Entah kenapa rasanya semakin sakit sehingga tak bisa membuat Miko melanjutkan ucapannya itu. Miko perlahan melepaskan pelukannya itu. Netra matanya terus menyorot sendu ke arah bola mata Ziva.
Tatapan keduanya kini saling mengunci satu sama lain. Mereka tahu jika ini akan berlangsung sebentar saja dengan menunggu Ziva bercerai dari sosok Regan.
Miko perlahan memajukan kepalanya untuk meraih bibir ranum Ziva. Ziva yang masih menganggap Miko kekasihnya pun tak segan-segan untuk menyambut bibir pria itu.
Mereka akhirnya saling berciuman. Miko mengecup dan mulai melumat bibir bawah Ziva dengan lembut. Bahkan Ziva juga tak kalah lembut saat membalas ciuman Miko. Mereka terus berciuman sampai akhirnya memperdalam dengan saling menjelajah ke rongga mulut. Miko terus membelit lidah Ziva hingga membuat suara desahan itu keluar dengan sendirinya.
Mereka terus saling mencumbu, mencecap, dan menghisap satu sama lain sampai tak merasakan jika ada orang yang sedang mengintip di celah pintu. Orang itu bahkan sudah memotret adegan panas Ziva dan Miko di ruang futsal.
Merasa kehabisan napas membuat Miko langsung melepaskan pagutan mereka. Bukan hanya kali ini saja mereka berciuman panas. Mereka sudah sering namun tetap saja Ziva masih virgin meski Miko sering sekali mengajaknya ke arah yang lebih dalam lagi.
Saat sudah terlepas, Miko mengusap bibir ranum kekasihnya yang tampak basah itu. Miko tersenyum tipis dan menarik tangan Ziva untuk mengajaknya berpelukan kembali.
Lagi-lagi adegan ini dipotret oleh orang yang mengintip. “Kamu ada kelas kan habis ini?” tanya Miko.
Ziva mengangguk pelan dan pelukan mereka terlepas. Ziva dan Miko akhirya memutuskan untuk keluar ruangan futsal. Mereka berpisah untuk menuju kelas masing-masing.
Saat berjalan menuju kelas Ziva terus tersenyum senang kala mengingat ciuman barusan. Ia sangat rindu dengan Miko. Akhirnya Ziva bisa tetap bersama dengan Miko meski statusnya istri Regan. Lagipula sama Regan hanya status saja bukan sungguhan.
Beberapa jam kemudian.
Ziva selesai mata kuliah dan berniat akan pergi bersama Miko. Tapi kekasihnya itu ada acara dengan teman-temannya untuk kebutuhan kuliah. Terpaksa Ziva langsung bergegas pulang dan saat dijalan pikirannya bingung. Ia bingung antara pulang ke rumah orang tuanya atau apartemen Regan.
Tak ingin mendapat masalah panjang akhirnya Ziva memutuskan untuk kembali ke apartemen Regan. Di saat memencet bel, Ziva disambut dengan wajah pria menyebalkan itu. Selalu dingin dan cuek. Berbeda dengan Miko yang selalu hangat dengannya.
Ziva terus berjalan masuk dan menuju ke arah ruang yang menjadi kamarnya. Namun baru saja ia memegang slot pintu, sebuah suara Regan membuatnya sangat sakit hati.
“Kamu tahu kan kalau kita ini statusnya menikah? Tidak seharusnya kamu berdekatan dengan pria lain di tempat umum. Bisakan kalau mau bermesraan tidak terlihat mata publik? Atau emang dasar gaya pacaran kalian sangat alay seperti itu?”
Ziva memejamkan mata dan mengembuskan napas lelahnya. Ia langsung membalik tubuhnya menghadap Regan yang sedang menyilangkan kedua tangannya di dada dengan sorot mata tajam.
“Itu bukan urusanmu. Lagian aku benci dengan pernikahan palsu ini. Sebaiknya cepat-cepatlah urus perceraian ini,” jawabnya dan langsung berbalik badan kemudian masuk ke kamar.
Regan menghela napas kesal. Ia tahu apa yang dilakukan perempuan manja itu di kampus. Apalagi ada orang yang mengirimkan foto adegan Ziva tengah berciuman dengan pacarnya itu. Bukan tidak boleh, tapi kalau ketahuan wartawan bagaimana? Bukan nama Ziva saja yang tercemar, tapi Regan sekaligus nama baik perusahaannya yang terancam jika sikap perempuan manja itu tak dijaga.
Melihat ekspresi Ziva yang tak pernah senyum atau bahagia di depannya membuat Regan mengumpat di dalam hati.
“Dasar bocah manja,” dumelnya.
Berbeda dengan Ziva yang kini sedang terbaring di tempat tidurnya sambil menatap langit-langit. Pikirannya berkelana terhadap ucapan Regan yang menyakitkan itu. Entah kenapa Ziva ingin membuat pembalasan atas ucapan pedas Regan itu.
Merasa memiliki ide membuat Ziva langsung terbangun dan tersenyum devil. Ia pun segera berganti pakaian yang sudah dibawanya itu. Ziva langsung keluar kamar dan sedikit mengindik karena takut ketahuan Regan.
Langkah kakinya dibuat setinggi mungki dan pelan agar Regan tak mendengarnya. Ziva berjalan ke arah ruang servis untuk mengambil cairan pel. Ziva akan membuat pria itu jatuh dan kesakitan. Ini merupakan ajang pembalasan karena Regan sudah merebut kebebasannya dan membuat hubungan dirinya dengan Miko menjadi semakin berjarak.
Ziva menuangkan cairan pel itu di depan kamar Regan. Pria itu tidak ada di mana-mana pasti sedang di kamarnya. Ziva terkikik geli saat membayangkan pria menyebalkan itu jatuh kesakitan.
Selesai menuangkan membuat Ziva langsung berlari ke arah ruang servis area untuk menaruh sisa cairan pel. Ziva kembali masuk ke kamar dan menunggu suara orang jatuh. Hahaha.
Beberapa menit kemudian.
Ziva merasa gelisah sendiri saat belum mendengarkan tanda-tanda Regan akan keluar. Ziva pun langsung berpikir keras agar pria itu mau keluar.
Merasa memiliki ide untuk memanggil Regan membuat Ziva keluar kamar dan sedikit berteriak di depan pintu kamar Regan.
“Aku mau nongkrong dulu,” teriak Ziva.
Merasa tak ada respon membuat Ziva penasaran. Ia akhirnya mendekat ke pintu dan meraih knop itu. Perlahan Ziva menarik ke bawah dan pintu itu terbuka perlahan. Mata Ziva langsung menyusuri segala penjuru ruang kamar Regan yang sepi.
Tentu saja keberadaan Regan yang tidak ada di kamar membuat Ziva mendumel dan memaki pria itu. Merasa dunia ini tak adil untuknya membuat Ziva langsung ke kamar untuk mengambil ponsel. Ziva menelepon Miko untuk bertemu.
“Ya honey.”
“Miko, kamu di mana? Masih sama temen-temen, ya?”
“Iya, kenapa hmm?”
“Bosan.”
“Ya udah kamu ke sini mau? Cowok semua tapinya di sini.”
“Gapapa, daripada kesiksa kayak di neraka.”
Terdengar suara kekehan Miko di seberang telepon sana. Ziva suka tipe pria hangat kayak Miko. Bukan manusia dingin macam kulkas berjalan itu.
“Yaudah honey, sinilah. Aku juga udah kangen lagi nih.”
Ziva tersenyum semringah kala mendengar Miko itu sudah kangen dengan dirinya. Dengan cepat pula Ziva mematikan sambungan telepon dengan Miko dan memilih untuk segera menyusul kekasihnya yang sedang menongkrong.
Saat akan keluar apartemen justru Ziva disambut tubuh kekar nan atletis milik Regan. Ziva langsung mundur beberapa langkah ketika melihat Regan berjalan maju dengan tangan yang membawa dua buah paperbag berlogo toko branded.
“Mau ke mana?” tanya Regan dengan aura yang begitu dingin bahkan terasa mencekam bagi Ziva. Entah kenapa pria ini jarang sekali tersenyum atau bercanda gitu. Pas masih berpacaran dengan Kak Celine juga selalu dingin seperti kulkas. Pasti Kak Celine banyak menderita saat pacaran. Pria-nya aja begini. Cih.
“Nongkrong.”
Terdengar suara helaan napas kesal Regan. “Belum jelas apa yang aku katakan kemarin?”
Ziva diam, tatapan elangnya sangat membuat takut Ziva hingga membuatnya tak berkutik langsung. Bahkan Ziva merasa jika terus ditatap Regan seperti ini tubuhnya terasa akan berlobang karena tatapan tajamnya itu.
“Nih, taruh di kamar.”
Kening Ziva mengerut bingung. Ia pun menatap dua paperbag itu yang sudah mengatung di depan tubuhnya.
“Punyamu satu dan punyaku satu. Taruh sana.”
Tak berani melawan membuat Ziva langsung berdecak kesal. Ia pun berbalik badan dan berjalan ke arah kamar Regan dengan kaki yang sedikit dihentakkan ke lantai agar Regan tahu jika ia sedang kesal.
Merasa lupa jika ada cairan pel membuat Ziva terpleset di depan kamar Regan hingga membuatnya terjatuh dengan posisi terlentang karena cairan itu sangat licin.
Brug.
“Awwwwww … Mama,” ringis Ziva yang disusul suara tangisan karena terasa sekujur tubuhnya sakit. Terlebih punggung dan kepalanya.
Regan yang mendengar suara aneh langsung berjalan ke arah sumber suara. Ia melihat perempuan itu sudah terbujur di depan kamarnya.
“Kenapa bisa jatuh?” tanya Regan yang membantu Ziva berdiri.
“Terpleset.”
Regan mengerutkan kening bingung, hidungnya pun mencium aroma pewangi lantai. Tangan Regan mengusap lantai dan menciumnya sejenak.
“Senjata makan tuan kan?” Regan tersenyum tipis dan mengambil paperbag miliknya. Ia berjalan melewati Ziva yang masih terduduk kesakitan. “Lain kali tidak usah seperti ini. Akibatnya kamu sendiri yang kena,” imbuhnya dan tak lama pintu kamar Regan tertutup.
BLAM.
Ziva yang merasa masih kesakitan hanya bisa menangis saat ini. Rasanya benar-benar sakit. Entah kenapa ia tidak ingat habis menuangkan cairan pel di depan kamar Regan. Sialan.
Dengan sedikit tertatih Ziva mencoba bangkit dan berjalan ke arah kamar. Ziva langsung menelungkupkan tubuhnya karena tubuh bagian belakang terasa sangat sakit juga kepalanya terasa nyeri.
“Mama … sakit banget,” rintih Ziva terisak.
Setelah lima hari kerja, kini Regan mengajak Ziva dan keluarganya untuk berkunjung ke makam Celine. Regan ingin melakukan ziarah ke makam perempuan yang dulu sempat dekat dengannya. Regan ingin memperbaiki semua agar hidup kedepannya lebih enak.Dan, kini di sinilah Regan bersama sang keluarga saat ini. Mengunjungi makan Celine sambil mendoakan untuk perempuan itu. Regan bahkan mengucapkan permintaan maaf terus karena menuruti keinginan Celine saat itu. Meski semua telat, namun pria itu tetap saja merasa bersalah.“Tidak usah disesali, sayang. Semua itu sudah pilihan Kak Celine.” Kini Ziva mengusap punggung sang suami—mencoba menenangkan dan menguatkan jika apa yang terjadi untuk pembelajaran ke depannya.Regan tersenyum tipis, ia pun menggenggam telapak tangan Ziva erat. “Celine, kini aku sudah hidup bahagia bersama adikmu. Bahkan kita berdua sudah dikaruniai anak yang sangat menggemaskan. Namanya Abbizar, dia anak yang lucu. Andai kamu
Regan dan Ziva kini pergi ke kantor unit agama untuk meluruskan semua data pernikahannya yang sangat berantakan. Semua itu disebabkan oleh Regan, dan pria itu kini sangat begitu gentle untuk menangani dan bertanggung jawab atas semua perbuatannya di masa lalu.Seluruh keluarga Abimana, dan kedua orangtua Ziva pun ikut mengantar anak-anak mereka yang akan meresmikan hubungan pernikahan ini ke tahap yang lebih kuat lagi.Jika selama ini mereka berdua hanya resmi menjadi suami istri yang sah di mata agama, kini mereka akan meresmikan agar sah di mata negara—terlebih Abbizar saat ini membutuhkan akta kelahiran.“Boleh nikah ulang enggak?” tanya Ziva, berbisik.Regan mengerutkan kening bingung. “Maksudnya?”“Kan, selama ini kita nikah siri, jadi biar tambah sah lagi aku pengin kita nikah ulang di sini. Kamu melakukan ijab qobul lagi di sini. Lagian kemarin nikah pakai data yang salah, dan enggak ada persiapan
Ziva kini sudah dipindahkan kembali ke ruang rawat inapnya bersama sang bayi. Bahkan, Ziva merasa takjub melihat tembok kamar rawat inapnya terdapat beberapa balon yang menempel disertai tulisan sambutan untuk sang anak.“Ini siapa yang dekor?” tanya Ziva.“Bunda sama Mama,” jawab Regan.“Mama sudah sampai sini?”“Iya, mereka lagi pada makan di kantin rumah sakit. Katanya laper pas nungguin kamu lama di ruangan bersalin tadi.”Ziva tersenyum meringis mendengar penjelasan dari Regan. “Iya, tadi jahitan dulu. Terus aku IMD, habis itu dicek dan diperiksa ke seluruh tubuh—memastikan tidak terjadi apa-apa.”“Terus sekarang sudah sehat gitu?”“Iya sehat, tapi seluruh badanku pegal semua.”Kini Regan membantu Ziva dari kursi roda menuju ke ranjang rawat inapnya. Perawat yang mendorong box bayi itu langsung pamit pergi setelah tugasnya selesai.
Pilihan untuk menginap di rumah sakit sudah sangat tepat. Hal yang ditakutkan oleh Maya bahkan kini terjadi. Menantunya—Ziva—mengalami kontraksi berulang—hingga akhirnya dia mengalami flek. Hal itu langsung dilaporkan oleh Maya agar diperiksa oleh dokter yang ternyata sudah memasuki pembukaan satu.Maya terus memijit pinggang Ziva yang merasakan pegal luar biasa. Menantunya terus menangis tersendu-sendu karena merasakan sakit sekaligus mulas yang sangat luar biasa hebat. Bahkan Ziva merasakan lima menit sekali perutnya terasa mulas yang amat begitu mulas.“Tarik napas, ya,” kata Regan, pria itu kini bahkan membolos kerja karena dari semalam istrinya sudah merasakan tidak enak—hingga membuat Ziva tidak bisa tidur dan memilih berjalan mondar-mandir seperti setrikaan.Dan, benar saja pas pagi dia mengalami flek saat ingin buang air kecil—hingga akhirnya dinyatakan sudah pembukaan satu. Namun, Ziva menolak saat dokter ingin
Saat ini di rumah Maya sedang ada tukang untuk merenovasi kamar yang tidak digunakan untuk menjadi kamar cucunya nanti. Maya sibuk bertemu arsitek untuk mendekor kamar calon cucunya itu. Tak lupa juga dia sibuk bertemu desain interior agar kamar cucunya menjadi begitu bagus, nyaman, dan sempurna.Maya pun setuju untuk menggabungkan dua ruangan menjadi satu. Semua ini tentu saja atas ide sang arsitek karena memang Maya menginginkan kamar yang luas untuk calon cucunya. Jadi, di dalam ruangan kamar itu akan ada konsep untuk area bermain bayi dan tempat duduk santai sang ibu jika sedang menyusui. Maya ingin memberikan kenyamanan sang cucu dan menantunya.“Bun, apa enggak terlalu besar kamarnya jika dua ruangan itu digabung?” tanya Ziva, tidak enak hati karena anaknya akan disambut begitu berlebihan oleh keluarga Regan.“Tidak sayang, ini sudah cocok untuk kamu dan cucuku nanti. Jadi dia bisa tidur dan bermain nanti di kamar. Soalnya bayi usia enam
Malam ini Ziva tengah merendam kakinya yang bengkak dengan air hangat yang dicampur garam. Entah ini mitos atau fakta yang pasti ia hanya mengikuti saran dari sang mama.“Gimana? Sudah kempes?” tanya Regan, memastikan jika kaki sang istri akan kempes dalam waktu seketika.“Belum.”Regan mengangguk-angguk dengan tangan yang sibuk memegang ponsel. Pria itu tengah mencari tahu semua keluhan yang dialami wanita hamil di internet. Regan membaca-baca soal keluhan itu hingga menemukan kasus yang serupa—yang dialami sang istri.“Kata internet itu hal yang wajar sayang. Di sini dijelaskan karena adanya peningkatan cairan dan darah yang diproduksi.”Ziva hanya tersenyum lembut mendengar semua penuturan dari sang suami. Pasalnya hal itu sudah dijelaskan secara mendetail oleh dokter kandungannya. Dan, Ziva pun sudah mendapatkan solusi dari dokter kandungan agar posisi tidur lebih tinggi kaki dibanding kepala. Namun, na