Share

BAB-7 SYARAT dan SUMPAH

Suara guntur saling bersahutan. Hujan deras menari bersama sang angin. Tangan Sumirah berusaha menggapai sesuatu, seluruh badannya mati rasa. Pandangan matanya semakin memudar. Ditambah dengan guyuran hujan yang bagai ribuan jarum jatuh dari langit tepat di atas kulitnya yang terluka dan penuh memar itu menyempurnakan rasa sakit yang diderita oleh sang wanita yang dikhianati oleh lelaki yang selama ini menjadi lintah menyedot habis harta dan juga kebahagiaannya.

Sumirah terus menggaungkan nama sosok yang diharap dapat mengangkatnya dari penderitaannya saat ini.

Tak lama sesosok pria melangkah ke arahnya, itu adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum kesadarannya menghilang.

Sang pria menutupi tubuh polos Sumirah dengan selembar kain jarik bermotif emas lalu membopongnya menembus derasnya hujan, membawanya ke tempat di mana Sumirah memanggil nama ratunya, penguasa Rawa Ireng.

Sang ratu yang berwujud seekor ular mengelilingi tubuh Sumirah yang tergeletak di sebuah meja batu. Sang ratu mendesis dan menjulurkan lidah bercabang miliknya. Mata merah delimanya menatap tajam ke arah Sumirah.

“Apakah kau begitu putus asa, Cah Ayu. Hingga kau memanggilku, bukan memanggil Tuhanmu.”

Sang ratu menjulurkan lidahnya yang bercabang ke tubuh Sumirah, perlahan Sumirah tersadar dari pingsannya.

Awalnya Sumirah kaget melihat kembali sang ratu yang berwujud ular putih raksasa, tapi perlahan Sumirah terisak, suara seraknya semakin membuat tangisnya terdengar pilu.

“Sssst ... menengo, Cah Ayu, ojo nangis meneh, kowe njaluk opo? Bakalan tak tulungi kekarepanmu!”

(Diamlah anak cantik, jangan menangis lagi, kamu minta apa, aku akan membantu semua keinginanmu).

“Tolong saya Kanjeng Ratu.”

“Kau ingin aku menolong untuk apa, Cah Ayu?”

Sumirah diam, bingung bagaimana cara menjelaskan tentang keinginannya kepada Ratu Penguasa Rawa Ireng di hadapannya saat ini.

Sang ratu mendekatkan kepalanya ke wajah Sumirah, mencari tahu isi hati sesungguhnya dari anak manusia yang ada di depannya. Mencari kepastian sebelum dirinya benar-benar membantunya, mencari kepastian apakah benar-benar sudah tidak ada Tuhan di dalam hati Sumirah.

“Jika aku membantumu, apa yang akan kau berikan padaku sebagai balas budi, Sumirah?”

“Apa yang kanjeng ratu inginkan dari saya? Saya sudah tidak punya apa-apa lagi selain nyawa saya.” Sumirah menunduk, karena dia memang tak punya apa-apa lagi untuk dipersembahkan kepada penguasa Rawa Ireng di depannya.

“Kau ingin lepas dari guna-guna uwan setunggal bukan, Sumirah?”

Wajah Sumirah mendongak tak percaya menatap wajah sang ratu, kenapa dia bisa tahu keinginannya.

“Lalu kau ingin menjadi cantik lagi kan, Cah Ayu? Seperti Mutik?”

“Be—nar Kanjeng Ra—tu.” Sumirah menjawab dengan terbata-bata karena tidak menyangka jika Penguasa Rawa Ireng itu tahu semua isi hatinya.

Kanjeng ratu menjulurkan lidah bercabangnya ke arah perut Sumirah.

“Berikan aku keturunanmu, maka akan aku kabulkan permintaanmu!”

“Keturunan? Maksud Kanjeng Ratu?”

Sumirah sungguh tak paham dengan apa yang dimaksud dengan keturunan, dirinya mandul karena selama empat tahun tidak mampu mengandung benih dari mantan suaminya.

“Kau sedang mengandung, Sumirah. Kau mengandung anak dari Permana. Berikan keturunanmu padaku, maka akan aku kabulkan permintaanmu!”

Sumirah otomatis memegang perutnya, dia tidak tahu kalau dirinya tengah mengandung benih Permana, buah hati yang dia tunggu-tunggu selama empat tahun. Anak adalah yang menjadi alasan kenapa dirinya dicerai, karena dituduh mandul. Apakah dia tega anaknya dimakan oleh penguasa Rawa Ireng demi membalas dendam kepada Permana. Ayah dari si jabang bayi dalam perutnya.

Kanjeng ratu melingkarkan badannya mengelilingi Sumirah, kepalanya menyembul lalu bergerak dari arah belakang mendekati pendengaran Sumirah.

“Aku tidak akan memakan anakmu, dia akan menjadi wadahku selanjutnya, dia akan menjadi ratu Rawa Ireng yang baru, Sumirah.”

“Anakmu tidak akan mati, Sumirah. Justru dia akan hidup abadi sebagai wadah dari jiwaku yang baru. Begitulah cara kami bangsa lelembut Rawa Ireng tetap kekal. Termasuk Mutik, dia juga akan mencari wadah baru setiap seratus tahun sekali, dan akan berganti kulit setiap sepuluh tahun sekali”

Sumirah masih terus diam, memikirkan apa yang dikatakan oleh Kanjeng Ratu kepadanya.

“Apa kamu ragu, Sumirah? Kalau kamu ragu, pergilah dari sini, dan jangan kembali lagi untuk meminta bantuanku.”

Mendengar suara Kanjeng Ratu yang marah, Sumirah bergegas menjawab tawaran dari Ratu Rawa Ireng di hadapannya. Bagi Sumirah, kesempatan takkan datang dua kali.

“Tidak! Saya tidak ragu Kanjeng Ratu, saya hanya bingung, bagaimana cara saya menyerahkan si jabang bayi karena dia masih berada di rahim saya?”

Sang ratu menatap tepat di manik hitam milik Sumirah.

“Bersumpah setialah padaku, Sumirah. Lalu lupakan Tuhanmu. Niscaya aku akan membantumu. Jadikan aku tuanmu, tempat kamu meminta bantuan, dan serahkanlah nyawamu padaku maka kekhawatiranmu akan sirna.

Jadilah kau dayang abadiku, pelayan setiaku, dan lakukan semua syarat yang aku minta darimu, sebagai bukti janji setiamu padaku, Sumirah! Maka apa yang kau mau akan aku wujudkan.”

Sang ratu melepaskan lingkaran tubuhnya, kepalanya masih tetap menatap lurus ke mata Sumirah.

“Baik Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng. Saya, Sumirah bersumpah akan memenuhi segala syarat yang Kanjeng Ratu berikan. Saya persembahkan nyawa saya, serta akan menjadi pelayan abadi, dayang setia, dan menjadikan Kanjeng Ratu tuanku selamanya.”

Setelah Sumirah mengucap sumpah setia, tiba-tiba tubuh kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng bersinar sangat terang, cahayanya menembus langit malam yang diselimuti mendung pekat.

Para warga desa Kalimas keluar dari rumahnya, menatap takjub sekaligus ketakutan dengan cahaya tersebut. Cahaya yang konon hanya muncul jika penguasa Rawa Ireng sedang murka serta akan terjadi hal yang mengerikan.

Suara kentongan dari bambu bergegas dibunyikan oleh warga pribumi sebagai pertanda jika hal buruk akan terjadi.

“Awas, ati-ati pagebluk, ojo podo metu seko umah, poso mutih o telu dino, ojo podo nyembeleh kewan. Ati-ati ratu lelembut rawa ireng ngamuk.! Ojo podo metu soko omah telu dino! Omahe siram o nganggo uyah segoro. “ ( Awas, hati-hati wabah bencana, jangan ada yang keluar rumah, lakukan puasa mutih selama tiga hari, jangan ada yang menyembelih hewan. Hati-hati penguasa Rawa Ireng sedang murka, jangan ada yang keluar rumah selama tiga hari, sekeliling rumah ditaburi dengan garam laut!”

Kepala desa dan sesepuh langsung memberi pengumuman dan arahan kepada warganya.

Kejadian dua ratus tahun silam kini terulang kembali.

Warga langsung menyebarkan garam di sekeliling rumah mereka, lalu menutup rapat pintu rumahnya.

Hal ini juga berlaku di kediaman Permana. Gendis yang ketakutan memeluk erat tubuh lelaki di sampingnya.

Anak buahnya sibuk menabur garam di sekitar rumahnya. Wajah Gendis pucat karena ketakutan.

“Kang Mas, ono opo iki sakjane?” (Kang Mas, ada apa ini sebenarnya?)

Permana tak menjawab pertanyaan Gendis, dirinya sibuk dengan pikirannya sendiri sambil mengepalkan tangannya.

“Sumirah, opo kowe isih urip?” ( Sumirah, apakah kamu masih hidup?)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status