Ziva sudah berpikir jika Regan akan memasak makanan eropa, atau luar negeri lainnya. Ternyata pria itu justru memasak nasi goreng untuknya. Itupun dia menggunakan bumbu racik yang sudah jadi.
“Kenapa manyun begitu?” tanya Regan yang sedang sibuk membolak-balik nasi di atas wajan.
“Kupikir bakalan dimasakin steak atau makanan luar negeri gitu. Nyatanya nasi goreng, itupun pakai bumbu racik pula.”
Pria itu langsung tersenyum melihat istrinya yang merajuk dan memprotes seperti tadi. “Aku enggak begitu jago masak, jadi apa adanya aja, ya. Kamu enggak keberatan, kan?”
Ziva langsung menggeleng cepat.
“Apapun yang kamu masak pasti akan aku makan.”
Setidaknya Ziva ingat kejadian sewaktu dirinya masak sup jagung yang keasinan itu. Regan dan keluarganya benar-benar memedulikan perasaannya. Dengan terus menghabiskan makanan itu tanpa sisa meski rasanya sangat asin.
Sambil menunggu pria itu se
Seharian ini Ziva lebih banyak melamun di perpustakaan. Hingga saat sampai rumah pun ia masih saja melamun. Kini saat sedang berdua di kamar menjelang tidur pun Ziva masih saja melamun memikirkan semua ucapan Idhar kepadanya tadi pagi.“Kamu kenapa melamun, hm?” tanya Regan. Ia langsung merangkak ke atas ranjang—lebih tepatnya duduk di samping Ziva yang sedang duduk bersandar di penyangga ranjang.“Aku kepikiran,” ucapnya.“Kepikiran soal apa, hm?”Ziva menggeleng pelan—rasanya akan percuma jika meminta Regan mencabut tuntutan kepada Miko.“Enggak mau ngomong, hm? Siapa tahu aku bisa bantu.”“Kayaknya enggak mungkin.”“Kenapa enggak mungkin?”“Ini soal Miko.”Mendengar nama bocah kecil itu disebut membuat Regan langsung segera beranjak turun dari ranjang. Kenapa melamunnya Ziva akhir-akhir ini memikirkan pria lain. Apa keberad
Sesuai janji Regan semalam yang ingin mengantarkan istrinya ke penjara untuk menjenguk Miko. Terlebih saat ini Regan sudah berada di jalan menuju ke kampus Ziva karena memang janjiannya pas jam makan siang.“Duh! Macet parah pula!” gumam Regan, kesal sendiri melihat keadaan Jakarta yang selalu macet setiap waktu.Merasa akan datang telat membuat Regan langsung menelepon nomor ponsel Ziva. Ia akan memberitahukan jika saat ini masih terjebak macet di kawasan Sudirman.Dalam deringan ke tiga untung saja panggilan Regan segera diangkat. Regan pun langsung ngomong to the poin kepada Ziva.“Halo sayang.”“Ya.”“Aku masih terjebak macet nih di Sudirman. Kamu sudah selesai bimbingan, ya?”“Sudah dari tadi. Ini lagi jalan menuju depan gerbang kampus.”“Aku enggak tahu kapan sampainya. Entah ini ada apaan di depan kenapa bisa semacet ini.”“Terus gimana
Sesampai di rumah, mereka berdua memutuskan untuk mandi bersama dan kini tengah menikmati secangkir cokelat panas di ruang keluarga.Apalagi kondisi rumah yang sedang sepi membuat Ziva tidak malu-malu untuk bersikap manja kepada Regan. Perempuan itu terus mendusel-dusel ke dada bidang sang suami.“Bunda kok sering pergi-pergi begini, sih?” tanya Ziva yang penasaran dengan Maya yang tidak betah di rumah.“Ya, dia suka bosan di rumah karena sepi. Makanya dia menyuruh kita tinggal di sini, kan?” Regan menoleh menatap manik mata Ziva lembut. “Makanya kita harus rajin-rajin membuatkan cucu untuk mereka supaya Bunda betah di rumah,” imbuhnya sambil tersenyum senang.Lain hal dengan Ziva yang justru mendesis mendengar penuturan itu. Kenapa juga isi otaknya Regan hanya soal pembuatan anak saja.“Oh iya, kamu pengin bicara apa tadi di mobil?” Regan mengambil cangkir dan menyesap cokelatnya sedikit demi sedikit
Seusai mencabut tuntutan kepada Bramono dan Miko, kini Regan sudah kembali lagi ke kantor dan tentu saja ditemani sang istri untuk menandatangani surat perjanjian syarat atas kebebasan kedua orang tersebut.“Silakan tandatangani surat itu Zivanya Alesha,” ujar Regan sambil menyerahkan selembar kertas yang sudah terdapat materai enam ribu di dalamnya.Ziva yang memang sedang duduk di sofa langsung mengerut bingung. Apalagi melihat ada materai di bawah surat itu. Entah kenapa perasaannya menjadi tidak enak.“Kenapa pakai materai segala?”“Biar kuat sayang.”Ziva berdecih sebal mendengar jawaban dari Regan. Syarat begitu saja ditempelin materai segala kayak mau pinjam uang di bank saja. Tapi, kira-kira isinya apa, ya? Ziva buru-buru membaca surat itu dari atas hingga kalimat terakhir dengan begitu teliti karena tidak mau salah mengambil tindakan atau menyesal dikemudian harinya.Kurang lebih lima belas menit
Dengan sedikit deg-degan, akhirnya Ziva menggeser tombol hijau ke samping dan menempelkan benda pipih itu ke daun telinganya.“Halo, Miko,” lirih Ziva, pelan.“Miko? Kok Miko, hm?”Ziva merasakan jika detakan jantungnya langsung memompa begitu cepat tidak seperti biasanya. Suara di seberang sana bukanlah Miko, melainkan Regan. Kok bisa nama kontak 'My Love' menjadi Regan?“Kamu masih mengira kalau nama kontak ‘My Love’ itu Miko, hm?”Mendengar tebakan Regan membuat Ziva langsung merasa bingung sendiri saat ini. Pasalnya ia belum sempat mengedit nama kontak di ponselnya sampai saat ini. Jadi siapa yang mengedit nama itu?“Em … a-aku bi-sa je—““Tidak perlu dijelaskan, tapi tunggu saja hukumannya nanti malam.”“Ta—“Nit.Ziva langsung menggeram kesal karena sambungan teleponnya dimatikan secara sepihak oleh Regan.
Pagi ini Ziva sudah rapi dengan setelan dress berwarna pink, dan dandanan yang begitu flawless. Bahkan suaminya sudah bangun dan sedang berenang.Ziva yang memang semalam melayani Regan hingga pukul empat pagi masih merasa ngantuk juga lelah. Apalagi sebelumnya tenaga Ziva sudah terkuras untuk bermain tenis meja dengan ayah mertua. Tapi, mengingat sudah berjanjian dengan papa untuk berkunjung membuat Ziva harus pergi.Di saat sedang menuruni anak tangga, yang dilihat hanya bunda Maya yang sedang bergurau dengan suaminya. Ziva langsung merasa risih sendiri hingga membuatnya terus menunduk.“Ziva, mau ke mana?” tanya Maya.Ziva mendongak dan tersenyum tipis. “Ziva ingin ke kampus, Bun.”“Lho, sabtu begini ke kampus?” kini gantian Narendra yang bertanya. Dan kedua tatapan mertuanya membuat Ziva gugup. Apalagi telinganya mendengar derap langkah kaki seseorang yang mulai mendekat.“Ada apa?” kini gi
Seusai bertemu Miko kini Ziva sudah berada di rumah kedua orangtuanya. Ziva langsung memeluk papanya erat karena merasa senang melihat sang papa bebas. Tapi, ada hal yang membuatnya sedih saat ini. Papanya tidak bekerja, dan itu membuat Ziva kepikiran untuk segera mencari uang. Meski Regan banyak uang, tapi Ziva tidak ingin mengandalkan uang dari pria itu. Apalagi jika Regan tidak ikhlas akan sangat berbahaya untuk Ziva sendiri. Sama saja memberikan uang haram kepada kedua orangtuanya.“Kamu kenapa makin kurus, sih?” komentar sang mama saat melihat Ziva.“Hehe, lagi banyak pikiran, Ma. Maklum kan sebentar lagi skripsi terus lulus.”Lain hal dengan sang papa yang diam saja, namun matanya menyorotkan kesedihan yang mendalam melihat sang putri banyak sekali berkorban saat ini.“Ziva, Papa pengin bicara berdua sama kamu. Mama tolong buatin minum, ya. Kasihan anak kita datang jauh-jauh pasti haus.”Ziva terkekeh pelan
Kini Ziva merasakan sakit luar biasa karena kelakuan Regan barusan. Bahkan untuk berdiri saja rasanya sempoyongan sekali. kakinya terasa lemas seperti jeli—Regan tega melakukannya dari belakang tanpa pemanasan terlebih dulu, dan itu benar-benar terasa nyeri. Pasalnya, Ziva belum pernah melakukan ini sebelumnya.“Gimana? Sakit, hm?” tanya Regan, masih kesal.Ziva diam, namun matanya menatap kesal karena Regan sangat kejam memaksa masuk tanpa pemanasan terlebih dulu.“Sakit banget, Regan,” lirih Ziva yang kembali duduk di sofa. Bahkan Ziva memilih untuk kembali tiduran miring karena efeknya masih terasa sampai sekarang. Perih.“Itu untuk hukuman istri yang suka berbohong kepada suami! Sudah aku katakan sama kamu untuk tidak komunikasi sama Miko dalam kondisi apapun itu! tapi faktanya? Cih! Kamu malahan diam-diam menemui pria itu dengan alasan mencari bahan skripsi.”Mendengar serentetan amukan Regan membuat Z