Home / Horor / SUSUK TERATAI PUTIH / BAB.3 NYAI MUTIK

Share

BAB.3 NYAI MUTIK

Author: UMMA LAILA
last update Last Updated: 2023-10-11 16:32:43

“Cah Ayu....”

Sumirah mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya, tengkuknya meremang, matanya semakin dia tutup rapat. Suaranya masih tetap menangis sesenggukkan. Sumirah sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya.

“Cah Ayu, ojo nangis. Menengo.” ( Anak cantik, jangan menangis. Diamlah...”

Suara lembut perempuan terdengar kembali. Sumirah perlahan menghentikan tangisnya.

“Cah Ayu, bukak o mripatmu.” ( Anak cantik, bukalah matamu.)

Sumirah membuka pelan matanya, detik  kemudian matanya terbuka lebar, matanya melotot melihat apa yang ada di depannya.

Seekor ular kobra sebesar pohon jati yang berusia ratusan tahun tengah menatap wajahnya,  sisiknya yang berwarna putih susu berkilau memantulkan cahaya rembulan. Matanya merah bagaikan batu delima, gigi taringnya tajam bagai sebilah pedang. Ular itu tapi tak beraroma amis khas hewan melata, melainkan ber-aromakan wangi bunga kantil.

Perlahan kepala ular semakin mendekati wajah Sumirah.

Dekat dan semakin dekat hingga sang ular hanya berjarak beberapa centi dari wajah Sumirah.

Mata sang ular yang merah memantulkan wajah Sumirah yang seolah ditelan olehnya.

Sumirah pingsan, sang ular kobra berputar mengelilingi tubuh tak berdaya milik Sumirah, kepalanya berdiri menatap tajam Sumirah yang tengah pingsan.

Dari kejauhan tampak sinar obor yang perlahan mendekat ke arah sang ular.

Perempuan dengan kemben warna emas dan kain jarik lurik yang senada, rambut hitam lurus sepinggang miliknya ia biarkan tergerai begitu saja. Perempuan tersebut merapatkan kedua telapak tangannya lalu dia tempelkan di dada dan menunduk khidmat.

“Sugeng dalu, Ratu. Wonten punapa memanggilipun kawula?” ( Selamat malam ratu, ada apa sehingga memanggil saya).

Sang ular mendesis, lidah bercabangnya menjulur-julur.

“Bawa perempuan ini ke pondokmu, Mutik. Lalu sembuhkanlah dia. Aku menyukainya, tapi aku tidak bisa membawanya ke istanaku selagi bukan dari keinginan hatinya sendiri. Aku hanya bisa membawa mereka-mereka yang berhati busuk, atau mereka yang membutuhkan bantuan dariku. Tapi sayangnya perempuan ini datang ke sini bukan untuk meminta bantuanku, juga hatinya masih bersih. Setelah dia sadar tanyakanlah kenapa dia sampai ingin mati di Rawa Ireng. Jika dia butuh bantuan, maka akan aku bantu.”

“Siap nampi dhawuh, Gusti Ratu.” (Siap menerima perinta,h Gusti Ratu.)

Sang ratu pergi meninggalkam Nyai Mutik dan Sumirah yang pingsan.

Nyai Mutik menatap tubuh Sumirah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Pantas saja gusti ratu tertarik dengan perempuan ini, auranya sama dengan warna sisik sang ratu, tapi sayangnya aku tak mungkin membopongmu hingga ke pondokku!”

Nyai Mutik memejamkan mata lalu mulutnya komat-kamit, tak lama kemudian muncul lagi ular hitam bertanduk emas sebesar pohon kelapa mendekatinya.

Ular hitam itu mendesis dan menjulurkan lidahnya ke tubuh Sumirah.

“Panganan!” ( Makanan!”) Lagi, ular hitam itu mendesis sambil menjulurkan lidahnya kearah tubuh Sumirah.

“Pangan o nek koe pingin mati!” ( Makan saja kalau kamu ingin mati)

Ssstt... ssstt ...

Ular hitam itu kembali menarik lidahnya.

“Wangine enak banget, nggawe luwe. Iki sopo Mutik?” ( Aromanya sangat enak, bikin lapar. Perempuan ini siapa?)

“Lapar? Bukannya kamu baru saja makan manusia yang mengejar perempuan ini?”

“ Kae Ora enak, mambu bacin. Nek iki wangi ne enak. Iki sopo Mutik? Kok ora koe jawab pitakonku ket mau.” ( Dia tidak enak, baunya busuk. Kalau perempuan ini baunya enak . Dia siapa Mutik? Dari tadi tidak kau jawab pertanyaanku.)

“Aku yo gak ngerti sopo, pokok e ojo koe pangan. Perintah gusti ratu, koe gendong wedokan iki, terus gowo ning pondokku. Eling, ojo koe pangan. Wani mangan siap- siap mati koe.” ( Aku juga tidak tahu, jangan kamu makan, ini perintah gusti ratu, kamu gendong saja dia, lalu antar ke pondokku. Ingat, jangan kamu makan. Kalau nekat siap-siap kamu mati.”

Setelah mendengar perintah dari Nyai Mutik, dalam sekejap mata ular hitam bertanduk emas itu merubah wujudnya menjadi seorang pria tampan.

“Ngopo berubah dadi menungso, koe gowo wae pakek buntut mu.” ( Ngapain berubah jadi manusia? Kamu bawa saja dia pakai ekormu!”)

“Wedokan iki ayune pol Mutik, man eman ndak awakke mambu...!” (Perempuan ini cantik sekali Mutik, sayang nanti badannya bau.

“Heleeh, kakean lakon koe, wis gowo meng pondokku.” ( Heleh, banyak gaya kamu,sudah cepat bawa dia ke rumahku)

***

Sinar mentari pagi masuk ke pondok yang bergaya kuno akan tetapi masih sangat kokoh. Cahayanya menembus jendela hingga membuat Sumirah yang sejak semalam pingsan terbangun saat matanya merasa silau.

“Sudah sadar, Cah Ayu?”

Nyai Mutik yang menyadari jika tamunya telah sadar bergegas menghampirinya.

Sumirah bangun perlahan dari dipan, kepalanya masih sedikit pusing. Dia mengarahkan pandangannya ke penjuru pondok.

“Minumlah, Cah Ayu!”

Nyai Mutik memberikan secangkir teh hangat untuk Sumirah, sementara yang diberi minuman menerimanya dengan tangan gemetar.

“Apakah aku sudah mati?” Sumirah bertanya lirih sambil menatap wajah ayu perempuan di depannya yang terlihat begitu menawan seperti bidadari.

“Minumlah dulu, Cah Ayu. Setelah itu kau boleh menanyakan semua yang ingin kau tanyakan dan akan aku jawab.”

Sumirah mengangguk lalu perlahan meminum teh hangat yang sangat wangi tersebut hingga akhirnya sakit kepalanya hilang. Tenaganya terisi kembali, Sumirah memeriksa seluruh tubuhnya, bersih tanpa ada sedikitpun luka. Padahal tubuhnya sangat kotor dan penuh luka. Sumirah sangat heran.

“Kalau boleh tahu anda siapa? Saya di mana? Dan kenapa menolong saya?”

Mutik tersenyum, ternyata suara perempuan yang telah ditolongnya sangat halus, cocok dengan wajahnya yang sangat ayu.

“Sebelum saya jawab pertanyaanmu, saya ingin tahu siapa namamu dan kenapa kamu bisa sampai di Rawa Ireng.”

Sumirah bergetar, dia teringat dengan ular putih yang sangat besar itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya.

Nyai Mutik menggenggam perlahan tangan  Sumirah.

“Tenanglah, Cah Ayu. Ceritakanlah perlahan.”

Entah kenapa tiba-tiba Sumirah merasa tenang setelah tangannya disentuh oleh Nyai Mutik.

“Nama saya Sumirah, Nyai. Saya tidak sengaja sampai ke Rawa Ireng saat dikejar-kejar orang yang mau menodai saya. Saya Diusir oleh suami saya, Nyai.”

Sumirah pun menceritakan semua peristiwa yang dia alami sebelum dirinya sampai di Rawa Ireng. Sesekali air mata membasahi wajahnya. Nyai Mutik yang mendengarkan cerita Sumirah sambil mengangguk-anggukan kepala, sesekali dia mengepalkan tangan dengan kuat.

Nyai Mutik tidak menyela sedikitpun perkataan Sumirah. Dia biarkan Sumirah menceritakan semua himpitan di hatinya hingga selesai.

“Sudah selesai ceritanya, Cah Ayu?”

Sumirah mengangguk sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya.

“Kamu tau, Sumirah. Lelaki yang mengejarmu sudah mati di Rawa Ireng, dia mati karena hatinya busuk.”

“Juragan Jarwo mati ....” Sumirah bergumam pelan, tak menyangka antek Menir yang terkenal bengis itu mati mengenaskan di Rawa Ireng.

“Namaku Mutik, Sumirah. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Nyai Mutik.”

“Nya—i  Mu—tik?” Sumirah menyebut nama perempuan cantik di hadapannya dengan terbata-bata.

Nyai Mutik terkekeh melihat ekspresi Sumirah.Sementara itu Sumirah tidak tahu harus takut atau bahagia bertemu dengan Nyai Mutik.

Ternyata perempuan cantik yang telah merawatnya adalah perempuan yang sangat dihormati di seluruh pelosok pulau jawa. Bahkan para Menir Belanda pun segan terhadapnya.

Konon nyai Mutik sudah berusia dua ratus tahun, tapi wajahnya masih sangat cantik seperti gadis perawan. Tubuhnya juga sangat terawat dan indah. Gendis wanita penggoda itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pesona Nyai Mutik.

Alasan lain kenapa Nyai Mutik sangat disegani karena ilmu kebatinan yang luar biasa. Banyak rumor yang mengatakan tak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh nyai Mutik. Hal itu dapat dilihat dari wajah Nyai Mutik yang tak ada tanda-tanda penuaan sedikitpun.

Bagi Sumirah kemapuan Nyai bukanlah rumor, dia telah membuktikannya sendiri, luka di tubuhnya hilang tak berbekas dalam semalam.

Hati kecil Sumirah tercubit, dia tiba-tiba teringat dengan hinaan yang dia terima dari Permana suaminya, lebih tepatnya mantan suaminya karena dia telah dicerai.

Dia ingin membalas dendam semua perlakuan yang diterima dirinya. Perlahan api dendam membakar hatinya.

Nyai Mutik tersenyum saat melihat jika aura Sumirah mulai memudar dan perlahan tertutup kabut hitam.

“Nyai, maaf jika saya lancang, bolehkah saya ....”

Sumirah ragu, tapi dia harus jujur mengatakan keinginannya. Menurutnya kesempatan ini tidak datang dua kali.

Sementara itu Nyai Mutik tersenyum menunggu Sumirah melanjutkan perkataannya.

“Tolong jadikanlah saya muridmu, Nyai.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
bagus Sumirah balas perlakuan Permana dan gendis
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB 34 KENAPA BAPAK MEMBUANGKU?

    "Tenang, Pak Ahmad." Kyai Ibrahim, yang juga melihat apa yang dilihat oleh Pak Ahmad, berusaha menenangkan tamunya itu, padahal dirinya sendiri tidak dalam keadaan baik-baik saja."A'udzu billahi minasy-syaithanir rajim."Kyai Ibrahim segera melafalkan doa, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Seketika, sosok gelap di sudut rumah itu menjerit keras, suaranya melengking menusuk telinga.Pak Ahmad dan yang lainnya refleks menutup telinga mereka, kecuali Kyai Ibrahim yang terus melanjutkan doanya tanpa gentar. Suara jeritan semakin menggema, hingga tiba-tiba...Ckkkrrsshhh...Bau gosong menyengat memenuhi ruangan, bersamaan dengan lenyapnya sosok hitam itu.Bu Nyai Ambar masih terisak di sudut ruangan, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mencengkeram gamis yang dipakainya, mencoba menenangkan diri setelah menyaksikan kejadian yang begitu mengerikan.Seruni terduduk di lantai dengan tatapan kosong. Napasnya memburu, tangannya yang terluka masih meneteskan darah akibat goresan keris Wulu Ire

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB 33 SERUNI DAN SOSOK LAIN

    "Aku masih tidak setuju sebenarnya, Pak," Bu Nyai Ambar berkata pelan setelah memastikan bahwa Pak Ahmad sudah pergi."Yang ikhlas ya, Bu. Ini juga demi Nur. Pokoknya, Bapak punya rencana, Ibu bantu doakan," Kyai Ibrahim tersenyum sambil mengusap pelan lengan istrinya."Baik, Pak. Saya percaya sama Bapak." Bu Nyai Ambar lagi-lagi hanya bisa pasrah dan berdoa agar keputusan suaminya membawa kebaikan bagi semuanya.Sementara itu, Pak Ahmad berlari tergesa-gesa menuju rumahnya. Napasnya memburu, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia harus segera membawa Seruni ke rumah Kyai Ibrahim sebelum berangkat menemui Mbah Bejo.Setibanya di rumah, tanpa ragu, ia langsung menuju kamar Seruni. Dengan sekali dorongan kuat, pintu kamar terbuka lebar, menimbulkan suara dentuman yang cukup keras."Seruni! Bangun, Nak!" suara lantang Pak Ahmad memenuhi ruangan.Gadis itu terkejut. Matanya yang masih berat karena kantuk terbuka perlahan. Tubuhnya yang kurus tampak menggeliat, berusaha menyesuai

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB 32 KEPUTUSAN UNTUK SERUNI

    Begitu sampai di dalam kamar Seruni, Pak Ahmad mendapati anak gadisnya hanya sedang tidur lelap. Sinar matahari sore menembus jendela kamar, membiaskan cahaya ke wajah Seruni yang tampak damai. Namun, bagi Pak Ahmad, pemandangan itu justru membuatnya semakin waspada. Ia berdiri di ambang pintu, menahan napas, memastikan apakah ada hal yang tidak biasa. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya, membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Seruni. Lututnya mendadak lemas, membuatnya terduduk di lantai. Ia bersandar pada pintu kamar sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat dingin. "Apa benar dia baik-baik saja? Apa Sumirah sudah menyentuhnya?" gumamnya dalam hati. Di luar, suara burung yang kembali ke sarangnya bersahut-sahutan, mengingatkan bahwa sebentar lagi Magrib tiba. Namun, Pak Ahmad tidak bisa tenang. Ia masih merasakan hawa yang tidak biasa, seolah-olah Sumirah masih mengintainya. "Ini nggak bisa begini. Aku harus segera bertemu dengan Kyai Ibrahim s

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB-31 SUMIRAH DAN PAK AHMAD

    Pak Ahmad masih berdiri terpaku di tempatnya, nafasnya memburu. Cairan hitam yang mengepulkan asap di lantai mengeluarkan bau anyir yang semakin menusuk hidung.Seruni, yang masih tak bergeming di posisinya, mengambil gelas kopi yang lain. Dengan tenang, ia mengangkatnya ke bibir dan menyeruput isinya."Sayang sekali, Bapak tidak meminumnya," ucapnya pelan. Suara lembutnya terdengar janggal di tengah keheningan malam.Pak Ahmad menelan ludah. Ada sesuatu yang mengerikan dalam caranya berbicara—terdengar seperti Seruni, tapi ada yang berbeda.Seruni menatap Pak Ahmad dengan sorot mata yang kini berubah aneh. Pupilnya tak lagi bulat seperti manusia, melainkan menyerupai mata seekor ular—tajam, sempit, dan bersinar redup dalam kegelapan.Pak Ahmad mundur selangkah. Dadanya berdebar kencang."Kamu... kamu bukan Seruni..." suaranya nyaris tak terdengar.Seruni hanya tersenyum. Senyum yang dingin, tak berperasaan."Kenapa, Pak? Takut?"Pak Ahmad semakin panik. Keringat dingin mengalir di pe

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB 30 SIAPA KAMU!

    Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB-29 NASEHAT IRENG

    "Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status