Share

BAB.2 CAH AYU

“Aku harus lari, jangan sampai Juragan Jarwo yang mata keranjang itu menangkapku lagi! Aku harus selamat.”

Seorang perempuan berlari menembus rimbunnya hutan yang gelap. Hanya cahaya rembulan yang menjadi penerang langkahnya.

Kain jariknya sobek hingga terlihat paha mulusnya, baju kebayanya sobek di bagian dada. Telapak kakinya terluka karena menginjak ranting-ranting kering yang tajam.

Nafasnya terputus-putus, tapi sekuat tenaga tetap dia pacu dengan menarik nafas sekuat-kuatnya berharap tenaganya takkan hilang.

Wanita itu adalah Sumirah, perempuan tercantik di kampungnya, kampung   Kalimas.

“Sumirah! Sumirah! Jangan kabur kamu, Sumirah!” Juragan Jarwo berteriak kencang.

“Itu suara Juragan Jarwo. Oh tidak! Suaranya semakin dekat. Aku harus terus berlari, tidak sudi aku menjadi gundiknya!” Sumirah bermonolog dengan dirinya sendiri.

Perempuan yang baru saja ditalak oleh suaminya itu terus berlari tanpa menoleh lagi ke belakang. Hingga akhirnya dirinya terjatuh karena kakinya tersangkut pohon gadung. Durinya menancap dan menyisakan luka berdarah di betis Sumirah.

Sumirah kembali berdiri dan berusaha terus berlari walau kakinya harus berjalan dengan terpincang-pincang.

Dia terus berlari sambil menangis. Hatinya sakit, jiwanya rapuh, raganya tercabik-cabik, harga dirinya terinjak-injak dengan sangat mengenaskan.

“Kang Mas Permana, ini semua salahmu!”

Sumirah terus melanjutkan larinya, tangisnya kini benar-benar pecah. Bayangan suaminya tadi siang sungguh menancapkan amarah di sukmanya.

“Kang Mas! Apa yang kamu lakukan, Kang Mas! Kenapa kamu tega melakukan ini  semua kepadaku, Kang Mas! Apa salahku!”

Sumirah yang baru saja pulang dari rumah uwaknya terkejut mendapati suaminya,  Permana tengah bergumul dengan perempuan yang tidak halal baginya.

Perempuan itu adalah Gendis,. Seorang penari yang sangat terkenal di seluruh kampung. Penari yang dikenal dengan kemolekan tubuhnya yang sintal berisi, buah dada yang menantang setiap mata lelaki. Lenggokan tubuhnya saat menari mampu menghentikan laju angin seolah berhenti hanya untuk melihat dirinya menari.

Sebenarnya untuk kecantikan, Sumirah jauh lebih menawan dibandingkan Gendis. Sumirah dengan aura keibuan serta kelemah-lembutan  tutur katanya yang menjadikannya primadona saat dirinya masih gadis dulu, sementara Gendis  hanya bermodalkan pesona senyum genit serta suara yang dia buat mendayu-dayu memanja dan tubuhnya saja.

Mata Sumirah melotot melihat pemandangan menjijikan itu. Gendis tersenyum sinis saat melihat Sumirah memergoki suaminya tengah mencumbu dirinya dengan sangat liar. Sementara Permana suami Sumirah tampak acuh dan tetap melanjutkan kegiatannya, dia tak peduli dengan amukkan dan tangisan sang istri. Baginya Gendis lebih memberikannya kepuasan daripada Sumirah. Dirinya sudah bosan dengan perempuan yang sudah dia nikahi selama empat tahun itu. Raga Sumirah sudah tak lagi menimbulkan gairah di mata Permana.

Sumirah membanting pintu dengan kasar, matanya tak kuasa melihat hal yang menjijikan itu, terlebih kedua iblis itu sengaja membuatnya mendengar suara desahan serta rintihan kenikmatan dari mulut mereka.

Entah kenapa Sumirah tak mampu menggerakkan badannya, padahal sungguh dirinya ingin mencincang tubuh kedua manusia laknat tersebut. Tapi jangankan mencincang mendekati mereka saja kakinya mendadak terpaku, hingga akhirnya dia memilih keluar dan terduduk lemas di ruang tamunya.

Pendengarannya  masih dengan jelas mendengar lenguhan demi lenguhan suara yang baginya sangat menjijikkan itu.

Sumirah hanya bisa menangis, hingga akhirnya suara itu berhenti dengan sendirinya.

Pintu kamar terbuka lebar, Sumirah mengangkat kepalanya dan melihat suaminya memakai kembali pakaiannya, sementara wajah kelelahan milik Gendis menyunggingkan senyum sinisnya, dia membiarkan tubuh polosnya tetap seperti saat Permana menikmatinya. Sengaja tidak dia selimuti, seolah memberi tahu bahwa Permana adalah miliknya.

Permana melangkahkan kakinya ke arah Sumirah yang terduduk di lantai sambil menangis, tangannya dia letakkan di pinggang, matanya menatap bengis Sumirah. Hingga detik kemudian, dengan kejamnya

Permana menampar wajah ayu Sumirah hingga tubuhnya tersungkur, bibir Sumirah mengeluarkan darah segar.

Terdengar suara rintih kesakitan saat Permana menendang tubuh istrinya hingga terjungkal. Tak hanya itu, bahkan dengan teganya tangan kanan Permana menarik rambut Sumirah hingga gelungannya terlepas.

Tangan Permana dengan kasar menarik rambut Sumirah hingga kepala istrinya itu mendongak ke atas.

Permana meludahi wajah sumirah yang telah basah oleh airmata.

Gendis keluar dari kamar ingin melihat Sumirah yang terinjak harga dirinya itu. Pakaian telah dia kenakan. Gendis duduk dengan jumawa menghadap Sumirah yang tengah disiksa suaminya.

“Aaa ... sakit Kang Mas ....” Sumirah merintih tatkala Permana menarik rambutnya.

Kepala perih rasanya, tapi sakit di hatinya seribu kali lebih perih.

Gendis mendekatkan wajahnya dengan kepala Sumirah yang tengah ditarik rambutnya oleh Permana. Gendis meludahi wajah Sumirah.

Bagai luka yang masih meneteskan darahnya sengaja dia siram dengan cuka. Perih tak terkira.

Lagi-lagi Sumirah memekik, Permana menjambak rambut Sumirah dengan kasar hingga banyak helaian rambut yang tersangkut di ttangannya Rambut Sumirah tergerai berantakan.

“Heh mandul! Pergi kau dari sini, mulai saat ini kau aku ceraikan. Wanita mandul sepertimu tak pantas dipertahankan,” suara Permana menggelegar, meremukkan hati Sumirah.

“Ta—pi aku harus pergi ke mana Kang Mas? Ini sudah malam. Lagipula rumah ini adalah milikku, warisan dari ramaku, kamu yang harusnya pergi bukan aku!”

Suara Sumirah terdengar sangat pilu tatkala Permana menyeret paksa tangan Sumirah lalu melemparkannya keluar pintu bagai anjing buduk.

“Ini rumahku, terserah kau mau ke mana. Ramamu sudah mati. Jadi harta beserta rumah ini milikku. Enyahlah kau dari hadapanku! Dasar wanita mandul!”

Rama Sumirah adalah juragan tanah yang sangat kaya raya, tapi entah kenapa sangat menyayangi Permana yang seorang pemabuk dan pemalas hingga akhirnya mengangkatnya sebagai menantunya, suami Sumirah.

Tapi hanya berhitung bulan pernikahan Sumirah dan Permana, rama Sumirah meninggal tiba-tiba, padahal tidak pernah sakit. Hingga akhirnya semua hartanya jatuh di tangan Sumirah yang secara otomatis menjadi milik Permana.

Warga kampung berkumpul melihat apa yang tengah terjadi, mereka iba dengan Sumirah tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Seluruh warga kampung sangat takut dengan Permana, karena mereka mempunyai hutang yang sangat banyak. Jika ada yang berani membantu Sumirah, maka dapat dipastikan orang itu akan kehilangan rumahnya karena disita oleh Permana si lintah darat.

Sumirah berdiri terhuyung-huyung. Dia diusir tanpa boleh membawa seperserpun uang, harta satu-satunya hanya pakaian yang melekat ditubuhnya.

Sumirah berjalan pelan meninggalkan rumah yang sudah dia tempati sedari kecil itu.

Gendis tertawa penuh kemenangan melihat Sumirah pergi, Permana menggandeng Gendis agar masuk ke rumah lalu menutup pintu dengan keras.

Sumirah berjalan menyusuri pinggir hutan, dia akan kembali kerumah uwaknya, hanya itu satu-satunya tempat dia kembali.

Tapi tiba-tiba dirinya dihadang oleh Juragan Jarwo, Maman dan Paijo. Mereka menyeret Sumirah ke tengah hutan dan melemparkan paksa Sumirah ke dalam gubuk tua.

“Jo, Man, kalian jaga di luar, aku mau bersenang-senang.”

“Wokey, Juragan. Siap!”

Sumirah ketakutan, dia tak sudi tubuhnya disentuh oleh Juragan Jarwo. Sumirah berusaha lari, tetapi tubuhnya dengan mudah ditangkap Juragan Jarwo karena memang tubuh dan tenaga mereka jauh berbeda.

Dengan beringas Juragan Jarwo membuka paksa kancing kebaya Sumirah dengan susah hingga sobek karena ditahan tangan Sumirah.

“Wadoh....” Juragan Jarwo menjerit kesakitan.

Sumirah menggigit tangan Juragan  Jarwo, sehingga dapat berdiri dari posisi yang ditimpa tubuh besar Juragan Jarwo.

Juragan Jarwo menarik paksa jarik yang digunakan oleh Sumirah hingga sobek hingga terlihat paha mulus milik Sumirah.

Sumirah yang terpojok akhirnya mendendang keras pusaka Juragan Jarwo dan kabur melalu pintu belakang gubuk.

Sumirah terus berlari hingga dirinya sampai di Rawa Ireng.

Dia menyadari bahwa Rawa Ireng adalah tempat keramat yang dijauhi semua orang, yang konon katanya orang yang masuk tak dapat lagi keluar.

Sumirah tak peduli, dia lebih memilih mati di Rawa Ireng daripada dinodai oleh Juragan Jarwo.

Sumirah menangis tersedu, kini dia berada di pusat Rawa Ireng. Dirinya sudah tidak mendengar lagi suara langkah kaki mengejarnya. Sumirah berfikir jika Juragan Jarwo dan anak buahnya pasti tak berani mengikuti dirinya hingga ke Rawa Ireng.

Sumirah terduduk di tanah rawa yang lembab dan basah.

“Aaa!” Sumirah berteriak kencang sambil memukul-mukul keras dadanya.

Sumirah terus memukul-mukul dadanya berharap sesak di dadanya bisa keluar, berharap rasa sakit di dadanya bisa berkurang. Tapi nyatanya sia-sia.

“Aaa!” Permpuan ayu tersebut terus berteriak dengan putus asa, dia tak peduli lagi jika para penghuni Rawa Ireng akan marah karena terganggu dengan teriakan dan tangisnya. Baginya rasa sakit dihatinya sangat besar, dia tak peduli jika dia harus mati di Rawa Ireng.

Tiba-tiba bau bangkai tercium dengan pekat, bukan tak menyadari hal ini tapi Sumirah sudah tidak peduli.

Dirinya kembali memukul-mukul dadanya dengan keras, tangisnya kembali pecah dan terdengar sangat menyayat. Dia mengeluarkan semua air matanya, biarlah kering asal perasaannya membaik.

Tapi sebanyak apapun air matanya keluar, justru rasa sakit di hatinya semakin terasa. Dia merasa menjadi wanita bodoh dan lemah karena tak mampu melawan Permana suaminya, manusia berhati iblis itu.

Tiba-tiba bau busuk itu menghilang dan berubah menjadi wangi aroma kenanga.

“Mungkin ini akhir dari hidupku,” Sumirah berkata lirih sambil terus menangis dan memukul dadanya dengan keras.

Sumirah sudah siap mati dimakan lelembut Rawa Ireng.

Mata Sumirah terpejam, bersiap-siap menghadapi murka para penghuni Rawa Ireng.

Aroma bunga kenanga semakin tercium pekat, Sumirah lemas dan pasrah.

Namun apa yang Sumirah pikirkan tidak terjadi, tidak ada hal buruk yang menimpa dirinya.

Justru dia mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya.

“Cah Ayu ....” (Anak cantik.)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status