Setiap hari kami berlatih jaipong dengan giat, Mak Lastri pun sangat bangga dengan kemajuan kami dari hari ke hari. Mak Lastri bilang bulan ini kami sudah layak untuk tampil sebagai penaripemula di panggung.
Mak Lastri mengukur baju kebaya untuk kami pergunakan, dan oleh Mak Lastri kami akan di buatkan beberapa setel pakaian kebaya untuk menari. Mak Lastri memesankan dengan beragam warna dan model kepada penjahit langganannya, namanya Ceu Encum. Di kampungku Ceu Encum terkenal sangat piawai menjahit pakaian, khususnya pakaian kebaya untuk segala acara dan umur. Dan dengan hati-hati Ceuk Encim mengukur badan kami satu- persatu untuk membuat pola kebaya.
Sungguh terharu mendengarnya akhirnya tak lama lagi aku dan Cahyati sudah dapat mencari penghasilan sendiri, walaupun itu dari karya dan berkesenian tari jaipong saja.
Rata-rata yang menjadi seorang penari di sini berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu, ya seperti kami yang bergantung kehidupan dan ekonomi di sini. Tak ada rasa malu dan canggung semua kulakukan demi memperoleh penghasilan dan harapan untuk merubah kehidupan lebih baik.
"Lestari Sabtu besok kamu bersama Cahyati belajar berdandan ya, karena kalian harus bisa menata wajah dan sanggul sendiri sebelum tampil."
"Iya Mak Lastri.""Ini sanggul, kebaya dan kain kalian, Mak sudah jahitkan tiga setel masing-masing, coba kalian pakai yang warna biru dongker terlebih dahulu, Mak mau lihat.""Baik Mak.""Itu make-up dan tusuk kondenya ada di atas meja rias, coba belajarlah untuk menggunakannya."Kami pun mencoba menuruti semua perkataan dari mak Lastri. Kami mencoba pakaian menari kami dan berdandan semampunya. Kami pun keluar dari kamar ganti. Untuk memperlihatkan penampilan kami kepada Mak Lastri.
Cukup lama aku dan Cahyati berdandan, ya mungkin karena kami belum terbiasa, kami baru saja lulus Sekolah Menengah Pertama, jujur kami masih awam dengan alat make-up. Mak Lastri tampak membolak balikan pandangannya, kami pun di minta untuk berjalan dan berputar di hadapannya. Mak Lastri memperhatikan segala detail penampilan dan dandanan yang kami pakai.
"Ya Sudah bagus Eneng-eneng, hanya lebih belajar lagi untuk memakai sanggulnya, sasakannya masih tampak kurang rapi."
"Iya Mak.""Ya lekas coba sekarang kalian latihan menari, agar terbiasa menggunakan kain dan sanggul."Kami pun menuruti segala perintah dan ajaran dari mak Lastri. Akhirnya setelah sekian bulan kami berlatih, besok adalah malam pertama kami bisa tampil di depan penonton. Hari ini aku berlatih maksimal dan mengulangi segala gerakan yang di bilang belum terlalu fasih dan lentur.
Sebagai penari yang masih muda dan masih di bawah umur kami hanya menari di pesta-pesta hajatan saja. Untuk satu kali tampil kami di bayar dengan upah Rp. 100.000 saja, alhamdulillah segalanya kami syukuri. Uang segitu, sudah sangat terasa besar bagi kami, khususnya bagiku yang jarang memegang uang. Uang Rp 100.000 sudah sangat banyak dan aku bersyukur sebagai bayaran kami seorang menari sebagai penari yang pemula dan belajar.
***
Sore ini aku pamit kepada abah dan emak dan minta doa agar bisa lancar menarinya, maklum baru malam ini aku akan tampil di depan para tamu dan penonton. Takut dan gugup pasti aku rasakan malam ini. Tapi abah dan emak selalu berpesan agar aku selalu yakin dan berdoa. Dan aku pamit serta memohon mereka doakan sebelum aku memulai aktivitasku. Emak menyiapkan aku air gula asem, rasanya manis-manis asam dan segar. Yang akan membuatku bersemangat nanti di kala mulai mengantuk. Aku harus terbiasa menahan ngantuk jika malam hari, apa lagi jika aku tampil nanti. Aku tidak boleh terlihat lusuh, mengantuk atau lelah saat di atas panggung.
"Emak, Abah doakeun Lestari, ngarah lancar acara na peuting iyeh."
(Emak, Abah doakan Lestari, biar lancar acaranya malam ini)."Nyak Neng, ku Abah sareng Emak di doakeun supaya lancar sadayana."
(Iya Neng, sama Abah dan Emak di doakan supaya lancar semuanya)."Amiin"
(Amiin)"Tong lepat Neng kedah pintar-pintar jaga diri."
(Jangan lupa Neng harus pandai-pandai menjaga diri)."Muhun Mak."
(Iya Mak)Kulihat Emak yang lagi sibuk membakar singkong di dapur, untuk makan malam kami. Ya tuhan semoga saja kami di segerakan keluar dari kesulitan ini. Aku memeluk tubuh renta emakku, sebetulnya emak belum terlalu tua, tapi karena hidup serba sulit emak jadi tidak pernah merawat dirinya lagi, dan lebih tampak tua kini.
Ingin rasanya aku dapat membawakan mereka makanan yang layak, seperti ayam atau ikan yang bergizi tinggi dan pasti nikmat rasanya saat di makan.
Sebelum pergi menari, aku membantu Emak memandikan adik-beradikku, bahkan untuk sabun dan sampo kami pun sudah habis dan jarang sekali terbeli. Cukup aku saja yang hidup susah, semoga adik-adikku dapat hidup lebih baik nanti. Lagi-lagi aku berkata dalam hatiku, aku harus dapat merubah keadaan ekonomiku dan keluargaku. Untuk menjadi lebih baik dari kini
Tampak abah pulang dari sawah, keringat mengucur du tubuhnya, pasti abah sqngat lelah sekali. Hampir magrib abah baru pulang dari sawah. Entah apa yang abah kerjakan karena ini masih musim kemarau.
"Mak, teu aya sangu?"
"Mak tidak ada nasi?"
"Teu aya Bah, beas na tos seep, ngan aya sampeu hungkul Abah."
"Tidak ada Bah, beras sudah habis hanya ada singkong saja Abah.""Sing sabar nyak barudak, Abah tos saminggu teu gaduh pagawean."
"Yang sabar ya anak-anak, Abah sudah seminggu tidak memiliki pekerjaan."Hatiku tersayat seketika, dan aku tersadar dari lamunanku. Ku dengar abah menanyakan apakah ada nasi di rumahku ini? Sudah satu minggu Abah tidak ada kerjaan, belum musim tanam maupun musim panen di sawah. Masih musim kemarau, buruh serabutan pun masih sepi, tampaknya beras kami pun sudah habis beberapa hari ini. Ya cukuplah singkong bakar dan sayur daun singkong kami jadikan pengganjal rasa lapar malam ini. Emak dia selalu berusaha maksimal seadanya memasak sesuatu bagi kami.
Aku membantu emak menyiapkan makanan di balai-balai dapur, akupun membantu adik-adikku mengambil makanannya. Tak jarang emak memberikan kami jatah makanan pas-pasan untuk kami, jangankan makan enak dan berlebih, makanan seadanya pun kami sering kekurangan.
Setelah makan, Aku pun melamun di balai-balai kamarku, kulihat kamarku yang atap dan dinding biliknya sudah rapuh dan bocor, Ya Allah sungguh aku menangis dan menjerit di dalam hati. Belum lagi jika mengingat uang sekolah adik-adik yang belum di bayarkan uang seragam dan buku. Ku peluk tubuh mungil adik-adikku, ku usap kepalanya satu-persatu.
"Anu sabar nyak Barudak, doakeun Teteh enjing uwih mawa artos ."
"Yang sabar ya anak-anak, doakan Teteh besok pulang membawa uang.""Amiin Teh, Asep lapar Teh, nyeuri beuteng Teh."
"Amiin Teh, Asep lapar Teh, sakit perut Teh"Aku hanya terdiam dan meneteskan air mata. Ku pejam kan mataku, aku selimuti adik-adikku pakai kain yang sudah sangat lusuh dan tipis ini. Ya Allah bantulah aku dan keluargaku, agar terlepas dari kemiskinan ini. Aku pun pergi malam ini, pergi untuk pentas pertamaku dengan teman-teman sanggar jaipongku. Semoga esok pagi, aku bisa pulang dengan membawa sedikit rezeki untuk keluarga kami.
Abah telah pulang dari mencari kayu bakar, abah membawa ubi dan singkong pasti karena habis panen dari kebun. Aku pun segera menghampirinya. Aku ambil ubi dan singkong yang abah bawa di dalam bakul. Alhamdulillah masih ada makanan yang dapat kami olah siang hari ini. Aku pun merebus ubi untuk adik-adikku, sebentar lagi mereka pulang dari sekolah. Ubi rebus dan teh hangat bisa menghangatkan dan mengganjal perut kami siang ini. Keadaan yang selalu sama yang sering kami alami dari hari ke hari. Aku pun mempersiapkan peralatanku untuk menari, satu setel kebaya berwarna merah yang sama dengan Cahyati, kain, korset, konde, dan peralatan make-up pemberian mak Lastri. Tak lupa aku cek sepeda, ternyata bannya sedikit kempes. Dan aku bergegas memperbaikinya di halaman rumah bersama abah. Agar tetap dapat aku pergunakan. "Lestari....., ayo kita siap-siap.""Iya, saya tinggal mandi dulu, kita kan harus berkumpul di rumah Teh Arum.""Iya biar kita di bantu untuk dandan."
Jaipongan masih menjadi primadona di kampung kami, minimal seminggu ada dua acara tanggapan terkadang di acara hajatan atau panggung-panggung hiburan malam. Penghasilan tetap aku dan Cahyati per bulan minimal delapan ratus ribu sampai dengan satu juta sebagai seorang penari pemula. Sedikit demi sedikit aku dan Cahyati bisa membantu keluarga kami. Seperti hari ini, aku dapat membawa uang 150.000 karena Pak Agus juragan kambing memberikan kami saweran 50.000 seorang. Apa lagi Teh Arum ya, pasti banyak penghasilan dari hasil sawerannya. Pantas saja pakaian, sandal, make-up dan rumahnya semakin hari semakin bagus dan selalu ada perubahan, dia juga menjadi primadona di kampung, laki-laki banyak yang mengejarnya karena cantik, tapi para perempuan-perempuan di kampungnya sebaliknya mereka iri dan selalu menghina Teh Arum dan kawan-kawannya, kemungkinan esok-esok bisa aku dan Cahyati. Dan aku rasa teh Arum ada yang berbeda deh. Aku pun teringat ucapannya saat
Malam ini kami pun pentas kembali, ada acara pernikahan anaknya pak Camat di desa Suka Warna, seperti apa yang menjadi tantangan teh Arum, selain menjadi penari pembukaan acara resepsi kami pun ikut melengser. Melengser istilah tarian malam hari, yang identik dengan duit saweran dan tarian selendang yang sedikit menggoda kaum laki-laki. Kami turut duduk di antrean penari senior. Kami pun siap berlempar selendang dan menari bersama lawan jenis. Tampak beberapa pemuda dan bapak-bapak yang mulai naik ke panggung dan memberi saweran kepada kami, benar saja Teh Sekar Arum orang pertama dan turun dari bangku penari. Dan di susul oleh penari-penari senior lainnya, aku pun terus berdecap kagum, pasti penghasilan mereka yang di dapatkan akan lebih banyak dari kami. Kami yang sering di bilang teh Arum sebagai penari pemula dan polosan. Sungguh apa yang mereka pakai ternyata ada pengaruhnya, teh Sekar Arum dan ke empat penari senior lainnya telah menari terlebih dahulu, sedang
Sudah satu bulan aku menggunakan bedak pengasih dari Ki Slamet sama dengan temanku yang lainnya. Kini penghasilan aku dan Cahyati semakin membaik, terkadang kami membawa pulang uang sampai Rp 300.000 sekali tampil. Lumayan bukan, sedikit demi sedikit aku dapat membelikan furnitur untuk Emak di rumah. Kemarin sudah terkumpul dua juta rupiah, aku membeli kasur dua set untuk kamar emak dan kamarku. Melihat adik-adik tidur dengan layak di atas kasur membuatku sangat senang. Setidaknya tentu saja mereka tidak akan merasakan sakit dan dingin seperti dulu lagi. Bedakku pun sudah hampir habis, aku harus segera pergi ke rumah Ki Slamat lagi. Kalau bisa, kali ini aku pergi kesana sendiri dan diam-diam saja, dalam hatiku terbesit pikiran andai aku bisa mendapat Mustika atau sejenisnya sebagai pemikat yang berbeda dari teman-teman biasanya. Mungkin aku bisa mendapat duit saweran lebih banyak lagi. "Cahyati, Aku mau ke rumah Ki Slamet Kamu mau ikut bareng tidak?"
Dan akhirnya aku pun pergi ke rumah ki Anom, dengan sengaja menyewa sebuah mobil beserta sopirnya. Aku bilang kepada abah dan emak ingin main ke kota mengunjungi teman lama dan mungkin menginap di sana jika tidak pulang atau terlambat pulang. Aku sengaja pergi dari rumah menjelang subuh, dan aku yakin Cahyati tak akan memergokiku, perjalanannya lumayan lama, ke Ciamis lebih dari 5 jam aku baru sampai ke dusun abah Anom. Dusun yang aku cari sudah benar, hanya saja aku harus bertanya kepada warga di mana rumah abah Anom tepatnya. “Permisi Bu.” “Iya Neng ada yang bisa ibu bantu?” “Saya mau bertanya alamat rumah Abah Anom Bu apa ibu kenal?” “Oh abah Anom? Dia rumahnya ada di atas bukit sana neng, neng lurus saja dari sini naik ke bukit, tapi tidak bisa bawa mobil neng.” “Ya, baik Bu.” Aku akan meminta pak sopir menunggu di sini, lagi pula biar saja pak sopir beristirahat dulu saja sejenak, karena aku tahu pasti beliau lelah saat dalam perj
"Neng bangun." "Iya Mak, Neng masih mengantuk ini." "Bagaimana tidak mengantuk, Kamu pulang itu hampir subuh Neng." "Masa Mak? Lestari kenapa tidak ingat ya?" "Ya Kamu sangat lusuh dan sangat terlihat lelah semalam, Mak tidak mau mengganggumu, ya sudah lekas mandi dan berganti pakaian." "Iya Mak." Ya aku pasti lupa, tapi kenapa ya sampai larut malam begini, bahkan menjelang pagi. Apakah memang kami mendapatkan banyak tanggapan dan saweran semalam. Aku pun berdiri dari kasurku, aku mengambil tas pribadiku dan aku buka, astaga duitnya banyak sekali. Aku pun hitung lembar-demi lembar uang yang ada. Totalnya ada dua puluh juta rupiah, doa gepok uang pecahan 100.000. Duit siapa ini? oh iya aku pun ingat saat aku mau naik ke panggung aku melihat ada Abah Rahmat di sana. Sungguh dia memberikan aku uang sebanyak ini dalam satu malam saja saat menari? Aku pun bergegas mandi dan mengganti pakaianku, aku ingin sarapan dahu
Aku harus tetap menari, agar teman-temanku tidak curiga dengan kejanggalan- kejanggalan yang terjadi ini. Memang benar aku memperoleh banyak uang dari itu semua, tapi haruskah aku mengorbankan seseorang demi syarat Nyi Mas Srinti. Hampir setiap malam pun aku memimpikannya mimpi yang aneh dan sangat menakutkan, mimpi yang sama terus berulang-ulang tentang Nyi Mas Srinti yang meminta bantuanku untuk membalaskan dendamnya. Terkadang aku juga bermimpi, mimpi tentang kehidupan masa lalu Nyi Mas Srinti sebagai seorang penari jaipong. Tampak sosoknya yang memiliki paras yang ayu dan sangat piawai menari. Rasanya ingin berhenti dari semua kehidupan dan mimpi-mimpi buruk ini, tapi sepertinya tidak mungkin, masih sangat berat dan terlanjur semua, aku sudah terlambat untuk mundur. "Teh...." "Iya ada apa Asep dan Jaja?" "Asep sebentar lagi lulus Sekolah Menengah Pertama, Asep mau kerja saja ya? biar dapat bantu Teteh dan Abah." "Jangan! Asep dan J
“Lestari Aku makin curiga sama Kamu.” “Curiga apa sih Cahyati? Kamu ada-ada saja deh pakai acara curiga segala sama aku.” “Ya, Aku sering merasa Kamu itu aneh Lestari kalau sedang tampil di panggung. Kamu tidak seperti yang aku kenal sejak dulu tau, kamu makin aneh setiap malamnya.” “Aku baik-baik saja Cahyati, percaya deh, hanya saja Aku ingin total kalau sedang tampil.” "Tidak, kamu kalau tampil seakan tidak kenal dan tidak dekat kepadaku, bahkan kamu suka pergi sendiri tanpa pamit padaku." Gawat, Cahyati sudah sering menegurku sikap dan kelakuanku saat manggung. Sedangkan aku sungguh-sungguh tidak sadar dengan semua yang aku lakukan setiap harinya. Ya tuhan, sampai kapan aku harus berkelit seperti ini. Dan aku pun telah di tegur mak Lastri kemarin. Apa iya aku sangat berbeda jika sedang manggung. Aku pun terus melipat pakaian yang baru saja aku ambil dari halaman rumahku, terus menyibukan diri agar diriku tidak melamun. Tamp