Share

BAB 5 KEKASIH SUSAN

Aku tidak tahu bagaimana lagi harus menghubungi orang tuaku. Sudah dua kali kuperiksa daftar kontak di HP-ku dan sama sekali tidak kutemukan satupun nomor keluargaku. Memangnya apa saja yang dilakukan Eric selama dua tahun ini terhadap hidupku?

"Benda tak berguna!"

Ingin kulempar benda itu tapi Eric mencegahku. Ingat dia tetap lebih kuat untuk mengendalikan tubuhku dan aku jadi tak berdaya.

"Memangnya apa yang bisa kau lakukan selain merusak hidupku!" aku berteriak padanya.

Aku benar-benar marah tapi tidak tahu bagaimana harus membalas semua perbuatannya itu. Aku tahu ini baru sebagian dan aku belum sempat memikirkan yang lainnya. Aku sudah kehilangan pekerjaan dan orang tuaku, aku belum mau memikirkan yang lainnya lagi.

"Kau mau kemana?" tanya Eric ketika aku tiba-tiba bangkit berdiri.

"Tenang saja, aku tidak akan bunuh diri, karena aku masih akan membalas dendamku padamu!" itu bukan basa-basi karena aku benar-benar akan membalas jika memiliki kesempatan.

"Katakan kita mau kemana, Susan?"

Aku sengaja tidak mengatakannya dan membiarkan Eric mengikutiku bergerak.

Kali ini aku membawa mobil besarnya dan dia membiarkanku menyetir sendiri. Aku tidak banyak bicara karena masih marah, dan sepertinya dia juga sudah tidak banyak bertanya lagi. Mungkin karena dia sudah tahu aku tidak akan membunuhnya bersamaku.

Aku mendatangi kantor Nolan tanpa memberitahu Eric tentang tujuanku.

Karena aku tidak membuat janji dan tidak memiliki nomornya lagi, jadi aku terpaksa disuruh menunggu oleh petugas resepsionisnya.

Katanya Nolan sudah setuju untuk menemuiku, tapi dia masih ada rapat jadi aku harus menunggunya. Kali ini aku tidak berani memikirkan apa-apa aku hanya takut dan cemas. Aku cuma  bersyukur karena Eric tidak banyak bicara, atau kalau tidak pasti aku sudah akan meneriakinya untuk keluar dari kepalaku. Aku tidak peduli jika pun setelah itu satpam akan menyeretku seperti orang gila.

Akhirnya kulihat Nolan baru keluar dari lift dan langsung berjalan menghampiriku yang sedang menunggu di lobby.

Aku cukup lega ketika dia memelukku sebentar. "Lama aku tidak melihatmu, Susan," katanya kemudian.

"Maafkan aku." Aku tetap minta maaf meski tidak tahu pasti sudah selama apa kami tidak bertemu.

Nolan terlihat memiringkan wajahnya dan melihatku bingung. Aku sendiri tidak tahu apa yang salah, tapi bisa dipastikan apapun itu pasti akibat perbuatan Eric.

"Kemarilah," Nolan kembali mengajakku duduk di sofa.

"Aku senang kau mau menemuiku lagi," dia meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Kudengar kau juga mengundurkan diri dari tempat kerjamu."

Kenapa aku merasa seperti orang yang ketinggalan banyak episode hidupku sendiri, jujur aku tidak tahu apa yang Nolan bicarakan kecuali hanya garis besarnya saja, karena itu aku mengangguk untuk cari aman.

"Aku sempat berpikir kau tidak akan mau menemuiku lagi, bahkan nomormu pun tidak bisa kuhubungi."

"Maafkan aku," aku pasrah dan hanya bisa berdoa semoga hubungan kami masih baik-baik saja. Tapi melihat cara Nolan yang terlihat sangat berhati-hati bahkan untuk sekedar menyentuhku, sepertinya aku yakin Eric sudah ikut campur terlalu banyak di sini.

"Apa kau akan memaafkanku?"

"Aku sudah lama memaafkanmu," kata Nolan kemudian.

Dan sampai di sini aku masih tidak tahu apa yang telah kuperbuat padanya.

"Maaf, waktu itu aku juga sempat emosi," jujur Nolan, "kupikir kau bersikeras mengakhiri hubungan kita karena pria lain."

"Oh, maafkan aku, Nolan. Sungguh maafkan aku." Aku benar-benar menyesal jika itu yang terjadi.

Setelah semua hidupku yang berantakan kuharap hubungan kami masih bisa diperbaiki. Ikut kugenggam tangan Nolan yang juga masih menggenggamku dengan erat.

"Aku baru bertunangan dua bulan lalu," katanya kemudian dan seketika meruntuhkan segala harapanku.

"Maaf, seharusnya aku memang tidak ke sini," sesalku tiba-tiba dan tidak berani menatap Nolan.

"Tidak, aku senang bisa kembali melihatmu, Susan."

Sepertinya Nolan masih coba untuk menahanku, tapi aku baru saja tahu dia sudah bertunangan.

"Selamat atas pertunanganmu," kataku kemudian saat perlahan menarik tanganku dari genggamannya.

Kutatap wajahnya sedih dan nanar, seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak bisa.

"Sebaiknya aku pulang, dan terimakasih sudah menemuiku," kataku buru-buru karena tidak tahan. Yang ingat terakhir hubungan kami masih baik-baik saja dan rasanya itu masih baru beberapa hari yang lalu.

Kutatap Nolan sebentar sebelum pergi, sepertinya dia juga berat melepaskanku. Tapi aku tahu semuanya sudah terlambat, terlambat hampir dua tahun. Air mata meluncur jatuh dari sudut mataku tanpa ingin kutunjukkan pada siapapun.

Aku segera kembali ke mobil Eric yang terlalu menarik perhatian untuk dikendarai wanita sepertiku. Tapi kali ini aku sedang tidak ingin perduli dengan penilaian semua orang, aku hanya diam dan Eric pun juga tidak ada bicara apa-apa dari tadi.

Semakin kesini aku semakin tahu, dia memang akan diam seperti itu jika merasa bersalah. Tapi apa peduliku, aku tidak sedang ingin mempertimbangkan perasaanya. Masa bodoh dengan Eric Northman, dia sudah menghancurkan seluruh hidupku.

Orang tuaku, pekerjaanku, bahkan pria yang mencintaiku pun ikut dia hancurkan.

Karena aku sedang tidak mau berbicara, kubiarkan Eric yang menyetir dan membawaku pulang.

Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar mandi melepas semua pakaianku untuk berendam, bahkan aku sudah tidak terlalu peduli dengan ketelanjanganku kali ini.

Aku meringkuk dan menangis, benar-benar menangis sendiri tanpa ingin orang lain perduli. Aku sudah kehilangan semuanya dan tidak tahu apa masih bisa dibenahi.

Aku tidak ingat apa setelah itu aku ketiduran di jacuzzi, karena saat aku bangun keesokan harinya aku sudah berada di atas tempat tidur dan sudah berpakaian.

Rasanya kepalaku masih hening, tidak ada suara, 'apa mungkin Eric sudah hilang dari kepalaku?'

Mungkin saja, karena jika tugasnya adalah untuk menghancurkan hidupku, kurasa pekerjaannya sudah sempurna dan sudah seharusnya dia pergi. Lagi pula aku juga sudah tidak punya apa-apa lagi.

Aku berguling untuk meraih bantal dan memeluknya, aku sedang tidak ingin beranjak ke mana-mana sampai tiba-tiba kudengar lagi suaranya.

"Susan .... "

Dia coba memanggilku tapi aku tak bergeming.

"Maafkan aku," katanya kemudian.

Tapi menurutku sangat tidak berguna dan tidak perlu.

Aku masih diam sampai cukup lama dan dia bicara lagi.

"Apa kau tidak ingin marah padaku? " tanyanya terdengar aneh.

Dari kemarin aku memang mengabaikannya dan sepertinya dia memang tidak suka diabaikan. Dari situ aku mulai mencatat satu-persatu kelemahannya. 'Eric tidak suka di abaikan!'

"Apa lagi maumu, kenapa kau masih belum pergi?"

"Sudah kukatakan, aku tidak bisa."

"Kalau tidak bisa diamlah, jangan menggangguku!" dia pasti tahu aku masih marah dengan semua perbuatannya.

Aku bahkan mengucapkannya dengan cukup tenang agar dia tahu keseriusanku.

"Aku akan menunggumu, sampai kita bisa bicara."

Terserah apa yang ingin dia bicarakan aku sudah tidak perduli.

"Maafkan aku tentang Nolan," katanya kemudian, setelah kami cukup lama diam.

"Aku sudah tidak peduli, toh kau sudah menghancurkannya."

"Aku hanya tidak bisa pura-pura menyukainya." Eric mulai terus bicara, "Aku memang ada di tubuhmu, tapi aku tetap laki-laki, tidak mungkin aku membiarkan dia menciumku."

Aku mengerti maksud Eric. "Tapi bukan berarti kau boleh menghancurkan hubungan kami!" tegasku.

"Aku tidak tahu kau akan kembali."

"Karena itu menurutmu semua yang ada di hidupku sudah tidak penting?" timpalkiu dengan seringai sinis untuk kemalanganku sendiri.

"Maafkan aku, Susan."

"Apa gunanya untukmu? kau hanya ada di dalam kepalaku tapi tidak benar-benar nyata. Kau tidak memiliki kehidupan! kau tidak memiliki orang tua yang bisa membuatmu sedih, kau tidak punya siapapun yang mencintaimu, atau peduli padamu!"

"Kau benar dan maaf aku sudah mengacaukan hidupmu."

"Itu juga tidak ada gunanya untukmu!"

"Hanya kau yang penting untukku, Susan."

"Karena kau akan ikut mati jika aku mati!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
............️...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status