lain, apa lagi brengsek itu!" Sidney terdengar marah."Aku serius, sungguh perasaanku sedang tidak enak." Susan beringsut dari naungan tubuh Sidney dan kembali merapikan gaun tidurnya."Kau mau ke mana?"Sidney melihat Susan berja