Share

BAB.3 NYAI MUTIK

“Cah Ayu....”

Sumirah mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya, tengkuknya meremang, matanya semakin dia tutup rapat. Suaranya masih tetap menangis sesenggukkan. Sumirah sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya.

“Cah Ayu, ojo nangis. Menengo.” ( Anak cantik, jangan menangis. Diamlah...”

Suara lembut perempuan terdengar kembali. Sumirah perlahan menghentikan tangisnya.

“Cah Ayu, bukak o mripatmu.” ( Anak cantik, bukalah matamu.)

Sumirah membuka pelan matanya, detik  kemudian matanya terbuka lebar, matanya melotot melihat apa yang ada di depannya.

Seekor ular kobra sebesar pohon jati yang berusia ratusan tahun tengah menatap wajahnya,  sisiknya yang berwarna putih susu berkilau memantulkan cahaya rembulan. Matanya merah bagaikan batu delima, gigi taringnya tajam bagai sebilah pedang. Ular itu tapi tak beraroma amis khas hewan melata, melainkan ber-aromakan wangi bunga kantil.

Perlahan kepala ular semakin mendekati wajah Sumirah.

Dekat dan semakin dekat hingga sang ular hanya berjarak beberapa centi dari wajah Sumirah.

Mata sang ular yang merah memantulkan wajah Sumirah yang seolah ditelan olehnya.

Sumirah pingsan, sang ular kobra berputar mengelilingi tubuh tak berdaya milik Sumirah, kepalanya berdiri menatap tajam Sumirah yang tengah pingsan.

Dari kejauhan tampak sinar obor yang perlahan mendekat ke arah sang ular.

Perempuan dengan kemben warna emas dan kain jarik lurik yang senada, rambut hitam lurus sepinggang miliknya ia biarkan tergerai begitu saja. Perempuan tersebut merapatkan kedua telapak tangannya lalu dia tempelkan di dada dan menunduk khidmat.

“Sugeng dalu, Ratu. Wonten punapa memanggilipun kawula?” ( Selamat malam ratu, ada apa sehingga memanggil saya).

Sang ular mendesis, lidah bercabangnya menjulur-julur.

“Bawa perempuan ini ke pondokmu, Mutik. Lalu sembuhkanlah dia. Aku menyukainya, tapi aku tidak bisa membawanya ke istanaku selagi bukan dari keinginan hatinya sendiri. Aku hanya bisa membawa mereka-mereka yang berhati busuk, atau mereka yang membutuhkan bantuan dariku. Tapi sayangnya perempuan ini datang ke sini bukan untuk meminta bantuanku, juga hatinya masih bersih. Setelah dia sadar tanyakanlah kenapa dia sampai ingin mati di Rawa Ireng. Jika dia butuh bantuan, maka akan aku bantu.”

“Siap nampi dhawuh, Gusti Ratu.” (Siap menerima perinta,h Gusti Ratu.)

Sang ratu pergi meninggalkam Nyai Mutik dan Sumirah yang pingsan.

Nyai Mutik menatap tubuh Sumirah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Pantas saja gusti ratu tertarik dengan perempuan ini, auranya sama dengan warna sisik sang ratu, tapi sayangnya aku tak mungkin membopongmu hingga ke pondokku!”

Nyai Mutik memejamkan mata lalu mulutnya komat-kamit, tak lama kemudian muncul lagi ular hitam bertanduk emas sebesar pohon kelapa mendekatinya.

Ular hitam itu mendesis dan menjulurkan lidahnya ke tubuh Sumirah.

“Panganan!” ( Makanan!”) Lagi, ular hitam itu mendesis sambil menjulurkan lidahnya kearah tubuh Sumirah.

“Pangan o nek koe pingin mati!” ( Makan saja kalau kamu ingin mati)

Ssstt... ssstt ...

Ular hitam itu kembali menarik lidahnya.

“Wangine enak banget, nggawe luwe. Iki sopo Mutik?” ( Aromanya sangat enak, bikin lapar. Perempuan ini siapa?)

“Lapar? Bukannya kamu baru saja makan manusia yang mengejar perempuan ini?”

“ Kae Ora enak, mambu bacin. Nek iki wangi ne enak. Iki sopo Mutik? Kok ora koe jawab pitakonku ket mau.” ( Dia tidak enak, baunya busuk. Kalau perempuan ini baunya enak . Dia siapa Mutik? Dari tadi tidak kau jawab pertanyaanku.)

“Aku yo gak ngerti sopo, pokok e ojo koe pangan. Perintah gusti ratu, koe gendong wedokan iki, terus gowo ning pondokku. Eling, ojo koe pangan. Wani mangan siap- siap mati koe.” ( Aku juga tidak tahu, jangan kamu makan, ini perintah gusti ratu, kamu gendong saja dia, lalu antar ke pondokku. Ingat, jangan kamu makan. Kalau nekat siap-siap kamu mati.”

Setelah mendengar perintah dari Nyai Mutik, dalam sekejap mata ular hitam bertanduk emas itu merubah wujudnya menjadi seorang pria tampan.

“Ngopo berubah dadi menungso, koe gowo wae pakek buntut mu.” ( Ngapain berubah jadi manusia? Kamu bawa saja dia pakai ekormu!”)

“Wedokan iki ayune pol Mutik, man eman ndak awakke mambu...!” (Perempuan ini cantik sekali Mutik, sayang nanti badannya bau.

“Heleeh, kakean lakon koe, wis gowo meng pondokku.” ( Heleh, banyak gaya kamu,sudah cepat bawa dia ke rumahku)

***

Sinar mentari pagi masuk ke pondok yang bergaya kuno akan tetapi masih sangat kokoh. Cahayanya menembus jendela hingga membuat Sumirah yang sejak semalam pingsan terbangun saat matanya merasa silau.

“Sudah sadar, Cah Ayu?”

Nyai Mutik yang menyadari jika tamunya telah sadar bergegas menghampirinya.

Sumirah bangun perlahan dari dipan, kepalanya masih sedikit pusing. Dia mengarahkan pandangannya ke penjuru pondok.

“Minumlah, Cah Ayu!”

Nyai Mutik memberikan secangkir teh hangat untuk Sumirah, sementara yang diberi minuman menerimanya dengan tangan gemetar.

“Apakah aku sudah mati?” Sumirah bertanya lirih sambil menatap wajah ayu perempuan di depannya yang terlihat begitu menawan seperti bidadari.

“Minumlah dulu, Cah Ayu. Setelah itu kau boleh menanyakan semua yang ingin kau tanyakan dan akan aku jawab.”

Sumirah mengangguk lalu perlahan meminum teh hangat yang sangat wangi tersebut hingga akhirnya sakit kepalanya hilang. Tenaganya terisi kembali, Sumirah memeriksa seluruh tubuhnya, bersih tanpa ada sedikitpun luka. Padahal tubuhnya sangat kotor dan penuh luka. Sumirah sangat heran.

“Kalau boleh tahu anda siapa? Saya di mana? Dan kenapa menolong saya?”

Mutik tersenyum, ternyata suara perempuan yang telah ditolongnya sangat halus, cocok dengan wajahnya yang sangat ayu.

“Sebelum saya jawab pertanyaanmu, saya ingin tahu siapa namamu dan kenapa kamu bisa sampai di Rawa Ireng.”

Sumirah bergetar, dia teringat dengan ular putih yang sangat besar itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya.

Nyai Mutik menggenggam perlahan tangan  Sumirah.

“Tenanglah, Cah Ayu. Ceritakanlah perlahan.”

Entah kenapa tiba-tiba Sumirah merasa tenang setelah tangannya disentuh oleh Nyai Mutik.

“Nama saya Sumirah, Nyai. Saya tidak sengaja sampai ke Rawa Ireng saat dikejar-kejar orang yang mau menodai saya. Saya Diusir oleh suami saya, Nyai.”

Sumirah pun menceritakan semua peristiwa yang dia alami sebelum dirinya sampai di Rawa Ireng. Sesekali air mata membasahi wajahnya. Nyai Mutik yang mendengarkan cerita Sumirah sambil mengangguk-anggukan kepala, sesekali dia mengepalkan tangan dengan kuat.

Nyai Mutik tidak menyela sedikitpun perkataan Sumirah. Dia biarkan Sumirah menceritakan semua himpitan di hatinya hingga selesai.

“Sudah selesai ceritanya, Cah Ayu?”

Sumirah mengangguk sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya.

“Kamu tau, Sumirah. Lelaki yang mengejarmu sudah mati di Rawa Ireng, dia mati karena hatinya busuk.”

“Juragan Jarwo mati ....” Sumirah bergumam pelan, tak menyangka antek Menir yang terkenal bengis itu mati mengenaskan di Rawa Ireng.

“Namaku Mutik, Sumirah. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Nyai Mutik.”

“Nya—i  Mu—tik?” Sumirah menyebut nama perempuan cantik di hadapannya dengan terbata-bata.

Nyai Mutik terkekeh melihat ekspresi Sumirah.Sementara itu Sumirah tidak tahu harus takut atau bahagia bertemu dengan Nyai Mutik.

Ternyata perempuan cantik yang telah merawatnya adalah perempuan yang sangat dihormati di seluruh pelosok pulau jawa. Bahkan para Menir Belanda pun segan terhadapnya.

Konon nyai Mutik sudah berusia dua ratus tahun, tapi wajahnya masih sangat cantik seperti gadis perawan. Tubuhnya juga sangat terawat dan indah. Gendis wanita penggoda itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pesona Nyai Mutik.

Alasan lain kenapa Nyai Mutik sangat disegani karena ilmu kebatinan yang luar biasa. Banyak rumor yang mengatakan tak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh nyai Mutik. Hal itu dapat dilihat dari wajah Nyai Mutik yang tak ada tanda-tanda penuaan sedikitpun.

Bagi Sumirah kemapuan Nyai bukanlah rumor, dia telah membuktikannya sendiri, luka di tubuhnya hilang tak berbekas dalam semalam.

Hati kecil Sumirah tercubit, dia tiba-tiba teringat dengan hinaan yang dia terima dari Permana suaminya, lebih tepatnya mantan suaminya karena dia telah dicerai.

Dia ingin membalas dendam semua perlakuan yang diterima dirinya. Perlahan api dendam membakar hatinya.

Nyai Mutik tersenyum saat melihat jika aura Sumirah mulai memudar dan perlahan tertutup kabut hitam.

“Nyai, maaf jika saya lancang, bolehkah saya ....”

Sumirah ragu, tapi dia harus jujur mengatakan keinginannya. Menurutnya kesempatan ini tidak datang dua kali.

Sementara itu Nyai Mutik tersenyum menunggu Sumirah melanjutkan perkataannya.

“Tolong jadikanlah saya muridmu, Nyai.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status