Home / Horor / SUSUK TERATAI PUTIH / BAB-7 SYARAT dan SUMPAH

Share

BAB-7 SYARAT dan SUMPAH

Author: UMMA LAILA
last update Last Updated: 2023-10-26 12:22:28

Suara guntur saling bersahutan. Hujan deras menari bersama sang angin. Tangan Sumirah berusaha menggapai sesuatu, seluruh badannya mati rasa. Pandangan matanya semakin memudar. Ditambah dengan guyuran hujan yang bagai ribuan jarum jatuh dari langit tepat di atas kulitnya yang terluka dan penuh memar itu menyempurnakan rasa sakit yang diderita oleh sang wanita yang dikhianati oleh lelaki yang selama ini menjadi lintah menyedot habis harta dan juga kebahagiaannya.

Sumirah terus menggaungkan nama sosok yang diharap dapat mengangkatnya dari penderitaannya saat ini.

Tak lama sesosok pria melangkah ke arahnya, itu adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum kesadarannya menghilang.

Sang pria menutupi tubuh polos Sumirah dengan selembar kain jarik bermotif emas lalu membopongnya menembus derasnya hujan, membawanya ke tempat di mana Sumirah memanggil nama ratunya, penguasa Rawa Ireng.

Sang ratu yang berwujud seekor ular mengelilingi tubuh Sumirah yang tergeletak di sebuah meja batu. Sang ratu mendesis dan menjulurkan lidah bercabang miliknya. Mata merah delimanya menatap tajam ke arah Sumirah.

“Apakah kau begitu putus asa, Cah Ayu. Hingga kau memanggilku, bukan memanggil Tuhanmu.”

Sang ratu menjulurkan lidahnya yang bercabang ke tubuh Sumirah, perlahan Sumirah tersadar dari pingsannya.

Awalnya Sumirah kaget melihat kembali sang ratu yang berwujud ular putih raksasa, tapi perlahan Sumirah terisak, suara seraknya semakin membuat tangisnya terdengar pilu.

“Sssst ... menengo, Cah Ayu, ojo nangis meneh, kowe njaluk opo? Bakalan tak tulungi kekarepanmu!”

(Diamlah anak cantik, jangan menangis lagi, kamu minta apa, aku akan membantu semua keinginanmu).

“Tolong saya Kanjeng Ratu.”

“Kau ingin aku menolong untuk apa, Cah Ayu?”

Sumirah diam, bingung bagaimana cara menjelaskan tentang keinginannya kepada Ratu Penguasa Rawa Ireng di hadapannya saat ini.

Sang ratu mendekatkan kepalanya ke wajah Sumirah, mencari tahu isi hati sesungguhnya dari anak manusia yang ada di depannya. Mencari kepastian sebelum dirinya benar-benar membantunya, mencari kepastian apakah benar-benar sudah tidak ada Tuhan di dalam hati Sumirah.

“Jika aku membantumu, apa yang akan kau berikan padaku sebagai balas budi, Sumirah?”

“Apa yang kanjeng ratu inginkan dari saya? Saya sudah tidak punya apa-apa lagi selain nyawa saya.” Sumirah menunduk, karena dia memang tak punya apa-apa lagi untuk dipersembahkan kepada penguasa Rawa Ireng di depannya.

“Kau ingin lepas dari guna-guna uwan setunggal bukan, Sumirah?”

Wajah Sumirah mendongak tak percaya menatap wajah sang ratu, kenapa dia bisa tahu keinginannya.

“Lalu kau ingin menjadi cantik lagi kan, Cah Ayu? Seperti Mutik?”

“Be—nar Kanjeng Ra—tu.” Sumirah menjawab dengan terbata-bata karena tidak menyangka jika Penguasa Rawa Ireng itu tahu semua isi hatinya.

Kanjeng ratu menjulurkan lidah bercabangnya ke arah perut Sumirah.

“Berikan aku keturunanmu, maka akan aku kabulkan permintaanmu!”

“Keturunan? Maksud Kanjeng Ratu?”

Sumirah sungguh tak paham dengan apa yang dimaksud dengan keturunan, dirinya mandul karena selama empat tahun tidak mampu mengandung benih dari mantan suaminya.

“Kau sedang mengandung, Sumirah. Kau mengandung anak dari Permana. Berikan keturunanmu padaku, maka akan aku kabulkan permintaanmu!”

Sumirah otomatis memegang perutnya, dia tidak tahu kalau dirinya tengah mengandung benih Permana, buah hati yang dia tunggu-tunggu selama empat tahun. Anak adalah yang menjadi alasan kenapa dirinya dicerai, karena dituduh mandul. Apakah dia tega anaknya dimakan oleh penguasa Rawa Ireng demi membalas dendam kepada Permana. Ayah dari si jabang bayi dalam perutnya.

Kanjeng ratu melingkarkan badannya mengelilingi Sumirah, kepalanya menyembul lalu bergerak dari arah belakang mendekati pendengaran Sumirah.

“Aku tidak akan memakan anakmu, dia akan menjadi wadahku selanjutnya, dia akan menjadi ratu Rawa Ireng yang baru, Sumirah.”

“Anakmu tidak akan mati, Sumirah. Justru dia akan hidup abadi sebagai wadah dari jiwaku yang baru. Begitulah cara kami bangsa lelembut Rawa Ireng tetap kekal. Termasuk Mutik, dia juga akan mencari wadah baru setiap seratus tahun sekali, dan akan berganti kulit setiap sepuluh tahun sekali”

Sumirah masih terus diam, memikirkan apa yang dikatakan oleh Kanjeng Ratu kepadanya.

“Apa kamu ragu, Sumirah? Kalau kamu ragu, pergilah dari sini, dan jangan kembali lagi untuk meminta bantuanku.”

Mendengar suara Kanjeng Ratu yang marah, Sumirah bergegas menjawab tawaran dari Ratu Rawa Ireng di hadapannya. Bagi Sumirah, kesempatan takkan datang dua kali.

“Tidak! Saya tidak ragu Kanjeng Ratu, saya hanya bingung, bagaimana cara saya menyerahkan si jabang bayi karena dia masih berada di rahim saya?”

Sang ratu menatap tepat di manik hitam milik Sumirah.

“Bersumpah setialah padaku, Sumirah. Lalu lupakan Tuhanmu. Niscaya aku akan membantumu. Jadikan aku tuanmu, tempat kamu meminta bantuan, dan serahkanlah nyawamu padaku maka kekhawatiranmu akan sirna.

Jadilah kau dayang abadiku, pelayan setiaku, dan lakukan semua syarat yang aku minta darimu, sebagai bukti janji setiamu padaku, Sumirah! Maka apa yang kau mau akan aku wujudkan.”

Sang ratu melepaskan lingkaran tubuhnya, kepalanya masih tetap menatap lurus ke mata Sumirah.

“Baik Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng. Saya, Sumirah bersumpah akan memenuhi segala syarat yang Kanjeng Ratu berikan. Saya persembahkan nyawa saya, serta akan menjadi pelayan abadi, dayang setia, dan menjadikan Kanjeng Ratu tuanku selamanya.”

Setelah Sumirah mengucap sumpah setia, tiba-tiba tubuh kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng bersinar sangat terang, cahayanya menembus langit malam yang diselimuti mendung pekat.

Para warga desa Kalimas keluar dari rumahnya, menatap takjub sekaligus ketakutan dengan cahaya tersebut. Cahaya yang konon hanya muncul jika penguasa Rawa Ireng sedang murka serta akan terjadi hal yang mengerikan.

Suara kentongan dari bambu bergegas dibunyikan oleh warga pribumi sebagai pertanda jika hal buruk akan terjadi.

“Awas, ati-ati pagebluk, ojo podo metu seko umah, poso mutih o telu dino, ojo podo nyembeleh kewan. Ati-ati ratu lelembut rawa ireng ngamuk.! Ojo podo metu soko omah telu dino! Omahe siram o nganggo uyah segoro. “ ( Awas, hati-hati wabah bencana, jangan ada yang keluar rumah, lakukan puasa mutih selama tiga hari, jangan ada yang menyembelih hewan. Hati-hati penguasa Rawa Ireng sedang murka, jangan ada yang keluar rumah selama tiga hari, sekeliling rumah ditaburi dengan garam laut!”

Kepala desa dan sesepuh langsung memberi pengumuman dan arahan kepada warganya.

Kejadian dua ratus tahun silam kini terulang kembali.

Warga langsung menyebarkan garam di sekeliling rumah mereka, lalu menutup rapat pintu rumahnya.

Hal ini juga berlaku di kediaman Permana. Gendis yang ketakutan memeluk erat tubuh lelaki di sampingnya.

Anak buahnya sibuk menabur garam di sekitar rumahnya. Wajah Gendis pucat karena ketakutan.

“Kang Mas, ono opo iki sakjane?” (Kang Mas, ada apa ini sebenarnya?)

Permana tak menjawab pertanyaan Gendis, dirinya sibuk dengan pikirannya sendiri sambil mengepalkan tangannya.

“Sumirah, opo kowe isih urip?” ( Sumirah, apakah kamu masih hidup?)

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aridiyan Anggraini
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB 34 KENAPA BAPAK MEMBUANGKU?

    "Tenang, Pak Ahmad." Kyai Ibrahim, yang juga melihat apa yang dilihat oleh Pak Ahmad, berusaha menenangkan tamunya itu, padahal dirinya sendiri tidak dalam keadaan baik-baik saja."A'udzu billahi minasy-syaithanir rajim."Kyai Ibrahim segera melafalkan doa, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Seketika, sosok gelap di sudut rumah itu menjerit keras, suaranya melengking menusuk telinga.Pak Ahmad dan yang lainnya refleks menutup telinga mereka, kecuali Kyai Ibrahim yang terus melanjutkan doanya tanpa gentar. Suara jeritan semakin menggema, hingga tiba-tiba...Ckkkrrsshhh...Bau gosong menyengat memenuhi ruangan, bersamaan dengan lenyapnya sosok hitam itu.Bu Nyai Ambar masih terisak di sudut ruangan, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mencengkeram gamis yang dipakainya, mencoba menenangkan diri setelah menyaksikan kejadian yang begitu mengerikan.Seruni terduduk di lantai dengan tatapan kosong. Napasnya memburu, tangannya yang terluka masih meneteskan darah akibat goresan keris Wulu Ire

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB 33 SERUNI DAN SOSOK LAIN

    "Aku masih tidak setuju sebenarnya, Pak," Bu Nyai Ambar berkata pelan setelah memastikan bahwa Pak Ahmad sudah pergi."Yang ikhlas ya, Bu. Ini juga demi Nur. Pokoknya, Bapak punya rencana, Ibu bantu doakan," Kyai Ibrahim tersenyum sambil mengusap pelan lengan istrinya."Baik, Pak. Saya percaya sama Bapak." Bu Nyai Ambar lagi-lagi hanya bisa pasrah dan berdoa agar keputusan suaminya membawa kebaikan bagi semuanya.Sementara itu, Pak Ahmad berlari tergesa-gesa menuju rumahnya. Napasnya memburu, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia harus segera membawa Seruni ke rumah Kyai Ibrahim sebelum berangkat menemui Mbah Bejo.Setibanya di rumah, tanpa ragu, ia langsung menuju kamar Seruni. Dengan sekali dorongan kuat, pintu kamar terbuka lebar, menimbulkan suara dentuman yang cukup keras."Seruni! Bangun, Nak!" suara lantang Pak Ahmad memenuhi ruangan.Gadis itu terkejut. Matanya yang masih berat karena kantuk terbuka perlahan. Tubuhnya yang kurus tampak menggeliat, berusaha menyesuai

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB 32 KEPUTUSAN UNTUK SERUNI

    Begitu sampai di dalam kamar Seruni, Pak Ahmad mendapati anak gadisnya hanya sedang tidur lelap. Sinar matahari sore menembus jendela kamar, membiaskan cahaya ke wajah Seruni yang tampak damai. Namun, bagi Pak Ahmad, pemandangan itu justru membuatnya semakin waspada. Ia berdiri di ambang pintu, menahan napas, memastikan apakah ada hal yang tidak biasa. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya, membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Seruni. Lututnya mendadak lemas, membuatnya terduduk di lantai. Ia bersandar pada pintu kamar sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat dingin. "Apa benar dia baik-baik saja? Apa Sumirah sudah menyentuhnya?" gumamnya dalam hati. Di luar, suara burung yang kembali ke sarangnya bersahut-sahutan, mengingatkan bahwa sebentar lagi Magrib tiba. Namun, Pak Ahmad tidak bisa tenang. Ia masih merasakan hawa yang tidak biasa, seolah-olah Sumirah masih mengintainya. "Ini nggak bisa begini. Aku harus segera bertemu dengan Kyai Ibrahim s

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB-31 SUMIRAH DAN PAK AHMAD

    Pak Ahmad masih berdiri terpaku di tempatnya, nafasnya memburu. Cairan hitam yang mengepulkan asap di lantai mengeluarkan bau anyir yang semakin menusuk hidung.Seruni, yang masih tak bergeming di posisinya, mengambil gelas kopi yang lain. Dengan tenang, ia mengangkatnya ke bibir dan menyeruput isinya."Sayang sekali, Bapak tidak meminumnya," ucapnya pelan. Suara lembutnya terdengar janggal di tengah keheningan malam.Pak Ahmad menelan ludah. Ada sesuatu yang mengerikan dalam caranya berbicara—terdengar seperti Seruni, tapi ada yang berbeda.Seruni menatap Pak Ahmad dengan sorot mata yang kini berubah aneh. Pupilnya tak lagi bulat seperti manusia, melainkan menyerupai mata seekor ular—tajam, sempit, dan bersinar redup dalam kegelapan.Pak Ahmad mundur selangkah. Dadanya berdebar kencang."Kamu... kamu bukan Seruni..." suaranya nyaris tak terdengar.Seruni hanya tersenyum. Senyum yang dingin, tak berperasaan."Kenapa, Pak? Takut?"Pak Ahmad semakin panik. Keringat dingin mengalir di pe

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB 30 SIAPA KAMU!

    Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek

  • SUSUK TERATAI PUTIH    BAB-29 NASEHAT IRENG

    "Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status