Share

BAB 3

Setiap hari kami berlatih jaipong dengan giat, Mak Lastri pun sangat bangga dengan kemajuan kami dari hari ke hari. Mak Lastri bilang bulan ini kami sudah layak untuk tampil sebagai penaripemula di panggung.

Mak Lastri mengukur baju kebaya untuk kami pergunakan, dan oleh Mak Lastri kami akan di buatkan beberapa setel pakaian kebaya untuk menari. Mak Lastri memesankan dengan beragam warna dan model kepada penjahit langganannya, namanya Ceu Encum. Di kampungku Ceu Encum terkenal sangat piawai menjahit pakaian, khususnya pakaian kebaya untuk segala acara dan umur. Dan dengan hati-hati Ceuk Encim mengukur badan kami satu- persatu untuk membuat pola kebaya.

Sungguh terharu mendengarnya akhirnya tak lama lagi aku dan Cahyati sudah dapat mencari penghasilan sendiri, walaupun itu dari karya dan berkesenian tari jaipong saja.

Rata-rata yang menjadi seorang penari di sini berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu, ya seperti kami yang bergantung kehidupan dan ekonomi di sini. Tak ada rasa malu dan canggung semua kulakukan demi memperoleh penghasilan dan harapan untuk merubah kehidupan lebih baik.

"Lestari Sabtu besok kamu bersama Cahyati belajar berdandan ya, karena kalian harus bisa menata wajah dan sanggul sendiri sebelum tampil."

"Iya Mak Lastri."

"Ini sanggul, kebaya dan kain kalian, Mak sudah jahitkan tiga setel masing-masing, coba kalian pakai yang warna biru dongker terlebih dahulu, Mak mau lihat."

"Baik Mak."

"Itu make-up dan tusuk kondenya ada di atas meja rias, coba belajarlah untuk menggunakannya."

Kami pun mencoba menuruti semua perkataan dari mak Lastri. Kami mencoba pakaian menari kami dan berdandan semampunya. Kami pun keluar dari kamar ganti. Untuk memperlihatkan penampilan kami kepada Mak Lastri.

Cukup lama aku dan Cahyati berdandan, ya mungkin karena kami belum terbiasa, kami baru saja lulus Sekolah Menengah Pertama, jujur kami masih awam dengan alat make-up. Mak Lastri tampak membolak balikan pandangannya, kami pun di minta untuk berjalan dan berputar di hadapannya. Mak Lastri memperhatikan segala detail penampilan dan dandanan yang kami pakai.

"Ya Sudah bagus Eneng-eneng, hanya lebih belajar lagi untuk memakai sanggulnya, sasakannya masih tampak kurang rapi."

"Iya Mak."

"Ya lekas coba sekarang kalian latihan menari, agar terbiasa menggunakan kain dan sanggul."

Kami pun menuruti segala perintah dan ajaran dari mak Lastri. Akhirnya setelah sekian bulan kami berlatih, besok adalah malam pertama kami bisa tampil di depan penonton. Hari ini aku berlatih maksimal dan mengulangi segala gerakan yang di bilang  belum terlalu fasih dan lentur.

Sebagai penari yang masih muda dan masih di bawah umur kami hanya menari di pesta-pesta hajatan saja. Untuk satu kali tampil kami di bayar dengan upah Rp. 100.000 saja, alhamdulillah segalanya kami syukuri. Uang segitu, sudah sangat terasa besar bagi kami, khususnya bagiku yang jarang memegang uang. Uang Rp 100.000 sudah sangat banyak dan aku bersyukur sebagai bayaran kami seorang menari sebagai penari yang pemula dan belajar.

***

Sore ini aku pamit kepada abah dan emak dan minta doa agar bisa lancar menarinya, maklum baru malam ini aku akan tampil di depan para tamu dan penonton. Takut dan gugup pasti aku rasakan malam ini. Tapi abah dan emak selalu berpesan agar aku selalu yakin dan berdoa. Dan aku pamit serta memohon mereka doakan sebelum aku memulai aktivitasku. Emak menyiapkan aku air gula asem, rasanya manis-manis asam dan segar. Yang akan membuatku bersemangat nanti di kala mulai mengantuk.  Aku harus terbiasa menahan ngantuk jika malam hari, apa lagi jika aku tampil nanti. Aku tidak boleh terlihat lusuh, mengantuk atau lelah saat di atas panggung.

"Emak, Abah doakeun Lestari, ngarah lancar acara na peuting iyeh."

(Emak, Abah doakan Lestari, biar lancar acaranya malam ini).

"Nyak Neng, ku Abah sareng Emak di doakeun supaya lancar sadayana."

(Iya Neng, sama Abah dan Emak di doakan supaya lancar semuanya).

"Amiin"

(Amiin)

"Tong lepat Neng kedah pintar-pintar jaga diri."

(Jangan lupa Neng harus pandai-pandai menjaga diri).

"Muhun Mak."

(Iya Mak)

Kulihat Emak yang lagi sibuk membakar singkong di dapur, untuk makan malam kami. Ya tuhan semoga saja kami di segerakan keluar dari kesulitan ini. Aku memeluk tubuh renta emakku, sebetulnya emak belum terlalu tua, tapi karena hidup serba sulit emak jadi tidak pernah merawat dirinya lagi, dan lebih tampak tua kini.

Ingin rasanya aku dapat membawakan mereka makanan yang layak, seperti ayam atau ikan yang bergizi tinggi dan pasti nikmat rasanya saat di makan.

Sebelum pergi menari, aku membantu Emak memandikan adik-beradikku, bahkan untuk sabun dan sampo kami pun sudah habis dan jarang sekali terbeli. Cukup aku saja yang hidup susah, semoga adik-adikku dapat hidup lebih baik nanti. Lagi-lagi aku berkata dalam hatiku, aku harus dapat merubah keadaan ekonomiku dan keluargaku. Untuk menjadi lebih baik dari kini

Tampak abah pulang dari sawah, keringat mengucur du tubuhnya, pasti abah sqngat lelah sekali. Hampir magrib abah baru pulang dari sawah. Entah apa yang abah kerjakan karena ini masih musim kemarau.

"Mak, teu aya sangu?"

"Mak tidak ada nasi?"

"Teu aya Bah, beas na tos seep, ngan aya sampeu hungkul Abah."

"Tidak ada Bah, beras sudah habis hanya ada singkong saja Abah."

"Sing sabar nyak barudak, Abah tos saminggu teu gaduh pagawean."

"Yang sabar ya anak-anak, Abah sudah seminggu tidak memiliki pekerjaan."

Hatiku tersayat seketika, dan aku tersadar dari lamunanku. Ku dengar abah menanyakan apakah ada nasi di rumahku ini? Sudah satu minggu Abah tidak ada kerjaan, belum musim tanam maupun musim panen di sawah. Masih musim kemarau, buruh serabutan pun masih sepi, tampaknya beras kami pun sudah habis beberapa hari ini. Ya cukuplah singkong bakar dan sayur daun singkong kami jadikan pengganjal rasa lapar malam ini. Emak dia selalu berusaha maksimal seadanya memasak sesuatu bagi kami.

Aku membantu emak menyiapkan makanan di balai-balai dapur, akupun membantu adik-adikku mengambil makanannya. Tak jarang emak memberikan kami jatah makanan pas-pasan untuk kami, jangankan makan enak dan berlebih, makanan seadanya pun kami sering kekurangan.

Setelah makan, Aku pun melamun di balai-balai kamarku, kulihat kamarku yang atap dan dinding biliknya sudah rapuh dan bocor, Ya Allah sungguh aku menangis dan menjerit di dalam hati. Belum lagi jika mengingat uang sekolah adik-adik yang belum di bayarkan uang seragam dan buku. Ku peluk tubuh mungil adik-adikku, ku usap kepalanya satu-persatu.

"Anu sabar nyak Barudak, doakeun Teteh enjing uwih mawa artos ."

"Yang sabar ya anak-anak, doakan Teteh besok pulang membawa uang."

"Amiin Teh, Asep lapar Teh, nyeuri beuteng Teh."

"Amiin Teh, Asep lapar Teh, sakit perut Teh"

Aku hanya terdiam dan meneteskan air mata. Ku pejam kan mataku, aku selimuti adik-adikku pakai kain yang sudah sangat lusuh dan tipis ini. Ya Allah bantulah aku dan keluargaku, agar terlepas dari kemiskinan ini. Aku pun pergi malam ini, pergi untuk pentas pertamaku dengan teman-teman sanggar jaipongku. Semoga esok pagi, aku bisa pulang dengan membawa sedikit rezeki untuk keluarga kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status