Ziva masih diam menunggu Miko selesai menerima telepon dari Rio. Tak lama juga pesanan bakso urat itu datang dan disajikan langsung dua porsi di atas meja. Kepulan asap dari dalam mangkok mampu mengeluarkan aroma yang membuat Ziva ingin langsung menyantapnya.
Mata Ziva masih menatap bulatan bakso yang sudah diincarnya, namun ucapan Miko membuatnya sedikit tersentak.
“Si Rio sekarang aneh banget deh,” tuturnya. Tangannya langsung menaruh ponsel di atas meja. Tangan satunya meraih sendok dan garpu kemudian mengambil tisu untuk mengelap sendok garpu sebelum digunakan.
“Aneh gimana?” tanya Ziva, penasaran.
“Sekarang jadi suka telepon tanya lagi di mana gitu. Kayak orang pacaran aja tanya posisi terus,” gerutu Miko. Tangannya menaruh sendok dan garpu yang sudah selesai dielap untuk diletakkan di mangkok milik Ziva. Ia kemudian mengambil garpu dan sendok beserta tisu untuk mengulangi seperti tadi.
“Dia suka kali
Ziva yang kesal lebih memilih turun ke lantai dasar dan duduk di teras samping. Menangis sejadi-jadinya karena merasa kalau dunia sedang mempermainkan takdir hidupnya. Ziva ingin bahagia—bersama Miko.Ziva mendongak ke atas. Menatap langit gelap yang kebetulan sedang sedikit mendung. Entah kenapa Ziva merasa jika langit malam ini seakan tahu akan kondisi dan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja.Telinga Ziva bahkan menangkap derap langkah kaki yang mendekat. Ziva buru-buru mengusap pipinya kasar. Dan tepat sekali saat selesai mengusap bahunya ada yang menepuk dengan lembut.“Ziva, kok, duduk di sini? Emang Regan mana?” tanya Maya. Kepalanya menoleh kanan dan kiri mencari sesuatu.Ziva tersenyum tipis, bagaimanapun sikap Maya sangat baik kepadanya. “Regan di kamar. Lagi mandi,” kilah Ziva berbohong.Maya mengangguk paham dan ikut duduk di depan Ziva. Memandang mata Ziva lekat-lekat dan tersenyum begitu lembut.
“Apa yang ingin kamu lakukan kepada Miko, hah! Jika terjadi apa-apa dengan Miko, kamu orang pertama yang akan aku cari!” Ziva menatap lekat-lekat mata Regan. Menatap manik mata pria itu dengan nyalang penuh kebencian.Regan sendiri hanya diam membisu. Membalas tatapan Ziva dengan lembut—menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan.“Ziva ….”“Jadi selama ini kamu menyuruh orang untuk membuntuti kami berdua? Untuk apa Regan! Untuk apa!” teriak Ziva lantang—tidak peduli jika nanti Maya dan Narendra bangun dari tidurnya. Ziva masih kesal dan tidak menyangka jika semua kegiatan dirinya dipantau pria menyebalkan seperti Regan. Untuk apa memangnya? Tujuannya apa?“Apa tidak cukup kamu membuat aku dengan Miko menjadi kacau seperti ini, hah!” Ziva terus berteriak karena hatinya masih kesal, jengkel, dongkol. Benar-benar tidak habis pikir Regan melakukan itu.“Aku bisa jelask
Abimana Grup.Regan merasa gelisah sejak tadi, pasalnya ia sudah menunggu Ziva sejak jam makan siang sampai pukul empat sore saat ini. Regan sudah berusaha untuk menghubungi Ziva beberapa kali namun faktanya nomor perempuan itu tidak aktif.Sengaja juga hari ini Regan tidak menyuruh Rio untuk mengawasi Ziva, Regan ingin percaya ucapan Ziva tapi nyatanya hanya kekecewaan yang didapat.Tak tinggal diam, Regan menghubungi nomor rumah untuk menanyakan keberadaan Ziva. Apakah sudah pulang atau belum.“Jadi belum pulang, Bun?” tanya Regan, cemas.“Belum, Bunda pikir dia lagi banyak kegiatan karena lagi mengerjakan skripsi, kan?”“Kalau begitu Regan tutup dulu, ya. Nanti kalau ada kabar tentang Ziva tolong kabarin.”“Iya, pastinya akan Bunda kabarin.”Regan menutup panggilan telepon dengan bundanya. Pikirannya langsung mengawang ke arah Miko. Regan sudah menebak jika istrinya sedang bers
Selesai bersih-bersih dengan air hangat, Ziva keluar kamar mandi sambil mengusap-ngusap kasar rambutnya dengan handuk kecil agar cepat kering. Matanya menatap ke arah ranjang yang sudah terdapat Regan di sana. Ziva diam saja dan terus berjalan menuju ke walk in closet untuk memakai pakaian.Selesai memakai piyama, Ziva keluar dan memilih bercermin untuk menyisir rambutnya yang masih setengah basah. Tak lama sosok Regan justru menghampirinya yang tengah duduk. Entah kenapa napas Ziva merasa tercekat kala tangan Regan mengambil alih sisir yang dipegangnya.Ziva terkejut kala Regan mulai menyisir rambutnya dengan lembut. Ziva hanya bisa melihat wajah pria itu dari pantulan cermin di depannya. Wajah lembut seperti akhir-akhir ini yang sering Regan tunjukkan kepadanya. Entah apa yang merasuki pria itu hingga sekarang jadi berubah.“Regan, aku bisa sendiri,” kata Ziva, tangannya mencoba mengambil alih sisir itu tetapi Regan menolaknya dan meneruskan pekerj
Perempuan itu melangkah masuk dengan sangat anggun. Tampilannya bahkan terlihat sangat elegan sebagai seorang perempuan.“Saya Kanaya, rekan kerja Regantara.” Perempuan itu langsung tersenyum sambil mengulurkan tangan ke arah Ziva.“Ziv—Celine.” Dengan cepat pula Ziva langsung memperkenalkan diri sebagai Celine. Memang ini tugasnya jika ada yang bertanya selain anak-anak kampus yang memang sebagian sudah tahu.Perempuan itu mengangguk paham. Ia langsung duduk di seberang Ziva dengan menyilangkan kaki jenjangnya.Merasa kalah cantik dan tinggi membuat Ziva langsung insecure. Pikiran Ziva pun langsung negative soal perempuan itu. Ziva menyakini jika Regan dan perempuan itu ada hubungan spesial. Ziva sangat yakin. Mana ada perempuan secantik itu malahan dianggurin begitu.“Istri-nya Regan romantis juga, ya,” kelakarnya sambil terkekeh kecil.Ziva hanya membalas dengan senyuman tipis saja.“
Merasa kasihan melihat Ziva yang berlari-lari kecil di bawah air hujan membuat Regan segera menancapkan gasnya dan berhenti tepat di depan perempuan itu. Regan segera turun dan menarik lengan Ziva agar masuk ke mobil meski terjadi penolakan dan semua itu membuat Regan sedikit berbuat kasar dengan mencengkeram lengan Ziva kuat dan memasukkan ke mobil dengan paksa.Alhasil Regan yang memang sedang tidak enak badan pun ikut terkena air hujan malam ini demi Ziva.“Di mana alamat pria itu?” tanya Regan, kesal.Lain hal dengan perempuan itu yang masih memegang pergelangan lengannya yang sakit. Luka bekas terkena beling pun merasa sangat nyeri.“Di mana alamatnya, hah?!”Mendengar kata-kata Regan yang membentak membuat Ziva merasa takut. Apalagi Regan saat ini ikut basah juga.“Kamu bisu? Di mana alamatnya?” suara Regan terdengar menggelegar dan melihat Ziva kedinginan sekaligus ketakutan membuatnya segera mengam
Setibanya di klinik, Maya terus berdoa sakitnya Ziva karena hamil. Dan melihat dokter selesai memeriksa Ziva membuat Maya sangat antusias untuk mendengarkan penjelasan.“Kondisinya tidak apa-apa. Hanya kelelahan dan masuk angin saja. Apalagi katanya kemarin hujan-hujanan selama dua hari dalam keadaan perut kosong juga. Makanya terasa mual dan sakit perut.”“Masuk angin, Dok?” tanya Maya, memastikan sekali lagi.Dokter itu mengangguk mantap.“Tidak hamil?”Dokter itu tampak tersenyum lebar dan memaklumi. “Sudah pengin punya cucu, ya, Bu?”Tampak wajah kecewa dari Maya yang membuat Ziva merasa tidak enak sendiri yang duduk di sampingnya.“Ya begitu, Dok. Tapi yang penting menantu saya tidak apa-apa.”“Hanya perlu banyak istirahat, dan makan teratur agar tidak terkena magh.”“Baik, Dok.”Dokter itu langsung menyerahkan selembar resep
Pagi-pagi sepasang suami istri ini sudah duduk bersama di ruang makan. Bahkan aura keduanya tampak bahagia yang membuat Maya hanya menggelengkan kepala.“Bunda pagi ini buat bubur untuk kalian berdua,” katanya. Bahkan tak segan-segan Maya menyiapkan bubur itu ke dalam mangkok. “Spesial buat menantu dan anak Bunda.” Maya meletakkan kedua mangkok bubur itu di depan Regan juga Ziva.“Ayah enggak dikasih?” protes Narendra.“Ayah emang sakit?” tanya Maya, matanya melotot tajam ke arah suaminya.Narendra menggeleng cepat. “Enggak.”“Kalau pengin makan bubur sakit dulu,” balas Maya, kesal.“Enggak jadi, Bun. Mendingan beli aja nanti buburnya. Daripada makan bubur dari Bunda tapi harus sakit dulu. Ayah ogah.”Maya tambah melotot mendengar ucapan dari suaminya itu. Bahkan tidak segan-segan Maya melempar sendok ke arah Narendra yang membuat pria paruh baya itu m