Tok.. Tok... Tok...
Terdengar suara ketukan di pintu ruang praktek Laura, dan seketika muncul lah kepala Mellisa di sana.
"Laura, have you finished?" tanya Mellisa sambil berjalan menghampiri Laura yang sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya.
"Hem... tidak kah kau lihat kalau aku sudah bersiap untuk pulang."
"Oke, aku melihatnya... by the way, maukah kau menemaniku Laura?" Mellisa duduk di depan meja Laura sambil bertopang dagu, mengamati gerak gerik sahabatnya itu yang sama sekali tak menatapnya.
"Ke mana?" tanya Laura tanpa menghentikan aktifitasnya.
"Ke neraka" jawab Mellisa kesal.
Laura mulai menghentikan gerakan tangannya, terkikik geli saat menatap wajah Mellisa yang terlihat cemberut karna merasa diabaikan. "Kau akan mengajakku ke mana, Mel?"
"Ke sebuah pesta yang diadakan teman kuliahku, dan kau wajib menemaniku."
Kalimat Mellisa membuatnya mengerutkan kening dengan ekspresi seakan mengatakan 'are you kidding me?'
Dan disitulah Mellisa menampilkan wajah memohon agar dia mau menemani wanita itu.
"Tentu aku harus minta izin dulu-" Kalimat Laura terhenti saat mengingat bahwa Matheo tidak akan pulang malam ini, akhirnya dia kembali berucap, "Ok... Aku akan menemanimu."
"You are the best," pekik Mellisa yang langsung menghambur ke arahnya dengan kecupan-kecupan kecil di pipinya.
"You are the worst," balas Laura asal.
Alih-alih tersinggung, Mellisa malah tersenyum lebar sambil melepaskan pelukannya. "Tepat pukul tujuh aku akan menjemputmu... sekarang aku pulang dulu."
Akhirnya wanita centil itu meninggalkan ruangannya.
Laura kembali terduduk di kursinya sambil menghela nafas. Sebenarnya dia akan lebih senang berdiam diri di rumah bersama dengan Matheo, daripada harus keluyuran tanpa pria itu. Bagaimana pun juga, cintanya masih sangat besar untuk Matheo walaupun sikap suaminya itu mulai berubah. Setidaknya di waktu-waktu tertentu Matheo akan tetap bersikap sangat lembut padanya, juga masih sering memanjakannya.
==*==
Laura benar-benar marah, beberapa kali dia mengumpat kesal saat semua panggilannya ditolak oleh Matheo. Bahkan puluhan pesan yang dikirimnya sejak tadi siang juga tak berbalas.
"Sial... sedang apa Matheo sekarang, sampe tidak mengangkat teleponku sama sekali," umpat Laura. Sepertinya dia sudah benar-benar melupakan tentang pesta dengan Mellisa.
Sekali lagi di mencoba menghubungi nomor Matheo, matanya menatap penuh harap pada layar ponselnya saat ini. Seketika Laura menegakkan punggung saat telepon itu tersambung, segera menempelkan benda pipih itu di permukaan telinganya.
"Hallo, Math-"
"Oh maaf Laura, aku benar-benar sibuk sekarang... nanti aku akan menghubungimu lagi." Dan panggilan langsung ditutup begitu saja.
Laura merasakan sesak yang mulai menggerogoti dadanya, menciptakan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Perlahan bahunya bergetar saat isakan itu mulai terdengar dari bibirnya. Hatinya bergejolak ketika menyadari bahwa Matheo telah berubah. Di dalam rumah tangganya saat ini, tak ada lagi kata-kata cinta, tak ada lagi ungkapan rindu, semuanya terasa dingin dan hambar.
Bagaimana bisa pernikahan bertahan sampai puluhan tahun, kalau pernikahannya yang baru berjalan dua tahun saja sudah begitu menyebalkan.
Laura masih betah duduk di tepi ranjang dengan sisa-sisa isakannya yang mulai menghilang. Matanya terus menatap ke arah langit malam dari pintu balkon yang tak tertutup. Dia tersenyum miris, seakan menertawakan dirinya yang tak ada beda dengan sunyinya malam.
"Astaga Laura, apa yang terjadi?" Terdengar suara Mellisa yang entah bagaimana sudah masuk di kamarnya. Mungkin memang dirinya yang lupa belum mengunci pintu depan.
"Maafkan aku Mell... aku masih belum bersiap-siap," kata Laura dengan mengangkat wajahnya.
"Kiita batalkan ke pestanya, dan kau bisa menceritakan semuanya padaku," jawab Mellisa yang mencoba menjadi seorang sahabat yang bijaksana.
"Tidak... Aku mau kita tetap pergi ke pesta itu." Laura segera berdiri, kali ini matanya tegas menatap ke arah sahabatnya itu.
Mellisa menatapnya dengan kening berkerut. "Kau yakin?"
"Tentu."
Laura bergegas menuju ke dalam kamar mandi, membasahi tubuhnya dengan cepat tanpa. Tak sampai lima menit, dia sudah keluar dengan tubuh yang hanya berbalut dengan handuk. Laura mematung menatap ke arah Mellisa yang berdiri di hadapannya, tangan wanita itu telah menenteng sebuah gaun cantik yang diambil dari lemarinya.
"Kau memilihkannya untukku?" tanya Laura dengan senyum manis.
"Tentu Sayang... segera kenakan gaun ini, karena kita tidak punya banyak waktu," jawab Mellisa sambil melempar gaun itu ke arahnya.
==*==
Ternyata pesta tersebut diadakan di sebuah club malam yang cukup terkenal yaitu The Bluesky's. Laura sendiri terlihat tak begitu nyaman dengan suasana club yang sangat berisik, belum lagi dengan bau alkohol yang sangat mengganggu indera penciumannya. Di setiap mata memandang pasti terlihat sekumpulan manusia yang menggerakkan tubuhnya liar, banyak juga yang bercumbuu seakan ingin bercinta saat ini juga.
Semua yang ada di tempat ini memang memiliki satu tujuan yang sama, pencari kenikmatan.
Satu hal yang membuat Laura sedikit lega di sini, yaitu lampu yang temaram akan menyamarkan wajahnya yang sembab.
"Lupakan masalahmu, dan sekarang waktunya untuk berpesta!" teriak Mellisa di telinga Laura. Wanita itu mencoba menarik tangan Laura untuk turun ke lantai dance tapi Laura menolak.
"Tidak Mel,aku akan tetap di sini... kau pergilah."
"Jangan pergi kemana pun, ok!" sahut Mellisa seperti seorang ibu yang memperingatkan anaknya.
Laura hanya memutar matanya malas.
Sepeninggal Mellisa, dirinya hanya duduk di hadapan bartender sambil terus mengaduk coctail di hadapannya. Sesekali matanya menyapu setiap sudut yang semakin membuat kepalanya berdenyut. Sampai akhirnya pandangannya tertuju pada seorang pria yang ada di deret meja yang sama dengannya.
Awalnya Laura mencoba untuk bersikap sopan dengan menampiljan senyum kecil sembari mengangguk, tapi ternyata pria itu beranggapan lain. Karena sekarang pria bersetelan jas itu tengah mengedipkan sebelah mata ke arahnya dengan senyum menggoda.
Laura bergidik jijik. Dia mulai menurunksn pandangan untuk mengoreksi penampilannya.
"Apakah penampilanku terlihat seperti seorang jalangg? Oh aku rasa tidak" batinnya meyakinkan. Karena dia hanya memakai gaun selutut yang menampilkan lekuk tubuhnya tp cukup sopan, hanya saja bagian dadanya berpotongan cukup rendah sehingga menampilkan belahan dadanya.
Semakin lama Laura semakin risih dengan tatap pria itu yang penuh nafsuu, sangat membuatnya tak nyaman. Akhirnya dia memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke toilet. Dia berharap laki-laki itu akan pergi setelah dia kembali.
Laura memasuki toilet wanita yang cukup lenggang, hanya beberapa wanita yang keluar masuk tak lama. Dia tampak berdiri di deoan cermin wastafel, menyapukan lipstik ke bibirnya dan menata sedikit rambutnya. Setelah dirasa cukup, Laura kembali berjalan keluar dari toilet, takut kalo Mellisa akan mencarinya.
Saat melewati toilet pria, tiba-tiba Laura merasakan tanganya ditarik kasar, hingga tubuhnya menabrak tubuh seorang laki-laki.
"What the fuck are you doing!" pekik Laura marah dan mencoba bergerak menjauh.
Tapi lengan pria itu semakin membungkus tubuhnya dari belakang. "You are so hot, Baby."
"Lepaskan brengsekk!" teriak Laura yang terus meronta. Sialnya dia malah merasakan sesuatu yang keras menggesek pinggangnya.
"Jangan sentuh milikku, Sialan!" Terdengar suara berat yang sangat mengintimidasi.
Laura seketika diam membeku, menatap ke arah seorang pria yang berjalan ke arahnya. Wajah pria itu tak terlihat jelas, karena penerangan yang tak sempurna.
Di detik selanjutnya, yang terjadi adalah pria brengsek yang menyentuhnya telah tersungkur ke lantai dengan bibir berdarah dan hidung sedikit bengkok. Mungkin patah, sungguh Laura tak peduli.
"Kau?" pekik Laura tertahan saat tahu kalau yang menolongnya adalah pria bermata biru yang di rumah sakit tadi.
Pria itu berjalan menghampirinya perlahan, semakin menghapus jarak di antara mereka. Laura terlihat panik ketika tubuhnya semakin menghimpitnya ke tembok.
"Baru kali ini aku melihat seorang yang menangis di sebuah club malam," kata pria itu yang tengah menatap matanya intens.
"A... Aku ti... tidak menangis," jawab Laura gugup.
"Matamu tidak bisa bohong, Sweety." Pria itu sedikit menunduk untuk mensejajarkan wajah mereka.
Sekarang jarak mereka benar-benar sangat dekat, hingga membuat hidung mereka mulai bersentuhan.
"Would you be mine?"
"No, because I'm a wife."
#To be continue
Ahhh... Gimana??? Terlalu biasa, atau membosankan??? Please comentnya ya...
"Berhentilah terus-terusan memandangi ponselmu itu," kata Mellisa sambil membersihkan sisa-sisa make up-nya di depan meja rias, sesekali matanya melirik Laura yang masih di atas ranjang.Laura bergeming tanpa menanggapi.Mellisa tampak menghela nafas, berjalan menghampiri Laura yang entah telah berapa lama hanya bergelung di kasur. Wanita itu terus saja memandangi ponselnya yang bahkan tidak pernah berdering."Kenapa tadi kau terlihat panik dan langsung mengajakku pulang?" tanya Mellisa sambil berbaring di sebelah Laura. Pertanyaan Mellisa sontak membuat Laura menoleh, dan kejadian beberapa waktu yang lalu kembali memenuhi otaknya.Flashback on"No, because I'm a wife."Laki-laki bermata biru itu memiringkan wajahnya semakin mendekat, sontak membuat Laura menutup mata. Jantung Laura berdetak sangat kencang dan dia takut kalau laki-laki itu sampai bisa mendengar detak jantungnya. Laura bisa merasakan nafas hangat yang menyapu wajahnya, membuat tubuhnya meremang. "Seorang istri tidak
Laura kembali ke kamar Mellisa setelah tadi Christian pamit untuk kembali ke apartemennya. Laura bergegas melihat ponselnya yang terus berdering, nama Matheo terpampang di sana."Kau di mana Laura? Aku sudah pulang daritadi dan kau tidak ada, apa kau tidak membawa ponselmu?puluhan kali aku menelpon tapi kau baru mengangkatnya," cerocos Matheo di sebrang sana. 'Apa apaan ini, harusnya aku yang marah, kenapa sekarang jadi dia yang marah' batin Laura kesal."Aku menginap di apartement Mellisa," jawab Laura sambil berjalan menuju balkon, menikmati angin musim semi sangat segar menerpa wajahnya."Pulanglah, aku menunggumu," kata Matheo tanpa basa basi dan langsung mematikan telephonenya.Laura menatap layar ponselnya jengah, tapi bagaimana pun juga dia hanyalah seorang istri yang memang seharusnya ad di rumah saat suaminya pulang. Dia kembali masuk ke dalam kamar untuk mengemasi barangnya.Laura tengah memasukka baju kotor kedalam tas, bersaan dengan itu, kamar terbuka. Terlihat Mellisa y
Laura mematut dirinya di depan cermin. Dia terlihat mengenakan atasan berbahan chiffon warna putih, dipadukan dengan skiny skirt selutut warna cream, dan coat oversize warna senada. Perpaduan tersebut telah menyempurnakan penampilannya pagi ini. Laura memang bukan tipe wanita yang terlalu mementingkan penampilan, karena hanya dengan make up tipis dan rambut panjangnya yang di ikat kebelakang dirasa sudah cukup baginya. Satu keyakinan yang selalu dia pegang 'Cantik itu tidak harus berlebihan'.Mungkin bagi orang lain penampilannya terlihat membosankan, tapi selama Matheo tidak pernah komplen, itu tidak akan menjadi masalah buatnya. Setelah dirasa cukup, dia turun ke bawah untuk menuju ke ruang makan, melakukan rutinitas sarapan bersama dengan suaminya. Dia duduk di hadapan Matheo, menatap kebiasaan suaminya itu dengan pandangan kesal. Terlihat Matheo sedang menyesap kopinya dengan pandangan tak lepas dari posel. "Dari mana kau mengenal laki-laki kemarin itu?" tanya Matheo setelah me
Sudah tiga puluh menit Laura menunggu di depan bioskop, tapi masih tidak ada tanda tanda akan kehadiran Matheo. Laura mendesah frustasi sambil merogoh ponselnya di dalam tas berniat untuk menghubungi Matheo, tapi ternyata telah ada pesan masuk dari Matheo.From : MatheoSayang maafkan aku, hari ini aku tidak bisa menemanimu nonton. Karena ada klien yang ingin bertemu saat ini juga. Aku janji besok kita akan makan malam di luar.'shit...' umpat Laura kesal. Jari-jarinya mulai bergerak lincah menekan tanda telepon di pojok atas layar poselnya, berusaha menghubungi Matheo. Sayangnya tidak ada jawaban dari pria itu.Laura berjalan dengan kepala tertunduk lesu. Tidak mungkin sekarang dirinya menghubungi Mellisa untuk memintanya datang, karena wanita itu pasti akan marah besar terhadap Matheo dan Laura tidak ingin Matheo disalahkan. Dirinya terlalu percaya bahwa Matheo benar benar bekerja untuk masa depan mereka.Alih alih pulang kerumah, Laura malah membelokkan langkahnya ke sebuah caffe
Matahari terasa hangat, semilir angin terasa lembut menyapu kulit, bunga bunga bermekaran dengan indahnya. Terlihat seorang gadis kecil dengan rambut panjang sebahu yang tergerai, sedang berlarian kecil memetik bunga. Sebuah senyum indah tak lepas dari bibirnya.'Braakkk' Gadis itu berjingkat kaget saat mendengar sesuatu terjatuh, disertai pekikan suara seorang anak laki laki. Gadis kecil yang tak lain adalah Laura itu berlari menghampiri sumber suara, terlihat seorang anak laki laki duduk di samping sepeda sambil memegangi lututnya yang berdarah. Anak lelaki itu menatap tajam ke arah Laura, tiba-tiba Laura berlari meninggalkan anak lelaki itu.Tak berselang lama Laura datang lagi dengan kotak putih di tangannya. Dia duduk di depan anak lelaki tadi, dengan tangan mungilnya yang mulai mengobati luka anak lelaki itu seakan dia adalah dokter profesional."Aku kira kau berlari karena takut padaku," kata anak laki laki itu yang membuat Laura mendongak menatapnya.Pandangan mereka bertemu,
Hari ini Matheo benar benar menepati janjinya. Dia menjemput Laura tepat saat jam kerja Laura telah selesei. Mereka menuju ke restoran yang cukup romantis untuk makan malam. Seharusnya Laura sangat bahagia karna sangat jarang sekali Matheo mengajaknya pergi berdua apalagi dinner romantis seperti saat ini, tapi entah kenapa Laura tidak bisa menghilangkan kejadian beberapa jam yang lalu dari pikirannya. Dia masih memikirkan bagaimana ciiuman Christian yang terasa lembut dan menggebu gebu terasa secara bersamaan, benar benar membangkitkan gairah liarnya yang tak pernah dia rasakan saat bersama Matheo. Bahkan dia masih merasakan panas bibir Christian di bibirnya saat ini, dia juga selalu merasa seperti sebuah de javu saat bertatapan dengan Christian.'ah... Aku benar benar sudah gila' batin Laura sambil menggelangkan kepalanya pelan.Matheo terlihat tidak suka dengan sikap Laura yang mengabaikannya."Apa ada yang menggangu pikiranmu, Laura?" tanya Matheo kesal."Ah maafkan aku... Aku h
Laura pergi ke poli bedah untuk bertanya pada perawat di sana tentang keberadaan Christian, tapi ternyata Christian sedang tidak ada jadwal praktek hari ini.Laura meminta nomor ponsel Christian dan berusaha menghubunginya, tepat pada dering kedua, Christian mengangkatnya."Merindukanku sweety," jawab Christian di seberang sana tanpa basi basi.Laura mengeryit bingung dengan sapaan Christian, takut kalau pria itu salah orang. "Ini aku Laura.""I know... apa kau merindukanku?" Sudah pasti di sana pria itu tengah tersenyum jahil.Laura hanya memutar matanya, walaupun dia tahu Christian tak akan melihatnya. "Ada hal penting yang ingin ku tanyakan padamu.""Ok, datanglah kemari, aku menunggumu sweety," jawab Christian langsung mematikan ponselnya dan mengirimkan alamatnya untuk Laura."Mungkin inilah waktunya," ucap Christian lirih sambil memegang sebuah map coklat di tangannya.Ternyata Laura datang lebih cepat dari dugaannya. Laura tampak memperhatikan interior penthouse milik Christian
"Karna aku mencintaimu Laura, aku sangat mencintaimu dari dulu dan sampai kapanpun."Laura sangat kaget dengan pernyataan Christian. Dia segera bangkit hendak pergi saat Christian menarik tangannya."Lepaskan aku," ucap Laura dengan nada sangat dingin."Aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan kondisi seperti ini," ucap Christian dengan nada khawatir.Laura menyentak tangan Christian sampai pegangannya terlepas dan berjalan menuju pintu. Laura telah sampai pada pegangan pintu sampai terdengar ucapan Christian."Stop here Laura, or I'll fuck you right now," ucap Christian dengan suara yang dalam dan terdengar menyeramkan.Seketika tubuh Laura membeku di tempat, dengan sebelah tangan yang mengenggenggam erat handle pintu."Aku akan mengantarmu pulang," kata Christian dan langsung menarik Laura keluar menuju basement."Tapi.." "Mobilmu aman di sini sweety," kata Christian memotong kata kata Laura.Mereka berkendara dalam diam, tidak ada yang membuka suara dan sibuk dengan pikiran masin